Agreement 2.0
Nisaka sudah melangkahkan kakinya di salah satu lobby hotel bintang 5 yang sangat terkenal di Kota Jakarta, kali ini bukan di Avays Hotel miliknya. Dyah berada di depannya menunjukkan jalan menuju tempat pertemuan yang disebutkan personal assistant-nya itu.
“Kamu yakin, Yah jalannya ke sini?” tanya Nisaka kepada wanita yang berada di depannya.
“Yakin, Pak. Sabar coba.” kata asisten pribadinya yang bernama Dyah itu.
“Saya cuma takut kita kesasar aja, daritadi ngga sampe-sampe.” keluh sang CEO Avays Hotel itu.
“Nah, ini lho ruangannya. Silahkan masuk, Pak.” pinta Dyah ketika membuka pintu geser yang sudah ditempati oleh dua pria paruh baya yang sangat ia kenali.
Sesaat ia ingin memasuki ruangan VVIP dengan tatami di hadapannya sudah ada sang Aditya Bumi Putradinata, ayahnya serta pria paruh baya lainnya memunggungi pintu geser yang terbuka dan langsung menengokkan kepalanya pada saat Saka memasuki ruangan itu, tak lain adalah ayah dari pria yang dia cintai, Jeonny atau biasa dia panggil Om Jeonny.
Ruangan itu hening, Saka melepas sepatunya dan mengambil duduk di sebelah Jeonny setelah melihat tanda dari gerakan tangan asisten pribadi papanya itu.
Bumi membersihkan tenggorokannya, meminum segelas air yang sudah tersedia di meja dan mulai membuka suaranya. “Kamu apa kabar, Saka?” nada suara pria paruh baya itu berwibawa seperti biasanya.
“Gini aja, sesuai dengan keinginan papa.” jawab pria muda tinggi itu dengan nada sinis yang cukup biasa didengar oleh Bumi.
“Apa hal penting yang mau papa bicarain, sampai harus menyewa private room kaya gini?” tanya Saka, terkesan terburu-buru.
“Makan dulu, papa tahu kamu belum makan, Om Jeonny juga belum makan menunggu kamu.” jawab sang ayah santai, Saka melihat ke arah pria di sebelahnya, dan Jeonny memberikan senyumnya yang menenangkan sembari mengangguk serta memukul pelan punggung Saka, meminta pria muda itu untuk lebih bersabar.
Ruangan itu kembali sunyi senyap, dan hanya dentingan sumpit serta sendok yang terdengar memenuhi ruangan dengan dinding kedap suara. Membutuhkan waktu yang cukup lama hingga ketiga pria itu benar-benar menyudahi makan malam mereka.
“To the point aja, papa mau bahas tentang apa? Aku sibuk, ngga punya banyak waktu untuk berbasa-basi.” kata Saka setelah mengelap mulutnya dengan tissue basah yang sudah tersedia di sebelah sumpitnya.
“Sabar sedikit, Saka, kita baru selesai makan.” kata Bumi kepada anak semata wayangnya itu. “Papa tahu kamu sibuk, kita sama-sama sibuk, Saka.” lanjutnya sembari tersenyum. Ruangan itu kembali hening berbelas menit setelahnya.
“Stop wasting my time, Pa.” tegur Saka, masih menunggu papanya menyampaikan apa yang ingin beliau sampaikan.
“Mama kamu selingkuh.” 3 kata yang membuat Saka membelalakkan matanya.
“Selain membuang waktu orang sibuk, papa sekarang juga jago membuat lelucon aneh ya?” tanya Saka sinis, tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Dia jelas harus mencerna kata perkata.
Bumi memberikan kode kepada asisten pribadinya, tak lama Jeonny memeberikan amplop cokelat kecil dan meletakkannya di hadapan Saka. Saka masih acuh, seakan tidak perduli dengan apa isi yang ada di dalam amplop cokelat itu.
“Buka amplopnya!” pinta Bumi.
“Apaan? Uang?” tanya Saka hanya membulak-balikkan amplop yang cukup tampak tebal.
“Coba aja buka amplopnya.” kata Bumi dengan nada tegas sembari menyilangkan tangannya di dada, menunggu anak tunggalnya membuka benda yang diberikan Jeonny.
Saka segera membuka amplop misterius itu dan segera melihat banyak kumpulan foto-foto seorang wanita paruh baya yang sangat ia kenali dengan pria tinggi yang tak kalah tampan dari ayahnya sedang berpelukan, bahkan beberapa foto menunjukkan mereka sedang berciuman.
“Ini— mama?” tanyanya, menatap papanya tak percaya. “Dengan Om Bintoro Soemarto?” lanjutnya. Saka masih tidak percaya. Sebentar, mamanya tidak mungkin berselingkuh kan? Untuk apa? Apa papanya selama ini masih kurang?
Saka meminta jawaban dari papanya dan Bumi hanya terdiam, dia tidak menemukan jawaban hingga pria tampan itu menoleh ke arah sampingnya, Jeonny seakan sudah siap bila Saka bertanya padanya.
“Papa ngga mau jelasin? Om Jeon, please explain this.” pinta Saka, memegang erat foto ditangan dan merematnya.
“Foto-foto itu asli dari orang terpercaya.” kata Jeonny melonggarkan dasi yang ia gunakan karena sedikit gugup. “Dan iya betul, itu adalah Nyonya Besar dan Pak Bintoro Soemarto, ayah Bian.” lanjutnya.
“How long? Berapa lama kalian umpetin ini?” tanya Saka, meminta penjelasan lebih.
“Sudah berjalan 3 tahun, Tuan Muda.” jawab Jeonny.
“3 tahun? Ini sebelum aku lamaran sama Bian lho!” suara Saka semakin meninggi. Kepalanya terasa berat dan dadanya mulai sakit, dia tidak percaya dengan apa yang ibunya lakukan. “Dan papa diem aja?” tanyanya lagi kepada sang ayah.
“Ini tuh gila! Buat apa Mama maksa Saka buat nikahin Bian kalau mama sendiri punya affair sama Om Bintoro?” tanya Saka lagi. Bingung.
“Papa bukannya diam saja, papa sudah tahu sebenarnya, tapi tidak ada bukti konkret sehingga papa juga tidak bercerita kepada kamu.” jawab Bumi.
“Om tau?” tanya Saka, melihat ke arah Jeonny dan dibalas anggukan yakin oleh personal assistant sang ayah.
“Wow!” Saka menepuk kedua telapak tangannya ramai. “Jadi, cuma aku yang ngga tau apa-apa di sini?” lanjutnya.
“Hebat, jadi boneka Ibu Ratu dan Papa buat nikah sama orang yang sama sekali ngga aku inginkan, taunya Mama selingkuh sama calon besannya sendiri. Acting kalian semua jago sih!” nada kecewa muncul dari bibir Saka. Jelas dia kecewa, bagaimana tidak bila dia dipaksa menikah dengan pria yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ibunya berselingkuh dengan ayah dari tunangannya? Ini semua gila menurut Saka, sulit untuk dia cerna.
“Tenang, Saka. Kita melakukan ini untuk memberi kamu bukti yang jelas, dan Pak Bumi tidak ada maksud untuk menutupinya dari kamu.” jelas Jeonny pada Saka sembari menepuk bahu Saka, mencoba menenangkan pria di 30 tahunan itu, memintanya untuk sabar dan menerima kenyataan.
“Papa mau kamu beresin ini semua.” kata Bumi, menatap mata anaknya yang sedang menatapnya tajam.
“Kenapa harus?” tanya Saka.
“Karena kita harus menyelesaikan ini semua bukan?” tanya Bumi.
“Apa untungnya buat Saka?” tanya Saka balik, menantang papanya. Bumi tertawa mendengar pertanyaan dari anaknya.
“Haha, CEO sekali gaya kamu sekarang?” ejek Bumi.
“Sure, namanya belajar dari pengalaman.” jawab Saka tak kalah nyinyir.
“Jadi, apa yang aku dapet kalau bisa beresin ini?” tanyanya.
“Hm.. apa yang kamu dapatkan?” tanya Bumi mengulangi pertanyaan anaknya, memegang dagunya seperti berfikir dan kembali menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Arka!” jawab Bumi yakin, Saka menatap tak percaya papanya, mengganti pandangannya menatap kepada Jeonny yang notabene adalah ayah dari nama pria yang papanya sebutkan, sama, Om Jeonny-nya masih tersenyum. Kedua pria paruh baya itu tidak bergeming, dan tetap serius menatapnya.
“Ok! Aku harus apa?” tanya Saka tanpa berpikir panjang untuk menyetujui apapun resikonya. Taruhannya adalah pria yang sangat ia rindukan, tentu dia tidak akan mengabaikan kesempatan ini.
Jeonny tertawa renyah ketika mendengar Saka langsung menyetujuinya. “Mudah sekali ternyata meluluhkan Tuan Muda.” kata ayah dari 2 anak itu.
“Pasti Om, ini Arka taruhannya.” jawabnya. “I’ll do anything for him. Anything. Now is your turn, Pa. Apa yang harus Saka lakukan?” lanjutnya antusias.
“Then, siapkan press conference untuk memutuskan pertunangan kamu.” kata Bumi tenang.
Saka terkejut mendengarnya, perasaannya malam ini campur aduk. Senang karena akhirnya dia memiliki alasan untuk memiliki Arka tanpa adanya Bian, namun disamping itu ia juga sangat kecewa dengan apa yang sudah mamanya lakukan selama 3 tahun belakangan ini.
’Anything for Arka. Tunggu, Ka, sebentar lagi.’