Aku, Arka Wonwoo Rahamardja
Introduction 2 — main character
Waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat 30 menit, dan aku Arka Wonwoo sudah siap dengan long-sleeved shirt biru langit yang dibalut oleh suit berwarna navy dengan pattern garis-garis putih samar, dan juga menggunakan dasi yang senada dengan setelan jas yang aku gunakan.
“Udah siap, dek?” suara ayahku terdengar di balik daun pintu kamar yang masih tertutup, aku masih berkaca di depan cermin full body yang sedari dulu memang ada di kamar ini, kamarku kecil.
“Yes, I'm ready.” kataku yakin. 'Bissmillah, semoga hari ini adalah hari yang baik untuk memulai minggu ini.' rapalku dalam hati.
Aku keluar kamar, turun kebawah dan menghampiri kedua pria kesayanganku — Ayah dan Mas Dhika — yang sudah berada di meja makan untuk sarapan bersama. Ayah pagi ini membuat pancake dengan butter honey.
“Jam 7 tepat nanti kamu dijemput sama Pak Sugih ya, Arka. Harus manis, jangan galak-galak.” nasihat ayahku, aku hanya mengangguk sembari menyuapi sarapanku.
“Jadi namanya Saka atau Migu?” tanyaku bertanya untuk terakhir kalinya sebelum nanti salah memanggil namanya.
“Tuan muda.” jawab ayahku yakin. Duh, tuan muda itu terkesan seperti Macaulay Culkin di Richie Rich waktu film itu tayang di 1994, karena Culkin juga masih kecil, jadi pantes-pantes saja, nah, kalau si Saka-Saka ini kok terasa ngga pantes untuk pria dewasa seumuran Mas Dhika dipanggil tuan muda.
“Atau apapun, sesuai dengan permintaannya.” lanjut ayahku ketika melihat dahiku yang mengerut, aku segera tersenyum.
“Hayo, Arka first day kerja di Indonesia, harus fokus!” kata Mas Dhika sembari meledekku.
“Ihs, nyebelin!” kataku menatap sinis ke arah Mas Dhika. “Nanti pulangnya gimana, yah? Aku anter pulang juga?” tanyaku.
“Ngga, Pak Sugih jam kerjanya hanya sampai jam 6 sore, kalau kamu pulang lebih dari jam segitu, kamu bisa bareng Mas Dhika atau pulang naik taksi online. Sudah download-kan?” tanya ayahku.
“Udah kok.” jawabku.
“Kalau gitu tenang ya ayahnya, kalau ada apa-apa kamu langsung kabarin ayah.” kata beliau, aku mengangguk yakin.
Tepat jam 7, Pak Sugih sudah menungguku di depan pagar rumah dengan salah satu mobil termewah di-quartal 2 ini, Mercedes-Maybach S 680 berwarna hitam. Aku sempat terkejut melihatnya, mewah sekali hanya untuk berangkat ke kantor saja.
Mobil itu kini sudah memasuki pekarangan rumah yang sangat luas, dan berhenti di depan bangunan bergaya eropa modern dengan pilar berbentuk silinder yang berjumlah dua buah di sebelah kanan dan kiri akses masuk, pilar ini menjulang dari permukaan tanah hingga lantai atas bangunan yang sangat besar itu, membuat bangunan ini terlihat sangat megah, mungkin aku tidak pantas memanggilnya rumah, lebih pantas bila dibilang sebagai istana.
“Tuan Arka, langsung masuk saja ada maid yang akan membantu Tuan Arka bertemu dengan Tuan Muda Saka.” kata pria yang sedari tadi berada di kursi supir, aku hanya mengangguk dan mengikuti sarannya.
Aku berjalan pelan ke pintu kayu besar yang tiba-tiba terbuka, mengagetkanku dan ada seorang wanita paruh baya dengan baju super matching dari kaki hingga ujung kepala yang menggunakan beberapa berlian dan aku yakin dia bukan maid yang disebutkan oleh Pak Sugih. Oh, aku hafal wajah cantik ini, wanita yang selalu ada di sebelah Om Bumi setiap wajahnya muncul di berita nasional, pasti dia adalah tante Yuna. Tante? Hmm, nyonya besar?
“Nyo—” kalimatku langsung dipotong oleh wanita paruh baya semampai itu.
“Tante Yuna, Nunu. Aneh banget, masa kamu tiba-tiba manggil saya nyonya. Ayo masuk, si bandel masih tidur, kamu bangunin ya, Nu.” ajak wanita paruh baya itu untuk masuk dan aku segera mengikutinya, aku lepas sepatuku dan menggantinya dengan home slippers yang tersedia di rak sepatu pintu depan. “Kamar Migu ada di lantai 2, kamu ke kiri, lurus aja yang pintu putih sendiri ya, Nu.” kata perempuan itu yang kini ada di sampingku.
“Iya, Nyo — tante.” kata ku terbata.
“Kamu udah sarapan?” tanya wanita cantik paruh baya itu.
“Sudah, tante.” jawabku, jujur nada suaraku masih sangat kagok, mereka, rumah ini, masih sangat asing untukku.
“Yah, tadinya tante pikir kita mau sarapan bareng. Tapi, ngga apa-apa, next time ya, Nu.” katanya masih dengan nada yang ramah. Aku menunduk dan izin untuk pamit ke kamar dengan pintu kamar berwarna putih yang sedari tadi Tante Yuna sudah tunjukkan jalannya.
Berdiri gugup di depan pintu kamar orang asing, tidak pernah berada dimimpiku. Tak lama kuberanikan diri untuk mengetuk pintu itu, hingga terdengar suara samar seorang pria. Aku buka pintu kamarnya, berjalan perlahan menuju ke tempat tidur luas itu dan menemukan seorang pria topless dengan rambut acak-acakan yang sedang menyandarkan diri di headboard.
“WAAAAAAAAAA!!!! AAAAAAAAA!!!” teriak dengan suara seraknya, literally berteriak seperti menemui hantu.
“Migu? Saka? Tuan muda?” tanyaku memanggil semua nama sebutannya.
Seketika pria itu terdiam dan bertanya, “Siapa lo?” kini kami sudah bertukar tatap, dengan berisik dia menutupi tubuh atasnya yang tadi terbuka tak terbalut apapun.
“Your personal assistant?” tanyaku.
“HAH???” tanyanya, nada itu meninggi. Mungkin dia lupa kalau hari ini dia akan berangkat bekerja, setelah mendengar cerita dari Mas Dhika, aku tahu rasanya kenapa pekerjaan ini menjadi tanggung jawab besar yang diberikan Om Bumi ke ayah dan ayah mengamanatkannya padaku.
'Pria pemalas ini benar-benar.' gumamku dalam hati.
“Hey, hey! Apa ini ribut-ribut?” tanya Tante Yuna yang masuk ke kamar dengan masih menggunakan apron bermotif polar bear-nya.
“Siapa itu siapa?” tanya pria yang masih di atas tempat tidurnya berisik ketika melihat mamanya sudah masuk ke dalam kamar.
“Ya Tuhan, mama kira kenapa ih, Nisaka Mingyu! Bikin panik aja!” dumel wanita paruh baya itu. “Ini Arkadia Wonwoo, Arka, Nunu, yang akan jadi asisten pribadi kamu mulai hari ini.” lanjutnya, aku lihat Saka membelalakkan matanya, entah mengapa.
“Pake baju kamu, astaga! Ada Nunu kan, malu.” kata Tante Yuna mendekati dirinya ke tempat tidur dan memukul pelan bahu anak tunggalnya, aku sih hanya melihat saja dari tempatku berdiri. “Kamu siap-siap, Nunu nungguin kamu!” lanjut beliau.
“Saya tunggu di bawah?” tanyaku, dengan nada berbisik yang ku yakin kedua ibu-anak itu dapat mendengarnya.
“Ngga usah, tunggu di sini. Gue ngga pernah ke kantor, lo bantuin gue pilih baju, closet ada di sana.” tunjuknya ke sebuah pintu di sudut ruangan, aku langsung berjalan ke sana dan membukanya.
“Ini hari pertama gue kerja. Pahamkan?” tanya pria itu.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Dress me up, make me more handsome.” katanya, sembari berjalan ke arah kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
Jujur, kamar ini sangat besar. Kalau kamar Mas Dhika dan aku digabungkan, mungkin masih tersisa banyak. 'Apa ngga capek ya jalan-jalan di dalem kamar?' tanyaku dalam hati.
Aku turuti tuan muda itu, aku pilihkan dia black suit and tie dengan kemeja panjang putih, serta sapu tangan yang akan diletakkan pada kantung jas hitamnya. Hari ini dia akan diperkenalkan kepada seluruh karyawan bukan? Jelas dia harus lebih tampan dari siapapun.
Setelah tuan muda itu keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe putihnya, dia segera mengambil pakaian yang sudah kupilihkan dan aku segera berbalik badan, entah apa yang dia lakukan di belakangku, aku tidak ingin melihatnya. Tak berapa lama, pria dengan tatapan elang yang sudah terlihat jauh lebih tampan itu datang menghampiriku.
“Ayo!” katanya.
“Dasinya?” tanyaku ketika melihat pria itu hanya menggunakan celana bahan dan kemeja yang aku pilihkan.
“Gue ngga bisa pake dasi.” jawabnya. Aku langsung menghampiri pria tinggi berbadan tegap itu, mengambil dasi yang melingkar di tangannya dan dengan sigap membantu menggunakannya.
“Kalau ngga bisa itu bilang, tuan muda. Jangan dicuekin, nanti kapan bisanya?” tanyaku sembari menyimpulkan dasi di lehernya. Pria di hadapanku ini hanya terdiam mematung, seakan pasrah dengan apapun yang akan aku lakukan, mungkin bila aku mencekiknya, dia tidak akan marah.
“Well ehem, mulai saat ini pakein gue dasi juga jadi job desc lo.” katanya setelah aku menepuk dasinya, dan menggunakan jasnya sembari berjalan keluar kamar.
'Deuh, tau gitu tadi beneran aku cekek!' omelku dalam hati.