Aku Percaya, Kamu Juga ya?

“Kita bahas masalah hari ini besok ya? Kamu istirahat dulu, kan capek seharian kerja.” itu kalimat pertama yang aku ucap setelah Saka keluar dari kamar mandi sembari memberinya piyama.

“Ngga mau malem ini aja?” tanya pria itu, aku tahu banget, bahkan sangat tahu kalau dia sedang lelah. Entah karena memang sedang banyak pekerjaan, atau memikirkan hal yang buruk akan terjadi padaku. Awal mulanya karena satu nama, Bian. Mantan tunangannya yang tiba-tiba datang ke kedai kopi di gedung kantor mas suami. Plus aku berbincang panjang dengannya hingga lupa bahwa telepon genggamku sudah dalam keadaan mati total. Part terakhir adalah salahku.

Kini si dia sudah menyusulku ke atas tempat tidur, merebahkan tubuhnya di samping tubuh rampingku dan menarik posisiku untuk semakin mendekat ke arahnya, memelukku seperti hari-hari sebelumnya.

“Aku takut kamu kenapa-napa, cantik.” katanya dengan nada kantuknya, mencium ujung kepalaku dan napasnya kini mulai teratur. Si dia sudah berada di alam mimpinya. Apa kubilang, dia sangat lelah bukan?


Sama seperti hari Sabtu lainnya, jam masih menunjukkan jam 9 pagi, sedangkan mas suami masih tertidur dan aku sudah grasak-grusuk di dapur, bangun pagi untuk menyiapkan sarapannya bersama dengan asisten rumah tangga yang lain.

“Mas Arka, hari ini Mas Saka mau dibuatkan sarapan apa?” tanya salah asisten rumah tangga yang bertugas di dapur, wanita yang sudah berumur itu lalu menyarankan beberapa menu, kemudian memintaku untuk menyerahkan sisa pekerjaan masak memasak itu padanya.

“Ngga apa-apa nih aku tinggal?” tanyaku.

Absolutely, Mas. Silahkan kembali beristarahat.” jawab wanita itu, dan aku segera melangkahkan kakiku kembali ke kamar utama dan masih menemukan tubuh Saka yang masih tertidur pulas tanpa menggunakan atasan piyamanya.

Tidak, kami tidak melakukan hal terpuji semalam. Melepas baju diseperempat malam memang kebiasaan mas suami, kadang ia merasa panas, atau memang fabricnya tidak terlalu nyaman, walaupun terbuat dari bahan terbaik, namun, hal yang paling memungkinkan adalah habit-nya memang seperti itu.

Aku buka jendela kamar dengan menekan salah satu tombol yang menempel di meja nakas samping tempat tidur, melihat si sayangku itu mengubah posisinya, lalu menarik tubuhku dan menenggelamkan wajahnya di dadaku.

Morning.” sapaku yang hanya dibalas anggukan olehnya. “Bangun yuk, sarapan.” ajakku, dia mengangguk, namun, semakin mengeratkan pelukannya. Namun, tak berapa lama ia memutuskan untuk bangun dan turun ke bawah untuk sarapan.

Sarapan yang sangat-amat tenang, tanpa pembicaraan, yang membuatku gelisah. Diam itu yang sedang kami alami. Dingin, itu yang aku rasakan. Mas suami masih ngambek.

Setelah selesai sarapan, ia langsung meninggalkan meja makan dan duduk tenang di sofa ruang tengah yang luas, mengongkangkan kakinya sembari menonton berita internasional, aku menyusulnya dan meminta asisten rumah tangga untuk meninggalkan kami berdua di ruang tv.

Aku langsung menghampiri mas suami dan duduk dilahunannya seakan tak ada ruangan lagi untuk ku duduki, mengelus lengannya dengan penuh kasih sayang, memberinya afeksi dan saat ini memang benar aku sedang merayunya untuk bicara, aku tidak suka saat ia hanya memilih diam padahal ia bisa saja menegurku.

“Kenapa, hmmm?” tanyaku padanya yang seketika menjadi sangat pendiam.

“Ngga apa-apa, memang kenapa?” tanyanya, menatapku dan mencubit pelan pipiku.

“Jadi pendiem aja, pagi ini aku belum dijailin.” kataku. Biasanya memang dia selalu menjahiliku, misalnya dengan tiba-tiba menggendongku ke kamar setelah makan, sampai seluruh asisten rumah tangga melihat dan tertawa oleh tingkah kami dengan aku yang berteriak tak karuan, atau menggelitikiku hingga aku minta ampun, lalu menciumku sesukanya. Tapi, hari ini tidak. Dia sangat tenang.

Ngambek pasti.

Aku mengecup tahi lalat di hidungnya yang menjadi tempat favorite-ku. “Marahnya ngomong dong, aku mana bisa sih kamu diemin?” tanyaku, melingkarkan tanganku ke lehernya, dan mendekap perutnya dengan kedua kakiku.

“Aku ngga marah kok, sayang.” si dia mengelus pinggangku dengan ibu jarinya lalu menjalar ke pahaku dengan lembut.

“Tapi aku tuh lagi mikir, kok bisa tiba-tiba ketemu Bian? Aku ketar-ketir takut kamu kenapa-napa.” suaranya masih tenang, tangannya kembali ke pipiku, mengelus rahangku dengan ibu jarinya, lembut. Mas Saka selalu selembut ini.

“Aku juga kesel kenapa kamu jadi orang kok baik banget? Dia bukan orang yang pantas kamu baikin, sayang.” dia meletakkan kepalanya di dadaku, memeluk tubuhnya semakin masuk ke dalam tubuh besarnya.

Aku tahu dia sangat kesal. Aku ambil wajahnya, ku kecupi semua sisinya tanpa tersisa, memberikan banyak sayang untuknya.

“Aku cerita, kamu dengerin ya?” tanyaku menatap manik mata elangnya, dalam. Ia mengangguk.

“Jadi, ceritanya—” kataku mengelus pelan surai belakangnya.

Aku bercerita seperti apa yang aku ceritakan kepada teman-temanku, bagaimana aku bisa bertemu dengannya, bagaimana aku bisa berbincang-bincang dengan mantan tunangan mas suami, dan hal-hal yang membuatku merasa pria itu sedang berusaha memperbaiki dirinya. Aku yakin setiap orang pasti ingin memperbaiki dirinya kan?

“Gitu.” kataku. “Dia udah minta maaf ke aku juga lho, mas. Dia mau minta maaf ke kamu, jadi, aku bilang sama Bian, nanti kita bisa double date, dia bawa pacarnya, aku bawa suami aku.” kataku lalu mengecup pipi kiri Saka.

“Kamu harus ketemu sama dia ya? Biar kamu bisa nilai sendiri sekarang Bian seperti apa. Okay?” kataku, mengecup ujung hidungnya.

“Iya, cantik. Iya, kamu atur aja ya.” jawab mas suami sembari mencubit pelan hidung bangirku.

“Tapi janji, kamu ngga akan bikin satu Putradinata jantungan lagi ya, sayang?” pinta Saka, menyingkirkan surai yang mengganggu mataku.

“Iya, maafin aku ya. Tapi yang penting kan aku di sini, baik-baik aja. Bahkan sekarang lagi sayang-sayangan sama kamu.” kataku memeluk suamiku itu dan mengecupi bahunya yang dilapisi piyama sutra berkali-kali. “Percaya sama aku ya? Percaya sama Bian juga, kalau dia mau memperbaiki dirinya.” kataku.

“Iya, cantik. Aku selalu percaya kamu. Tapi aku ngga janji ya bisa percaya Bian?” katanya, mengelus lembut kedua lenganku. “Aku tahu sekarang kamu di sini sama aku, tapi jangan sampai lengah ya, sayang. Aku ngga mau kehilangan kamu. Ngga mau, aku ngga rela.” katanya, lalu si dia mencium bahuku berkali-kali.

“Iya, aku ngga akan kemana-mana. Kan kita mau gedein Jenno sama-sama.” kataku menatap manik matanya yang tenang, raut khawatir sudah memudar di sana.

Ah iya, Jenno.

Mas suami segera membaringkanku di sofa, lalu mengukungku, tersenyum manis memamerkan kedua taringnya yang sangat aku sukai, matanya sedang mengabsen seluruh wajahku. Mengecupinya tanpa henti. “Aku mau dipanggil Daddy ya, Papa Arka.” bisiknya yang membuat bulu-bulu halus pada tubuhku berdiri.

Yes, Daddy.I’m giggling, si dia menyisir suraiku dan tak lama menginvasi bibirku, menyatukan kedua bibir kita dan saling memagut lembut, aku kembali mengalungkan tanganku di lehernya.

“Jenno udah bisa dijemput minggu depan, prosesnya udah selesai kemarin.” katanya saat tautan kamu terlepas. Aku tersenyum, aku bersumpah aku sedang sangat-sangat bahagia dan hanya pria dia atasku ini yang mampu membuatku seperti ini.

“Kita jemput sama-sama ya?” katanya menatapku, aku tahu aku akan menangis haru saat ini. Mungkin ia juga dapat melihatnya, hingga ia menutup kedua mataku dengan menciumnya. “Seneng banget ya?” tanyanya, aku hanya mampu menganggukkan kepalanya.

“Nanti kamu atur semua kebutuhan Jenno ya, Papa Jenno.” lanjutnya. “Kebutuhan aku juga jangan lupa.” bisiknya. Aku tersenyum sembari menitikkan air mataku.

Pria ini, hanya pria ini yang mampu membuatku seperti ini.

“Mas suami,” panggilku lembut. Ia menatapku sembari masih mengelus wajahku setelah menghapus butiran air mata yang terjatuh pada pipiku.

“Ya, cantik?” jawabnya.

“Aku sayang banget sama kamu, sayang banget sampe aku mau bilang ke dunia kalau aku sayang banget sama kamu. I’m about to explode for loving you.” kataku sangat yakin.

“Aku yang lebih sayang sama kamu, tapi aku udah bilang ke dunia kalau aku sangat sangat sangat sangat menyayangi kamu.” balasnya, tatapan matanya yang hangat, ucapannya yang tulus, sentuhannya yang lembut, cintanya yang meledak-ledak.

Tuhan, aku menyayangi pria ini. Sangat mencintainya. Kemarin, hari ini, besok, dan selamanya, aku ingin selalu bersamanya.

Pria tampan itu membawa tubuhku kembali ke lahunannya, menarik tengkukku untuk mendekat ke wajahnya, menyatukan bilah bibir kami untuk kembali saling memagut. Tangannya yang mulai memasuki kemeja putih kebesaran miliknya yang kugunakan dan mengelus lembut punggungku, meremat pinggangku, dengan ciuman yang sudah mulai menuntut.

Untuk selamanya, Tuhan. Aku siap melayaninya, hanya Nisaka Mingyu Putradinata.