Arka’s Here, Nisaka
Arka sampai di rumah sakit bersama dengan ketiga sahabatnya, wajah pucat dan air mata yang akhirnya keluar terus menerus, membuat ketiga sahabatnya merasakan pilu yang ia rasakan. Sesuai dengan chat Kenzie kepada kakak kandung Arka yang sekaligus adalah sahabat Saka, mereka langsung naik ke lantai 5 rumah sakit tersebut.
Keluar lift, mereka dihadapkan oleh 1 lantai yang hanya ada tempat di mana dokter dan perawat berjaga, 2 pintu rawat inap, 1 pintu ruang obat, dan 1 pintu tangga darurat.
“Maaf, ingin menjenguk siapa?” tanya salah satu perawat yang ada di sana mencegat mereka, Arka dengan lunglai melepaskan lanyard yang sedari tadi ia kalungkan di lehernya, kemudian seperti tahu apa yang diserahkan Arka, perawat itu mempersilahkan keempat sahabat itu masuk dan menunjukkan tempat yang akan mereka tuju.
Tulisan 5A terpampang besar di sebelah pintu otomatis kaca yang terbuka akibat sensor saat mereka berempat ada di depan pintu itu, semua orang yang sedang duduk dan sibuk dengan ponsel masing-masing, bahkan ada yang bertelepon segera memandang ke arah pintu itu seakan menunggu seseorang datang. Dhika melihat sesosok pria yang sangat ia kenal, pria yang tadinya sedang bertukar pesan dengan suaminya itupun segera bergerak cepat ke arah pintu kaca, memeluk adiknya, air mata semakin terjatuh di pipi sang adik yang sangat ia sayangi.
Dhika hanya dapat merasakan kemejanya basah dengan Saka yang menangis tanpa suara. “Ngga apa-apa, dek. Sakanya ada di dalem nungguin kamu, masuk gih!” kata Dhika, mengelus punggung adiknya yang kini hanya menggunakan kemeja panjang dengan keadaan yang berantakan. Arka mengangguk, sebelum ia melangkahkan kakinya, pria paruh baya menghampirinya, ayah dari Saka.
“Sebelum kamu masuk, saya mau memberitahukan sesuatu ya, Arka.” kata pria itu, Arka menganggukkan kepalanya, mencoba siap dengan kabar yang akan ia terima.
“Saka saat ini masih di bawah pengaruh obat, luka yang dia alami tidak terlalu parah, cedera leher, namun, lehernya sudah menggunakan cervical collar, tulang rusuknya tidak ada yang patah, semua masih di cek oleh pihak dokter. Tolong segera beritahukan saya atau dokter bila Saka mengeluh sakit, agar dapat segera kita tangani.” jelas atasan ayahnya yang juga adalah papa dr kekasihnya, Arka hanya mampu mengangguk lemah.
“Tadi, dia sempat mengigau nama kamu, mungkin kamu harus segera masuk. Untuk pekerjaan, jangan khawatirkan ya, tolong jaga saja Saka hingga ia bisa ditinggal. Saya percayakan pada kamu.” kata Bumi, menepuk pelan pundak Arka. Lagi-lagi Arka hanya mengangguk.
“Untuk pelakunya, tidak sampai 24 jam, mereka akan merasakan akibatnya, kamu jangan khawatir. Fokus saja pada Saka saat ini.” Lanjut Bumi.
“Baik, Pak.” kata Arka dengan suara lirihnya, Bumi membukakannya pintu kamar rawat inap milik Saka yang membuat semua orang yang ada di ruangan tercengang saat melihat pemandangan itu. Mungkin, mereka berfikir, kapan lagi dibukakan pintu oleh seorang Aditya Bumi?
Arka bejalan gontai memasuki ruangan yang sangat mewah seperti kamar hotel itu, dengan seorang pria berbadan besar yang terkulai lesu di tempat tidur rumah sakit, berhiaskan selangan infus di tangan kirinya, dengan selang oksigen yang berada di kedua lubang hidungnya, kepalanya yang terbalut kasa putih, leher dengan penyangga, semua itu pasti sangat tidak nyaman bagi Saka. Pria manis itu memperhatikan semua selang yang ada ditubuh Saka, menggenggam tangan kanan pria-nya dengan erat dan kembali menangis, kali ini dengan isakan tangis yang tidak ditahan lagi, air matanya terus mengalir dengan sedikit rengekan meminta pria bermanik elang itu untuk membuka matanya.
“Mas, kamu — hiks — kok bisa — hiks — gini?” tanyanya, mengelus tangan Saka dan menciumi punggung tangannya.
Saka masih terdiam, dia bahkan tidak melakukan pergerakan apapun. Pria manis yang sudah duduk dengan setia di sampingnya itu hanya bisa menangis.
Malam semakin larut, satu persatu teman Saka dan Arka izin untuk pulang, sedangkan Arka masih setia di tempatnya duduk, beberapa kali tertidur karena lelah menangis, tapi tak lama terbangun dan tetap nihil, Saka masih tertidur.
Sudah 2 hari dan Arka masih sabar menunggu Saka sadar, sedangkan Bumi, Jeonny dan yang lain sedang mengatur strategy untuk membalaskan dendam karena apa yang sudah menimpa Saka.
Arka sedang berada di kamar mandi membasahi handuk kecil dengan air hangat saat pria yang berada di atas tempat tidur rumah sakit itu menggerakkan jari-jemarinya. Pria manis itu keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di sebelah tempat tidur Saka, dengan lembut ia membersihkan tangan dan jari-jemari Saka, hingga pria yang tertidur 2 hari itu menggerakkan jarinya lagi.
“Mas? Mas? Denger aku?” Arka terkejut, berdiri dari duduknya, menekan tombol merah di sebelah nakas Saka dan bertanya padanya.
Perlahan pria itu membuka matanya, disusul dengan beberapa dokter dan perawat yang segera masuk. Dokter segera memeriksa keadaannya, dan beberapa orang di luar yang menunggu ikut berhambur masuk, ada Andrian, Jeonny, Dyah, Arya, Joya, Karin dan ayah Saka, Bumi. Jeonny segera merengkuh tubuh anaknya yang kembali menangis dan Bumi berdiri di sebelahnya. Ketiga wanita yang dekat dengan Saka itu juga menangis.
Setelah Dokter utama itu memeriksa keadaan Saka, pria dengan snelli putih itu menghampiri Bumi, dan yang lainnya.
“Saat ini kondisi Tuan Muda masih dalam keadaan shock post kecelakaan, tapi, sudah bisa diajak berbicara walaupun suaranya masih sangat kecil, pupilnya normal, nafasnya perlahan membaik, namun, kami akan tetap menggunakan selang oksigen untuk beberapa hari ke depan. Untuk luka dalam yang kami khawatirkan, akan kita periksa secara berkala. Jadi, bila pasien merasakan perih atau nyeri segera beritahukan dokter atau perawat yang berjaga ya.” jelas sang dokter. Orang-orang yang berada di ruangan itu mengangguk tanda mengerti.
“Ka, Arka—” suara lirih yang datang dari tempat tidur memanggil nama kekasihnya, pria yang dipanggil namanya segera berlari menghampiri sumber suara.
“Di sini, Mas. Aku di sini.” Arka menggenggam erat tangan itu, dengan air mata yang masih mengalir, Saka mengembangkan senyumnya dengan bibir yang pucat, dengan luka di sudutnya dan membalas genggaman Arka.
“Kamu — sehat?” tanya pria itu. Bukan, bukan itu yang ingin Arka dengar, Arka semakin tak mampu menahan air matanya, ia menangis sesenggukan, menutup wajahnya di sela tangan dan tubuh Saka.
Pria yang sedang terbujur lemah itu tersenyum, mengelus lembut surai hitam pria yang menangis semakin menjadi itu.
“Hei, aku nanya.” kata pria itu, suaranya masih lirih, dan Arka hanya mampu menggelengkan kepalanya. “Mana coba aku mau liat muka kamu, kangen.” lanjutnya dengan tersenyum melihat tingkah laku sang kekasih, memegang rahang dan pipi Arka mengangkatnya perlahan, Arka menurutinya.
“Hehe, jelek ih nangis gini.” katanya tersenyum sembari menghapus air mata pria di hadapannya. Arka masih terdiam. “Jangan nangis lagi atuh, aku belum bisa bawa kamu jalan-jalan.” lanjutnya, mengelus lengan Arka lembut.
“Takut, mas.” masih sesenggukan, Arka akhirnya membuka suara.
“Takut apa?” tanya Saka pelan.
“Takut kamu ninggalin aku.” Arka menangis semakin menjadi, membayangkannya saja ia tak sanggup. Saka tersenyum dan membawa tubuh Arka ke dalam pelukannya pelan, membiarkan wajah itu tenggelam di dada bidangnya.
“Aku ngga akan ninggalin kamu.” kata Saka. “Dapetin kamu tuh susah, Arka. Masa aku tinggalin.” katanya lagi, mengelus punggung pria yang ada di pelukannya.
“Udah dong, sayang, jangan nangis. Akunya sedih.” kata Saka lirih sembari mengelus lengan Arka, tanpa disadari ia-pun menitikkan air mata dari ujung matanya. Sedih rasanya, melihat pria yang ia sayangi menangis seperti ini. Arka melepas pelukannya, dan melihat Saka menitikkan air mata, pria manis berkacamata dengan frame tipis itupun terkejut.
“Kamu kok ikutan nangis?” tanya Arka sembari mengelap asal wajahnya yang basah.
“Kamu nangis terus sih. Udah ya?” kata Saka, Arka segera mengelap air mata Saka dan mengangguk cepat. “Gitu dong, jangan nangis lagi. Jelek.” goda Saka. “Aku haus, yang.” kata Saka akhirnya. Arka segera beranjak dari duduknya.
“Pusing ngga kalau kasurnya aku bikin posisi duduk?” tanya Arka, sembari menekan tombol yang ada di tempat tidur rumah sakit itu, perlahan.
“Ngga kok.” kata Saka. Setelah memposisikan duduknya, Arka segera mengambil air untuk Saka.
“Perut kamu ada yang sakit? Ada yang sakit ngga di tempat lain? Di mana?” tanya Arka.
“Ngga sayang, cuma pusing aja sedikit.” kata Saka.
“Aku panggil dokter ya!” kata Arka.
“Tidur, aku cuma butuh tidur dinyanyiin kamu.” kata Saka, Arka tersenyum, duduk di sis ranjang Saka, mengelus jidat pria yang di baluk kain kain putih itu dan menyanyikan lagu tidur yang dulu sering ibunya nyanyikan saat Arka tak bisa tertidur.
Sedangkan di luar kamar Saka, Bumi, Jeonny, Andrian, Karina, Joya, Dyah dan Arya kembali membicarakan dan memasang strategy untuk menjatuhkan Bintoro dan Yuna.
“Dyah dan Jeonny, seperti biasa handling media. Joya, press release tolong share ke Dyah dan Jeonny.” kata Bumi.
“Om, tadi An dapet kabar kalau mereka bertiga mencoba buat pergi ke luar negeri.” kata Andrian setelah melihat layar pada ponselnya.
“Surat imigrasi mereka akan di decline di negara tujuan, nanti juga dibalikin lagi, ke US kan?” tanya Bumi tenang, Andrian mengangguk. “Gampang ke tebak!” lanjutnya. Bumi segera menghubungi teman kuliahnya yang merupakan kepala polisi di salah satu daerah di Amerika.
“Urusan mereka kabur, done.” kata Bumi.
“Lucky yang rusakin mobil Andrian gimana?” tanya Bumi.
“Tim David 2 sudah menangkapnya, sekarang sedang di introgasi di kantor polisi dan beberapa barang sudah disita.” jawab Jeonny. “Ternyata dia pacar Bian.” lanjutnya.
“Ha?” Joya, Karina, Dyah dan Arya tentu terbengong mendengar kabar ini, sedangkan Andrian yang sudah mengetahuinya hanya tersenyum kecut.
“Bapak sama anak sama-sama sakit jiwa!” kata Joya.
“Gue ngga tau Om kenapa lo jodohin mereka in the first place, cowo obsessive yang mengira bahwa dunia cuma muter buat dia doang.” Karina mengangkat suaranya.
“Bintoro itu teman kuliah Yuna, mungkin saya hanya termakan rayuan Yuna saat itu, setelah mengcek sebelum adanya kerja sama, perusahaan dia itu clear, yakan Jeon?” tanya Bumi, Jeonny, pria paruh baya yang ditanya hanya mengangguk.
“Kakek kalian yang minta adanya perjodohan, dan lihat kita semua gagal.” kata Bumi lagi, menunjuk dirinya dan Andrian yang gagal dalam pernikahan.
“Kecuali, Mas Dimas. He’s professional to maintain his relationship with his girlfriend and wife.” jawab Karina tenang, sedangkan Bumi, Dyah, Jeonny dan Arya bengong mendengar pernyataan wanita cantik itu. “Mmmm, never mind.” Karina tertawa hambar, meminta yang lainnya untuk tidak memperdulikan perkataannya.
“Oke, lanjut. Jadi gimana, Om?” kata Andrian memecah suasana.
“KPK akan mengadakan penggeledahan aset untuk Bintoro dan kantor pajak akan memeriksa pajak seluruh perusahaannya.” lanjut Jeonny setelah mendapatkan update dari e-mail.
“Dari sini, kita bisa beberkan semua ke media. Besok, ini harus heboh. Semua media tv, digital dan menyusul cetak, harus menjadikan ini sebagai headline mereka.” kata Bumi. “Dan Jeonny, foto Yuna dan Bintoro segera sebar, jangan sampai ada yang terlewat.” lanjutnya, pria yang dipanggil mengangguk dan membuka amplop cokelat. Ia menggabungkan semua bukti dan kebutuhan berkas untuk malam ini.
“Kalau gitu, semua beres untuk saat ini. Andrian, kamu urus Bian dan Lucky. Sisanya biar Jeonny serta Om yang urus.” kata Bumi. “Dyah dan Arya, saya tidak menyangka kalau kalian anak dari salah satu teman saya di DPR, hahaha. Mari kita berhubungan baik. Terima kasih selama ini sudah menjaga Saka dan Arka.” kata Bumi lagi, berdiri dan menepuk bahu kedua anak muda itu, meninggalkan ruang tunggu kamar VVIP di rumah sakit tersebut.
Pria berumur 60 tahun membuka pintu menemukan Saka yang sudah tertidur pulas dan Arka yang masih setia di sampingnya, pria manis yang tampak berantakan itu segera berdiri, menyapa ayah dari kekasihnya.
“Sudah, bersih-bersih dulu. Tadi, Jeonny membawakan kamu baju. Jangan khawatir, anak om kuat. Tampaknya tidak ada komplikasi, tapi tolong segera laporkan bila ada yang aneh.” ucap Bumi dengan nada berbisik. “Kamu tidak apa-apakan untuk menjaga Saka?” tanya Bumi, Arka menggeleng kuat.
“Biar saya yang jaga, Pak.” pinta Arka, Bumi mengangguk tanda setuju, menepuk lengan Arka, mencoba memberinya kekuatan.
Akhirnya, semua orang pulang kecuali Arya, yang bertugas menjaga Arka, seperti membelikannya makan, atau apapun yang kedua kekasih itu butuhkan, sebelum yang lainnya datang untuk berjaga, menggantikannya.