Closure
tw: implisit content. Last narration for Falling Fallen. Enjoy.
“Bian, aku udah di Ecolog— Oh, I see you.” kataku menutup sambungannya, masih kugandeng mas suami yang sedari tadi enggan berangkat karena tidak ingin bertemu lagi dengan pria yang bernama Bian.
Aku berjalan menghampiri meja yang sudah diduduki oleh 2 orang pria yang salah satunya adalah Bian dan yang satunya lagi aku yakini, di sebelahnya adalah pacar Bian yang berprofesi sebagai lawyer.
“Hai, Kak Arka! Kak Saka!” sapanya dengan nada ceria, priaku hanya tersenyum berusaha untuk menerima kenyataan bahwa aku memintanya untuk memaafkan pria itu.
“Hai, Bian. Ini ya Bang Yuta yang sering kamu ceritain?” tanyaku menatap pria yang menggunakan kemeja putih pajang dengan lengan yang dilipat hingga sikunya.
“Yuta.” pria itu mengulurkan tangannya yang aku sambut hangat.
“Arka, ini suami aku, Saka. Mas?” kataku memintanya untuk menjabat tangan kekasih Bian itu. Saka menurutiku dan menyebutkan namanya lembut, menjabat hangat tangan pria itu.
“Duduk, kak.” kata Bian masih berusaha tersenyum, ada mimik canggung di sana, sesekali menatap Saka. Aku tahu, dia segan bertemu dengan mas suami karena perasaan bersalahnya.
Kami memesan beberapa menu dan memakannya dengan tenang, sesekali menceritakan kegiatan yang kami lakukan, aku cerita tentang keberadaan Jenno, Bian menceritakan kehidupan barunya, dan Yuta pun bercerita ini itu. Sedangkan, Saka masih terdiam, menjadi pendengar setia dan sesekali tersenyum menatapku. Si dia, selalu seperti itu, matanya yang berbinar ketika melihatku, aku tak sanggup lagi menjelaskannya.
Tak lama, meja kami kembali hening, Bian memulai mengikis kekosongannya, “Kak Saka, aku mau minta maaf atas semua tindakan aku sebelum ini. Aku sangat menyesal.” Bian mengucapnya dengan nada yang tulus, aku tahu itu.
“Aku ngga bisa janji untuk jadi orang yang bisa sebaik dan selapang Kak Arka, tapi aku mencoba untuk lebih baik lagi, Yuta sangat membantu ku.” lanjutnya. “Aku—” kalimatnya terputus.
Mas suami menggenggam tanganku. “Sudah lewat, Bian. Aku berharap kamu belajar dari semua apa yang sudah kita alami, dan sudah kamu perbuat—” kalimatnya menggantung, ia menarik nafasnya. “Kakak sangat bahagia kamu bisa menemukan pria yang bisa menerima kamu apa adanya. Kakak juga harus minta maaf dengan apa yang sudah terjadi antara kita, aku sudah bahagia sekarang, dan aku harap Bian juga bisa bahagia dengan kehidupan baru kamu. Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu, Bian.” tuntasnya, Saka mengucapkan segala unek-unek di dalam hatinya, ia lega karena kudengar hembusan nafas tenang di sana.
Bian tersenyum mendengar kalimat Saka hingga ia menitikkan air matanya, aku tahu betapa lega hatinya mendengar apa yang selama ini ingin ia dengar. Mas Suami, pria terlapang dada yang menjadi manusia favorite-ku. Manusia yang akan aku sayangi hingga nafas terakhirku.
Ia mengecupi punggung tanganku yang ia genggam, sedangkan Yuta mengelus punggung Bian lembut.
Closure itu yang Bian butuhkan, menyampaikan pesan yang tertahan untuk mantan tunangannya, itulah yang mas suami-ku butuhkan. Hari ini, sekali lagi aku merasa sangat bahagia karena Mas Saka bisa menyudahi rasa dendamnya, dan Bian bisa melanjutkan hidupnya tanpa terbebani rasa bersalah.
Kita semua harus bahagia, bukan hanya aku dan mas suami, tapi Bian dan kehidupan barunya.
“Terima kasih banyak, Kak Saka, Kak Arka. Terima kasih.” pria itu masih menangis, suara nadanya tampak sangat lega dan aku senang mendengarnya. Hatiku menghangat.
“Iya, Bian ngga usah nangis lagi yaaa. Ini terakhir.” kataku, mengelus lembut tangan pria yang berada di hadapanku.
Setelah itu, kami berbincang hangat, sudah ku lihat kenyamanan di mata mas suami, ia sudah mulai bercerita ini itu, Bian juga tidak menangis lagi dan mulai bercerita tentang keinginan, serta cita-citanya. Sama halnya denganku, akupun banyak bercerita tentang Jenno dan hal lainnya, yang terkadang hanya sebuah TMI.
Kami bertiga, akhirnya menemukan pintu untuk berjalan keluar, mencari kebahagiaan dengan cara kami, yaitu, bergandengan tangan dengan pria yang berada di sebelah kami.
“Jenno masih di eyang?” tanya mas suami saat kami sudah berada di rumah.
“Masih.” kataku yang sedang membuka cardigan dan meletakkannya di keranjang baju kotor, begitupun Saka yang sudah membuka polo shirt hitamnya, memamerkan seluruh tubuhnya yang kekar dan berwarna tan. Hal biasa untukku melihat pemandangan ini, indah.
“Seneng?” tanya pria itu, menghampiriku, memeluk tubuhku dari belakang.
“Banget, kamu seneng?” tanyaku padanya yang mengecupi tengkuk dan bahuku acak.
“Lega. Karena masalah dengan Bian selesai pada akhirnya.” jawabnya, memutar tubuhku untuk menghadapnya, mengambil kedua tanganku untuk melingkar di lehernya.
“Terima kasih ya, sudah berani. Berani memaafkan dan kembali percaya.” kataku, mengelus rahangnya lembut dengan ibu jariku dan mengelus surainya.
“Terima kasih juga, karena kamu selalu di sana meyakinkan aku.” ucapnya, mengecup hidung bangirku dan memeluk tubuhku erat.
“Aku akan selalu di manapun kamu berada, mas suami.” kataku, mengelus punggung kekarnya. “Selalu.”
“Aku tahu, karena aku juga.” katanya mengecupi perpotongan leherku dan menghirup wangi tubuhku. Kebiasaannya yang lain.
Manik elang di hadapanku itu kini sudah menatap ke dalam manik mataku, tersenyum, memamerkan gigi taringnya yang menggemaskan. Ku majukan wajahku dan mengecup lembut bibirnya, mas suami membalasnya dan kami menyatukan bibir kami, memagutnya seperti tidak ada hari esok.
Bibir ini, bibir yang akan selalu aku kecupi tanpa rasa bosan.
Saka membuka t-shirt putih yang tersisa pada tubuhku, menggendongnya ke atas tempat tidur dan membawaku ke dalam kungkungannya.
Hari ini dan selamanya, biarkan kami selalu seperti ini, Tuhan. Aku hanya ingin pria ini yang menyentuhku setiap incinya.
“I love you, Arkadia Wonwoo Putradinata. Selalu.” katanya sembari menjamah seluruh tubuhku yang mulai menggeliat di bawahnya. Mengabsen seluruh sisi tubuhku hingga tak ada yang terlewat. Mengecupinya dan memberi tanda seakan tak ada yang bisa menyentuhku selain dirinya.
“I love you too — nghh — Nisaka Mingyu Putradinata. Always, selamanya.” jawabku dengan lenguhan yang terlepas.
Aku tak akan pernah bosan, untuk mengucapkan pada mas suami setiap detik bahwa aku sangat mencintainya. Aku sangat menyayanginya.