CONFESSION
a lil bit harsh word, fluff maybe.
“Chan, pake baju gini normalkan?” tanya Seokmin menghalangi pandang Chan yang sedang menonton ulang The Suicide Squad dengan tubuh rampingnya.
“Minggir! Gue lagi nonton Harley Quinn anjir, bang!” dumelnya dengan badan yang ke kanan dan ke kiri mencari celah agar tetap bisa melihat televisi.
“Sumpah, bentar doang! Liatin!” pinta Seokmin.
“Anjing! Ngapain pake kemeja? Lo kaya mau ngelamar kerjaan!” kata Chan yang terkejut melihat sekomin berpakaian rapih dengan kemeja panjang hitam polkadot yang sudah digulung hingga siku dan celana bahan berwarna mocha. “Biasa aja, bang. Be yourself kata gue juga. Paka kaos, flannel sama celana jeans, bawa makanan. Kaya jenguk orang sakit aja.” kata Chan masih sibuk dengan tontonannya.
“Tapikan ini konteksnya ngga jenguk, tapi mau nembak orang sakit.” jawab Seokmin.
“Ganti baju lo! Malu-maluin gue.” usir Chan, Seokmin menurutinya dan kembali naik tangga, masuk ke kamarnya.
“Kenapa heboh?” tanya Jihoon.
“Masa si Bang Seokmin mau nembak orang kaya ngelamar kerjaan, aneh banget.” kata Chan masih fokus pada layar TV-nya.
Tak lama Seokmin turun dengan white t-shirt, luaran flannel dan celana jeans hitamnya.
“Nah, kan gini enak gue liatnya, kaya mau ngapel.” sahut Chan ketika melihat Seokmin turun dengan gaya berpakaian sehari-harinya dan sudah wangi.
“Good luck, bro! Semoga pecah telor, yes!” kata Jihoon melihat ke arah temannya itu.
“Pasti diterima, kalau ngga terima langsung telepon gue, nanti gue jemput.” kata Chan mengangkat ponselnya, menandakan bahwa dia siap stand by 24 jam untuk sahabat abang serta teman tongkrongannya itu.
“Lo ngga chat dulu Hannya?” tanya Jihoon.
“Ngga usah, langsung dateng aja biar kesannya surprise, sambil bawain martabak favorite.” kata Chan.
“Berangkat nih gue?” tanya Seokmin.
“Berangkat gih! Udah mau malem, ngga sopan jenguk orang sakit di atas jam 7! Gih!” usir Chan.
“Gih! Bener tuh kata Chan.” sahut Jihoon. Seokminpun segera melangkahkan kakinya keluar rumah kontrakannya, ke tempat parkir dan membawa motor vespa menuju ke rumah pria idamannya.
Vespa kebanggaan Seokmin sudah berada di rumah minimalis dengan pagar warna hitam itu, pria itu merapalkan kalimat-kalimat do'a untuk memperlancar tujuannya ke sini, selain menjenguk yang sakit — tentunya.
“Joshi, gue di bawah — iya — anaknya udah tidur — oh belum? Yaudah ini gimana? Oh okay.” katanya.
Tak lama pria yang dihubungi oleh Seokmin keluar membawa serentetan kunci di tangannya, membuka pintu pagar rumahnya.
“Masukin aja motornya.” kata Joshua, sedikit membuka garasinya agar motor lebar Seokmin bisa masuk.
“Orangnya di kamar, lagi main handphone.” kata Joshua.
“Udah makan tapi?” tanya Seokmin memberikan bungkusan martabak yang dia beli, dari abang gerobak dengan rasa martabak kesukaan Jeonghan.
“Udah makan, udah minum obat juga sih. Lo tuh mati?” tanya Joshua.
“Ini gue hidup gini!” kata Seokmin.
“Ngga, maksud gue abis chat semalem, pagi ini kata Han lo ngga chat dia lagi.” kata Joshua, berjalan lebih dulu masuk ke rumahnya yang diikuti Seokmin.
“Gue baru bangun tadi jam 4, terus ya siap-siap.” katanya.
“Masuk aja ke kamarnya, gue lagi nonton di bawah. Nanti, martabaknya gue bawa ke atas.” kata Joshua meninggalkan Seokmin ke dapur untuk menata martabak manis itu ke piring.
Seokmin dengan perlahan menaiki tangga, melangkahkan kakinya ke kamar Jeonghan yang baru dia ketahui kemarin saat mengantar Jeonghan dari rumah sakit. Pria ramping itu membeku di depan kamar yang tertutup itu.
“Josh?” tanya pria dari dalam pintu kamarnya.
“Josh, ih jangan bercanda gue kebelet!” lanjutnya dengan berteriak, Seokmin yang mendengarnya segera membuka pintu.
“Heh?” pria di tempat tidur itu terkejut ketika melihat sosok pria yang sebenarnya dia cari keberadaannya sedari pagi. Semalam pembicaraan mereka hanya sampai kata 'Ya......' yang membuat pria berambut blonde itu kesal tidak karuan.
“Gue bantuin.” kata Seokmin segera menghampir pria itu, Jeonghan, memberinya kruk yang ada disebelah dan membantunya berdiri.
“Kapan sampe?” tanya Jeonghan ketika Seokmin sedang memapahnya ke kamar mandi.
“Baru banget. Joshua di bawah, ini lo kebelet pipis kan?” tanya Seokmin, yang dijawab anggukan malu oleh pria yang sedang sakit itu.
Setelah selesai membuang air kecilnya, Jeonghan dan Seokmin kini sudah duduk di balkon kamar Jeonghan yang menghadap rumah tetangganya.
“Kok lo ngga nge-chat gue?” tanya Jeonghan, memecah kesunyian di antara mereka, karena sedari tadi Seokmin sedang gugup, membuatnya menjadi sangat pendiam saat ini.
“Gue bangun kesorean, sorry ya!” kata Seokmin. “Tapikan gue di sini sekarang.” lanjutnya, Jeonghan hanya menatap ke arah Seokmin dan mengangguk.
“Lo gimana? Udah enakan? Badannya ngga sakit?” tanya Seokmin, membulak-balikkan badan Jeonghan dengan refleks.
“Ngga, cuma jaitannya aja yang gatel, Seok.” rengek Jeonghan, memegang betisnya.
“Sabar ya, minggu depan dibuka jaitannya. Lagian siapa suruh sih di panggung.” kata Seokmin.
“Ya gue kan ngga tau kalau bakalan ada lampu jatoh.” kata Jeonghan sembari mengerucutkan bibirnya.
“Iya, maksud gue tuh next-nya lo lebih hati-hati gitu, jadi ngga bikin orang panik.” kata Seokmin.
“Makasih ya, kemarin udah jadi orang yang paling panik di antara yang lain, walaupun itu aneh.” kata Jeonghan tersenyum.
“Masih berasa aneh ya?” tanya Seokmin yang dibalas anggukan oleh Jeonghan. “Ngga tau kenapa bisa gitu, gue khawatir aja lo kenapa-napa. Salah gue soalnya, bisa-bisanya lampu jatoh.” lanjutnya.
“Padahal, kayaknya gue udah teliti banget ngurus panggung.” kata Seokmin.
“Ih, udah. Ini gue ngga apa-apa kok, untungnya cuma kena betis sama memar dibeberapa bagian aja.” jawab Jeonghan, berusaha menenangkan Seokmin dengan rasa bersalahnya.
“Harusnya gue jagain lo tau.” kata Seokmin. Tubuh Jeonghan menegang mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria yang belakangan ini tak pernah absen memberinya perhatian itu.
“Harusnya, gue aja yang ketimpa lampu—” lanjut Seokmin namun terpotong, refleks telapak tangan Jeonghan membekap mulutnya pria yang periang itu. Seokmin membelalakkan matanya, terkejut.
“Diem!” kata Jeonghan. “Gue ngga mati gara-gara ketimpa lampu, Seokmin. Kaki gue doang luka, kalau dibuka jaitannya juga gue bisa lari lagi.” omelnya.
“Gue usir kalau lo masih nyeselin kejadian yang udah-udah.” kata Jeonghan, melepaskan tangannya setelah melihat anggukan dari Seokmin.
Tak lama Joshua datang membawa sepiring martabak dan teh manis hangat sebagai pelengkap, kembaran Jeonghan itu juga ikut mengobrol sebentar, kemudian berpamitan karena ingin berteleponan dengan pacarnya, hari ini mereka tidak bisa bertemu katanya.
“Good luck.” bisik Joshua ke telinga Jeonghan.
Keheningan dan kecanggungan di antara mereka hadir kembali, seperti mereka memang sedang memikirkan apa yang harus mereka lakukan sekarang dan apa yang harus mereka katakan kepada orang yang kini berada di samping mereka.
'Gas?' tanya Seokmin dalam hati.
'Duluan aja?' kata Jeonghan menimbang-nimbang.
“Han.” panggil Seokmin. “Min.” panggil mereka secara bersamaan, dan mereka tertawa bersama.
“Gue duluan aja ya.” kata Seokmin, kali ini dia terlihat tidak ragu. Jeonghan tersenyum manis dan memberikan gestur tangannya untuk mempersilahkan Seokmin untuk berbicara terlebih dahulu, Seokmin gugup.
Hinalah Seokmin sepuasnya, karena ini adalah kali pertama dia akan mengungkapkan perasaannya kepada seorang yang ia sukai, si Jomblo yang hidup melajang setelah putus dengan tali pusar. Begitupun dengan Jeonghan yang terakhir putus dengan customer service salah satu e-commerce karena kehabisan pulsa telepon. Mereka berdua tidak pernah tahu rasanya mengungkapkan perasaan masing-masing kepada orang yang mereka sayang bisa semenegangkan ini.
“Tapi, gue ngga pinter ngomong manis.” lanjutnya, Jeonghan tertawa puas sembari menutup mulutnya.
“Gue ngga mau diabetes gara-gara mulut manis lo, Min.” jawabnya masih di sela tawa. What the eefff, cantik banget lagi gue grogi, bangsat!' gumam Seokmin ketika melihat kakak tingkatnya itu tersenyum.
“Kalau gitu gue to the point aja ya?” kata Seokmin. “Kalau lo bingung, lo boleh nanya.” lanjutnya, Jeonghan mengangguk. 'Anjay, gue kaya lagi presentasi.' rutuknya dalam hati.
“Kalau lo jadi cowok gue, menurut lo gimana?” tanya Seokmin, literally to the point. Jeonghan terkejut karena tidak menyangka kalimat Seokmin akan se-to the point itu dan akan terjadi hari ini, di mana kini hanya jantungnya saja yang bisa loncat bahagia, namun tidak dengan kakinya. Jeonghan terdiam.
“Ngga semua pertanyaan harus lo jawab sih. Senyamannya aja, gue ngga niat nuntut apa-apa kok.” Kata Seokmin dengan gestur tangannya yang ribut dan ikut panik karena melihat Jeonghan yang tiba-tiba membeku. “Gue cuma nanya, serius, biar gue juga lega, soalnya beberapa bulan ini kaya ada yang nyangkut.” Lanjutnya ketika masih melihat pria di hadapannya terdiam.
“Ngga nyaman sama pertanyaan gue ya?” Tanya Seokmin beberapa saat kemudian, setelah jantungnya lebih tenang.
“Gue kaget.” Kata Jeonghan. “Gue ngga tau rasanya diajak pacaran tuh gimana.” Lanjutnya.
“Jadi gini?” Tanyanya pada dirinya sendiri, dengan suara cicitan yg masih terdengar oleh Seokmin.
“Harusnya ngga gini sih, lo sial aja gue yang confess. Kalau Mingyu mungkin udah di bawa ke pantai, kalau Bang Cheol mungkin lo at least di bawa ke restoran fancy, kalau Hansol, lo pasti di ajak keliling Jakarta dulu. Kalau Soonyoung ke abang skot—” kalimatnya tergantung karena kaget merasakan bibir kenyal Jeonghan mengecup pipinya.
“Kok dicium?” Tanya Seokmin.
“Karena lo berisik!” Jawab Jeonghan, pria manis berkulit sedikit lebih gelap itu menautkan kedua alisnya, bingung dan bertanya, arti kecupan tadi.
“Lo ngga perlu jadi orang lain, Seokmin. Be your self, gue suka sama lo yang apa adanya kok. Biarin aja anak-anak yang lain punya cara mereka sendiri. Lagian, lo juga ngga mungkin kan ngajakin gue yang lagi kaya gini?” Tunjuk Jeonghan pada perban putih yang meliliti betisnya. Ah, iya sejenak Seokmin lupa kalau dia sedang menjenguk orang sakit yang dia sayangi, namun dia harus bilang perasaannya pada pria cantik ini sebelum nanti dia menyesal.
Seokmin tersenyum, pria ramping itu tau kalau kecupan dipipi bukanlah jawabannya, Jeonghan hanya ingin menutup mulutnya. “Jadi?” Tanya Seokmin, sekaligus meyakinkan dirinya.
“Gue ngga perlu mikir sih, mau dijawab sekarang aja?” Tanya Jeonghan, jahil. Seokmin menganggukkan kepalanya ribut. “Katanya lo ngga butuh jawaban?” Jenghan kembali menjahili pria yang sudah penasaran di hadapannya. Ah, iya Seokmin lupa lagi, kalau dia memang berencana mengungkapkan perasaannya, tanpa minta balasan.
“Iya ya?” Tanya Seokmin, Jeonghan tertawa puas.
“Bercanda, Omin.” Jawab Jeonghan.
'Omin?' tanya Seokmin dalam hati.
“Mulai hari ini lo, gue panggil Omin. That's a pet name.” Lanjut Jeonghan. Seokmin masih bingung.
“Ih, kaya Mingyu manggil Kitten ke Wonwoo.” Sambungnya, Seokmin masih bingung namun tetap memberikan gestur bibir bulatnya, mengatakan 'Oh' tanpa suara.
“Start from now, you can call me Hannie? Honey? Choose! I like Hannie the most.” kata Jeonghan, Seokmin semakin bingung. Pria ini tidak pandai dalam hal seperti ini, jadi ini bagaimana?
“Gue bingung, Han.” Seokmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sembari cengengesan. Serius, dia masih bingung, lagi-lagi Jeonghan pria cantik namun dingin itu dibuat tertawa.
“Mau. Gue mau jadi cowok lo. Astaga, Omin kenapa gemes banget?” Tanya Jeonghan.
“Eh serius?” Tanya Seokmin.
“Hehe.” Jeonghan tersenyum puas sembari mengangguk.