D-DAY


harsh words, hospital, PDA

Sejak kemarin malam Seungcheol dan teman-temannya sudah berada di Gelora Bung Karno, untuk mempersiapkan konser UNTARVOLUTION 2021 yang akan dimulai beberapa jam lagi. Memastikan semuanya sudah siap, agar acara berjalan lancar dan kerja teras mereka selama 6 bulan tidak menjadi sia-sia.

Semua panitia sudah bersiap di posisi mereka, sebelumnya mereka berdoa bersama demi kelancaran acara ini bersama.

Seungcheol bersama pacarnya, Jisoo memeriksa keadaan dengan berkeliling setengah jam sebelum loket dibuka. Jeonghan, Jihoon dan Seungkwan memutuskan untuk berpencar ke stage A — sebagai mainstage — dan stage B, sama halnya, mereka juga memastikan keadaan di sana dan membantu banyak panitia lainnya. Ya, tempat itu paling banyak yang membutuhkan sukarelawan karena titik temu acara ada di sana. Backstage, di sana Wonwoo untuk briefing MC yang akan berada di mainstage untuk meramaikan acara tersebut. Sementara Hao, Ichan, Mingyu dan tim seksi dokumentasi tidak pernah se-siap ini bersama kamera. Seokmin dan Jun dari semalam sudah loading barang, jadi pagi ini mereka hanya membantu hal-hal kecil saja. Disisi lain Hoshi dan Hansol beserta security sudah pasti menjadi garda depan, berdiri menanti dibukanya acara ini.

Tepat jam 11, gate UNTARVOLUTION 2021 terbuka lebar, para pengisi acara sudah berada di posisi mereka masing-masing, mahasiswa serta pengunjung yang ingin jajan dan menontonpun sudah berkumpul di GBK. Ada yang datang sendiri, ada yang datang bersama pacarnya, ada pula yang datang bersama dengan teman-temannya.

Wonwoo dan Mingyu hari ini sudah disibukkan dengan pekerjaan mereka masing-masing hingga tak sempat bertemu walaupun bertegur sapa. Hingga akhirnya, dengan lantangnya terdengar, “Kitten Kitten, ganti.” Terdengar suara walkie-talkie.

“Bangsat, ganti!” Jawab Seokmin dari sisi lainnya.

“Fokus anjing, ganti!” Tegur Seungcheol mendengar suara Mingyu memanggil yang mereka tau siapa.

Sedangkan yang dipanggil sedang sibuk dengan para pengisi acara. Wonwoo yang hari ini sedikit kelimpungan, karena harus menemui banyak orang asing di belakang panggung yang bahkan baru sekali duakali bertemu, beramah-tamah dengan para musisi, menyahut sapaan orang, bahkan menjawab pertanyaan orang asing ketika bertanya toilet ada di mana? atau booth charger telepon genggam ada di mana saja? serta berbagai pertanyaan lainnya. Hari ini kesabarannya benar-benar diuji, karena semua sahabatnya tahu, Wonwoo bukanlah typical orang yang cepat ramah dengan orang lain. 'Gue pasti bisa, gue pasti bisa.' katanya mengucapkan kalimat itu berulangkali seperti mengucapkan mantra.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, para pengunjung semakin ramai, Wonwoo meminta tolong Jihoon dan Jeonghan untuk membantunya memberi briefing kepada beberapa penyanyi yang akan naik panggung untuk ke 2 stage, menggantiakan dirinya sebentar karena dia sekarang sangat lapar dan merasa lelah.

“Won, lo belum makan ya?” Tanya pria tinggi dengan tahi lalat di atas bibir itu.

“Belom, Jun. Ini gue aja baru minta tolong Kak Han sama Kak Jisoo briefing Tulus sama HiVi.” Jawabnya.

“Lo makan dulu, tadi dicariin Mingyu, katanya walkie talkie lo kenapa?” Tanya Jun.

“Kayaknya walkie talkie gue mati deh.” Katanya lagi sembari mengambil benda padat dengan antena itu.

“Mingyu di Indomaret, Kak. Kalau lo mau nyamperin.” Kata Chan yang datang tiba-tiba membawa corndog yang tampak sangat menggoda karena cacing di perutnya yang mulai mengamuk.

“Oke, itu lo beli di mana?” Tanya Wonwoo ketika melihat Chan sedang menikmati corndog-nya.

“Di depan, sebelah Indomaret.” Kata Chan asal.

“Okay.” Kata Wonwoo. “Gue ke Mingyu dulu deh. Jun, Chan, sekalian makan ya Allah enak.” Katanya beranjak meninggalkan mereka berdua dan berjalan menuju tempat yang diberitahukan oleh Chan.


Wonwoo yang seharian ini menggunakan t-shirt slim fit black bertuliskan The Crew of UNTARVOLUTION 2021 di punggungnya dan logo kampus mereka di dada kirinya yang dipadukan dengan celana jeans itu berjalan ke luar dari keramaian acara musik tahunan yang ia dan sahabatnya selenggarakan. Berjalan mencari minimarket yang disebutkan Ichan tadi untuk menghampiri kekasihnya yang katanya sedang duduk di sana. Betul saja kata Ichan, pria yang sudah 2 tahun lebih itu mengisi hari-harinya kini sedang sedang memakan corndog seorang diri.

“Ganteng!” sapa Wonwoo, memegang bahu Mingyu.

“Hey!” jawab Mingyu yang sedikit terkejut dan segera mengambil tubuh ramping itu ke lahunannya.

“Kamu tuh kok sore-sore bengong sih? Kesambet lho!” kata Wonwoo, mengelus punggung tangan kekasihnya yang sudah melingkari perutnya.

“Ngga sih, perasaan aku mendadak aneh aja. Kecapean kali ya?” tanya Mingyu, meletakkan kepalanya ke punggung bidang pria yang ada di hadapannya, dan kemudian meletakkan dagu di bahu Wonwoo. “Kamu pasti belum makan, kan?” tanya Mingyu, sesekali mengecup bahu pria kesayangannya itu, yang dijawab anggukan oleh Wonwoo.

“Makan, yang.” pinta Mingyu menunjuk piring yang terbuat dari styrofoam yang terdapat di hadapan kekasihnya.

“Abis ini beneran deh, yang, kita tuh harus liburan.” kata Wonwoo, mengambil satu buah corndog itu.

“Jadi yuk, staycation ke Safari Garden!” ajak Mingyu, mengangkat kepalanya dan matanya kembali berbinar seperti anak kecil yang baru saja diajak ke taman hiburan.

“Yuk!” sahut Wonwoo dengan semangat, meletakkan makanannya dan memiringkan posisi badannya agar dapat melihat wajah tampan Mingyu.

“Jadi ya kita ngewe di depan singa?” tanya Mingyu, mengelus perut Wonwoo dari t-shit slim fit itu.

“Jangan becanda!” kata Wonwoo, sembari menangkup pipi kekasihnya itu.

“Orang gila!” jawab Wonwoo yang diikuti tawa Mingyu, Wonwoo mengecup bibir kekasihnya dan mereka tertawa bersama seakan sedang membayangkan mereka sedang mendesah dah dihadapkan oleh Singa, seperti tidak mungkin mereka selamat.

“Serius aku ngga mau!” lanjut Wonwoo.

“Hahaha, ya ngga atuh, yang.” kata Mingyu gemas ketika melihat Wonwoo sudah mengerucutkan bibirnya. Pria tinggi itu segera menggigit hidung Wonwoo.

“Kim Mingyu!!” omel pria dipangkuannya.

“Kamu gemes, bikin aku makin sayang.” jawab Mingyu yang sedang dihadiahi cubitan pada hidungnya dari sang kekasih.

Ketika mereka berdua sedang bercanda, tak lama keluar suara Seokmin dari walkie talkie milik Mingyu, karena milik Wonwoo mati total sejak siang tadi. Mingyu dan Wonwoo terdiam dan mendengarkan suara panik yang keluar dari sana.

“Panggung B Panggung B, lampu sorot jatoh! Han —” suara itu terputus, Wonwoo langsung berdiri dengan detak jantung yang berdetak karena terkejut, tidak pernah ada dipikirannya kalau lampu yang tergantung itu akan terjatuh. Seharusnya dia yang di sana, bukan Jeonghan. Wonwoo sangat khawatir.

“Yang?” kata Wonwoo dengan wajah yang memelas, meminta Mingyu berdiri dan mengikutinya.

“Yuk, liat keadaan Han!” ajak Mingyu, Wonwoo segera meninggalkan meja kayu itu, menyusul Wonwoo yang sudah berlari duluan dengan kaki jenjangnya.


“Bangsat! Kok bisa sih lampu panggung B jatoh?” tanya Seungcheol ketika sampai di tempat kejadian perkara, saat ini semua pengunjung di arahkan oleh Soonyoung, Jun, Ichan dan beberapa panitia lainnya untuk ke panggung A, semua acara di pindahkan ke sana dan mengosongkan panggung tersebut.

“Lo cek ngga sih?” tanya Seungcheol dengan nada yang masih tinggi ke Seokmin, marah karena terkejut.

“Ya cek lah! Ini kaki anak orang ketimpa lampu! Lo bisa tenang ngga sih!” kata Seokmin tak kalah tinggi membalas ucapan Seuncheol.

“Kalau lo cek kenapa bisa jatoh?” tanya Seungcheol.

“Musibah, Cheol! Gue bukan Tuhan!” teriak Seokmin. “Siapapun di sini, udah lo pada panggil belom sih ambulance-nya?” tanya Seokmin berteriak ke siapapun yang ada di sana, setelah mendengar rintihan Jeonghan.

“Udah, ambulance lagi on the way. Lo gimana, Kak?” tanya Mingyu melihat keadaan Jeonghan saat sampai di panggung. Untungnya, tidak separah yang Wonwoo bayangkan ketika berhamburan ke panggung itu.

“Sakit dan mereka berisik banget! Enyahin deh dari hadapan gue!” jawab Jeonghan lirih.

“Bang, yok! Jangan memperumit gini, lo harus tetep pantau acaranya sih.” kata Seungkwan mengajak Seungcheol pergi dari sana.

“Gue aja yang nemenin Han, lo semua lanjutin aja acaranya.” kata Seokmin.

“Lo ngga perlu gue?” tanya Joshua kepada kembarannya.

“Ngga, Kak. Jeonghan sama gue aja. Lo balik deh, jinakin laki lo! Daripada ngamuk, acara masih jalan.“ Jawab Seokmin.

“Lama gila ambulance-nya, gue jalan ke rumah sakit sendiri deh!” lanjut Seokmin.

“Sabar dikit kenapa sih? Kalau lo bawa sendiri ke rumah sakit lebih bahaya!” kata Jihoon.

“Lebay deh, Seok! Gue tuh cuma ketindihan lampu, bukan ketindihan batu kali sebadan.” omel Jeonghan.

“Elo yang ngeluh sakit barusan!” omel Seokmin, Jeonghan kembali terdiam.

“Sumpah, orang sakit jangan diomelin kali, Seok!” kata Wonwoo. “Demi apa, kak! Gue udah khawatir banget, kirain kena kepala lo or something yang kena, kan harusnya gue yang di sini.” Wonwoo mengelus dadanya lega ketika melihat pria yang terkapar di atas panggung dengan betis yang berdarah terkena pinggiran lampu sorot yang berantakan di sampingnya.

“Gue ngga apa-apa, lo ngga usah ikutan Seokmin deh lebaynya.” kata Jeonghan.

Tak lama petugas kesehatan dari ambulance sudah datang dan membawa tandu untuk mengangkat badan ringan milik Jeonghan yang diikuti Seokmin di belakangnya dan meninggalkan stadion GBK.


Kini Seokmin sedang berada di depan ruang tunggu IGD, menunggu Jeonghan yang kini sedang ditangani oleh dokter sembari menggoyangkan kakinya gugup dan sesekali mengelap kasar wajahnya, sesekali membalas pesan yang masuk ke telepon genggamnya dari group chat the Basecamp yang menanyakan bagaimana keadaan Jeonghan. Tak lama, ponselnya berbunyi.

“Gimana, Seok?” suara lembut dari seberang sana langsung menodongnya dengan pertanyaan, tanpa sapaan.

“Kaget gue!” jawab Seokmin.

“Gimana?” tanyanya lagi.

“Masih di dalem.” jawab Seokmin.

“Lo masuk kek, temenin kembaran gue!” pinta pria di ujung telepon itu.

“Gue takut jarum, for your information.”

“Cupu!” tegur pria itu. “Kembaran gue juga takut jarum, lagi nangis pasti.” lanjutnya.

“Kok lo ngga bilang?” tanya Seokmin segera berdiri dari tempat duduknya.

“Lo ngga pernah nanya! Mumpung belum beres mending lo temenin!” pinta Joshua, pria yang sedang menelepon Seokmin. Seokmin segera mematikan teleponnya, berjalan dengan langkah panjangnya ke salah satu hospital bed yang berada di ruang IGD dan mendengar suara pria yang sangat dia kenal sedang menangis.

Seokmin membuka sedikit gorden yang menutupi hospital bed tersebut dan mengintip ke dalam, melihan Jeonghan yang sedang menangis. Ini adalah moment langka bagi Seokmin melihat seorang pria cantik seperti Jeonghan menangis.

“Seokmin — hiks —” panggilnya ketika melihat ada kepala yang muncul di sudut gorden yang tertutup, dokter yang ada di sana tersenyum.

“Sudah, sudah selesai kok. Lain kali lebih berhati-hati ya!” pinta sang dokter yang sedang membalut betis Jeonghan dengan perban. “Beberapa hari ini kamu akan sedikit susah jalan, menggunakan kruk dulu ya sampai kita lepas jahitannya.” lanjut sang dokter.

“Balik lagi kapan, dok?” tanya Seokmin yang mewakili Jeonghan yang masih terbaring dengan beberapa plester luka yang menutupi beberapa bagian di tangannya karena terkena kaca lampu yang sedang menangis.

“Minggu depan ya.” jawab pria yang menggunakan snelli putih itu yang dijawab anggukan oleh Seokmin dan meninggalkannya dan Jeonghan.

Seokmin berbalik dengan senyuman yang merekah, mengambil ponsel-nya dan membuka kameranya, mengabadikan wajah Jeonghan saat ini yang sedang berderai air mata.

“Ngapain — hiks — lo?” tanya Jeonghan yang masih mengatur napasnya karena tangisannya.

“Haha, mau gue simpen muka jelek lo.” kata Seokmin yang kemudian berjalan menuju tempat tidur IGD dan duduk di sebelah Jeonghan.

“Sumpah! Gue tuh lagi nangis, bukannya lo hibur malah lo foto! Ngeselin banget sih lo!” omel Jeonghan mengelap air matanya, dan berusaha meraih telepon genggam yang masih berada di tangan Seokmin. Pria kurus itu mengelak, menaikkan tangannya ke atas, Jeonghan masih berusaha mengambil benda pipih itu.

“Heh!” teriak Seokmin ketika melihat Jeonghan yang hampir terjatuh dari tempat tidur dan dengan segera Seokmin menangkap badan ramping itu. “Rusuh banget sih, Han!” omel Seokmin memperbaiki posisi pria berambut blonde itu.

“Abis lo rese, foto gue nangis jangan disimpen.” suara Jeonghan mencicit dengan pipi yang perlahan memerah dan jantung yang berdegup kencang. Seokmin berdeham gugup.

“Lucu, ngga jelek kok.” jawabnya dengan suara lembut yang datang entah darimana. Tempat itu mendadak hening, Jeonghan merasakan pipinya yang memanas di ruangan ber-AC itu dan Seokmin merasakan detakan jantungnya yang mulai tak beraturan.

“Hmm, pulang?” tanya Seokmin memecahkan keheningan. Jeonghan mengangguk.

“Anak-anak masih sibuk pasti ya?” tanya Jeonghan mengalihkan pikirannya dari jantungnya yang bedegup tak biasa kepada sahabat-sahabatnya yang sedang mengurus acara tahunan itu sampai selesai, sedangkan dia malah sedang duduk mengistirahatkan tubuhnya karena sebuah kecelakaan yang tak terduga.

“Iya, gimana lagi?” jawab Seokmin sembari mengendikkan bahunya, berdiri dan mengambil sepasang kruk yang tadi diantar oleh seorang perawat. “Daripada lo mikirin anak-anak, mending lo istirahat. Yuk! Gue anter pulang.” kata Seokmin menyerahkan benda besi dengan ujung karet itu.

“Gue ngga bisa pake kruk, Seok.” kata Jeonghan ketika menerima benda yang asing untuknya, dengan suara sangat pelan, namun Seokmin masih mendengarnya. 'Jangan manja, jantung gue ngga sanggup!' erang Seokmin dalam hatinya.

“Gue baru tahu kalau Jeonghan bisa manja gara-gara ketimpa lampu?” ejek Seokmin. “Lo ketimpa lampu tuh betis apa kepala sih?” tanya Seokmin mengambil wajah Jeonghan dan memeriksa kepalanya dengan tidak sopan. Lalu tersadar, menarik tangannya dan kembali berdeham seakan ada yang nyangkut di lehernya.

“Gue baru tau kalau lo resek!” jawab Jeonghan cemberut dengan wajahnya yang kembali memerah, Seokmin tertawa melihat pemandangan yang ada di hadapannya. 'Gemes banget sih lo, Han? Asli gemes.' Gumam pria berkulit sawo matang itu.

“Ayo! Gue papah, tapi bagian yang luka lo pake kruk ya, jadi gue ga nyenggol perban lo. Yuk!” ajaknya, mengangkat tubuh bagian kanan Jeonghan karena pria yang biasanya galak itu harus menggunakan crutch di armpit kirinya.

Seokmin memeluk pinggang Jeonghan dengan tangan kirinya dan memegang tangan kanan Jeonghan yang sudah melingkari lehernya. Perasaan Seokmin dan Jeonghan tak karuan saat ini, bila ada elektrokardiograf di dada mereka pasti alat ukur jantung itu akan meledak karena debaran yang dihasilkan saat ini jauh dari normal.

“Astaga, gue lupa!” kata Seokmin, Jeonghan yang sudah berdiri mengangkat alisnya, seolah bertanya 'Apa?' pada pria di kanannya.

“Gue ngga bawa mobil?” lanjutnya.

“Kirain apa sih, nyebelin banget. Naik taksi aja, Seok.” kata Jeonghan. “Gue mau pulang sekarang.” pinta Jeonghan dengan suara manjanya.

“Ya hayuk, Paduka! Let's go kita pulang!” ajak Seokmin yang di balas dengan cubitan di bahu Seokmin.