Efek rindu #2 — Aku Udah Boleh Cium Kamu?
Inggu sudah masuk ke ruangan VIP Sunflower bersamaan dengan salah satu perawat yang membawakan makanan dan obat siang untuk Wonwoo.
“Makasih, Sus.” senyum pria itu manis, kedua taring yang berada di jejeran gigi atasnya tampak jelas dan sangat menggemaskan — terutama untuk Wonwoo yang sedari tadi memperhatikan pria manis itu.
Hari ini ia menggunakan sweatshirt tipis dengan motif horizontal berwarna kuning yang sangat pas ditubuhnya, membawa tas kuliahnya yang berisi leptop, beberapa buku penunjang skripsinya, dan baju ganti. Inggu sudah diizinkan untuk menginap malam ini, menggantikan Chan yang belum pulang sedari kemarin dan Mommy yang sedang sibuk menyiapkan pesanan cattering untuk besok.
“This is for your brunch, and coffee with salt in it.” kata Inggu tersenyum jahil, memberikan temannya itu kantung berwarna cokelat dengan logo franchise kopi terbesar di Indonesia.
“Serius garem?” tanya Chan, menerima kantung cokelat itu.
“Ya enggak lah, mana gue tega.” jawab Inggu.
“Buat aku mana?” tanya pria yang masih terkapar lunglai di hospital bed, dengan posisi sudah terduduk.
“Ini, buat lo orangnya aja.” Chan mendorong Inggu agar berjalan menuju ke arah kakaknya. Ia tahu masih ada yang belum selesai antara mereka, walaupun mereka sudah membicarakannya kemarin.
“Iya, emang maunya itu aja.” kata Wonwoo sembari tersenyum jahil, ia tahu wajah Inggu dapat mudahnya merona saat mendengar kalimat-kalimat isengnya yang menyebalkan untuk Inggu, karena hal tersebut dapat mengobrak-abrik perasaannya.
“Udah ada Inggu, bang. Gue jemput Kwan terus pulang ya.” izin Chan yang dibalas anggukan lemah oleh Wonwoo.
“Gue balik ya, Nggu. Kabarin kalau ada apa-apa.” pinta Chan, yang dianggukkan oleh Inggu. Chan menepuk bahu temannya pelan dan meninggalkan ruangan pasien inap VIP itu, dan kembali hening.
‘This awkward silence is killing me.’ rutuk Inggu.
“Nggu,” panggil Wonwoo.
“Ya?” Inggu langsung mendongakkan wajahnya, menjawab panggilan Wonwoo.
“Haus, boleh ambilin minum?” pinta Wonwoo, Inggu dengan sigap langsung memberikan segelas air mineral pada pasien yang masih lemah lunglai itu.
Wonwoo menarik dengan lemah lengan Inggu ketika pria itu meletakkan gelas dan ingin pergi menjauh darinya. Langkah Inggu tertahan.
“Udah maafin aku belum?” tanya Wonwoo, Inggu membalikkan tubuhnya perlahan, mengelus lembut tangan yang berada di pergelangan tangannya.
“Udah kok, kemarin aku udah ngomong unek-unek aku juga ke kamu.” jawab Inggu, mendekati wajah tampan yang sedang pucat itu dan merapihkan surai yang menutupi dahinya.
“Kok aku ngga denger? Atau aku lupa? Masa aku lupa?” jawab pria itu dengan wajah bingung, wajah yang lucu menurut Inggu.
“Ngga tau, pokoknya aku udah ngomong.” balas Inggu.
“Kamu bawa apa aja? Kok tas segembol?” tanya Wonwoo saat melihat tas hitam berbahan kulit di sofa abu-abu kamar VIPnya.
“Leptop sama buku iseng aja, takut aku butuh. Bulan depan aku harus sidang.” jawab Inggu.
“Oh iya, cepetan lulusnya ya, Nggu.” kata Wonwoo tersenyum.
“Iya, pusing.” keluh Inggu.
“Sekarang, biar kamu ngga pusing banget, aku boleh pinjem leptopnya buat nonton netflix ngga? Atau disney hotstar gitu? Aku bosen.” tanya Wonwoo, Inggu langsung menganggukkan kepalanya, mengambil leptopnya dan merapihkan posisi meja yang biasanya untuk meja makan, menjadi meja untuk menadah leptopnya.
Pria manis itu segera membuka password dengan sidik jarinya, dan menampilkan aplikasi menonton streaming berbayar yang disebutkan Wonwoo. “Selamat menonton.” kata Inggu, hendak meninggalkan Wonwoo agar menonton dengan tenang.
“Sini, nonton sama aku.” kata Wonwoo menepuk hospital bednya. “Temenin.”
“Cukup emang?” tanya Inggu menatap ruang kosong di tempat tidur berseprai putih itu.
“Cukup atuh, coba dulu naik sini.” Wonwoo segera menggeser tubuhnya, memberikan banyak ruang untuk Inggu berselonjor di hospital bed yang dua hari ini menjadi tempat tidurnya.
Walaupun dengan debaran jantung yang tak karuan, ia menuruti pinta Wonwoo, duduk di samping sang pasien dengan kaki sepenuhnya naik ke tempat tidur.
“Kenapa tegang banget?” tanya Wonwoo jahil, walaupun suaranya masih terdengar lemah.
“Ihs! Resek!” Inggu mencubit pinggang Wonwoo yang merintih kesakitan. “Eh, sakit ya? Biasanya juga ngga.” kata Inggu polos.
“Aku lagi sakit, Popok Bayi.” jawab Wonwoo, Inggu baru mengingatnya.
“Oh iyaaa, keceplosan, maaf.” kata Inggu mengelus tempat ia mencubit tadi.
“Ngga apa-apa, santai.” kata Wonwoo, mengambil lembut tangan Inggu yang mengelus pinggangnya dan mengaitkan jemari mereka.
“Ih, aku mau play dulu.” kata Inggu melepas tautan mereka, terduduk dengan pipi yang sudah memerah, dan jantung yang berdegup kencang.
Inggu menekan space pada keyboard leptopnya dan masih dengan posisi yang sama dengan sebelumnya, terduduk tegak, membelakangi Wonwoo yang berselonjor sembari tersenyum melihat tingkah laku pria yang berbeda 7 tahun lebih muda darinya itu.
“Ngga keliatan, Popok Bayi.” kata Wonwoo, membawa tubuh Inggu ke sampingnya, menjadikan lengannya untuk bantal Inggu dan memeluk bahu pria itu, mendekatkan tubuh keduanya.
Jantungnya yang ribut sungguh tak ia hiraukan, ia hanya ingin pria manis itu berada dipelukannya. Tak pergi kemana-mana sedetikpun dari pengelihatannya. Wonwoo masih merindukannya. 2 minggu dibayarkan dengan seperti ini, mungkin akan lunas, semoga saja.
“Tapi — ini — deket banget.” Inggu gugup, terakhir kali seperti ini, berakhir dengan dirinya yang hampir diperlakukan senonoh oleh mantan kekasihnya.
“Tangan aku ngga akan lebih dari ini.” kata Wonwoo, mengaitkan jarinya dengan jemari Inggu. “Atau kamu masih ngga nyaman? Aku ngga maksa.” lanjut Wonwoo, melepaskan pelukannya dari bahu Inggu dan tautannya pada kelima jari pria itu.
Inggu tau, Wonwoo tidak akan melakukan hal yang tidak ia sukai. Bang Wonwoo itu pasti akan bertanya dulu sebelum melakukan apapun pada dirinya. Pria yang tampan itu sangat menghargainya lebih dari siapapun dan apapun.
“Hmm?” tanya Wonwoo.
‘I feel comfortable here, I feel protected with this body, this man. Everything about him.’ racau Inggu dalam hatinya.
“Kaya tadi aja.” Inggu memeluk perut Wonwoo dan meletakkan kepalanya di bahu pasien itu.
Wonwoo kembali merengkuh tubuh popok bayinya itu dan memeberikan kecupan di ujung kepalanya. Entah apa yang ia lakukan, Wonwoo yang sedang lemah ini rasanya ingin berdansa karena perasaan bahagia yang ia rasakan — mendekap Inggu saat ini.
Wonwoo dan Inggu sedang serius menatap layar leptop 13inch milik pria manis itu, masih dalam posisi berpelukan. Sesaat Wonwoo merasakan baju rumah sakitnya basah, dan ia mendapati sang adik manis itu sudah menangisi film yang sedang mereka tonton. Inggu mendongakkan wajahnya ke arah Wonwoo sambil cemberut dan berurai air mata, “Jacknya mati, bang.” katanya.
Wonwoo tersenyum tak sanggup menahan kegemasannya pada makhluk ciptaan Tuhan yang ada di hadapannya ini.
“Iya, mati. Ngga apa-apa, kan pilihannya Jack.” kata Wonwoo menghapus air mata dipipi Inggu yang masih cemberut.
“Tapi, kenapa dia bisa milih mati? Kan Ally sayang banget sama dia.” kata Inggu.
“Mungkin banyak pertimbangannya, Popok Bayi.” Wonwoo tak sanggup menahan tawanya, Inggu memukul dada Abang Wonu-nya pelan, serta Wonwoo mengelus punggung tangan Inggu.
Terdengar Lady Gaga sedang menyanyikan I’ll Never Love Again dari leptop Inggu. Wonwoo menyentuh dagu Inggu dengan ibu jari dan telunjuknya, mendongakkan wajah pria itu untuk menatap manik mata elang yang masih berkaca-kaca di hadapannya, Inggu sedikit kaget dengan afeksi yang diberikan Wonwoo.
“Nggu, aku sayang sama kamu. I would be very happy if I could see you like this again asalkan bukan aku yang bikin kamu nangis.” kata Wonwoo, manik mata rubahnya menatap mata manik elang milik Inggu dalam, ia siap tenggelam di sana, berkali-kali.
“Will you be mine? Aku mau jadi pria yang selalu jagain kamu, yang selalu ada buat kamu. Pria yang selalu kamu pikirin.” kata Wonwoo. Entah mengapa, Inggu kembali menangis. “Loh? Masih nangisin Jack?” tanya Wonwoo bingung.
“Ngga.” Inggu menggelengkan kepalanya cepat. “Kenapa kamu bilang ke akunya lagi sakit kaya gini? Aku sedih.” lanjutnya.
“Sakit ku ini membawa berkah tau, kalau aku ngga sakit, belum tentu kamu mau ketemu aku.” jelas Wonwoo. “Aku lagi bersyukur dikasih sakit, bisa berdua sama kamu kaya sekarang.” lanjutnya.
“Ih, jangan ngomong gitu! Aku ngga suka liat kamu sakit.” kata Inggu, mengelus pelan pipi Wonwoo, lalu bibirnya yang kering dan berwarna pucat.
“Jadi, gimana? Mau jadi pacar aku ngga?” tanya Wonwoo lagi, sembari mengambil tangan Mingyu yang ada di wajahnya, lalu mengecupnya telapak tangan itu lembut.
Inggu mengangguk yakin sembari tersenyum manis, mengelap air matany, memamerkan gigi taringnya yang membuat pria di hadapan Wonwoo itu menjadi sangat — semakin — lucu.
“Sekarang, aku udah boleh cium kamu belum?” tanya Wonwoo, Inggu menganggukkan wajahnya malu-malu. Si dia menitikkan sisa air mata saat memejamkan matanya.
Wonwoo membawa tubuh pria itu semakin mendekat, mengecup moles Inggu di pipi kirinya dan tip of his nose. Lalu, kecupannya berhenti, Inggu mengernyitkan keningnya, bingung.
Ia membuka kedua matanya, “Udah?” tanyanya.
Wonwoo tersenyum jahil saat pria itu bertanya, “Udah, emang masih mau yang mana lagi yang dicium?” pancingnya.
“Ini belum, ini belum, ini belum, yang ini juga belum.” semakin lama suaranya semakin mencicit, malu. Ia menunjuk bagian wajahnya yang belum dicium Wonwoo, kening, pipi kanan, dagu, kemudian bibirnya.
Wonwoo tersenyum, mencium kening Inggu, lalu ke pipi kanannya, dan dagu pria manis di hadapannya. “Bibir aku pahit lho, aku pasien kalau kamu lupa.” kata pria tampan itu sembari tersenyum.
“Ya ya ya, aku tahu.” jawab Inggu, menarik kerah baju pasien yang Wonwoo gunakan dan menyatukan bibir mereka, mengecupnya perlahan yang dibalas oleh Wonwoo. Menyatukan kedua bilah bibir mereka dan saling menghantarkan perasaan masing-masing.
Don't wanna feel another touch Don't wanna start another fire Don't wanna know another kiss Baby, unless they are your lips