Akhirnya, kita bertemu di suatu malam.


Wonwoo menyelipkan ponsel ke dalam saku jas, sekadar memeriksa notifikasi yang masuk. Langit di atas laut mulai menghitam, memayungi permukaan air yang perlahan kehilangan warna. Debur ombak terdengar lebih nyaring malam ini, menyatu dengan udara dingin yang justru membawa ketenangan.

Pria yang mengenakan turtleneck putih dan jas pinstripe gelap yang sedari tadi pagi ia gunakan dan kini tergeletak di pangkuannya itu duduk dengan tenang. Jemarinya menyentuh pasir, menggenggam dan meremas butirannya perlahan, seperti mencoba mengurai kenangan yang belakangan ini mulai kembali merangkak dari sudut-sudut hati yang selama ini ia jaga sendiri.

Angin malam mengacak surainya. Ia membiarkannya. Membiarkan wajahnya disentuh oleh dingin, berharap angin bisa menyapu bersih dan membawa pergi kegelisahan yang sejak beberapa hari terakhir terus menggantung di pundaknya, seolah gelisah itu enggan luruh.

“Hm...” gumamnya pelan, sembari sesekali mendorong kacamata yang melorot di hidung mancungnya. Malam semakin larut dan langit sepenuhnya gelap. Sekitar pantai sunyi, hanya ombak yang diterangi rembulan dan kerlip samar bintang, menemani pria itu.

Sorry... permisi,” suara baritone lembut seorang pria menyusup di antara debur ombak dan angin. Wonwoo tersentak. Tubuhnya refleks menegak.

Suara itu...

Ia mendongak perlahan. Jantungnya berdetak kencang. Wajahnya refleks menoleh, lalu kembali ke laut. Ia tersenyum getir.

‘Halu. Pasti gue cuma halu karena lagi kepikiran dia,’ pikirnya.

Tapi lalu, suara itu kembali, kali ini lebih jelas, dan memanggil namanya. “Wonwoo?”

Wonwoo membeku sejenak. Jantungnya berdegup semakin cepat saat mendengar suara yang selalu ia rindukan itu memanggil namanya. Tubuhnya refleks bangkit berdiri, membiarkan jasnya jatuh ke pasir. Dan di sana, di bawah cahaya pucat bulan berdiri seorang pria tinggi tampan dengan sorot mata yang tak pernah hilang dari ingatannya. Kim Mingyu.

“Kak Mingyu?” suara Wonwoo tercekat ketika menyadari apa yang ada di hadapannya bukanlah sebuah halusinasi.

Mingyu menatap Wonwoo, matanya berkaca-kaca seolah sudah sangat merindukan pria itu. “Wonwoo?” ulangnya, nyaris seperti helaan napas yang tertahan selama bertahun-tahun. Dan tanpa aba-aba, langkahnya maju, dan dalam sekejap, Wonwoo sudah berada dalam pelukannya.

Hangat, erat dan nyata.

“Nu... Dek...” bisik Mingyu, mengulang nama panggilan itu seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa pria yang selama ini ia cari dan yang sempat ia lihat beberapa hari lalu benar-benar berada di hadapannya dan ia sedang tidak bermimpi.

Wonwoo terdiam. Lidahnya kelu. Tubuhnya kaku. Tapi pelukan itu... terasa terlalu akrab untuk ia tolak. Mingyu mengeratkan pelukannya pelan, seolah takut jika ia melepaskannya sedikit saja, pria di hadapannya akan menghilang lagi seperti dulu.

I thought I’d lost you forever,” gumam Mingyu, suaranya nyaris putus di ujung tenggorokan.

Wonwoo menggigit bibirnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai memberontak. Rindu yang selama ini ia bungkam akhirnya tumpah tanpa bisa dicegah. Ia menelusupkan wajahnya lebih dalam ke dalam pelukan itu, seperti ingin menghapus jarak lima tahun yang memisahkan mereka.

Mingyu menarik diri perlahan agar bisa kembali menatap wajah pria yang begitu ia rindukan. Tatapan mereka bertemu saat air mata jatuh perlahan di pipi Wonwoo. Dengan gerakan lembut, Mingyu menyentuh wajah pria cantik di hadapannya dan menghapus air mata itu dengan punggung jarinya. Jemarinya bertahan di sana, mengelus lembut pipi pria itu. Wonwoo memejamkan mata, membiarkan sentuhan itu. Membiarkan dirinya menikmati kehangatan yang telah lama ia rindukan. Satu tangannya dengan ragu-ragu mencubit sisi bawah black t-shirt yang dikenakan Mingyu—erat, seperti mencoba memastikan bahwa pria itu benar-benar ada di sana. Bahwa semua ini nyata.

Mingyu membuka mulutnya, setelah menarik napas panjang. “Aku nyari kamu ke mana-mana, Nu, bertahun-tahun dan kamu hilang kaya ditelan bumi,” suaranya bergetar. “Aku pikir aku nggak akan pernah bisa lihat kamu lagi,” lanjutnya sambil kembali memeluk tubuh pria ramping di hadapannya lagi.

Wonwoo membuka matanya pelan, mengangkat wajahnya, mencoba untuk memberanikan diri untuk menatap pria tampan yang berada di hadapannya, namun, masih tak ada kata yang terucap. Hanya ada suara ombak dan angin yang menjadi latar dari jarak mereka yang kian menyempit.

Kedua pria itu sudah duduk di atas pasir putih kecokelatan, di mana jas pinstripe gelap Wonwoo masih tergeletak. Tanpa ragu, Mingyu memungutnya dan membersihkan sisa pasirnya sedikit, lalu menaruhnya di atas pangkuan Wonwoo begitu mereka duduk berdampingan.

Mereka tak bersuara. Hanya duduk—saling diam—dalam jarak yang nyaris bersentuhan, namun tidak canggung.

Mingyu melirik ke arah pria yang masih duduk sambil mendundukkan kepala di sampingnya, lalu tersenyum kecil. “Masih suka nyari tempat sepi kalau lagi overthinking?” tanya pria yang lebih tua itu.

Wonwoo menoleh, matanya masih sedikit merah. Ia mengangguk pelan.

Keduanya kembali terdiam.

Mingyu menatap laut sejenak, sebelum akhirnya bersuara lagi. “Kamu ke mana selama ini?” tanyanya perlahan, hati-hati, seolah takut membuat pria di sampingnya kembali menjauh, lalu menghilang lagi.

“Kenapa?” tanya Mingyu lagi, nada suaranya tetap lembut, namun jelas terasa getir. “Do you really hate me that much?” lanjut pria tampan itu bertanya, suaranya baritone-nya pelan.

Wonwoo menoleh padanya, menatap wajah pria yang dulu pernah ia panggil rumah—satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa nyaman. Tapi sekarang, yang ia lihat hanyalah pria dengan masa lalu yang penuh luka. Mata itu... masih sama, tapi di dalamnya ada sesak yang Wonwoo kenal terlalu baik. Ia buru-buru menunduk lagi, seolah pandangan itu terlalu berat untuk ia hadapi.

Pertanyaan barusan, saat Mingyu bertanya do you really hate me that much? menyisakan dentuman hebat di dalam dadanya. Sesak. Pedih. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

'Did I hate you, or do I just hate myself?' batinnya lirih. Bahkan dirinya sendiri tak pernah benar-benar yakin. Karena meski ia pergi, hatinya tak pernah benar-benar meninggalkan Mingyu.

Mingyu kembali menarik napas panjang, suaranya terdengar lagi, lebih lirih, lebih pelan, lebih dalam. “The truth is, I hate myself, too,” ucapnya, getir. “Setelah abang dan kamu pergi, I just... don’t feel like I have a purpose anymore.

Bagai ombak besar yang menerjang tanpa henti, kalimat itu mengguncang hati Wonwoo yang rapuh. Pria manis itu hanya mampu terdiam, tidak tahu apa yang harus dia katakan, ia tak bisa berkata apa-apa. Karena ia tahu betul bagaimana rasanya kehilangan arah. Karena ia pun merasakannya setiap hari selama lima tahun terakhir.

Selama ini ia mengira dirinya satu-satunya yang hancur. Bahwa hanya dia yang menanggung rasa bersalah itu. Tapi ternyata... Mingyu juga hancur. Sama remuknya. Sama hilangnya.

“Maaf,” bisiknya. Satu kata pertama yang keluar dari bibir Wonwoo, pelan, nyaris tak terdengar, penuh penyesalan.

“Aku yang bikin semuanya jadi berantakan. Abang pergi karena aku. Kalau aja aku nggak...” kalimat Wonwoo terhenti saat sekali lagi Mingyu menarik Wonwoo ke dalam pelukannya. Erat. Seolah ingin membungkus semua luka yang pernah mereka bagi.

“Ini semua salah aku, dek... bukan kamu.” jawab Mingyu, Wonwoo menggeleng pelan di dalam pelukan itu.

“Nu,” kata Mingyu dengan suaranya yang lembut sambil mengeratkan pelukannya. Lembut namun pasti. “Kalau ada yang harus disalahin, itu aku. Aku kehilangan abang karena ego aku sendiri,” lanjut pria yang lebih tua itu.

“Tapi rasa kehilangan itu nggak pernah bikin aku sedetikpun berhenti sayang sama kamu,” kata Mingyu sambil mengelus sayang surai gelap Wonwoo.

Wonwoo hanya mampu menggeleng pelan dalam pelukan pria yang lebih tua itu. Air matanya kembali terjatuh, satu per satu, membasahi pipinya lalu meresap ke t-shirt hitam yang dikenakan Mingyu.

“Semua ini salah aku, kak,” Wonwoo terdiam sejenak, menarik napas gemetar sebelum melanjutkan. “Karena yang egois dan nggak bisa milih untuk ngelepasin kamu... atau Abang.”

“Dan aku pikir ninggalin kamu akan lebih baik daripada harus terus di samping kamu dengan ribuan penyesalan, Kak,” kata Wonwoo di antara isakannya.

“Dek...” panggil Mingyu, suaranya pelan namun dalam, saat ia melepaskan pelukan mereka perlahan. Bukan untuk menjauh, hanya memberi ruang untuk melihat wajah pria manis itu lebih jelas. “Ngga cuma kamu, Dek, aku juga hancur dengan kepergian abang. Tapi aku semakin hancur dengan kehilangan kamu,” lanjutnya.

Wonwoo tak sanggup menatap pria tampan di hadapannya. Ia hanya menunduk, tangan gemetar melepas kacamata dari wajahnya. Ia mengusap air mata yang sejak tadi tak kunjung berhenti.

Ia hanya ada di sana. Menunggu.

“Kamu nggak salah, Nu,” ucap Mingyu akhirnya, kembali memecah keheningan antara mereka. “Aku yang harusnya jagain kamu. Bukan malah... ngambil kamu dari abang.”

“Itu nggak akan terjadi kalau aku—”

Mingyu memotong kalimat Wonwoo dengan lembut sambil menatap wajah cantik pria di sampingnya, mengambil kedua tangannya dan mendekapnya. “Kalau dari awal aku jujur soal perasaanku ke kamu dan ke abang, semua nggak akan serumit ini.”

“Tapi, Kak...”

“Aku yang bikin kamu bingung, Wonwoo.”

“Ngga, kak. Aku yang ngga bisa milih antara kamu atau abang,” elak Wonwoo.

Mingyu menggeleng pelan, ibu jarinya mengusap punggung tangan Wonwoo yang masih ada dalam genggamannya.

“Nu, kamu nggak perlu milih waktu itu. Perasaan tuh ngga sesederhana itu.”

Wonwoo menggigit bibirnya, menunduk. Tapi tak ada lagi isak. Hanya embusan napas yang perlahan kembali tenang. Mingyu mengangkat dagu pria itu, menatapnya dalam-dalam.

“Sekarang, kamu nggak usah lari lagi,” kata Mingyu pelan, matanya lembut. “Kita bisa mulai lagi. Nggak harus buru-buru. Nggak harus langsung sembuh.”

Wonwoo menatapnya. Dalam. Lama. Seolah ingin memastikan bahwa kalimat itu benar-benar datang dari Mingyu yang ia kenal, pria yang masih menyimpan perasaan yang sama.

“Udah ya, udah cukup kamu nyalahin diri sendiri, Nu,” kata Mingyu. “Jadi cukup ya, dek, jangan tinggalin aku lagi. Setidaknya aku bisa tanggung jawab ke abang untuk jagain orang yang paling dia sayang selama ini,” lanjut pria tampan itu dengan nada suaranya yang lembut.

Wonwoo terdiam. Matanya mulai memerah lagi, tapi kali ini tanpa air mata. Ia menatap pria di sampingnya dengan tatapan yang sedikit demi sedikit mulai melembut.

Wonwoo tak menjawab. Tapi pelan, ia mengangguk. Tak ada lagi isak, hanya satu tarikan napas dalam yang ia hembuskan perlahan. Beban di dadanya seolah berkurang. Tak sepenuhnya hilang, tapi untuk pertama kalinya—ia merasa tidak sendirian.

Wonwoo menoleh sebentar, menatap wajah pria itu dalam diam. Ia tak bisa bicara, tapi sorot matanya cukup menjawab.

Mingyu mengeratkan genggamannya sedikit. “Tetap di jangkauan aku, kaya gini.”

Wonwoo masih tidak menjawab, ia bingung harus menjawab seperti apa. Ia hanya menghela napas panjang, pelan, seolah hendak melepaskan beban yang selama ini ia pendam seorang diri.

Angin laut kembali berembus, membawa aroma garam dan dingin malam, tapi di antara mereka, hangatnya terasa cukup.

Wonwoo menyandarkan kepala ke bahu Mingyu. Matanya terpejam perlahan. Dalam diamnya, ia merasa tenang. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, tak ada suara gaduh di kepalanya. Tak ada bayang-bayang yang menuntut penebusan. Hanya ada suara ombak, denyut jantung Mingyu yang perlahan menenangkan, dan kelegaan yang menjalar dari genggaman tangan mereka yang tak saling melepaskan.

Dan di bawah langit yang gelap, diterangi cahaya pucat rembulan, dua pria dewasa itu duduk bersebelahan, saling bersandar, saling menggenggam.