First Affection


↳ TW: a lil harsh word, fluff ↳ Part of Falling Fallen


Kini Arka dan Baskara sedang mendorong trolly housekeeping yang Arka minta untuk membawa berkas-berkas yang menumpuk. Setelah Baskara meminta anak buahnya untuk merapihkan kembali kamar 3817 — kamar yang khusus milik Nisaka. Sedang sang pemilik kamar sudah izin untuk ke kamarnya duluan, hingga Arka meminta Baskara untuk menemaninya.

“Di lantai ini cuma ada 8 kamar, dan semuanya milik Putradinata, Pak Arka.” kata Baskara membuka suaranya, ketika ia melihat mata Arka yang seperti sedang mengabsen seluruh lantai ini karena merasa asing. Arka baru pertama kali menginjakkan kakinya di sini.

“Hanya orang yang memiliki akses khusus yang bisa mengakses lantai ini, begitupun dengan housekeeping yang khusus disediakan hanya untuk lantai ini.” lanjut Baskara, Arka hanya menganggukkan kepalanya. “Pak Arka juga bisa akses lantai ini kok dengan kartu itu.” kata Baskara lagi menunjuk kartu akses lantai yang tergantung di lehernya sedari pagi.

“Kok nomornya acak ya, Pak?” tanya Arka. Perjalanan ke kamar Nisaka cukup memakan waktu dari lift, karena dari satu pintu ke pintu lainnya berjarak cukup jauh.

“Nomor kesukaan masing-masing si pemilik kamar, 3808 milik Pak Andrian, beliau suka ke sini bersama pacarnya, kadang malah modelnya.” kata Baskara sembari berbisik iseng, mengajaknya menggunjingi sepupu Nisaka itu. “Karena tanggal lahirnya 08 Agustus, jadi dia suka angka 8.” lanjutnya.

“Kamar Pak Bumi yang ini, 3806, 06 adalah tanggal lahir Pak Nisaka. Kalau ini 3833 adalah kamar Adimas Bayu Putradinata, kakaknya Pak Bumi, orang tuanya Pak Andrian.” ceritanya.

“Kalau Pak Saka, kenapa 17?” tanya Arka penasaran.

“Nah, itu rahasia Illahi kalau ditanya ke orangnya juga dia pasti akan jawab 'Ngga tau, suka aja', begitu.” jawab Baskara, Arka hanya menganggukkan kepalanya.

“Kita sudah sampai nih, Pak Arka. Satu-satunya kamar yang tusuk sate, hanya milik Pak Nisaka.” betul kata Baskara, karena kini nomor 3817 tertera di hadapannya.

Arka mencoba untuk mengebel kamar tersebut, namun tak ada jawabannya. Arka sedikit cemas sebenarnya, karena boss-nya tadi terlihat sangat pucat takut kalau pria tinggi itu pingsan di kamarnya.

Pria bermanik rubah itu sudah memesankan makan malam dari Restaurant & Bar Avays untuk Nisaka, namun dia tidak tahu apakah makanan itu sudah sampai atau belum, karena setelah memesan makanan untuk di antar ke kamar ini, dia masih sibuk memindahkan berkas yang kini sudah ada di trolley.

“Coba pakai kartu akses Pak Arka deh, bisa ngga? Biasanya, Pak Jeonny bisa untuk akses kamar Pak Bumi.” jelas Baskara lagi, ketika melihat wajah Arka yang sedikit panik.

Pria tinggi yang melingkarkan jasnya di tangan itu, mencoba memasukkan kartu aksesnya ke lubang kunci yang ada di hadapannya, lampu indikator tersebut berwarna hijau, tandanya kunci dari pintu kamar itu terbuka, Arka menutup mulutnya yang menganga lebar karena terkejut, sama halnya dengan Baskara yang ada di sampingnya.

“Wah, kartu akses Pak Arka harus dijaga ketat, Pak. Jangan sampai jatuh ke tangan yang salah.” kata Baskara mengingatkan Personal Assistant Nisaka itu, Arka segera menggenggam erat benda seperti kartu ATM itu di kepalannya.

'Wah, semakin berat juga jobdesc gue kalau begini ceritanya.' gumamnya.

“Saya antar hanya sampai di sini ya, Pak Arka. Bapak bawa aja trolley-nya, bila sudah selesai nanti simpan di depan pintu, agar bisa diambil oleh anak buah saya atau saya sendiri. Selamat kembali bekerja, Pak Arka.” kata Baskara pamitan dan meninggalkan Arka yang sudah membuka sedikit pintu di hadapannya.

Pria ramping berbadan tegap itu membalikkan badannya, meletakkan jasnya ke atas berkas yang akan dia teliti bersama dengan President Director Avays Hotel itu dan menarik trolley alumunium, dia berjalan mundur hingga pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya, dan pria itu mulai memasuki kamar mewah yang berukuran 512 meter persegi yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti home theatre, sauna, ruang pijat,, gym hingga ruang tamu yang terkoneksi dengan bar dan meja makan.

Bruk, Arka merasakan tubuhnya menabrak tubuh besar dan kokoh seseorang, tanpa ia sadari bila sedari tadi ada pria yang memperhatikannya. Pria yang kini sudah menggunakan bathrobe itu tidak berpindah tempat, membuka suaranya ataupun protes, hanya terdiam karena sedang merasakan dan mengatur degupan jantungnya yang tidak biasa. Arka segera membalikkan badannya dan terkejut karena dihadapkan oleh dagu mulus serta bibir berwarna merah muda di hadapannya, pria berkacamata dengan frame kotak berwarna hitam itu segera menaikkan pandangannya dan menemukan wajah yang sudah ia kenali 3 bulan belakangan ini, Nisaka. Arka segera mundur hingga menabrak trolley yang sedari tadi ia bawa, menggoyangkan alumunium beroda itu, hampir membuatnya dan benda itu oleng.

“Eh, maaf, Pak.” kata Arka menunduk, sembari mengelus pinggangnya yang terkena pinggiran trolley, ingin rasanya ia merutuki kecerobohannya malam ini.

“Ngga apa-apa, tadi saya mau bantuin, tapi kamu seruduk duluan.” kata Nisaka. “Pinggang kamu sakit?” tanyanya ketika melihat Arka sedikit mengaduh lirih dan mengelus pinggangnya sendiri.

Nisaka melangkahkan kakinya mendekat dan melepaskan tangan Arka dari posisinya dan menggantikan dengan tangannya, mengelus pinggang yang tertabrak tadi. Arka membolakan matanya karena terkejut dan masih memproses apa yang terjadi saat ini. Napasnya tercekat, saat ini Arka sedang menahan napasnya karena menerima afeksi Nisaka secara tiba-tiba, rambut halus pada tubuh Arka berdiri dan membuatnya merinding. Arka segera menepis tangan Nisaka di sana.

“Ngga sakit kok, Pak, sudah tidak sakit.” katanya masih menunduk, pipinya terasa memanas entah karena apa.

'What the hell! You touch my waist, dumbass! Sopankah?' rutuknya.

“Okay, biar saya yang bawa trolley ini ke ruang tamu, kamu boleh mandi dulu.” kata Saka dengan santainya, sembari membawa benda persegi panjang tingkat 2 dan beroda itu ke arah ruang tamu di kamar President Suite miliknya, sedangkan Arka masih terpaku di tempatnya.

'Dan lo masih santai?? Waduh! I have to be careful with you kalau gini ceritanya Nisaka Mingyu!' Arka masih memarahi atasannya di dalam hati.

“Handuk, baju ganti, semua ada di dalam. Please make yourself comfortable here, because we've so much to do this night.” kata Nisaka menunjuk ke arah kamar mandi kepada Arka yang masih membatu, dia sedang menenangkan hatinya, sebenarnya. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini.

'Saka, just shut up! Gue masih deg-degan anjir! Kok bisa-bisanya hal pertama yang gue liat adalah dagu dan bibir lo? Deket banget! Shit!' amuk Arka dalam hatinya, merutuki apa yang tadi terjadi.

“Mau sampai kapan kamu jadi patung, Arka?” tanya Nisaka padanya yang masih terdiam.

“Saya ngga perlu mandi, Pak.” kata Arka, mengikuti langkah Nisaka ke ruang tamu yang ada di ruangan itu.

You have to, at least abis mandi kamu segeran dan kita bisa beresin berkas-berkas ini. Okay? Nurut deh, saya ngga akan aneh-aneh kok.” kata pria yang masih menggunakan bathrobe hotel berwarna hitam itu. 'Should I trust him?' tanya Arka dalam hatinya.

“Dan saya akan menggunakan baju rumah saya, tenang saja, saya ngga akan kerja menggunakan ini.” kata Nisaka menunjuk kimono handuk yang sedari tadi ia gunakan. “Semakin cepat kamu masuk ke kamar mandi, semakin cepat pula saya pakai baju, Arka.” lanjutnya. Arka segera berjalan cepat ke arah kamar mandi dan mengunci kamar mandi satu-satunya di kamar besar hotel itu, dan segera mandi.

'Hehehe cute.' gumam Nisaka.


Waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan kedua pria itu masih merapihkan kertas-kertas tebal itu, serta mempersiapkan kebutuhan yang diminta oleh headquarter untuk keperluan audit Avays Hotel. Arka yang kini sudah menggunakan black t-shirt dan boxer hitam kebesaran milik Nisaka itu menyesap kopi ketiganya, berusaha agar tetap terjaga, sedangkan Nisaka yang kini sudah menggunakan kacamata kotaknya — menambah ketampanannya 100x lipat, hingga Arka tak sanggup untuk melihatnya terlalu sering. 'Hati, kamu bertahanlah' gumam Arka kepada hatinya untuk tetap tenang — sedang mengecek berkas lainnya. Mereka berdua membagi tugas agar pekerjaan ini cepat selesai.

“Udah jam 3 lewat, Arka. Mata kamu sudah sayu gitu, lebih baik kamu tidur.” benar memang apa yang Nisaka lihat, Arka memang sudah mengantuk, tapi dia masih berusaha untuk tetap terjaga karena melihat atasannya masih segar memandangi kertas-kertas A4. Tidak biasanya dia mengantuk seperti ini, biasanya dia bisa tertidur jam 6 pagi karena bermain di komputernya bersama dengan mutual-nya atau membaca buku.

“Masih kuat, Pak. Serius.” kata Arka yang masih melihat berkas yang dijilid, sesekali mengucek matanya. Tak lama pria manis itu menyenderkan tubuhnya ke sofa empuk yang ada di belakangnya, dan Nisaka mendengar dengkuran halus dari bawah berkas yang menutupi wajah pria menggemaskan yang sudah 3 bulan ini membantunya dalam banyak hal di kesehariannya itu.

Nisaka menghampiri anak bungsu dari keluarga Rahamardja yang sudah tertidur lelap dan mengambil kertas tebal dijilid yang menutupi wajah putih bersih nan tampan itu, meletakkannya ke meja dan menyenderkan tubuhnya di samping pria itu dan menetap pria yang perlahan membuka mulutnya dengan lucu. Nisaka hanya memandanginya, entah apa yang kini sedang pria 28 tahun itu bayangkan, yang terdengar hanya degupan jantung dan senyumnya yang mengembang sedikit demi sedikit. Lalu, mengangkat pria yang lebih muda darinya itu ke satu-satunya tempat tidur berukuran king size, meletakkannya dan berjalan kembali ke ruang tamu dan kembali berkutat dengan pekerjaannya, lagi.