Hello! Gue, Nisaka Mingyu Putradinata


introduction 1 — main character

Tadi siang, akhirnya gue dan Diaz hunting foto sekalian nyobain kamera yang baru gue beli. Berhubung yang lain sibuk kerja, gue akhirnya mutusin buat ngajak siapa aja yang bisa. Bedanya gue sama mereka, buat gue semua hari tuh sama aja—kayak hari-hari lain. Nasib pengangguran. Oops, ralat—bukan pengangguran, lebih tepatnya gue aja yang nggak mau kerja kantoran seperti temen gue yang lainnya.

Gue baru sampai rumah, emang udah sore banget sih. Sepanjang jalan, yang kebayang cuma rebahan di kasur kamar yang dingin sambil nyeruput es jeruk seger buatan Bi Iyem. Rencananya, sampai kamar gue bakal nyalain speaker, dengerin lagu dari band favorit, terus merem bentar. Abis itu, ke studio foto di halaman belakang buat lihat hasil hunting tadi dari kamera analog, plus edit beberapa foto dari kamera digital baru sebelum akhirnya nge-post final-nya di sosial media.

Tapi ya, hidup suka bercanda memang kadang-kadang. Keinginan gue buat santai langsung sirna begitu gue sampai rumah dan ketemu bunda ratu yang bilang kalau gue dicariin raja terakhir alias bokap, dan beliau manggil gue ke ruang kerjanya. Gue bahkan ngga ngeuh sejak kapan Pak Bumi ada di rumah. Soalnya, seinget gue dia lagi pergi ke luar negri buat urusan yang entah itu apa. Tumben banget? Ngga juga sih, kayaknya gue juga udah tahu apa yang mau bokap gue omongin ke gue. Firasat aja.

Yup, here we go again. Gue cuma bisa menghela napas waktu berdiri di depan pintu kayu jati besar berwarna coklat tua di dalam mansion yang sudah 27 tahun gue huni ini. Gue ketuk pintunya dua kali sebelum mendengar suara beratnya menyuruh gue masuk. Dengan enggan, gue buka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang jarang banget gue kunjungi. Kecuali ada moment kaya gini, kalau boleh lebay, mungkin ini kali kedelapan dalam setahun gue dipanggil ke sini. Dan isi pembahasannya pasti itu-itu lagi. Tetep, ini sih masih firasat aja.

Di dalam, duduk seorang pria tampan berusia hampir 54 tahun—bokap gue, Pak Bumi. Gue ngga bohong, di usianya sekarang, beliau masih kelihatan keren. Di sebelahnya, berdiri tegak tangan kanannya, Om Jeonny Rahamardja, ayah dari sahabat gue dari kecil, Dhika Seokmin Rahamardja.

“Duduk, Nisaka,” suara bokap terdengar tegas. Gue nurut, langsung duduk di sofa tengah ruangan udah kaya orang dihipnotis. Om Jeonny menghampiri gue, menyerahkan amplop coklat tebal berlogo perusahaan yang lumayan besar, lengkap dengan beberapa notes di dalamnya. Sementara itu, bokap ngga bergeming dan masih duduk di balik meja kerjanya, menatap gue sambil menopang dagunya.

“Apa ni, pap?” Gue pura-pura ngga tahu sambil bolak-balik amplop cokelat yang ada di tangan gue, tanpa ada niat buat membukanya.

“Jangan main-main, Saka. Itu dokumen penting. Coba kamu buka!” suara bokap terdengar lebih berat—atau lebih tepatnya, tegas.

Sejujurnya, gue udah tahu sih apa isinya, tapi gue beneran ngga tertarik sama sekali. Jadi, dengan malas-malasan, gue akhirnya buka amplop itu, mengeluarkan dokumen yang sudah dijilid rapi.

“Itu semua details job desc yang akan kamu kerjakan untuk handle Avays Hotel,” bokap akhirnya bicara lagi.

Gue mendongak, menatap ayah kandung gue dengan wajah datar. “Pap, siapa yang bilang aku mau kerja sama papap buat ngelola Avays?”

“Papap yang bilang,” jawabnya santai. “Kamu sudah 27 tahun, Nisaka Mingyu. Mau sampai kapan kerja serabutan dan menghabiskan waktu kamu untuk mengejar hobby? Papap nggak masalah kalau kamu tetap ngejalanin passion kamu, tapi setidaknya coba dulu kerja di sini. Kalau nggak suka, papap bisa kasih ke orang lain. Andrian, misalnya.”

Refleks gue langsung mendengus sinis. Andrian lagi. Dia kan udah pegang Bumi-Multitelevisi, masa dikasih Adi-Bumi Group juga? Itu sih namanya memperkaya keponakan sendiri dan mempermiskin anaknya. Gue agak ngga terima sih.

Basically, Adi-Bumi Group adalah salah satu konglomerasi besar dengan banyak anak perusahaan di Indonesia yang dibangun beradarah-darah sama grandpap dan diberikan turun-temurun ke anak-cucunya, termasuk Bumi-Multitelevisi yang bergerak di industri hiburan. Dari agensi model, televisi lokal, sampai production house, semua ada di bawah pimpinan Andrian Seungcheol Putradinata, cucu tertua keluarga besar Putradinata.

“Gimana?” Bokap tiba-tiba memecah lamunan gue. “Mau dikasih ke Andrian aja?” tanyanya santai, tapi gue tahu dia sadar betul kalau barusan dia sengaja nyulut ego gue.

Gue masih diem. Ngga ada jawaban yang gue lontarin, tapi semua orang di ruangan ini udah tahu ujungnya bakal ke mana. Lagipula, bokap nggak butuh jawaban gue—dia pasti udah mutusin semuanya sendiri. Keberuntungan gue buat punya kebebasan dan ngerjain kerjaan sesuai hobby gue ya cuma sampai hari ini aja. Haha, miris ya? Iya, dikit.

“Kali ini, keputusan papap sudah mutlak, Nisaka Mingyu,” Bokap melanjutkan, suaranya kembali menegas. “Mulai besok lusa, kamu sudah bisa mulai bekerja di Avays Hotel dan papap akan kasih kamu satu asisten pribadi yang benar-benar papap percaya, dengan satu syarat.”

Gue mengernyit. “Syarat? Maksudnya, pap?”

“Syaratnya, kamu nggak bisa sembarangan memecat asisten pribadi kamu ini, kecuali papap yang bilang begitu. Bisa dipahami?” Bokap menatap gue tajam. Gue cuma bisa mendesah kasar.

“Saka belum jawab, mau atau nggak, pap,” gue mendecak pelan. “Saka mau jadi diri Saka sendiri aja. Traveling, culinary—”

“*Unfortunately, this time, you’ve got no other choice, Saka,” Bokap memotong. “Kamu akan jalani masa probation selama tiga bulan, sama dengan karyawan lainnya. Asisten pribadi kamu juga akan bantu kamu belajar, dari manajemen sampai bisnis yang akan kamu kelola.” lanjut bokap.

Well, sepinter apa asisten pribadi gue? Hmm...

Gue kembali ngelirik amplop coklat di tangan gue. Dalam hati, gue udah bisa membayangkan asisten yang bakal bokap kasih, pasti ibu-ibu yang udah sangat berpengalaman. Cruella De Vil langsung muncul di kepala gue. Atau bapak-bapak yang kumisnya tebel, perutnya buncit.

To be honest, selama setahun ini gue udah nolak tujuh kali permintaan dari bokap, dan beliau masih santai aja. Tapi ini yang kedelapan, dan kali ini dia nggak lagi pakai nada membujuk. Ini udah jadi perintah.

Ya ya. Welcome to office hours. Wear your suit every day, Nisaka Mingyu.

“Kita sudah deal ya, Saka,” suara bokap memecah lamunan gue yang lagi sibuk mengasihani diri sendiri. “Sekarang kamu mandi sana, nanti kita makan malam bareng. Mama kamu mau masakin menu kesukaan kamu, katanya,” lanjut bokap gue.

Masih kaya terhipnotis, gue berdiri dari tempat gue duduk dan berjalan menuju pintu, tapi ada sesuatu yang ngga beres. Insting gue teriak. Gue berhenti pas tangan gue hampir nyentuh gagang pintu kayu besar di depan gue.

Wait, wait! If it's a deal, it should benefit me too, right?” Gue menatap dua pria dewasa di ruangan ini. Bukannya jawab, bokap malah melirik Om Jeonny, yang langsung nangkep maksudnya dan dia cuma mengangguk—seolah ngasih restu buat argumen gue.

Gue makin percaya diri dong, jadi gue tanya ke bokap, “So what do I get if I just go along with everything you guys want?” Nada suara gue kali ini jelas nantangin. Hehe. Gue nggak bakal nyerah gitu aja, man. This is important for me too!

Bokap malah senyum percaya diri dan jawab gue, “We can talk about it along the way. Besides, you must also pass the probation period according to my standards,” katanya santai sambil menyenderkan badannya ke kursi kerja empuk kesayangannya itu. “And that’s not gonna be easy, Saka,” katanya.

Well, nggak ada celah buat negosiasi sekarang. Gue akhirnya mengangguk, pura-pura nurut, terus keluar dari ruangan kerja Pak Bumi. Langkah gue menuju kamar terasa berat, tapi yaudah lah. Untuk sementara, gue bakal main aman dan ikut aturan bokap—for now.

And, welcome to the new world, Nisaka Mingyu Putradinata.