HAI..


Part of Reunited Universe

Sabtu ini aku putuskan untuk datang ke Sandiego Hills, tempat peristirahatan Bang Cheol yang terakhir. Sudah lama rasanya ngga ke sini dengan memegang bunga tulip putih. Terakhir, aku meminta Jihoon membawakannya karena memang aku sedang berada di Inggris — saat pelarianku. Banyak yang ingin aku ceritakan ke Bang Cheol kali ini, kamu pasti marahin aku sih, Bang. Aku tuh agak bodoh memang kalau masalah seperti ini. Lagi-lagi di otak aku cuma runaway.

Di sinilah aku sekarang, di depan tanah yang diberikan marmer pada pinggirannya, tanah dengan berhiaskan rumput buatan dan nisan marmer yang bertuliskan “Kim Seungcheol”, sudah lama rasanya tidak menyentuh nisan yang terukir indah di hadapanku ini. Terakhir dateng kapan ya, Bang? Agustus tahun 2020 kah? waktu kamu ulang tahun ya? Sekarang udah 2023 lho!

“Hai, Bang Cheol. Apa kabar? Aku harap Bang Cheol sudah sangat damai di sana. Deket Allah enak ya, bang? Ngga kesepian kan?” Tanyaku, membelai rumput hijau di depanku. Merapihkan tulip yang kubawa di atasnya.

“Maaf ya, aku udah lama banget ngga ke sini. Aku baru pulang dr Inggris, Desember lalu. Langsung ribet urusan ini itu, makanya baru sempet dateng.” Jelasku.

“Bang, kamu udah punya ponakan lho sekarang. Cantik banget, aku yakin kamu kalau masih di sini, pasti seneng banget main sama si gembul. Yulna namanya.” Kataku.

“Sekarang umurnya 1 tahun setengah. Udah gede ya? Time flies banget lho, bang. Maaf ya, waktu aku hamil aku malah ninggalin Mingyu, terus aku malah ngga bisa nepatin janji aku lagi ke kamu. Aku cupu banget ya, Bang? Iya sih. Hehhe. Lagi-lagi kabur.”

“Padahal aku yakin banget, kalau aku ngga kabur, mungkin sekarang aku sama Mingyu udah punya keluarga kecil. Iyakan? Karena dia ngga mungkin ninggalin aku ngga si? Dia pasti akan tanggung jawab kan ya? Hehe. Tapi dengan bodohnya si aku malah kabur, takut Bang.” kataku

“Takut di cap murahan sama mama papi kamu. Takut kalau orang-orang tahu Mingyu dia ternyata suka sama pria juga, nanti saham KimCorp gimana? Takut juga di akunya, kalau orang-orang ngomong aku aneh because of my pregnancy. Takut di cemooh sama public, kamu tahu kan mulut netizen Indonesia kejamnya kaya apa. I'm not ready that time. Banyak banget ya aku takutnya?” Jelasku sembari tersenyum.

“Pas sendirian di Inggris, aku ketemu sama orang baik, Bang. Thank God, Allah masih sayang sama aku dan Yulna. Aku di sana kerja di client site brand mode ternama di dunia, aku juga dapet banyak temen baru. Banyak pengalaman aku 1 tahun lebih di negeri orang. Enaknya, mereka ngga mandang aneh aku yang pria ini jalan-jalan dengan perut buncit lho. Malah they have special hospital and treatment for this kinda m-pregnant. Jadinya, aku malah nyaman di sana.” Ceritaku.

“Aku balik tapi Bang akhirnya ke Indonesia. Aku kangen banget sama Mingyu. Ternyata, sejauh apapun kaki aku melangkah, aku rasa aku akan tetep balik lagi ke adek kamu deh. Katanya aku masih bisa pulang ke rumah, tapi apa iya Mingyu masih jadi rumah aku Bang?”

“Pas di Inggris aku baca berita kalau dia udah lamaran sama mantan pacarnya pas SMA. Kamu kenal deh pasti. Tadinya aku berharap kalau cewek itu yang akan jadi bahagianya Mingyu lho! Soalnya, aku selalu berdoa dia mendapatkan kebahagiaan even though without me in it, aku bodoh banget ya?” kataku lagi-lagi merutuki diriku sendiri.

“Apa aku doanya ngga ikhlas ya, Bang? Bulan lalu pertunangannya dibatalin. Ceweknya ke New York, katanya Mingyu ga bisa LDR-an, it's a little bit weird, karena aku yakin Mingyu ngga gitu. Selama inikan yang ngga bisa LDRan aku.” Aku masih mengelus rumput hijau dan sesekali ke nisannya.

“Hidup itu lucu ya, Bang? Atau aku yang bikin ini seperti lelucon?” Tanyaku, air mata jatuh perlahan dipipiku.

“Aku yang ninggalin Mingyu, aku yang kangen sampe pengen mati rasanya, nyesek banget. Kangeeeeennn banget sama sosok Mingyu di samping aku. Waktu hamil, pengen banget ada Mingyu di sebelah aku. Nangis tiap malem sampe ketiduran. Padahal aku yang pergi tanpa jejak. Aku lucu ya?” Kataku, mengusap air mataku.

“Sekarang, aku yang bingung gimana ngadepin Mingyu. Sekarang, aku yang pusing sendiri how to react if I meet him in the street. Peluk? Memang aku masih ada hak untuk itu ya? Haha. Walaupun iya, pengen banget. Ngebayanginnya aja udah bahagia. He's totally angry and close his door for me ngga sih, Bang?” Tanyaku.

“Secara ini yang kedua aku ninggalin dia. Tapi, kayaknya untuk kabur lagi, kayaknya ngga deh soalnya sekarang ada Yulna. Aku bahkan udah mulai nabung lagi, Yulna mau masuk preschool. Supaya dia ngga bosen di apart. Aku kayaknya udah harus nyari rumah ya? Karena ngga mungkin tinggal di apart. Yulna ngga punya ruang gerak yg leluasa gitu. Lucu ya punya anak kecil yang bisa diurus, dunia kita seakan cuma dan hanya punya dia. Aku bahkan lupa lho Bang kapan terakhir aku belanja untuk diri aku sendiri, semua habis buat Yulna.” Senyumku.

“Aku bawel banget ya sekarang? Iya ih, sejak jadi papa-papa bawaanya ngomooong terus. Soalnya, Yulna miriiiiiipppp banget sama Mingyu sifatnya, kalau lagi sakit manjanyaaaa, kalau lagi jahil ya ngeselinnya. Plek ketiplek sama. Tapi kalau manja clingy yang aneh-aneh kayaknya itu dari aku deh. Soalnya, akukan manja banget.” “By the way, She's tall lho, Bang. kayaknya yang itu juga turunan dari Mingyu deh. Banyak banget orang yang nyangka kalau dia udah umur 2tahun lebih. Jalannya udah lancar, udah bisa manggil aku 'papa papa papa'. Lucu banget ngga sih? Jadi kangen, anaknya di bawa Jihoon sama Soonyoung ke Taman Safari mau ketemu mbek katanya. Padahal, ngga ada kambing di Taman Safari.” Tawaku mengingat tingkah bayiku.

Tawaku langsung terhenti keketika aku merasakan ada seseorang yang memeluk tubuhku dari belakang. Sangat erat. Wangi itu, deruan nafas yang ada di tengkuk leherku. Aku hafal siapa orang ini.


Pagi ini, gue memutuskan untuk pergi ke satu tempat yang indah, tenang dan damai. Udah lama banget rasanya ngga ke sana karena kesibukan gue yang benar-benar menyita waktu. Terakhir tahun lalu, bulan Agustus, ngga nyangka di sana udah banyak bunga tulip putih, pasti kerjaan temen-temen yang diamanatin Wonu ngga sih?

Gue beli sebuket bunga tulip putih setelah gue tanya sama Hao toko bunga yang jual. Susah banget nyari tulip putih belakangan ini. Selalu tulip putih, bunga yang Wonwoo bawa saat berkunjung — San Diego Hills, rumah si Abang gue satu-satunya. Katanya bunga tanda permohonan maaf? Gue ngga paham sih, tapi manggut apa aja apa kata Wonu.

Sekarang gue udah ada di komplek rumah abang, yang pertama kali gue lihat adalah samar-samar seorang pria bertubuh ramping duduk di makam Bang Cheol, gue masih jalan ke sana ngga bergeming dan sesaat tubuh gue terpaku, samar-samar gue dengar suara yang sangat-sangat gue hafal sedari 9 tahun yang lalu. Suara rendah yang lembut yang sedang tertawa sambil bercerita. Wonu? tanyaku dalam hati. Masih gue dengar ceritanya dengan seksama, kini dia sedang menceritakan tentang seseorang yang dia panggil Yulna — anaknya, ralat, anak kami. Anak gue—.

”— Lucu banget ngga sih? Jadi kangen, anaknya di bawa Jihoon sama Soonyoung ke Taman Safari mau ketemu mbek katanya. Padahal, ga ada kambing di Taman Safari. Haha.” Tawanya.

Bener itu Wonu, gue langsung mempercepat langkah gue, berharap ini bukan halusinasi. Gue ngga perduli apa yang akan terjadi setelah ini, yang pasti, sekarang gue mau meluk orang itu. Orang yang tawanya gue rindukan dua tahun ini.

Saat ini tawanya seketika berhenti, sekarang gue sudah memeluknya dari belakang. Kangen. Itu yang gue rasain. Kangen banget, saking kangennya gue ngga tau bangetnya harus gue sebutin berapa kali. Harum tubuhnya masih sama — wangi musk citrus, mawar, lili, hingga Patchouli yang bercampur di sana. Parfumnya, masih sama.

“Kak M.. Mingyu?” Tanyanya ragu dengan nada suara yang sangat kecil beberapa saat ketika gue memeluknya.

Dan iya, dengan ngga tahu malunya gue masih mendekapnya badan pria itu. Suara yang kini terdengar membuat gue menangis. Dada gue sangat penuh sesak. Sesak banget, rasanya mau meledak. Yang gue rasaian sekarang adalah rindu yang teramat sangat. Berat rasanya.


Mingyu masih memeluk tubuh Wonwoo. Bahunya bergetar, air matanya berjatuhan. Di depannya, sudah ada pria yang hampir dua tahun ini dia tunggu. Seakan enggan melepas pelukannya, Mingyu takut ini hanya halusinasi, Mingyu takut pria ini menghilang ketika dia melepas pelukannya.

“Iya, Dek. Ini aku.” Jawab pria tinggi itu dari punggung Wonwoo, menenggelamkan kepalanya di sana di ceruk leher Wonwoo. Nafasnya yang tak beraturan itu perlahan dia coba untuk atur sedemikian rupa.

“Kak..” ucap Wonwoo, air mata menggenang di manik rubahnya. Wonwoo yang masih belum mempersiapkan dirinya untuk bertemu pria yang dia tinggalkan ini, memiliki luka yang sama. Luka yang tercipta karena perbuatannya.

“Maaf, sebentar. Gini dulu.” Kata Mingyu dengan nada yang sangat lembut.

5 menit, 10 menit, 15 menit, 30 menit Mingyu masih diposisinya. Menangis dalam diam, kini wajahnya sudah tenggelam di punggung Wonwoo. Basah punggung kemeja hitam yang Wonwoo pakai pagi ini.

“Aku pegel lho, Kak.” Kata Wonwoo mencoba melepas dekapan pria di belakangnya. Kalah tenaga, itu yang Wonwoo tahu. Mingyu semakin mengeratkan dekapannya.

“Hey, aku ngga akan kemana-mana. I wanna see your face, let me turn around.” pinta Wonwoo, Mingyu melonggarkan pelukannya, perlahan Wonwoo memutar tubuhnya.

“Hai..” sapa Wonwoo, tersenyum. Air matanya jatuh satu persatu ketika melihat pria dihadapannya menangis, wajah tampannya merah padam, matanya merah dan air mata terus mengalir dari manik elangnya. Wonwoo menyadari pria di hadapannya meredup.

“H-Hai” jawab Mingyu yang masih terisak, menatap manik Wonwoo dalam, manik yang dia rindukan. Wonwoo tersenyum semampunya, karena kini hatinya tercabik-cabik melihat Mingyu.

“Apa kabar?” tanya Wonwoo, mencoba tersenyum dan mengelap air mata dari pipi sang pria kesayangan.

“Ngga baik.” jawabnya.

“Kamu?” tanya Mingyu.

“Ngga pernah seburuk ini.” jawab Wonwoo, memegang pipi sang kakak. Mengelus lembut pipi itu dengan ibu jarinya. Mingyu mengelus punggung tangan yang ada di pipinya.

Wonwoo memeluk Mingyu, hal itu yang memang ingin dia lakukan sejak dua tahun yang lalu. Memeluk Mingyu, menghirup dalam wangi tubuhnya. Mingyu kini sudah lebih tenang, tidak menangis, berganti dengan Wonwoo yang kini menangis dipelukannya.

“Nu.” panggil Mingyu sembari mengelus surai Wonwoo. Wonwoo menggelengkan kepalanya.

“Dek.” panggil Mingyu lagi yang masih dijawab dengan gelengan kepala. Wonwoo masih menangis di dalam dekapannya. Mingyu terdiam, mengeratkan dekapan mereka.

Do you miss me?” tanya Wonwoo memberanikan diri melepas dekapan Mingyu dan menatap manik redup Mingyu di sana.

“Masih nanya?” tanya Mingyu.

“Aku kangen banget sama kamu. Kangen banget kaya aku mau mati aja kalau gini terus.” jawab Mingyu.

“Please don't die.” kata Wonwoo.

“Jangan tinggalin aku lagi, Nu. Aku akan dengerin semua penjelasan kamu. Semuanya. Tapi, tolong. Pulang! Aku gembel tanpa kamu.” kata Mingyu mendekap Wonwoo erat.

“Kamu masih rumah aku, Kak?” tanya Wonwoo dalam dekapannya.

Diam, Mingyu hanya diam. Kini dia memiliki rindu yang dibalut rasa kecewa.


Di sinilah Wonwoo dan Mingyu kini, di dalam Mobil SUV Mingyu masih di pelataran parkir pemakaman elit tersebut.

“Jadi, kemana kamu selama 2 tahun ini, Dek?” tanya Mingyu, badannya dimiringkan ke kanan, menghadap Wonwoo yang masih menunduk.

Runaway from you.” Jawab Wonwoo.

“Kenapa?” tanya Mingyu.

“Karena aku hamil anak kamu?”

“Kenapa lari? Kenapa ga bilang ke aku?”

“Ngga mau kamu susah.” jawab Wonwoo.

“Jelasin yang bener, Nu! Aku masih mau denger.” kata Mingyu, nada suaranya tegas, nada suara yang tidak pernah Wonwoo dengar sebelumnya.

Mingyu marah. kata Wonwoo dalam hatinya. Tatapannya tak sehangat tadi.

“Kamu marah?” tanya Wonwoo, hati-hati.

“Banget. Marah banget. Tapi, aku masih mau denger penjelasan dari mulut kamu.” kata Mingyu, menahan emosinya sekuat tenaga. Karena rasa rindunya lebih besar dari rasa marahnya, dia tidak mau Wonwoo hilang lagi dari matanya. Tak bohong bila diapun sangat kecewa.

“Aku nyari kamu, Wonwoo. Aku putus asa nungguin kamu.” kata Mingyu lagi.

“Tolong jangan bikin aku gila, aku butuh penjelasan dari kamu.” kata Mingyu, menunggu Wonwoo membuka suara.

“Aku hamil, Kak. Aku takut. Takut sama omongan orang, takut kamu kenapa-napa, takut banyak hal. Saat itu aku cuma kepikiran untuk kabur. Lagi. And waiting for you to find your happiness.” jelasku.

“Dan kamu salah lagi kan?” tanya Mingyu, Wonwoo terdiam.

“Kamu tahukan kamu kebahagiaan aku? Kalau kamu pergi kaya kemarin, aku gimana mau bahagia, Nu? Kamu sukses bikin aku hampir gila.” kata Mingyu.

“Maaf, Kak.”

“Maaf kamu.. Harus aku maafin kamu?” tanya Mingyu.

“Kenapa bisa sedangkal itu, Nu?” tanya Mingyu, suaranya melembut.

“Apa ngga bisa kita kaya pasangan normal lain, yang saling mencintai tanpa berfikiran untuk saling meninggalkan? Kamu ngga capek lari?” tanya Mingyu.

“Kamu hamil? Aku akan tanggung jawab. Kamu lebih tahu dari orang lain. Dengan senang hati. Nama baik Kim Bum? Ngga ada orang yang akan menolak kalau itu soal uang. Papi bisa urus semuanya. Mama? Mama nungguin cucunya, Nu. Orang tua aku juga nyari kamu.” jelas Mingyu. Isak tangis Wonwoo pecah.

“Kamu tau gimana rasanya jadi aku? Pengen meluk kamu, Nu. Pengen jagain kamu dari orang jahat. Aku pengen menuhin samua ngidamnya kamu. Pengen ada di saat kamu ngelahirin. Pengen ngadzanin anak aku. Aku cuma pengen ada di samping kamu!” kata Mingyu, tangisnya pun meledak.

“Aku— malfungsi Nu ngga ada kamu. Segitu bencinya kamu sama aku?” tanya Mingyu.

“Kak—” kata Wonwoo tergantung.

“Sekarang terserah kamu, mau lari lagi? Silahkan—” kata Mingyu menggantung

“Silahkan lari sejauh yang kamu mau. Inget pulang, Nu. Aku rumah kamu!” kata Mingyu, menghapus air matanya. Menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan pelataran parkiran itu. Diam. Sunyi.

Sepanjang jalan, hanya hening yang ada di mobil ini, Wonwoo masih terisak dan Mingyu tetap fokus pada jalanan di depannya. Berusaha konsentrasi pada jalan agar tidak terdistraksi oleh Wonwoo. Dia masih kecewa.

“Masih tinggal diapartemen yang sama?” tanya Mingyu dingin, Wonwoo hanya menganggukkan kepalanya.

“Aku anter kamu pulang.” kata Mingyu, tegas. Nada bicaranya masih dingin, nada bicara yang tidak pernah Mingyu berikan padanya. Nada bicara itu, asing.

Mobil SUV Mingyu sudah berhenti di depan lobby apartemen Wonwoo, Wonwoo mengucapkan terima kasih dan turun dari sana. Mingyu hanya menjawab dengan dehamannya, tanpa melihat ke arah Wonwoo dan meninggalkan Wonwoo yang masih terpaku melihat kepergian mobil Mingyu.

Dia.. marah.. Dia kecewa... dan aku harus apa?? Masih adakah kesempatan kembali? Apa iya, aku masih bisa pulang?