“Hehe…” Marcelio cengengesan dengan memamerkan kedua gigi taringnya sembari memegang benda pipih milik Putra yang barusan ia rebut dari pemiliknya.
“Nih, udah!” kata pria tampan berambut sedikit gondrong yang diikat agak longgar ke arah belakang dengan asal-asalan.
Pemilik ponsel yang manis itu langsung mengambil kembali smartphone-nya dan mengecek apa yang Marcelio ketik di room chat kakak sepupunya itu.
“MAS!” omel Putra dengan nada tinggi setelah meletakkan ponselnya sedikit kesal. Marcelio segera menutup mulut Putra, “Sssttt, tempat umum.” jawabnya sembari menatap kedua mata lembut milik Putra, begitupun dengan pria manis itu. Mata mereka saling bertatap.
Deg! tidak hanya Putra yang kaget, Marcelio pun terkejut dengan apa yang sedang ia lakukan saat ini.
Putra dengan segera menatap tangan yang menutup bibirnya untuk mengalihkan pandangannya sembari menepuk punggung tangan Marcelio, meminta senior manager-nya itu untuk melepaskan telapak tangannya. Kalau boleh jujur, Putra sedang salah tingkah.
Pria yang pagi ini menggunakan white t-shirt dengan lengan sengaja terlipat yang memamerkan otot-otot lengannya itu dengan cepat menarik tangannya, lalu segera menyeruput coffee latte-nya. Sama halnya Putra yang salah tingkah, pria tampan itu juga sedang mencoba menenangkan degupan jantungnya yang mulai aneh.
Setelah tangan Marcelio terlepas, pria manis yang sedang salah tingkah itu mencoba untuk lebih tenang dengan segera membenarkan kacamatanya dan mengambil kembali ponsel yang tadi ia letakkan, kemudian menatap layarnya dengan nanar, sembari scroll-scroll homescreen ngga karuan. Ia masih sedikit deg-deg-an.
Meja di pojok yang berada di dalam, dekat dengan kaca jendela besar di salah satu coffee shop di bilangan Jakarta Selatan itu hening. Tidak ada satupun kalimat yang keluar dari kedua bibir pria itu.
Hingga—
“Mas,” panggil Putra.
“Put,” kata Marcelio membuka suara.
Suara mereka saling bersautan untuk memecahkan keheningan di pagi menuju siang itu.
“Lo dulu aja.” pinta Marcelio kepada planner digital-nya.
“Lo dulu, mas, gue cuma manggil.” jawab Putra sembari tersenyum sedikit canggung.
“Hmm,” kata pria yang dipanggil Celo itu.
“Hmm?” Putra menyahut.
“Lo ngga suka ya kalau Onel tau kita lagi jalan berdua gini?” tanya Marcelio, nadanya sedikit serius, pria yang ditanya langsung menegakkan tubuhnya. Sedikit terkejut.
“Hah? Nggaaa, ngga gitu konsepnya.” jawab Putra sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
“Bukan gitu,” kalimat pria manis itu menggantung.
“Terus, kenapa?” tanya Marcelio.
“Kenapa lo kaget banget kalau gue kasih tau Onel kalau kita lagi work from anywhere bareng?” tanya pria tampan itu dengan nada yang penasaran.
“Lo malu jalan sama gue?” tanyanya lagi bertubi.
Putra seketika tertawa hingga mengernyitkan hidung yang membuat matanya tinggal segaris saat mendengar pertanyaan dari Marcelio. Pria tampan dengan tinggi 187cm itu menatap Putra dengan wajah penuh tanda tanyanya.
“Kok lo ketawa sih?” tanya Marcelio sembari mengernyitkan dahinya.
“Lo lucu, mas,” kata pria bermanik rubah itu setelah tawanya mereda.
Gantian, Marcelio kini yang menegakkan tubuhnya dan terkejut mendengar jawaban dari pria manis di hadapannya.
“Gue bukan Komeng!” kini berganti Marcelio yang mengerucutkan bibirnya.
“Ngga, gue tuh ngga mau kita jadi bahan gunjingan anak-anak planner dan team lain aja,” jawab Putra sambil tersenyum manis.
“Kan lo tau mulut Kak Onel ember-nya kaya gimana? Ya, walaupun gue tau dia bercanda sih,” lanjut pria manis itu.
“Tapi, enakan kaya kemaren-kemaren aja ngga sih, mas? I mean, no one knows. It doesn't become gossip in the office gitu.” jelas Putra.
“Ya lo taukan di kantor tuh kita terkenal banget berantem terus, sampe dipanggil cat and dog lah, tom and jerry lah.” kata pria manis itu sambil mengedikkan bahu lebarnya.
“Kalau orang tau kita sering bareng gini, aneh ngga sih? Bukan jadi bahan ghibahan lagi, fix banget masuk ke global magazine.” kata Putra.
Marcelio menatap wajah manis Putra dalam dan mendengarkan setiap kalimat yang Putra katakan, mencoba memahami point of view dari pria yang belakangan ini ia dekati — ssttt, ini masih rahasia.
“Bener sih,” Marcelio menyetujuinya dengan nada yang serius.
“Emang seharusnya, gue yang malu jalan sama lo. Ya, ngga?” ejek pria itu sembari memberantaki rambut Putra.
“Ihs, gue lagi serius juga!” kata Putra menggeplak tangan Marcelio dan merapihkan rambutnya.
“Hehe, iyaaa iyaaa, ngerti Putra Mahkota, hamba mengerti maksud dan tujuannya.” Marcelio tersenyum jahil sembari meletakkan satu tangannya dan sedikit membungkukkan tubuhnya yang masih terduduk.
Putra memutar bola matanya, menandakan ia sudah mulai sebal dengan pernyataan Marcelio.
“Nanti gue yang ngomong sama Onel buat ngga ngasih tau siapa-siapa.” kata Marcelio dengan penuh percaya diri.
“I’ll shut Onel's mouth.” lanjut pria tampan itu dengan penuh percaya diri.
“How?” tanya Putra.
“Gue punya kunciannya, dia pasti ngga akan ngomong sama siapa-siapa.” Marcelio menyunggingkan senyuman liciknya sembari mengelus dagunya seolah sedang merapihkan jenggot. (FYI, Marcelio ngga pernah menumbuhkan jenggotnya.)
Putra hanya menggelengkan kepalanya, berharap kuncian Marcelio dapat menghentikan jeratan gossip tentang mereka di kantor dari mulut kakak sepupunya itu, sebelum semuanya terlambat.