How Can Love to be Love
inspired by BITTERSWEET — MinWon Unit
Tepat di waktu dan tempat dengan perasaan yang sama gue menunggu si dia datang, memberikan senyumnya yang akan gue simpan selama 24 jam ke depan untuk memberikan kekuatan di hari-hari gue yang melelahkan setiap harinya.
Dia datang, namun malam ini tidak datang sendirian, dia berjalan beriringan dengan seorang wanita yang menawan. Wanita berambut gelap, panjang, dengan senyuman manis yang membingkai wajahnya setiap dia berbicara dengan pria yang selalu gue tunggu.
“Gyu, udah lama?” Tanya pria itu, ketika melihatku. Pria yang selalu gue tunggu kepulangannya. Gue tegakkan badan gue yang sedang menyender di salah satu tembok di tempat biasa gue menunggunya dan mencoba tersenyum kepada wanita itu juga.
“Belum, Kak.” Jawab gue, melepaskan sebelah earpod yang masih tertancap di salah satu daun telinga gue. Mata gue memandang wanita itu bergantian dengan memandang pria yang gue panggil Kak dihadapan gue, mengisyaratkan bahwa ingin tahu siapa wanita ini.
“Oh iya, Mingyu kenalin ini Sohee. Sohee, ini Mingyu.” Kata pria yang hari ini menggunakan blazer mocha dan kaus putih di hadapan gue, tersenyum. Tampan seperti biasanya. Pria itu tersenyum lebar begitu menyebutkan nama wanita yang ada di sampingnya. Gue ulurkan tangan gue untuk menjabat tangan wanita itu yang ternyata disambut ramah, dan kami saling bertukar nama.
“Sohee ikut kita makan malam, ngga apakan, Gyu?” Tanyanya ke gue, tentu ingin menjawab tidak boleh namun apalah daya gue. Gue jawab dengan anggukan dan kembali berusaha tersenyum, menyembunyikan kegetiran gue seorang diri.
Kita jalan bertiga beriringan, sampai gue memperlambat langkah gue dan berada di belakang mereka berdua. Seakan gue merasa tidak pantas berada di antara mereka. Mereka asyik berbincang hingga kami sampai di tempat biasa gue dan si dia makan setiap malamnya.
“Gyu, lo mau makan apa? Biasa kan?” Tanya pria berambut blonde itu kepada gue yang kini sedang memproses dan bertanya untuk apa gue di sini, gue jawab dengan anggukan, tanpa suara.
“Kamu mau pesen apa, Sohee? Di sini yang paling enak udonnya, favorite Mingyu.” Kata pria itu kepada wanita yang malam ini dia bawa.
“Boleh, Won. Samain aja, aku ikut. Karena emang laper banget.” Jawab wanita itu. Wonwoo menjawab dengan senyuman dan beranjak untuk memesan makanan untuk kami bertiga di salah satu counter yang berjarak sedikit jauh dan mengambil antrian di sana.
“Mingyu, kuliah di mana?” Tanya wanita itu memecahkan keheningan antara kami.
“Pledis University, Kak.” Jawab gue dengan kesopanan yang gue miliki.
“Oh, emang ngga jauh ya dari sini. Sering jemput Wonwoo ya?” Tanyanya lagi.
Wonwoo adalah pria itu, pria yang selalu membuat debaran jantung gue berdetak lebih cepat saat di sampingnya. Pria yang selalu dengan sukarela gue biarkan menghabiskan waktu gue hanya untuk memikirkannya.
“Hampir setiap hari, kalau memang ada waktu.” Jawab gue datar. Bohong. Gue selalu menyisihkan waktu gue untuk menjemputnya pulang bekerja. Karena gue harus memastikan pria itu sampai di rumah dengan selamat. Harus.
“Kalau kakak?” Tanya gue. Ini pertanyaan basa-basi yang entah kenapa keluar dari bibir gue.
“Kenapa aku?” Tanyanya.
“Temen kerja Kak Wonwoo?” Tanyaku.
“Iya. Udah 3 bulan ini kebetulan kerja bareng sama Wonwoo, dia sering cerita tentang kamu dan I'm curious, so here I am now.” kata wanita itu santai.
Cerita tentang gue?
“Cerita?” Tanya gue dengan alis yang terpaut dan kening yang mengkerut.
“Hayo, lagi ngomongin apa? Pasti ngomongin gue.” Kata Wonwoo, dari belakang badan gue dan menepuk salah satu bahu gue.
Sejak hari itu, Sohee selalu ada di antara gue dan Wonwoo. Tempat makan yang biasanya hanya gue dan Wonwoo kunjungi setiap makan malam, kini selalu diisi oleh Sohee disalah satu kursi kosongnya.
Jujur, gue sedikit terganggu dengan kehadiran wanita sempurna dalam bentuk Sohee, namun tak ada yang bisa gue lakukan, gue hanya melakukan keseharian gue seperti biasa. Kuliah, menjemput Wonwoo, makan malam bersamanya dan mengantarnya pulang.
Malam ini, gue masih melakukan hal yang sama, menunggu si dia di jam yang sama, bedanya malam ini hujan mengguyur kota dan membasahi jalan, sehingga gue menunggu sedikit lebih dekat dari gedung kantornya. Membuka payung yang lebih besar agar bisa cukup untuk kami berdua dan menunggunya keluar, untuk memastikan malam ini dia tidak terkena hujan.
“Kak.” Kata gue ketika melihat si dia keluar dari lobby utama gedung itu.
“Hai. Udah lama?” Tanyanya.
“Baru sampe.” Jawab gue. Bohong. Lagi lagi gue berbohong. Gue sudah menunggunya 30 menit dengan payung terbuka, memastikan tak ada air yang berani menyentuh tubuhnya.
“Sohee?” Tanya gue melihatnya keluar sendiri.
“Pulang duluan katanya, ada urusan. Yuk! Gue laper, Gyu.” Katanya dengan nada lemah.
“Pelan-pelan jalannya, licin kak.” Kataku, merangkul bahunya mendekat agar tidak terkena air hujan dan berjalan beriringan di bawah payung berdua. Dan jantung gue kembali berdebar ketika menggapai bahunya yang bidang ke dalam pelukan gue. Malam ini, sama seperti malam sebelum Sohee datang, hanya ada kami berdua.
Sesampainya di tempat makan langganan kita berdua, kami segera memesan makanan berkuah dan air hangat untuk menghangatkan tubuh kami. Semua terasa kembali pada tempatnya. Hanya ada seorang Mingyu dan Wonwoo sedang berhadapan di meja makan salah satu restoran favorit kami.
“Mingyu, menurut lo, Sohee gimana?” Tanya si dia pada gue yang sedang menikmati keindahan nya yang berada di hadapan gue.
“Gimana apanya?” Tanya gue balik.
“Gue suka Gyu sama Sohee. Menurut lo?” Tanyanya.
Gue tidak akan menyalahkan siapapun untuk pertanyaan yang Wonwoo keluarkan malam ini, bukan salahnya, juga bukan salah Sohee yang mempesona di mata seorang Wonwoo. Sedangkan gue tidak akan pernah mempesona dihadapannya. Tidak akan pernah. Ini semua adalah salah gue yang selalu meragu untuk menunjukkan perasaan gue yang sesungguhnya kepada pria di hadapan gue. Dan gue membenci diri gue untuk itu.
“If you like her, go for it. Kenapa harus ragu dan nanya ke gue, Kak?” Kata gue. Lagi, gue menyembunyikan perasaan gue dan berlagak seolah gue baik-baik saja. Tidak. Gue tidak baik-baik saja.
“Menurut lo, dia suka sama gue ngga?” Tanya Wonwoo.
“Ngga tau, Kak. Mungkin? Kenapa ngga dicoba tanya dulu ke orangnya?” Sok kuat dibalik senyuman adalah jalan ninja gue.
Apapun itu, yang gue tahu saat ini pria di hadapan gue memiliki tatapan yang sama ke gue, namun dengan perasaan yang berbeda dengan apa yang gue rasakan untuknya. Tatapan manis yang selalu gue rindukan setiap hari, kini akan terasa sangat pahit untuk gue bayangkan. Mungkin ini saatnya gue untuk melepaskan Kak Wonwoo, karena sejujurnya gue ngga mau kehilangan dia.
Karena hati yang berbeda, kamu yang ada dihadapanku berhenti dihadapannya. I'm okay, not okay.
3 minggu setelah hujan deras malam itu, Mingyu tidak pernah muncul di tempat yang sama seberapa lamapun aku menunggunya di sana. Kuhubungi ponsel-nya, dia hanya akan menjawab bahwa tugas kuliahnya sedang banyak.
“Maaf kak, gue ngga bisa jemput ya, tugas gue lagi banyak.”
“Okay.” Jawabku.
Sejujurnya aku kecewa ketika tidak menemukannya di malam ketika tubuhku lelah akan pekerjaanku seharian. Pria itu selalu mencerahkan malamku, menemani langkahku setiap malam dan menguapkan rasa lelahku, bagaikan bulan. Terang walaupun awan gelap selalu menyelimutinya.
“Kak, pulangnya hati-hati ya! Jangan ambil jalan yang gelap.”
“Kak Won.”
“Hmm?” Gumamku.
“Di luar hujan, jalanan licin dan udara makin dingin. Jangan lupa pakai jaket dan payung ya.” kalimat terakhirnya sebelum menutup panggilan telepon ku yang bahkan belum aku jawab.
Kugunakan long coatku dan membuka payung kecil ketika hendak melangkahkan kaki dari lobby kantorku.
“Wonwoo?” Sapa seorang wanita di belakangku. Sohee. Wanita cantik yang belakangan ini aku sukai. Wanita yang belakangan ini menjadi pusat perhatianku — pikirku. Dan wanita ini pula yang seminggu terlihat sedang menghindariku.
“Boleh ngobrol, Won?” Tanyanya, kujawab dengan anggukan, kita berjalan beriringan dengan menggunakan payung yang berbeda. Tanpa berkata.
Kini aku dan Sohee sudah ada di salah satu café dekat kantor, kami memilih duduk di samping jendela, memandangi hujan sesekali. Hanya hening, hingga tak lama pesanan kami datang.
“Ngga bareng Mingyu, Won?” Tanyanya membuka keheningan antara kami berdua.
“Ngga, So. Dia lagi sibuk ngerjain tugas kuliah katanya.” Jawabku, menyesapi amerikano cokelat hangat di hadapanku.
“Kamu mau ngomong apa, by the way?” Nada suaraku tak pernah seragu ini.
“Aku langsung to the point aja ya, Won?” Tanya Sohee. Aku berikan gesture tanganku untuk mempersilahkannya berbicara.
“2 minggu sebelum aku coba jaga jarak sama kamu, kamu tahu kalau kamu berubah?” Tanya Sohee.
“Berubah?” Tanyaku.
“Tatapan kamu kosong, saat kita berdua kayak gini, aku ngerasa kamu ngga di sini sama aku.” Kata Sohee.
“Aku tahu, aku ngga akan pernah bisa menggantikan posisi seseorang di hati kamu. Kamu hanya belum menyadari betapa berartinya orang itu, Won.” Kata Sohee. Kalimat itu seperti tamparan bagiku, namun aku masih belum mengerti maksud dibalik kalimat itu.
“Maksudnya?” Tanyaku. Coba jelaskan agar aku dapat mengerti apa yang sedang terjadi.
“Tapi Sohee, yang aku suka itu kamu.” Kataku. Akhirnya, kalimat itu keluar dari bibirku setelah beberapa minggu ini aku simpan dalam diam.
“Mingyu— kamu hanya membutuhkan Mingyu, Wonwoo. Mingyu orang yang kamu suka. Bukan aku. We just don't feel the same, mungkin kamu terkecoh dengan perasaan kamu sendiri. Mungkin kamu ternyata memang hanya menyayangi Mingyu, Won.” Katanya.
Terkecoh dengan perasaanku?
“We're not in the same page. Pikirin lagi siapa yang kamu butuhkan? Siapa kamu inginkan? Dan siapa yang kamu suka?” Tanya wanita itu, sekali lagi menamparku dengan kalimatnya.
“Aku pamit, Wonwoo. Think about it. Jangan sampai kamu menyesal setelah dia benar-benar hilang di dalam hidup kamu.” kata Sohee berdiri dari tempat duduknya.
“Good luck, Won.” katanya dan berlalu.
Aku pulang dengan pikiran yang ramai. Aku pikirkan matang-matang tentang apa yang aku rasakan untuk Sohee dan apa maksud kalimat dari Sohee tentang aku dan Mingyu?
'Menggantikan seseorang di hati? Mingyu?' gumamku dalam hati. Memang 3 minggu ini terasa sangat janggal tanpa kehadiran pria yang selalu memberikan senyum terbaiknya hingga memamerkan dua gigi taringnya untukku setiap malam sebelum aku memasuki pintu rumah.
Mingyu. Mingyu. Mingyu.
Meskipun aku menutup mata, pikiran ku tentang Mingyu membuat malam ini terasa sangat riuh. Entah kini aku di mana, antara mimpi atau nyata dadaku mulai berdetak cepat dan darahku mulai bergemuruh ketika memikirkan tentang Mingyu malam ini.
Sesampainya aku di dalam rumah, hanya satu hal yang ingin kulakukan. Kuambil benda pipih di sakuku, kutekan dial number 2, nama Mingyu tertulis di sana. Deringan ketiga, seorang pria mengangkat panggilanku.
“Halo?” sapanya, suara yang sangat aku hafal. Suara yang selalu menenangkanku. Dan suaranya yang mendadak membuat jantungku berdegup hebat.
“Mingyu..”
“Ya, Kak?”
“Di luar hujan.” Kataku. Di luar masih hujan, dan aku tahu bila dia juga tahu di luar hujan tanpa aku beritahu.
“Iya, kak. Di luar hujan.”
“Lo di luar? Kok hujannya jelas banget?”
“Gue di balkon, kak. Kenapa kok nelpon malem-malem gini?” tanyanya.
“Mingyu, gue sama Sohee kayaknya ngga mungkin bareng.”
“Kok pesimis gitu?” tanyanya, aku tidak bisa membaca nada suaranya, entah apa yang Mingyu fikirkan tentang ini.
“Sohee bilang, dia ngga bisa menggantikan posisi satu orang dihati gue.” Kataku jujur.
“Seseorang? Di hati lo? Ada siapa lagi, kak selain Sohee?” tanyanya.
“Kata Sohee, ada elo yang ngga bisa dia gantiin. Mingyu—” kalimatku terpotong.
“Apa mungkin selama ini gue cuma butuh lo?” Tanyaku.
“Apa mungkin perasaan gue ke elo berubah cinta?” Tanyaku lagi.
“Kak—”
“Mingyu, do you love me?” Tanyaku dengan berani, entah keberanian yang datang dari mana.
“Kak Won—” kupotong lagi kalimatnya. Tolong biarkan aku yang bingung ini bicara.
“Just tell me. Aku butuh jawaban.” Kataku.
“If I give my heart in the first place, and expect for your heart ketika gue tau lo suka sama yang lain, gue egois dan akan kehilangan lo. Gue ga mau.” jawaban yang tak pernah aku duga akan diucapkan oleh Mingyu. Jawaban yang tidak pernah aku sangka. Aku terkejut.
“Aku ngga mau kehilangan kamu, Kak. So I let you go.” katanya lagi.
“Mingyu, do you know? I miss you. Aku kosong tanpa kamu.” Benar, aku terasa hampa belakangan ini tanpa kamu di sisi.
“Please, don't let me go.” Tanpa terasa air mata jatuh dipipiku. Tolong, Mingyu.
“Apakah kita bisa melihat ke arah yang sama sekarang? Will our eyes ever meet each other again, Mingyu?” Tanyaku. Aku mohon, jangan pergi, Gyu.
“I miss you too, kak. Can you open the door? Aku di depan.” Katanya, dengan refleks kuberlari ke arah pintu rumahku dengan terburu-buru, aku ngga mau kehilangan pria ini, kini aku tak mau hidup tanpanya seperti 3 minggu belakangan ini.
Kubuka pintu rumah dengan jantung yang berdebar bukan main. Kutemukan dia, Mingyu berdiri di sana dengan baju dan rambut yang sedikit basah terkena hujan, menyambutku dengan senyuman manisnya di hadapanku dan segera membawaku kepelukannya. Kini, biarkan aku membalas pelukannya. Biarkan aku ada didekapannya untuk waktu yang lama.
“Kak, gue sayang banget sama lo.” Katanya. Aku mengangguk lirih, menjawab ucapan cintanya.
Dan ternyata inilah arti dari kalimat Sohee. Aku memang hanya membutuhkan pria ini, pelukan hangatnya, senyuman manisnya, tatapan lembutnya, hanya dia — Mingyu.
Yang Wonwoo tidak tahu adalah setiap hari dalam 3 minggu waktu yang tak mereka lewati bersama, Mingyu selalu bersamanya, melihatnya dari kejauhan. Masih menunggunya, memastikan Kakaknya itu selamat hingga di depan pintu rumah. Mingyu tak terlihat namun selalu ada.
Sama dengan malam ini saat hujan deras, sebelum kakinya melangkah pergi dari area rumah Wonwoo, pria berkacamata bundar itu menghubunginya.
Saat kalimat “Please, don't let me go.” terucap dari bibir Wonwoo, dengan impulsive-nya, dia langsung menghampiri pintu utama rumah itu, tanpa memperdulikan hujan yang mengguyurnya.
“I miss you too, kak. Can you open the door? Aku di depan.” Kata Mingyu, karena hal yang pertama ingin dia lakukan adalah memeluk tubuh ramping Wonwoo saat itu juga dan merapalkan sebuah kalimat untuk berusaha tidak akan melepaskannya lagi.