Aku, Wonwoo dan Cerita yang Tertinggal


Sudah delapan tahun berlalu sejak pertama kali gue sadar kalau seorang pria bernama Jeon Wonwoo punya kuasa yang aneh atas perasaan gue. Entah sihir apa yang pria manis itu punya, tapi setiap gerak-geriknya seolah mengisi relung hati gue yang kosong, menciptakan ruang yang cuma bisa diisi olehnya. Dan saat itulah gue ngerti kalau dia satu-satunya orang yang bisa bikin gue jatuh cinta, bahkan terlalu dalam, sampai rasanya nggak ada jalan untuk bisa kembali lagi.

Awalnya, gue dan Wonwoo cuma dua mahasiswa yang kebetulan sering ketemu karena lingkaran pertemanan kita yang sama. Dia teman dekat Soonyoung—teman sekosan gue. Wonwoo sering mampir ke kos, kadang cuma buat numpang duduk di kamar Soonyoung, kadang ikut nongkrong di ruang tamu dan nimbrung ngobrol. Dulu semuanya kelihatan biasa aja. Nggak ada yang nyangka kalau pertemuan-pertemuan kecil itu akan jadi awal dari cerita yang akhirnya nggak bisa gue hindari.

Lambat laun, semuanya ngalir begitu saja. Nggak tahu bagaimana awalnya, tapi gue mulai sering nganterin dia pulang ke tempat tinggalnya. Sekali, dua kali, lalu jadi kebiasaan yang gue tunggu-tunggu setiap kali dia mampir ke kosan. Ada rasa tenang saat gue tahu dia sampai dengan aman. Dan bahkan di hari-hari paling sibuk gue sebagai fresh graduate yang lagi belajar adaptasi sama dunia kerja, gue masih nyempetin diri buat nongol tiba-tiba di apartemennya, cuma buat gangguin dia yang lagi skripsian.

Tapi Wonwoo, dia selalu buka pintu buat gue. Tanpa pernah nanya kenapa, tanpa nuntut penjelasan. Seolah kehadiran gue di hidupnya bukan sesuatu yang aneh. Dia selalu nyambut gue dengan senyum kecilnya yang nggak pernah gagal bikin gue merasa kalau gue sedang pulang.

Gue masih inget banget malam itu salah satu malam Minggu yang tenang, kayak malam-malam biasanya kalau gue lagi sama dia. Gue udah duduk santai di sofa apartemennya, nonton series random di Netflix sambil nyemil biskuit sisa yang sengaja dia taruh di meja buat gue abisin. Lampu temaram dari sudut ruangan bikin suasananya nyaman. Nggak ada suara lain selain percakapan dari layar televisi dan deru pelan AC yang nyaris nggak kedengeran.

Lalu seketika suara dia nyela keheningan. Lembut. Nggak mengganggu, malah bikin gue merasa kalau sedang ia butuhkan.

“Kak, kamu tuh bantuin aku ngolah data kek, daripada nonton ngga jelas,” pintanya, nadanya setengah kesal, tapi bukan ke gue, melainkan ke skripsinya yang memang lagi nyusahin banget, dan tampaknya pria manis itu sampai dititik frustasinya.

Gue hanya tertawa kecil. Ngelirik ke arah dia yang lagi benerin posisi kacamatanya, ujung hidungnya sedikit berkerut karena kesal. Gerak-geriknya kecil tapi selalu berhasil menarik perhatian gue. Gue ubah posisi duduk gue, dan merapat ke sebelahnya, lalu ngerapihin beberapa kertas yang tercecer di atas meja—di depan kami.

“Mana? Sini, gue bantuin,” ucap gue, dan bahkan gue sendiri bisa denger gimana suara gue terdengar terlalu santai padahal jantung gue lagi deg-degan setiap kali berada di dekat dia.

“Ini,” si dia menyodorkan kertas sambil memanyunkan bibir tipisnya sedikit. Gerakan kecil yang selalu dia lakukan setiap kali lagi kesel tapi pasrah. Dan sialnya, ekspresi itu selalu berhasil bikin gue lupa cara bernapas dengan benar.

Ada sesuatu dari caranya memperlihatkan rasa kesalnya yang nggak pernah benar-benar bisa gue anggap serius. Karena di mata gue, semuanya tetap terlihat manis dan menggemaskan. Terlalu.

Wonwoo dengan kacamatanya yang sedikit melorot dan rambut acak-acakan karena terlalu sering digesek oleh tangan, bahkan dalam keadaan pusing ngerjain skripsi pun, dia tetap terlihat cantik. Cantik banget. Buat gue.

Dan di detik itu, sihirnya kembali bekerja. Sihir yang selalu muncul di saat-saat nggak pernah gue duga. Yang nggak pernah gagal bikin gue jatuh lagi. Jatuh lebih dalam, lebih dalam dari sebelumnya.

'Ya Tuhan, anak ini bikin gue nggak bisa ke mana-mana,' batin gue, sambil nahan senyum yang gue sembunyikan sebisanya.

Kadang gue suka mikir, gimana bisa hal sesederhana ini, seperti malam yang biasa, obrolan ringan, tawa kecil, dan senyum dia yang selalu hadir tanpa paksaan bisa bikin gue ngerasa... lengkap.

Tapi rupanya, rasa lengkap itu cuma sementara sampai suara dering ponsel-nya membelah keheningan nyaman yang tadi melingkupi gue— dan dia. Gue langsung refleks ngelirik ke arahnya, dan seketika dada gue mengencang. Nama yang muncul di layar ponsel-nya terlalu familiar buat gue. Terlalu jelas sampai gue bisa membacanya.

Wonwoo dengan wajah yang sebelumnya begitu dekat dengan gue, dan terasa hangat, segera berdiri, mengambil ponsel itu dengan gerakan tenang. Dia nggak bilang apa-apa, hanya tersenyum ke arah gue sebentar dan menjawab telepon itu dengan suara lembut, suara yang ngge pernah dia pakai kalau ngomong ke gue, selain kalau ada maunya.

Tapi kali ini, suara itu bukan meminta sesuatu ke gue. Suara itu buat orang lain.

Dia melangkah ke dalam kamar, masuk ke dalam, dan menutup pintunya rapat-rapat. Nggak ada suara. Nggak ada penjelasan.

Gue cuma bisa duduk di sofa. Diam. Mata gue tetap tertuju ke arah pintu itu, seolah berharap dia akan kembali keluar secepat dia masuk. Tapi menit demi menit berlalu, dan gue tetap sendiri. Duduk di ruang tengah yang perlahan jadi terlalu sepi buat gue.

Punggung rampingnya yang tadi berjalan menjauh masih terpatri jelas di kepala gue. Dan untuk pertama kalinya malam itu, gue sadar kalau kebahagiaan gue ternyata bisa disela oleh satu nama.

Satu nama yang selalu bikin gue jadi cuma penonton, bukan pemeran utama dalam hidup Wonwoo.

Beberapa belas menit kemudian, pintu kamar itu akhirnya terbuka lagi, Wonwoo keluar dari dalam dengan langkah ringan, seolah nggak ada apa-apa yang baru saja terjadi. Seolah dia nggak sadar kalau selama dia di dalam sana, dunia gue berubah sunyi.

Dia menghampiri gue yang masih duduk di tempat yang sama, bersandar pada kaki sofa yang tadi penuh tawa dan percakapan santai.

“Sampai mana tadi kita?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Ada nada tidak enak di sana. Seolah ia tahu ia telah meninggalkan gue sedikit lebih lama dari seharusnya. Atau mungkin juga dia bisa merasakan kalau sesuatu dalam diri gue berubah, mungkin ekspresi gue nggak sesantai sebelumnya.

Gue menoleh sekilas. Mencoba memberinya senyuman, walau tipis. “Tadi lo minta gue compile data, kan?” sahut gue, mencoba terdengar santai.

Wonwoo duduk kembali di samping gue, tapi kali ini, gue merasakan sedikit ada jarak. Nggak jauh, bahkan mungkin kalau dilihat orang lain, kami masih terlihat dekat. Tapi buat gue, jarak itu terasa seperti garis halus tak terlihat yang memisahkan. Garis yang muncul begitu dia menutup pintu kamar tadi.

Dia kembali menatap layar laptop-nya, tangannya meraih lagi kertas-kertas yang tadi sempat gue rapikan. Tapi gue menangkap tatapan singkat dari ujung manik rubah cantiknya. Tatapan yang seolah menakar sesuatu dalam diri gue. Tapi gue nggak tahu pasti apakah dia sedang merasa bersalah? Atau sekadar ingin memastikan gue nggak kenapa-napa?

Tampaknya, gue terlalu pandai berpura-pura. Terlalu lihai menyembunyikan pertanyaan yang sejak tadi memenuhi dada gue. Bahkan saat Wonwoo beberapa kali melirik gue dari ujung matanya, gue tetap pura-pura memaku pandangan ke layar TV. Menahan diri supaya nggak menoleh, supaya nggak kelihatan kalau gue sebenarnya sedang menunggu dia mulai bicara.

Tapi pura-pura itu melelahkan. Akhirnya gue menoleh, pelan. Senyum gue muncul lagi, tapi nggak selebar sebelumnya. Lebih lembut, lebih pasrah. Bukan karena hati gue sudah lebih baik, tapi karena gue nggak mau waktu gue sama dia malam ini berakhir dalam diam yang menggantung.

Gue buka suara, nyaris berbisik. “Kenapa?” tatapan gue melembut, “Apa, Nu?”

Dia berhenti dari segala kegiatannya. Gerakan tangannya terhenti di udara, dan dia cuma menatap gue. Mata indah di balik kacamatanya terlihat ragu, seperti ada sesuatu yang ingin dia ucapkan tapi belum tahu bagaimana memulainya.

Tapi justru di situlah, di diamnya, hati gue terasa perlahan sakit.

Karena di detik itu gue sadar, ternyata sedekat apa pun posisi duduk kita, ada jarak yang lebih lebar dari sebelumnya. Jarak yang nggak bisa gue isi karena bukan gue yang baru aja berbicara dengannya di telpon dan mendengar suaranya yang selembut itu.

Dan sialnya, gue masih di sini. Tetap mau bantuin dia. Tetap milih untuk duduk di sisinya, meskipun bagian kecil di hati gue tahu: gue bukan siapa-siapanya. Cuma seseorang yang kebetulan hadir malam ini, bantuin dia skripsian, sambil diam-diam jatuh cinta sendirian.

Lalu Wonwoo tiba-tiba memanggil gue, membuyarkan lamunan gue. Suaranya berubah sedikit ada ragu dan gue bisa ngerasain ada sesuatu yang berbeda dari cara dia menatap gue kali ini. Penuh. Manik rubahnya menembus pertahanan gue. Dan untuk pertama kalinya malam itu, gue nggak bisa baca mimik wajahnya.

“Kak Gyu...”

Gue noleh pelan, diam dan menunggu pria manis itu melanjutkan kalimatnya.

“Aku mau nanya,” lanjutnya.

Shoot,” jawab gue, mencoba terdengar ringan. Gue masih bersandar ke sofa.

Lalu dia akhirnya berkata, pertanyaannya standar tapi berhasil bikin waktu di sekitar gue mendadak berhenti sejenak. “Sebenernya, beberapa bulan ini aku lagi ngobrol intens sama Mas Seungcheol. Menurut kakak gimana?”

Deg.

Itu pertanyaan yang seharusnya biasa. Kalau saja bukan Wonwoo yang nanya. Kalau saja bukan gue yang dengar.

Gue nggak langsung jawab. Karena di kepala gue, semuanya tiba-tiba berisik. Dari mulai pertanyaan, kenapa gue bawa dia ke rumah waktu Seungcheol tiba-tiba pulang? Kenapa gue kenalin mereka? Kenapa gue kasih nomernya Wonwoo ke abang gue? Apa maksudnya ngobrol intens? Apa dia suka sama abang gue? Apa mereka saling suka? Gue gimana? Semua pertanyaan ada di kepala gue. Ingin rasanya gue minum panadol satu strip saat itu juga.

Dan di antara ribuan diksi yang gue tahu seumur hidup gue, baru malam itu, gue nggak tahu mana yang paling layak untuk gue ucap.

Pertanyaan yang Wonwoo berikan ke gue beberapa detik yang lalu rasanya kayak pukulan buat gue. Dan yang lebih nyebelin dari itu semua adalah ini semua bisa terjadi karena ulah gue sendiri.

Wonwoo bisa kenal Bang Seungcheol (atau yang tadi Wonwoo panggil 'Mas Seungcheol'), abang gue sendiri, karena gue yang ajak dia ke rumah. Gue kira, itu cuma hari-hari libur biasa yang gue dedikasikan buat bikin pria manis itu lupa sebentar dari skripsi dan dosen killer-nya. Gue nggak pernah menyangka kalau malam itu justru jadi titik awal segalanya.

Gue masih inget jelas. Hari itu, rumah lagi sunyi. Nyokap dan bokap gue lagi pergi ke luar kota, Wonwoo datang bawa camilan dan laptop, izin kalau dia mau istirahat sebentar. Gue bikinin teh hangat, kita duduk bareng di ruang tengah. Semua terasa nyaman, kayak biasanya.

Sampai abang gue muncul entah dari mana, masih pakai seragam pilotnya—kemeja putih rapi, dasi longgar di leher, koper kecil di tangan kiri, dan senyum. Iya, senyum yang biasa dipakai Bang Seungcheol buat menaklukkan siapa pun yang menjadi lawan bicaranya.

“Lho? Lo bawa temen, dek?” tanyanya waktu itu, ringan.

“Ehem, iya. Ini Wonwoo, anak bimbingan Prof. Siwon,” jawab gue santai, sampai detik itu gue inget kalau gue nggak merasa ada yang salah. Semua berjalan biasa aja.

Abang gue cuma ngangguk sambil mendekat, lalu mengulurkan tangannya ke arah Wonwoo. “Kim Seungcheol,” ucapnya.

“Jeon Wonwoo,” sahut Wonwoo, sopan seperti biasa.

Dan sejak jabat tangan itu, entah kenapa ada sesuatu yang berubah. Bukan di Wonwoo, tapi di abang gue.

Gue kenal banget sama pria itu, gue tahu arti dari setiap tatapan Bang Seungcheol. Gue tahu nada suaranya kalau dia sedang tertarik. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, gue ngeliat abang gue terlalu banyak senyum, terlalu banyak tanya, terlalu antusias ngebahas hal-hal yang biasanya nggak penting buat dia.

Dan Wonwoo? Dia nggak sadar apa-apa. Cuma ngerespon dengan sopan, kadang ketawa kecil, kadang kembali bengong karena mikirin data skripsinya yang masih kacau.

Tapi gue sadar.

Dan entah kenapa, dari malam itu gue mulai belajar berpura-pura. Pura-pura nggak tahu bagaimana abang gue sengaja mampir ke ruang tengah lebih sering dari biasanya tiap dia pulang dan Wonwoo datang. Gue juga pura-pura nggak dengar suara mereka ngobrol lebih lama di dapur. Gue juga pura-pura nggak lihat saat Bang Seungcheol mulai sering nyari tahu kabar Wonwoo lewat gue, dan mulai menceritakan tentang pria manis itu dari point of view yang nggak pernah gue tahu.

Tapi yang paling menyakitkan? Gue juga harus pura-pura kalau semua itu nggak akan mempengaruhi kehidupan gue.

Padahal gue tahu, dalam diamnya, abang gue yang jatuh duluan. Dan gue, yang terlalu lama mencintai Wonwoo dalam diam, cuma bisa ngerasain pelan-pelan dunia gue sedikit kacau dengan sendirinya.

Karena kalau yang jatuh cinta adalah gue, tapi yang punya keberanian dan pesona buat ambil hatinya adalah abang gue sendiri, ya gue harus apa?

Dan sejak tiga bulan setelah akhirnya Wonwoo bertanya ke gue tentang Bang Seungcheol, mereka resmi pacaran.

Dan gue?

Gue cuma jadi adik dari pacarnya. Orang yang nemenin Wonwoo kalau abang gue lagi terbang. Gue tetap di sana, tetap ada, tetap jatuh cinta, tapi sendirian. Nggak pernah gue utarakan. Nggak pernah gue perjuangkan.

Nggak ada pengakuan. Nggak ada keberanian. Nggak ada ‘gue’ dalam cerita mereka.

Yang ada cuma doa yang gue bisikin tiap kali liat punggung Wonwoo makin jauh: doa supaya dia bahagia, meskipun alasannya bukan gue.