Kok Jakarta Sempit?
Kini Putra, Lionel dan sang pak supir Theofan sudah berada di pelataran parkir Cilandak Town Square mall yang berada di bilangan Jakarta Selatan, dekat sekali dengan koss-kossan Putra yang hanya berjarak kurang lebih 2 kilometer — sebenarnya, tapi entah kenapa pria manis berkacamata itu malah mengikuti langkah kaki Theofan dan Lionel yang menuju ke dalam club malam terkemuka dan hits di Jakarta tersebut, padahal kalau saja ia mau, si dia yang manis itu bisa saja langsung pulang dan berselonjoran di kamar koss-nya yang sangat nyaman.
Theofan tampak sekali sedang terburu-buru dengan berjalan cepat untuk menjemput kekasihnya di dalam hiburan malam itu, sesuai dengan informasi dari Giana, begitupun dengan Lionel yang mengikutinya, sedangkan Putra, tersesat. Iya, tidak perlu heran mengapa ia tersesat, si dia yang manis dan bermanik rubah itu tidak suka tempat yang terlalu ramai serta penuh hingar-bingar, ditambah lagi Putra tidak bisa mabuk, karena ia asam lambungnya, jadi datang ke tempat seperti ini adalah pengalaman pertamanya di tahun ini. Sedangkan untuk Theofan dan Lionel, mungkin Jenja adalah salah satu tempat hiburan bagi mereka. Wajarkan kalau Putra hanya menatap ke kanan dan ke kiri seperti orang kehilangan arah di dalam ruangan penuh manusia yang sedang mabuk serta terbuai alunan musik jedag-jedug di ruangan sumpek ini?
“Lho? Theo, Uta ngilang!” kata Lionel yang celingak-celinguk mencari pria yang dipanggil Uta itu.
“Lo cari deh, gue cari cowok gue dulu nih!” iya mereka berbicara seraya berteriak karena ruangan yang sungguh ramai alunan musik yang dimainkan DJ itu memekakan gendang telinga mereka.
“Nah! Gue nemu laki gue, gue ke sana dulu!” teriak Theofan saat melihat pria setengah mabuk yang menggunakan kemeja motif dan jas hitam sedang duduk memegang gelas di bar, meninggalkan Lionel yang sedang melihat ke sana kemari guna mencari pria yang bernama Uta. Lionel tau ini bukan tempat yang Uta kenali, jadi dia sedikit agak cemas.
***
Putra sudah duduk di salah satu meja di pinggir lantai dansa, yang ia pikir sudah tidak berpenghuni, karena hanya terdapat satu gelas kosong di table itu, sedangkan meja yang lainnya benar-benar penuh, tapi yang pria ramping dan manis itu tidak tahu, bahwa meja itu masih ada pemiliknya yang sedang asyik berdansa. Si pria yang entah siapa itu meninggalkan meja tersebut dan menyisakan jaket hijaunya, lalu menggeletakkannya di kursi seberang Putra duduk. Jadi, dengan ketidak tahuannya pria manis berkacama itu santai saja membuka ponsel-nya, memasangkan airpods pro-nya untuk meredakan suara bising yang masuk ke dalam gendang telinganya dan memainkan sudoku dari ponselnya — sembaru berharap keajaiban datang, Lionel atau Theofan dapat menemukannya sedang duduk tenang di sana.
Tunggu punya tunggu, 10 menit berlalu, 15 menit berlalu, tidak ada seorangpun yang menghampiri mejanya dan mengajaknya pulang. Tak berapa lama, bukannya Theofan atau Lionel yang datang, justru seorang pria dengan badan besar, dan postur tubuh tinggi menghampirinya.
“Hai, manis. Sendirian aja kamu.” Putra menoleh dan tak mengindahkannya.
Hanya pria mabok biasa, ia pikir, lalu Putra kembali terfokus pada ponsel-nya hingga benda pipih itu direbut paksa oleh sang pria tak dikenal dan mulai menggenggam tangan putih mulus pria itu, memaksa Putra fokus padanya.
“HEH! LO KALAU GUE AJAK NGOMONG TUH NYAUT!” kata pria itu, Putra kaget, ini pengalaman pertamanya dibentak di depan umum, kalau ia boleh jujur.
“Balikin handphone-nya.” pinta putra masih meminta dengan baik-baik, ingin meraih benda pipih miliknya, namun tak bisa.
“ENAK AJA! GUE BANTING JUGA HANDPHONE LO!” nada pria itu masih tinggi, Putra tentu saja kesal, papanya di kampung saja tidak pernah meneriakinya. Pria mabuk ini siapa? Kenal saja tidak.
“Mau lo apa?” tanya Putra, menantang.
“OH BERANI YA LO!” ponsel Putra dibanting oleh pria mabuk itu dengan sembarang, kerah kemeja pria manis itu ditarik hingga si dia berdiri dari tempat duduknya sembari memegangi lehernya yang sudah mulai sesak. Pria mabuk itu sudah siap untuk melepaskan pukulannya, Putra juga sudah memejamkan matanya, namun, tidak pernah ada pukulan yang ia terima, pria yang memiliki nama panjang Dwiputra Wonwoo itu mengintip dengan satu matanya, dan menatap ada seseorang yang terlihat sangat familiar sedang menahan tangan pria mabuk itu dari belakang, seolah kapan saja bisa memelintirnya.
“Mau lo apain cowo gue?” tanya pria itu, membanting tangan pria mabuk yang ia tahan barusan, melepaskan cengkeram tangannya di leher Putra dan mengambil tubuh ramping Putra ke dalam pelukannya, hingga badan pria manis itu terhoyong.
“OH INI COWO BRENGSEK UDAH PUNYA MONYET?” tanya pria mabuk itu.
“Iya, udah ada monyetnya, anjing ngapain ganggu-ganggu?” tanya pria itu dengan nada santai, namun tetap nyolot. Memberikan pria mabuk itu tatapan sinisnya, sedangkan pria yang bernama Putra sedang terkejut dan bingung apa yang harus ia lakukan. Ia hanya terdiam, mendengar kedua pria itu adu mulut.
“SINI LO MONYET MAJU MANGGIL GUE ANJING!” kata pria itu berusaha menarik kerah pria yang masih merengkuh pinggang Putra dengan posesif.
“Lho? Emang lo anjing kan?” kata pria itu tenang penuh dominasi. “Lo pergi dari sini atau gue yang bikin ambulance jemput lo?” pertanyaan lanjutan, dengan mata yang melotot, jujur saja, semua orang bila melihatnya memilih untuk mengundurkan diri dari sana.
Pria mabuk itu tampak tidak takut dengan ancaman pria tinggi tegap denga t-shirt putih, hingga baku hantam pun harus terjadi.
Pria yang datang membantu Putra pun tak kalah aggressive memukuli pria mabuk tersebut tanpa henti, hingga sorak-sorai pengunjung memenuhi lantai dansa, sampai-sampai beberapa satpam meleraikan keributan mereka.
Putra dengan sigap membawa tubuh pria yang lebih tinggi 5 centimeter dari dirinya yang terlempar karena leraian dari satpam di Jenja dengan membopongnya keluar dari night club di bilangan Cilandak tersebut.
Setelah diusir dan keluar dari ruangan engap itu, pria yang menolong Putra kemudian melepaskan tubuh si manis darinya. “Gue mabok, jadi mukul orang yang gangguin lo kaya banci.” kata pria itu sembari terduduk di kursi depan club itu, sembari menyeka sisi bibirnya yang berdarah dengan ibu jari.
“Ngga kok, lawan lo juga udah hampir meninggal, kali.” jawab Putra, sembari menatap iba ke arah pria yang wajahnya sudah dipenuhi luka-luka bekas baku hantam tadi.
Hening diantara mereka.
“Handphone lo?” tanya pria itu pada salah satu kantong celana Putra.
Putra mengeluarkan benda pipih yang retak itu, dan membulak-balikannya. LED retak, kaca belakang iPhone dengan boba tiga-nya pun tak kalah retak. Benda pipih itupun ikut babak belur.
Keheningan kembali menjalar di antara mereka.
“Lo bawa mobil, Mas?” tanya Putra pada pria itu, memecahkan keheningan di antara mereka, pria tinggi tegap yang ditanya masih menatap langit malam tanpa bintang-bintang.
“Bawa.” jawabnya, Putra hanya mengangguk hening. “Tapi gue tipsy, ngga mungkin nyetir sih.” lanjutnya masih dengan posisi yang sama. Putra masih mengangguk. Segan, itu saja yang pria manis itu rasakan.
“Mau diobatin ngga luka-lukanya?” tanya Putra, menatap pria itu dengan tatapan ibanya.
“Gue ngga punya P3K di mobil, belom dibalikin Theo.” jawab pria itu tenang.
“Mau pake P3K gue? Kossan gue deket kok.” tanya pria berkacamata itu, menawarkan diri karena perasaannya yang tak enak, menatap pria yang sesungguhnya tampan itu menjadi babak belur.
“Lo bisa bawa mobil?” tanya pria yang dipanggil Mas oleh Putra ini.
“Bisa—” belum selesai Putra menjawab pertanyaannya, pria itu sudah melemparkan kunci mobil kepangkuan pria manis bermanik rubah yang masih terduduk dan berjalan menunjukkan jalan menuju ke arah tempat ia memarkirkan kendaraannya. Putra mengikutinya, dan jalannya sempoyongan. Tidak heran bila pria itu mengatakan bahwa ia tipsy.