Things He Never Said Out Loud
Ada yang pernah bilang kalau ‘manusia takkan pernah bisa menang dari rasa kesepian.’
Dan begitulah malam ini dirasakan oleh Jeon Wonwoo, ditemani secangkir espresso double shot keduanya hari ini, layar laptop yang masih menyala, lampu ruangan kantor yang mulai meredup, serta temaram cahaya dari gedung-gedung tinggi yang terlihat samar di balik jendela kaca. Kesunyian semakin merayap, datang entah dari mana, menyelubungi ruangan dan sekaligus hatinya.
Entah mengapa malam ini ia tidak ingin pulang cepat. “Masih ada deadline yang harus diselesaikan,” gumamnya lirih, seolah tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk pulang. Sebuah alasan klise yang ia ciptakan agar tetap bertahan di lantai atas gedung ini, enggan turun ke lobi dan menyusuri jalanan Jakarta untuk kembali ke apartemen yang sunyi.
Jarum jam nyaris menyentuh angka sepuluh malam. Tubuhnya yang terlalu lama duduk mulai terasa kaku. Ia menyandarkan punggung, merenggangkan bahu, lalu berdiri mendekat ke jendela besar untuk mencuci mata, menyapu pandangannya ke arah lampu-lampu jalanan dan gedung yang membias indah, seolah menawarkan ketenangan yang tak benar-benar bisa ia raih malam ini.
“Hah…” desahnya pelan namun berat, membuang napas kasar yang terasa menyesakkan dada. Hatinya mendadak bergemuruh, tak beraturan. Sekelebat kenangan tentang mantan yang tak akan pernah kembali melintas cepat di kepalanya, seperti film rusak yang terpaksa diputar ulang, disusul dengan bayang wajah seseorang yang terpaksa ia tinggalkan, ikut menyeruak ke permukaan seolah bekerja sama untuk menyiksanya malam ini.
Wajah seseorang yang sangat ia cintai. Yang manik elangnya selalu membuat Wonwoo tenang, yang tawanya sambil memperlihatkan kedua taring itu pernah menjadi rumah, dan yang kini hanya bisa ia temui dalam ingatan yang menyakitkan.
Perasaan bersalah dan rindu berbaur menjadi satu, menekan dadanya hingga terasa semakin sesak. Seakan semesta memang memilih malam ini sebagai panggung bagi rasa kehilangan yang selama ini hanya ia pendam dalam diam.
Kesepian datang menyerang tanpa ampun, mengendap-endap lalu menerkam dadanya yang sudah lama tak benar-benar lega.
Wonwoo masih menatap ke luar jendela saat ia merogoh saku celana bahan yang ia gunakan, menarik ponselnya keluar, membuka kamera, dan membidik pemandangan dari balik jendela kantornya.
Foto itu diunggah ke Instagram Story-nya, disertai kutipan singkat. Sebuah bentuk pelampiasan sunyi yang tak bisa ia teriakkan dengan suara.
Tidak lama berselang, kedua sahabatnya, Jun dan Soonyoung langsung menemaninya lewat pesan singkat untuk sekedar menyuruhnya pulang karena malam semakin larut.
Setelah membalas pesan dari kedua sahabatnya, Wonwoo meletakkan kembali ponsel-nya di meja. Ia kembali menghela napas, kali ini lebih dalam, lebih berat seakan mencoba melepaskan pikiran di kepalanya. Tubuhnya disandarkan pada sandaran kursi, mata menatap kosong ke langit-langit ruangan, seolah mencari serpihan kekuatan dari kerlip lampu yang mulai mati satu per satu.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lalu perlahan, Wonwoo kembali menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan pelan namun pasti, ia kembali menyalakan laptop yang ia biarkan menyala. Jari-jarinya mengetikkan satu email terakhir, menekan tombol send, menutup layar itu dengan satu gerakan ringan.
Tak ada kata-kata, tak ada gumaman. Ia hanya mempersiapkan bawaannya dan berdiri. Melangkah meninggalkan meja kerjanya, meja yang masih menyimpan sisa hangat dari kesendirian yang menemaninya malam ini.
Sepi itu belum benar-benar pergi. Tapi malam ini, ia memilih untuk tak lagi melawannya. Ia membiarkan kesepian itu ikut bersamanya pulang.
Wonwoo menurunk lift menuju lobi, lalu berjalan pelan menuju mobilnya yang terparkir di sudut basement gedung.
Malam Jakarta masih sama, padat, terang, dan asing. Dan mungkin, malam ini memang tak akan terasa lebih baik. Tapi setidaknya, Wonwoo tahu bahwa dirinya masih bisa pulang. Masih punya satu tempat untuk menenangkan diri, walau akhirnya apa yang ia rasakan akan ia biarkan begitu saja dan tertidur.
Dan itu cukup. Untuk malam ini, itu cukup.
***
Wonwoo baru saja hendak merebahkan tubuhnya yang masih terbungkus kemeja kerja dan celana bahan di atas sofa abu-abu di ruang tamu apartemennya, ketika ponsel-nya berdering. Layar pipih itu memunculkan satu nama yang tak asing, nama yang sudah menemaninya sejak masa kuliah, lengkap dengan wajah sebesar layar yang terpampang.
“Lo nggak beneran baru sampai rumah, kan, Mr. Jeon?” suara yang terdengar tanpa basa-basi, sedikit kesal, menyapa dari seberang. Soonyoung.
Wonwoo hanya tersenyum miring, tipis. “Enggak baru-baru banget sih. Sepuluh menit yang lalu lah,” balasnya santai. Suaranya terdengar cuek, seolah tak terpengaruh oleh nada khawatir yang sangat jelas terdengar di telinganya.
Ada jeda sesaat, sebelum suara Soonyoung kembali terdengar. Kali ini lebih pelan. “Lo tuh lagi kenapa deh, Nu? Nggak mau cerita sama gue?” Ia menarik napas, menambahkan dengan suara yang jauh lebih lembut, “It’s okay kalau belum siap cerita. I’m here when you are.”
Wonwoo terkekeh, tapi tak ada tawa dalam suara itu. Lebih seperti tawa getir, patah dan pahit. “Haha... No, I’m not okay,” katanya jujur, akhirnya.
Salah satu tangan Wonwoo terangkat, menyentuh dadanya sendiri. Ada rasa ngilu yang meremas dadanya. “Nggak tahu kenapa, Nyong. Dari tadi dada gue sakit banget. Kayak... kosong, tapi sakit,” bisiknya, nyaris tak terdengar. “I don’t even know what’s going on. I just know something’s not there anymore.”
Sejenak, hanya suara napas beratnya yang terdengar. Di seberang sana, Soonyoung diam, tak berkata apa-apa. Ia hanya diam, membiarkan isakan pelan Wonwoo terdengar di telinganya.
Ia tahu, sahabatnya itu selalu pintar menyembunyikan kesedihannya. Wonwoo, selalu rapi menyimpan tangisnya. Tapi malam ini, semua yang ia sembunyikan pelan-pelan runtuh, akhirnya tumpah ruah tanpa diminta.
Soonyoung menunggu. Dengan sabar, karena ia tahu, bagi seseorang Jeon Wonwoo menangis pun adalah sebuah keberanian yang langka ia lakukan.