We Fight, We Make Up


kissing kissing kissing, deep petting.

Menghindari Mingyu mati-matian, itu yang Wonwoo lakukan lima hari belakangan ini setelah Karina meninggalkan rumah untuk menenangkan dirinya. Pria manis itu selalu mematikan lampu kamarnya dan berpura-pura tidur lebih cepat dari kebiasaannya ketika mendengar pintu garasi terbuka, serta suara mobil sport memasuki pekarangan rumah mewah ini. Namun, ia dapat merasakan setiap harinya ada seorang pria dewasa yang masuk ke kamarnya untuk sekedar mengecup bibirnya atau keningnya dengan lembut, lalu mengelus surainya, kemudian pintu kamar kembali tertutup, dengan langkah kaki pria itu semakin menjauhi kamarnya. Tak hanya itu, ketika pagi hari datang, si dia yang manis akan bangun sepagi mungkin dan berangkat secepat kilat, sebelum pria yang ia hindari bangun. Pria manis itu hanya akan izin ke asisten rumah tangga yang dipanggil bibik dan langsung pergi ke sekolah atau ke rumah Vernon untuk mengganggu sahabatnya itu. Dan begitulah setiap hari untuk Wonwoo, sedikit lagi, hari ini adalah hari terakhirnya tinggal di rumah mewah ini dan sore nanti ia akan pulang ke apartemennya — pikirnya.

Tapi tidak dengan pagi ini, si pria manis itu kini sudah tidak bisa lagi menghindar karena Mingyu sudah duduk menyilangkan satu kakinya dengan gagah, sembari membaca The New York Times, menggunakan piyama hitam, sedang menyesap kopi hitam paginya di ruang keluarga yang selalu Wonwoo lalui.

Good morning, Kak Wonwoo.” sapa pria itu sembari melipat koran paginya, membalikkan tubuhnya, yang membuat pria yang dipanggil membeku.

Pria manis yang sudah menggunakan seragam itu berhenti berjalan dan terdiam membisu, seolah langkah kakinya terhenti. Jantungnya berdegup kencang seolah sedang tertangkap basah sedang melakukan kejahatan, Wonwoo gugup — sangat gugup. Mingyu berdiri dari duduknya, memutari sofa ruang tengah untuk dapat menghampiri Wonwoo, dan si pria dewasa yang tampan itu berbisik, “I told you, we need to talk, right, baby foxy?” tanya Mingyu.

Bulu-bulu halus Wonwoo berdiri tegak, ia merinding mendengar suara tegas Mingyu memasuki telinganya. Kalimat pertanyaan yang mutlak harus Wonwoo turuti. Ia sudah pernah mendengar dan bahkan mengenal jenis suara ini, suara yang sama seperti saat Mingyu menegur Wonwoo ketika pria manis itu ketahuan bolos sekolah kelas 2 SMA yang lalu — dan sama seperti kali ini, waktu itu juga Wonwoo melarikan diri dari sang om, walaupun pada akhirnya ia tetap tertangkap basah.

“Saya tunggu di ruang kerja saya, in 5 minutes.” lanjutnya, lalu meninggalkan Wonwoo yang masih berdiri kaku menuju ruangan yang ia sebutkan. Ruangan itu berada di paling ujung lorong lantai dua.

***

Kini Wonwoo sudah berdiri di depan meja kerja Mingyu, masih dengan seragam dan tas di punggungnya, sedangkan pria pemilik ruangan itu sudah berada di kursi kebangsaannya, menyenderkan tubuhnya pada kursi dan menatap tajam ke arah pria 18 tahun itu dengan manik elangnya.

“Ngga capek kamu menghindar dari saya terus? Or do you hate me that much? Ngga mau ngomong lagi sama saya?” tanya Mingyu bertubi-tubi, membuka suaranya sambil menatap pria manis itu, Wonwoo memberanikan diri untuk menatap tajam manik daddy-nya.

“Kamu pikir gampang untuk aku belakangan ini?” tanya Wonwoo melawan, tak ingin kalah sembari meremat tali tas ranselnya. “Emang kamu kira enak aku kaya gini?” tanyanya lagi.

Same here, baby. Saya capek mengejar kamu lari-larian kaya gini.” Mingyu menopangkan dagu di punggung tangannya dengan siku yang ia letakkan di atas meja. “You're too childish.” lanjut Mingyu, menyenderkan tubuhnya ke bangku empuk yang ia duduki.

“Aku emang masih kecil ngga sih, Om Mingyu?” tanya Wonwoo, menantang pria dewasa di seberangnya.

“Seharusnya ngga sih, kamu sudah punya KTP, dan unfortunatelly, kamu sudah legal secara hukum, Jeon Wonwoo.” jawab Mingyu, sembari menyilangkan tangannya di dada.

Age just a number and don't call me Jeon Wonwoo!” kata Wonwoo dengan kesal.

That's your name tho'” Mingyu tersenyum melihat kekasihnya mulai mengeluarkan sisi kekanakannya. Wonwoo membuka tas ranselnya, meletakkan tas itu sembarang, dan menghampiri Mingyu, pria manis itu berdiri di hadapannya.

“Kalau gitu, Jeon Wonwoo mau dipanggil apa sama Om Mingyu?” tanya Mingyu sembari mendongakkan kepalanya, dan tersenyum ketika melihat kekasih mungilnya sudah memanyunkan bibir ranum yang ia rindukan. “Baby Foxy?” tanya Mingyu. “If you were my baby foxy, you wouldn't let me wait for you for 3 months, dan jalan dengan sembarang pria di luar sana.” tegur Mingyu.

“Tapi kita lagi break, it's up to me dong if I walk with anyone else that you don't know.” bantah Wonwoo.

“Kita break, bukan putus. Kamu minta saya memberi kamu waktu untuk memikirkan tentang kita, and vice versa, you give me time to think about us. Betul begitu kan?” tanya Mingyu, menarik tangan Wonwoo hingga pria berseragam itu terduduk di lahunannya. Wonwoo sedikit kaget, dan masih terdiam.

“Asal kamu tahu, saya ngga pernah setuju untuk itu.” Mingyu memeluk tubuh ramping yang sudah berada di dekapannya dari belakang dan meletakkan dahinya di salah satu bahu bidang pria yang lebih muda. “I agree because I wanna respect your wishes, infact, I can't take any longer,” kata Mingyu dengan suara lembutnya, mengelus tangan pria yang sedang berada di dekapannya.

“Saya lelah dan ngga suka ketika saya ngga punya hak untuk bilang kalau saya cemburu. Saya ngga suka kalau kamu jalan sama cowo-cowo muda di luar sana.” kata Mingyu. “Don't you miss me?” tanya Mingyu kemudian mengecup punggung Wonwoo. Pria manis itu masih terdiam, menikmati setiap sentuhan yang Mingyu berikan. Dia sangat menyukai afeksi ini. Siapa yang bilang ia tidak merindukan daddy-nya? Siapa yang bilang ia benar-benar bahagia ketika jalan-jalan dengan pria lain, selain teman-temannya dan pria tampan di belakangnya ini. Memang t-shirt kebesaran siapa yang dibawanya dan selalu ia gunakan untuk tidurnya belakangan ini?

Let’s get back together, baby foxy.” kata Mingyu.

Wonwoo melepaskan pelukan Mingyu, berdiri dari lahunan pria kekar itu, dan membalikkan badannya, lalu kembali duduk di pangkuan daddy-nya, kini mereka sudah saling berhadapan dengan Mingyu yang memegang pinggang ramping pria manis itu agar tidak terjatuh dari lahunanannya.

“Apa aku juga bisa punya hak yang sama?” tanya Wonwoo menatap wajah Mingyu dari jarak sedekat ini. Dadanya bergemuruh, banyak hal yang ingin ia katakan pada pria yang lebih dewasa 20 tahun darinya. “Aku pernah bilangkan kalau aku ngga suka kamu mesra-mesraan sama istri kamu di depan mata aku, atau apapun itu? If i see and at that time i'm jealous, do i have the right too?” tanya Wonwoo lagi, memastikan tempatnya. Pria manis itu menatap lurus ke mata Mingyu, mencari jawaban yang ia inginkan.

I'm totally understand, kalau kalian sewajarnya melakukan apapun itu, tapi boleh ngga kalau aku sama sekali ngga usah tau? Aku juga mau punya hak cemburu.” kata Wonwoo sembari mengelus surai belakang pria yang berada di bawahnya.

You have the right, baby, kamu selalu punya.” jawab Mingyu sembari mengelus pinggang pria yang berada dilahunannya dengan ibu jari. “I want you to stay by my side, bukan hanya untuk memuaskan hawa nafsu saya.” lanjut Mingyu. “Saya hampir gila nahan cemburu karena kamu pergi dengan cowo-cowo lain di luar sana.” lanjut Mingyu mengambil salah satu tangan Wonwoo yang berada di bahunya, lalu mengecup punggung tangan pria manis di hadapannya.

“Kamu mau saya cerai dengan Karina? I'll do—” kata Mingyu menggantung, Wonwoo menghentikan ucapan kekasihnya sembari menutup mulut pria itu dengan jari telunjuk lentiknya.

No, no, no! Kasian Woozi, kamu harus pikirin Woozi.” jawab Wonwoo.

Don't worry, baby, he's my top priority, and you're the second one, kamu jangan khawatir untuk itu.” jawab Mingyu. “Jadi, kita baikan?” mencubit hidung bangir anak SMA yang berada dipangkuannya itu.

Tak ingin membohongi perasaannya, Wonwoo yang juga lelah menghindari Mingyu karena rasa cemburunya, dan ia lebih tahu dari siapapun bahwa seminggu ini si dia yang manis itu juga merasakan kesepian walaupun teman-temannya selalu berada disampingnya untuk menghibur, tapi rasanya sangat berbeda ketika ia berada di samping pria dewasa ini. Seperti saat ini, kupu-kupu bertebangan di dalam perutnya, aliran darahnya yang meningkat hingga jantungnya yang berdebar lebih cepat, padahal, mereka hanya saling menatap.

Tak perlu ada paksaan apapun, manik rubah itu menatap lurus ke mata Mingyu, “I love you, Daddy, so much. I hate when I miss you, it hurts.” kata Wonwoo, lalu anak remaja itu memeluk tubuh atletis Mingyu yang berada di hadapannya.

Pria bebaju piyama hitam yang lebih tua itu membalas dan mempererat pelukan itu. “Saya sayang kamu, Jeon Wonwoo.” kata Mingyu, Wonwoo melepas pelukannya, kaget, karena ini pertama kali seumur mereka berpacaran Mingyu mengungkapkan perasaannya terang-terangan.

“Tiga kata yang belum pernah saya ucapkan ke kamu, dan mulai sekarang kamu harus terbiasa mendengarnya. Saya sayang kamu.” kata Mingyu lagi sembari tersenyum manis sampai taring di gigi deretan rahang atasnya mengintip di sana.

Mingyu mengapit dagu Wonwoo dengan ibu jari dan telunjuknya, mendekatkan wajah mereka agar lebih dekat, tanpa ragu ia menyatukan kedua bilah bibir mereka, bibir pahitnya yang sudah tercampur rasa kopi espresso pagi itu dengan bibir ranum merah muda Wonwoo yang manis dengan rasa strawberry efek lipbalm. Lumatan demi lumatan seolah menghantarkan rasa rindu efek dari perang dingin mereka selama seminggu belakangan ini.

Ciuman mereka terhenti ketika mendengar langkah kaki seseorang mulai mendekat ke arah pintu kerja Mingyu, dan benar saja, tak lama seseorang mengetuk daun pintunya.

tok tok tok

“Tuan Muda, maaf mengganggu.” suara bibik dari luar daun pintu berkumandang.

Dengan reflex Wonwoo langsung melompat dari pangkuan Mingyu dan menundukkan tubuh rampingnya, masuk ke dalam kolong meja kerja milik pria bertubuh kekar itu. Sedangkan Mingyu merapihkan bajunya yang sedikit berantakan, lalu duduk dengan tenang, seolah tak terjadi apapun di ruangan itu. Ia memakai kacamata kerjanya, membuka leptopnya yang mati, dan memegang pulpen yang berada dekat dengannya.

“Ya, masuk, Bik.” pintanya setelah merasa semua baik-baik saja, wanita berumur itu masuk, namun ia menabrak tas ransel seseorang di sana. Wonwoo dan Mingyu lupa bahwa tas sekolah Wonwoo masih ada di sana, tak sempat mereka sembunyikan.

“Walah, kok tas Kakak Wonwoo ada di sini, ini saya letakkan di atas sofa saja ya, Pak?” tanya Bibik, wanita itu memungut tas Wonwoo dan meletakkannya tepat ditempat yang sudah ia sebutkan saat meminta izin, Mingyu mencoba tenang dengan mengangguk, sedangkan Wonwoo sudah hampir pingsan di dalam kolong meja kerja Mingyu.

“Kenapa, Bik?” tanya Mingyu setelah berdeham.

“Oh iya, Tuan, saya mau bilang kalau sarapan sudah siap, saya juga sedang mencari Kakak Wonwoo, karena tumben pagi ini pergi tidak membawa tas dan izin ke saya.” lanjut bibik, menatap tas ransel Wonwoo, lalu menatap ke arah Mingyu lagi.

“Tadi saya bawa ke sini, karena ada di ruang tengah, mungkin anaknya ada di kebun belakang atau masih di dalam rumah, coba bibik cari.” pinta Mingyu. “Untuk sarapan, nanti saya akan sarapan, Woozi suruh sarapan duluan ya, Bik. Saya masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Sebelum dia berangkat, saya turun.” lanjut Mingyu kepada asisten rumah tangganya itu.

“Baik, Tuan Muda, saya permisi dulu.” kata wanita paruh baya itu, menunduk, lalu berbalik dan meninggalkan ruang kerja Mingyu.

Setelah bibi keluar, Mingyu segera meminta kekasih gelapnya itu keluar dari dalam kolong mejanya. Membawa tubuh itu kembali ke pangkuannya.

“Kaget aku!” kata Wonwoo sembari memegang dadanya, Mingyu hanya tertawa renyah.

This is not your first time kan?” tanya Mingyu, lalu mencium pipi kenyal pria berkulit putih mulus itu.

“Iya, tapi tetep aja thrilling.” kata Wonwoo yang masih shock.

Everything's under my control. Tenang aja, cantik.” kata Mingyu, kalimatnya sedikit menenangkan untuk Wonwoo.

Tak perlu menunggu lama, mereka kembali melanjutkan ciuman mesra yang sempat tertunda tadi dengan lumatan-lumatan yang semakin lincah, kedua insan yang terpaut umur jauh itu saling memainkan lidah mereka, ciuman yang semakin dalam dengan desahan Wonwoo yang mulai tertahan saat Mingyu mulai meremat bagian sintalnya. Ciuman demi ciuman yang sama-sama saling ingin mendominasi permainan.

So, are we good?” tanya Mingyu ketika ciuman mereka sudah berhenti.

Good, aku juga capek bikin kamu cemburu, daddy” kata Wonwoo, bibirnya dengan lincah mengecupi rahang Mingyu, lalu menjalar ke leher jenjang sawo matang pria yang lebih tua darinya itu.

“Dan kamu berhasil membuat saya rungsing sepanjang waktu, bahkan setiap hari.” jawab Mingyu sembari membuka satu persatu kancing baju seragam Wonwoo satu persatu dengan satu tangannya yang sudah terlatih. “Jangan gitu lagi, sayang. Kalau kamu gitu terus aku takut Karina cari tau kenapa saya bisa marah-marah, dan akan berbahaya untuk kita berdua.” lanjutnya sembari membuka seragam atasan putih kekasihnya, menunjukkan bahu dan dada bidang milik pria manis itu, pemandangan yang Mingyu rindukan.

“Makanya, ngga usah mesra-mesraan di depan aku lagi.” jawab Wonwoo sembari membiarkan jari jemari Mingyu berjalan-jalan mengabsen serta bermain-main di sana bagian depan tubuhnya.

I’ll try my best, baby.” jawab Mingyu sembari mengecup dan menyisakan hickeys kecil leher serta collarbones si manis, Wonwoo membusungkan dadanya dengan spontan.

By the way, kalung kamu mana?” tanya Mingyu saat melihat kalung lifeguards yang ia berikan pada saat anak manis itu berulang tahun sekitar 2 tahun yang lalu tidak berada di leher mulus cantik kekasihnya.

“Hnghilang, daddy, sorry—.” jawab Wonwoo sembari mendesah pelan ketika merasakan benda hangat dan kenyal menguasai salah satu bagian puncak dadanya.

“Kok bisa? Di mana?” tanya Mingyu, menghentikan kegiatannya.

I don’t know.” jawab Wonwoo, pria manis itu refleks mengambil wajah kekasihnya dengan kedua telapak tangannya, ia baru teringat sesuatu. “Curiga aku di kamar 2523, waktu istri kamu tiba-tiba dateng. Ngga jatuh di sanakan, Dad?” tanya Wonwoo, Mingyu sedikit membelalakkan matanya, ia terkejut ketika mendengar pengakuan Wonwoo. Apa mungkin Karina yang menemukannya? Karena ia tidak melihat benda itu di sana.

“Aku udah tanya ke Kak Joshua, tapi kayaknya belum ketemu karena ngga ada kabar.” Wonwoo jadi mulai khawatir. Jangan ditanya lagi betapa takutnya ia. Mingyu tersenyum seolah mencoba membuang rasa khawatirnya.

“Saya akan minta Joshua untuk cari di sana, kalau ngga ketemu, kita beli yang baru ya? I like it when you wear a necklace.” kata Mingyu sembari mengecup kembali salah satu collarbones Wonwoo. “Kamu cantik.” lanjutnya.

“Cantikkan aku atau istri kamu?” tanya Wonwoo secara tiba-tiba sembari menatap foto besar Mingyu dan istrinya yang terpajang di salah satu bagian tembok ruang kerja Mingyu. “Coba liat ke sini, terus kesitu.” kata Wonwoo lagi sembari mengapit wajah pria yang lebih tua, ke arah wajah manisnya dan mengalihkannya kepada figura besar di sana.

“Ngga usah di jawab.” kata Wonwoo berdiri dari lahunan Mingyu, rasanya semua libido-nya menguap entah kemana karena pertanyaannya sendiri.

Pria yang manis itu kemudian mengancingi semua kemejanya, dan berjalan mengambil tas ranselnya. “Aku sarapan dulu sama Woozi, jangan lupa kamu mau turun sebelum Woozi berangkat sekolah.” kata Wonwoo mengingatkan Mingyu, dan pergi meninggalkan ruang kerja kekasihnya yang masih terdiam memperhatikan tingkah lakunya itu.

***

Wonwoo sudah duduk di satu meja makan dengan anak kekasihnya yang sedang sarapan sembari menghapal materi ujian hari ini.

You can do it, Woozi, hari terakhir ujian, semua yang susah udah keluar kemarin-kemarin.” kata Wonwoo santai, mengambil tab yang membuat fokus Woozi terbagi dua, antara sarapan dan hapalannya.

“Makan dulu, nanti belajar lagi, masih ada 1 jam setengah.” kata Wonwoo ketika Woozi hampir aja mengomeli tutornya karena mengambil benda pipih yang berisi materi yang harus ia hapalkan. Tapi, Wonwoo lebih tegas darinya, tentu saja anak SD itu menuruti sang kakak tutor.

Tak lama Mingyu menghampiri Woozi dan Wonwoo di ruang makan, sesuai dengan janjinya. Dalam diam, Wonwoo dan Mingyu kembali memutuskan untuk memulai kisah mereka.