Miracles
tw: hurt comfort, fluff, gyu!dom won!bot, stranger to lovers, happy ending, hospital, mention dead person.
tempat kejadian, kesamaan cerita, hanya kebetulan belaka. Semua berasal dari imajinasi.
Hari ini tepat 3 minggu setelah gue menabrak seorang pria hingga merusak kornea dan membuatnya menjadi tidak dapat melihat — gue membuat seseorang buta. Sampai saat ini pula, gue masih menemaninya di rumah sakit untuk menunggu mukjizat Tuhan datang dengan kehadiran pendonor kornea yang sama dengan miliknya.
Dia adalah Jeon Wonwoo, pria manis yang ketika hujan menghampiri mobil gue saat sedang melaju, entah apa waktu itu yang ia pikirkan, but turns out gue menabraknya. Gue akan seumur hidup meminta maaf kepadanya dan menjadi matanya bila memang Tuhan tidak kunjung memberikan keajaibanNYA. Itu janji gue pada diri gue sendiri.
Sekarang, gue sedang berjalan di lorong rumah sakit untuk mengunjungi pria manis itu dengan membawa beberapa buku cara membaca huruf braille. Pria bermarga Jeon itu sangat suka membaca untuk melarikan diri dari dunianya yang tidak berjalan seindah manik matanya dan gue? Lagi-lagi menghancurkan cara dia melihat sweet escape-nya. Kata maaf, gue rasa tidak akan pernah cukup untuk menebus segala kesalahan gue.
“Siapa?” Tanya pria dengan seragam pasien rumah sakit bernada offensive saat gue membuka pintu kamar VIP itu.
“Hai, ini aku.” Jawab gue ketika melangkahkan kaki mendekat ke arah tempat tidurnya.
“Oh, Mingyu? Sorry, aku kira siapa. Bunda lagi pulang ke rumah soalnya.” Senyumnya.
Buat gue, senyumannya itu indah banget karena gue siap tenggelam di sana. Ngga — gue ngga bermaksud apa-apa, namun ini adalah penilaian objective dari gue, senyumnya memang bisa memabukkan dan menenggelamkan namun menenangkan disaat bersamaan. Aneh sekali Jeon Wonwoo ini.
“Its okay, and here! I brought this with me today!” kata gue, menyodorkan paper bag yang berisi buku 'mengenal tulisan' dan buku bacaan dengan huruf braille di dalamnya.
“Buku?” Tanyanya lembut.
Selain senyumnya, suara bass lembutnya sangat addictive di telinga gue. Gue belum bilang jatuh hati ya, hanya terpesona dengan nada dan suaranya — In this rate.
“Aku ngga bisa baca, Mingyu. Aku tau kamu tau aku suka baca, but I'm blind now.” senyumnya memudar — lagi-lagi karena gue.
“Itu buku huruf braille, Won.” Jawab gue sembari duduk di kursi yang di sediakan di sebelah ranjang pria bersurai gelap itu.
“Eh? Serius?” Tanyanya mengambil buku di paper bag yang gue berikan dengan senyum manisnya — senyumnya kembali mengembang. Tangan putih lentiknya mengambil buku di dalam paper bag itu dan membukanya satu persatu.
“Gue ajarin mau?” Tanya gue, dia langsung mengangguk girang dan bergeser memberikan gue ruang untuk duduk di sebelahnya. Ngga bohong, sekarang dia mirip banget anak kucing — menggemaskan dan membuat jantung gue berdegup lebih dari biasanya. Gue masih terdiam.
“Mingyu?” Panggilnya sembari meraba udara di sampingnya, memastikan tangannya menyentuh tubuh seseorang — gue.
Kuraih tangannya, menggenggam jemari lentiknya, “Here.” kata gue, dan dia segera menarik tangannya dari genggamanku, mungkin dia terkejut. “Sorry.” kata gue, lalu memindahkan posisi gue ke samping tubuhnya. Membuka plastik buku baru itu dan mengajarkannya huruf-huruf, serta angka braille.
“Capek, Mingyu.” Katanya setelah satu jam setengah berkutat untuk belajar huruf-huruf asing itu dengan suaranya yang lembut.
“Pusing ngga? Mau dipanggil dokter?” Gue panik.
“Haha. Ngga, Mingyu. Mau stop aja belajarnya.” Katanya tersenyum hingga matanya tersisa segaris dan mengerutkan hidungnya yang bangir. Tahukah dia bahwa dia indah?
“Di luar cerah?” Tanyanya.
“Cerah, mau rasain ketiup angin ngga?” Tanyaku dan di balas oleh anggukannya. Aku langsung mengambil sepatu di lemari dan memakaikannya.
“Tadi, dokter bilang the day after tomorrow I can go home.” Kata Wonwoo ketika aku sedang mengikat tali sepatunya.
“Glad to hear that. Nanti aku anterin pulang.” Kata gue merasa senang. Serius, gue sangat senang, pria di hadapan gue ini sangat tidak cocok menggunakan pakaian rumah sakit.
Dia berjalan dengan tongkat besi lipat yang kemarin sempat gue belikan dan gue berdiri di sampingnya, memastikan jalannya tetap lurus, sesekali gue pegang bahu bidangnya bila sudah mulai miring saat berjalan.
“Thank you, Mingyu.” Katanya ketika kita sudah sampai di taman belakang rumah sakit dan dia sudah duduk.
“What for?” tanya gue kaget.
Thank you adalah kalimat yang paling tidak cocok menggambarkan kisah pertemuan gue dengan Wonwoo. Sangat tidak cocok, karena gue yang menabraknya dan menjadikannya buta. Asshole adalah kalimat yang paling cocok.
“Just.. everything?” katanya sembari mengindikkan bahunya.
“Aku bikin kamu buta, dan kamu bilang terima kasih? Apa ngga kebalik?”
“Kebalik gimana?” Katanya menoleh ke arah suara gue.
“Harusnya, aku yang bilang terima kasih karena ngga dituntut dan di bawa ke polisi. Dan bahkan aku dibolehin buat jagain kamu sama orang tua kamu?” Si dia tersenyum.
“Aku itu ngga punya teman, Mingyu. Di kantorku pun aku selalu sendiri. Buku selalu menjadi tempatku berbicara—” katanya, tersenyum pilu. Pilu banget. “6 tahun lalu, sekali-kalinya aku memiliki teman. Hehe. Namanya Mingyu juga, jadi sebenarnya aku sempat terkejut mendengar nama kamu. Cuma mungkin banyak nama Mingyu lainnya di luar sana, akupun harus terbiasa.” Katanya.
“Sekarang orangnya di?” Tanyaku.
“Surga. Dia sudah bertemu duluan dengan Tuhan.” Senyumnya, masih belum pupus walaupun senyuman itu penuh pilu.
“Karena?”
“Sakit, dia ngga bilang kalau dia punya penyakit sampai aku menemukannya di ICU. Mungkin, kalau saat itu aku tidak menemukannya di sana, aku tidak akan pernah melihatnya lagi.” Katanya dengan air mata yang terjatuh dipipi mulusnya.
“Dia menitipkan banyak sekali surat permohonan maaf — videonya yang memperlihatkan dia baik-baik saja, walaupun — itu bohong.” Air matanya semakin deras, kalimatnya terpatah-patah karena isakan.
“Udah ya, kalau ngga kuat. Kamu ngga usah cerita ke aku. Ngga apa.” Kata gue, mengusap pundaknya — mencoba menenangkannya.
“Can I hug you? Katanya, satu pelukan bisa menenangkan?” Izinku, si dia mengangguk tanda memperbolehkan gue untuk memeluknya.
Dan Wonwoo ini sangat kuat, dia menceritakan habis pria dari masa lalunya kepada gue yang notabene adalah orang asing untuk hidupnya.
—
Disinilah gue, di rumah minimalis dua lantai. Rumah keluarga Jeon, Bunda Jeon mempersilahkan gue masuk sembari menopang Wonwoo untuk berjalan memasuki rumah.
“Mau langsung ke kamar aja?” Kata Bunda Jeon kepada anaknya. Wonwoo tersenyum dan menganggukkan kepala, sedangkan gue masih berdiri, menunggu aba-aba untuk diminta duduk atau diusir.
“Ehem. Mingyu?” Tanya seorang pria paruh baya yang menghampiri gue.
“Terima kasih sudah bertanggung jawab dengan apa yang telah kamu perbuat.” Lagi-lagi ucapan terima kasih yang ngga pantes gue terima.
“Saya ngga pantes dapet ucapan terima kasih, Pak. Saya lebih pantes dimaki.” Jawab gue jujur.
“Tidak, saya tahu itu adalah musibah. Kamu tidak sengaja, saya dan Bunda sudah memaafkan kejadian tersebut. Bagaimanapun, kamu tetap bertanggung jawab untuk menjaga Wonwoo, dan saya sangat bersyukur akan hal itu. Terima kasih.” Jelasnya. Ngga, gue masih belum pantes dapet ucapan terima kasih.
“Saya akan tetap mengusahakan donor kornea mata untuk Wonwoo, Pak. Bapak tidak perlu khawatir.” Gue sedang meyakinkan diri gue sendiri kalau pendonor itu akan segera datang.
“Iya, tidak apa.” Kata Bapak Jeon dan menepuk pundak gue.
Kenapa gue mencelakai anak semata wayang dari keluarga baik ini? Dan apa yang harus gue lakukan untuk menebus kebodohan gue malam itu sembari gue menunggu pendonor? Itu yang selalu terlintas dalam pikiran gue, setiap hari.
“Mingyu, dipanggil Wonwoo, Nak. Kamu boleh ke kamarnya ya.” Pinta sang Bunda Jeon dan gue menurutinya.
“Hai.” Kata gue ketika membuka pintu.
“Hai, I know that's you. Kayaknya aku sudah hafal deh bunyi kaki kamu.” Sapa Wonwoo dengan senyumnya, yang kini sudah duduk di tempat tidurnya menyender ke headboard.
“Sini, Mingyu.” Gue segera menghampirinya.
“Kamu buka laci nakas atas deh. Itu album aku sama Igyu.”
“Aku boleh liat?”
“Sure. Aku udah ngga bisa liat, kamu bantuin aku untuk liat, boleh?” Tanyanya.
“Sure.” jawab gue yakin dan betapa terkejutnya gue ketika melihat wajah pria itu yang mirip dengan wajah gue. WAW. 'I found my doublegangger and he was dead.'
“Ganteng kan?” Tanyanya. 'Ganteng, Won. Karena mirip gue.'
“He is, indeed.” jawab gue.
“Waktu sebelum insiden, aku liat wajah yang mirip sama dia. Makanya aku jalan dan ngga taunya malah ketemu kamu.” Katanya.
“Mungkin itu memang dia kali ya? Ngasih tau aku kalau memang harus ketemu kamu?” Tanyanya.
“I don't know. Aku ngga percaya hantu. Anggep aja, kamu sedang berhalusinasi?” Tanya gue. Dia mengendikkan bahunya.
“Mungkin karena rindu?” Tanya gue.
“Someday, when you can see again, please take me to his 'house'. You know, that 'house'.” kataku.
Dia tersenyum, dan menganggukkan kepalanya yakin.
“One day. Jadi, kamu jangan kemana-mana ya, Mingyu. Tetap jadi teman aku, sampai aku bisa melihat.” Katanya. Janji, gue sudah berjanji ngga akan pernah meninggalkan pria ini, kecuali bila dia yang muak dengan kehadiran gue dihidupnya.
—
3 bulan berlalu setelah gue mengantar Wonwoo pulang dari rumah sakit. Gue masih bekerja, selalu menyempatkan diri menemuinya. Saat gue datang, kadang dia sedang menunggu di teras, terkadang dia sedang membaca buku yang semakin sering gue belikan atau kadang berbicara sendiri sembari mengelus anabulnya — kucing yang gue adopsi 2 bulan lalu untuk menemaninya kala bosan. Wonwoo ini ternyata sangat menyukai kucing.
Wonwoo pengangguran sekarang, dia adalah editor di salah satu penerbit terkemuka di kota ini, tapi lagi-lagi karena gue impiannya hancur, pekerjaannya menghilang. Tapi gue ngga boleh terlihat putus asa, dia kini sudah bisa mengetahuinya. Kini dia sudah bisa membaca sekitarnya dengan mata bathinnya. Suatu hari dia berkata, “Mata bathin lebih tajam dari mata kita lho, Mingyu. Kamu ngga akan bisa bohong sama aku.” Dan dia benar. Gue tidak bisa berbohong kepadanya.
(— Sebulan lalu —
Sungguh gue sangat lelah hari ini, tapi gue harus ke rumah Wonwoo untuk membelikan titipannya, sedari pagi dia ingin sekali memakan pizza papperoni yang berada di dekat studio photo milik gue — well yeah, gue seorang photographer.
“Hai.” Kata gue ketika sudah sampai di teras rumahnya. Benar saja si dia sudah menunggu ditemani dengan anabul.
“Are you okay?” itu pertanyaan pertama darinya. Bahkan gue baru berkata 'Hai'.
“Ok kok, kenapa?” Tanya gue.
“Suara kamu kaya capek banget. Hari ini capek banget ya?” Tanyanya. Do you see that?
“Ngga kok— eh, iya sedikit.” Gue tahu, gue tidak akan bisa membohonginya.
“Aku bawain ini.” Kataku, menyodorkan plastik dengan isi kotak besar pipih dan dia sangat senang menghirup wanginya.
“Wah! Pizza? Kamu capek dan ke sini bawa pizza?” Tanyanya.
“As your wish, your highness. Katanya kamu mau pizza tadi pagi?” Tanyaku.
“Ngga harus hari ini kalau kamu capek, Mingyu. There's a next time.” Katanya tersenyum, bangun dari duduknya, mengambil tongkat besi lipat andalannya dan berusaha sendiri masuk ke dalam rumahnya dengan membawa plastik yang gue bawa, sedangkan anabul kabur duluan masuk ke dalam.
“Sini.” Kataku, mendekap lengannya dan membantunya jalan ke dalam rumah.
“Aku hafal kalau di rumah, kamu duduk aja. Mau teh?” Tanyanya.
“Ngga. Kamu duduk aja.” Gue mengambil tubuhnya dan mendudukannya di sofa ruang tengah rumahnya. Gue mendudukkan badan gue di sampingnya dan meletakkan kepala di bahunya tanpa sadar.
“Leave me like this for 5 minutes.” kata gue. Jantung gue berdegup kencang sebenarnya, tapi badan gue sungguh lelah. Dan yang gue tahu sekarang Wonwoo sedang menegangkan badannya. Wajar sih, mungkin dia kaget dengan tindakan impulsif gue.
“Oke.” Suaranya mencicit. Kini tangan kirinya sudah mengelus lengan gue, sesekali mengelus punggung gue dan gue merasakan beban gue berkurang, gue sangat tenang dan harum tubuh pria ini sangat addictive untuk gue. Dan tubuh Wonwoo mulai lebih santai. Gue tertidur saat itu. —)
Gue sudah berada di kamarnya, menemaninya membaca buku baru yang tadi gue bawa, sedangkan gue sibuk memilah-milah foto yang akan gue edit.
“Penasaran deh Mingyu sama hasil foto kamu.” Katanya. Jantung gue langsung terjatuh ke perut — kaget dan sedih bercampur menjadi satu.
“Nanti ya, Won. Sabar. Aku pasti akan nunjukkin foto-foto aku dan tempat-tempat yang kemarin kita datengin.”
Ya, gue dan Wonwoo menjadi lebih akrab, kita jadi sering jalan dan tentu saja gue selalu mengabadikan fotonya dan foto tempat kami singgah. Agar suatu hari Wonwoo dapat melihat tempat indah yang dia datangi — tentu dengan gue.
Hampir menghabiskan empat bulan bersama dengan pria berperawakan tenang ini, bohong bila gue tidak memiliki rasa. Gue perlahan demi perlahan mulai jatuh hati. Jatuh pada setiap kharismanya, tenggelam pada setiap senyumannya, melayang pada setiap tutur katanya. Gue jatuh cinta padanya dan gue sangat ingin dia melihat betapa mata gue selalu mengagumi wajah tampan nan cantiknya.
Ponsel gue berdering, gue izin keluar kamar untuk mengangkat telefon itu. Tertera nama Mr. Choi Seungcheol.
“Mingyu, gue udah dapet donor kornea yang cocok buat Wonwoo.” tanpa basa-basi pria diseberang sana memberikan kabar gembira untuk gue.
“Serius, bang?”
“Beneran. Lo bisa ke rumah sakit within this week. Kita lagi check korneanya juga.” kata pria di seberang sana, kakak sepupu gue yang kebetulan juga adalah dokter mata terkenal.
“Kabarin gue, please. Gue ngga akan kasih tau ke Wonwoo dulu sampe pasti.”
“Kali ini, please jangan PHP-in gue.” Kata gue yakin.
“Iya, Ming. Semoga ini beneran mukjizat buat Wonwoo. Gue kabarin lagi nanti.” dia segera mematikan sambungan kami.
—
Dan di sinilah gue, lagi-lagi di rumah sakit. Setelah menerima telefon dari sepupu gue minggu lalu, kornea yang dimaksud ternyata memang cocok dan Wonwoo sudah berada di rumah sakit ini sekitar 2 hari untuk melakukan pemeriksaan, sedangkan gue baru datang hari ini karena ada pekerjaan di luar kota yang tidak dapat gue elak.
“Mingyu?” Tanya pria itu ketika mendengar pintu rumah sakit bergeser.
“Yup!” Jawab gue sembari memasuki ruangan VIP itu dan memberi salam kepada ke dua orang tuanya. “Pak, Buk.” Kata gue sambil menunduk.
“Capek ya baru pulang kerja langsung ke sini?” Bisik Pak Jeon menepuk bahu gue, tepukannya selalu memberi gue sedikit tenaga tambahan untuk melanjutkan hari gue yang cukup melelahkan ini.
“Kamu dari Pulau Jeju langsung ke sini?” Bisik Bu Jeon yang tentu gue jawab dengan anggukan.
“Ngga usah bisik-bisik, aku bisa denger lho! Aku buta bukan tuli.” Keluh pria di tempat tidur itu, gue tertawa pelan dan menghampirinya.
“Hai, pangeran. Gimana? Sudah cek semuanya?” Tanya gue mengambil tangannya yang sedang menggapai udara mencari keberadaan gue — mungkin.
“Hehe. Udah di cek semua, katanya besok aku bisa dioperasi, Mingyu.” Katanya senang. Kini senyumnya semakin mengembang walaupun maniknya masih meredup.
“Kamu besok di sini kan?” Tanyanya.
“Pasti.” Jawab gue yakin.
“Besok, aku mau kamu menjadi orang pertama yang aku lihat. Stay with me?” tanyanya sembari meraba wajah gue. Tak dapat gue bendung air mata bahagia ini ketika dia berkata bahwa ingin melihat gue sebagai orang pertama saat besok dia bisa melihat lagi.
“Kok nangis?” Tanyanya ketika air mata gue mengenai jari lentiknya yang masih ada di wajah gue.
“Seneng.” Kata gue, memegang tangannya seakan berkata untuk tidak melepaskan sentuhannya, dia menyeka air mata gue. Si dia tersenyum dan gue siap terikat dengan senyuman itu selamanya.
“Doain besok lancar ya?” Pintanya.
Selalu Wonwoo. Gue selalu mendoakan lo disetiap doa yang gue panjatkan, untuk kebahagiaan lo. You deserve the world. Lo harus bahagia dan gue akan membawa itu untuk lo. Gue janji.
—
Gue merasakan tangan lembut mengelus surai rambut gue saat gue sempat tertidur tadi. Gue mengelus lembut tangan yang sedari tadi mengelus kepala gue, seakan menghipnotis gue untuk tetap tertidur.
“Eh, kebangun ya?” Tanyanya.
“Ngga kok, malah makin ngantuk!” Kata gue jujur yang dibalas senyumnya.
“Rambut kamu halus, Mingyu.” Katanya.
“Dan ini bukan pertama kalinya kamu ngomong gitu.” Kata gue.
“Ya karena memang sehalus itu. Kamu pakai shampoo apa? Aku mau pake shampoo yang sama.”
“Nanti kita belanja bareng ya?” Kata gue. Posisi gue masih dikursi dan menidurkan setengah dada gue diranjang rumah sakit yang ditempati Wonwoo.
“Iya, setelah belanja, aku mau lihat ikan.” Katanya.
“Akuarium?” Tanya gue sembari menegakkan tubuh gue sempurna, tanda gue sedang excited.
“Iya, akuarium. You like it?“
“Yes, I love it.” jawab gue kembali ke posisi awal, mengambil tangan Wonwoo dan memintanya untuk tetap mengelusnya.
“Kamu tidur di sini?” Tanpa disadari malam datang dan gue masih ada di sebelahnya. Gue bahkan ngga mau meninggalkannya untuk sekedar makan, kalau saja kakak sepupu gue tidak datang dan menjewer gue.
“Iya. Papa sama Bunda kamu datang besok sebelum operasi ” kata gue.
“Mingyu, terima kasih ya.” Katanya. Lagi-lagi kalimat terima kasih yang gue belum pantas dapatkan. Wonwoo, jangan bilang terima kasih lagi. Cukup. Gue senang bisa mengenal lo seperti ini.
“Iya, cukup ya bilang makasihnya.” Kata gue.
“Besok akan semakin banyak terima kasih.” Kata dia.
“Kalau gitu, mulai sekarang 1 kali ucapan terima kasih you have to grant my wish.”
“Seperti apa?”
“Don't know, aku belum ingin apapun selain kamu sehat.”
“Aku sehat, Mingyu.”
“Iya, kamu sehat, Wonwoo.” Aku izin meninggalkannya untuk membersihkan badanku yang lengket. Karena aku langsung ke rumah sakit dari Pulau Jeju untuk keperluan pekerjaan.
—
“Ngomong-ngomong, badan kamu ngga papa?” Tanyanya tiba-tiba setelah gue keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri dan hanya berbalut kaos hitam dengan sweatpants. “Sakit ngga tidur kaya tadi?”
“Ngga kok.” Jawab gue, berbohong tentunya. Badan gue super rontok.
“Malam ini, kamu mau tidur di sini?” Tanyanya menepuk sebelah tempat tidurnya.
“Badan aku besar, Won. Jangan ngejek.” Kata gue.
“Cukup Mingyu, kita tidur miring. Lagian aku ngga pake infusan. Jadi kamu ngga harus takut kelilit.” Katanya sambil bercanda. Padahal bukan kelilitnya yang gue takuti, tapi jatuh semakin dalam.
“Kalau di sofa kata Papa kaki kamu kelipet. Kamu setinggi tiang ya?” Candanya.
“Enak aja!” Kata gue menjawil hidungnya.
“Haha bercanda aku, sini tidur di sini.” Ajaknya sembari menepuk tempat kosong di sebelahnya. Kini Wonwoo sudah bisa bercanda. Entah karena terlalu sering bercanda dengan gue atau memang perasaannya sudah jauh membaik.
Gue menghampirinya dengan degupan jantung yang cukup kencang, gue memberanikan diri naik ke kasur rumah sakit yang cukup kecil itu — buat gue.
“Tau ngga, kata orang jarak segini tuh bisa bikin kita lebih deket.” Katanya. Ya, jelas. Deket banget malah. Gue bahkan bisa menghirup wangi shampoo dan sabunnya dari jarak segini. Gue hanya menjawab dengan deheman.
“Kamu gugup ya? Kok jantung kamu cepet banget?” Tanyanya.
“Udah tidur, kok malah mikirin orang?” Tanya gue, mengalihkan pembicaraannya.
“Ya karena kedengeran, Mingyu.” Katanya menyentuh dada kiri gue yang langsung gue tepis dengan menggenggam tangannya.
“Gini aja.” Kata gue menarik tangannya untung memeluk pinggang gue. Wonwoo, selalu membuat gue melakukan hal-hal di luar nalar. Kadang gue kaget sendiri. Dan kali ini gue tidak kaget sendirian, karena si dia pun merasakan hal yang sama. Kini pria manis di hadapan gue ini sedang Cegukan dan menutup mulutnya.
“Take a sit, minum. Kok bisa cegukan sih?” Tanya gue, jahil. Dia langsung meminum habis minuman yang gue berikan dan kembali ke posisinya.
“Besok kamu periksa ke dokter jantung, Mingyu.” Katanya.
“Kayaknya kita harus ke sana bareng.” Kata gue dan langsung meletakkan telinga gue di dada kirinya. Dia hanya terdiam, pipinya merona, dan langsung pura-pura tidur, membelakangi gue yang masih duduk. Lucu banget. Gue benar-benar jatuh sejatuh jatuhnya pria jatuh cinta.
“Masih boleh tidur di sini ngga?” Tanya gue yang di balas oleh anggukan darinya, masih membelakangi gue. Segemas itu Jeon Wonwoo ini. Aku langsung merebahkan tubuhku di sampingnya dan dia langsung berbalik ke arahku.
“Mingyu.”
“Hmm?”
“Terima kasih ya.”
“One thanks one wish from me, remember?” tanya gue.
“Lupa!” Katanya, lalu mendekat ke arah gue, dan malam ini biarkan gue mendekapnya.
—
Pagi ini, di kamar Wonwoo sudah ada Bu Jeon yang membangunkan gue dengan tenang. Tapi tampaknya hanya gue yang terkejut, karena kedua orang tua Wonwoo tampak biasa saja.
“Bu Pak, baru dateng?” Tanya gue.
“Iya, baru. Enakkan tidur di sana kan daripada di sofa?” Goda ayah Wonwoo itu, gue langsung menunduk dan menyembunyikan muka gue yang merona — malu.
“Sudah sarapan?” Tanya gue.
“Sudah, ini Bunda bawain Nak Mingyu sarapan. Sarapan Wonwoo juga sudah datang.” Kata wanita paruh baya itu
“Terima kasih, Bu.”
“Jangan sungkan, Nak.”
“Operasinya jadi jam 1 siang ini?” Tanya Pak Jeon.
“Jadi, Pak. Nanti jam 10 dokter akan kunjungan sebelum Wonwoo persiapan operasi.”
“Gugup ya, Mingyu?” Tanya ibu Wonwoo itu.
“Sedikit.” Jujur gue. Namun gue selalu merapalkan kalimat 'all is well' jadi, gue yakin semua akan baik-baik saja.
Sudah terhitung satu jam Wonwoo ada di ruang operasi, Mingyu memainkan jemarinya. Bukan karena gugup perihal operasinya, namun hasil dari operasinya. Merapalkan doa agar korneanya cocok sehingga Wonwoo bisa melihat lagi dan nyaman dengan kornea barunya, hanya itu yang ada dipikiran Mingyu siang itu. Tak lama, kakak sepupunya keluar dengan satu dokter lainnya.
“Gimana, Bang?” Tanya Mingyu langsung menyerangnya.
“Aman, Gyu. Semua lancar, Bapak dan Ibu Jeon. Kita tinggal manunggu Wonwoo sadar, kemudian akan kita bawa ke kamar rawatnya ya.” Kata Choi Seungcheol, dokter mata terkenal se-Korea Selatan. Ucapan terima kasih yang orang tua Wonwoo ucapkan, begitu pula dengan Mingyu yang memeluk kakak sepupunya sambil menangis.
“Hei! Jangan nangis, jelek! Everything is gonna be okay, Mingyu!” Kata kakak sepupunya dan meninggalkannya bersama kedua orang tua Wonwoo.
“Syukurlah, Nak Mingyu. Terima kasih.” Kata sang ibu memeluk Mingyu, menangis bahagia.
'Rasanya kalimat itu masih belum pantas gue terima.' gumam Mingyu.
Menunggu Wonwoo sadar membutuhkan waktu yang lumayan panjang, namun saat ini sang pasien sudah di kamar rawat inapnya. Mingyu masih setia menunggunya terbangun dengan memegang tangan Wonwoo yang di infus dengan lembut.
Tanganku merasakan usapan lembut yang kian lama kian melambat, wangi tubuhnya, belaiannya, aku sudah dapat menjawab dia siapa — Kim Mingyu. Dia menepati janjinya untuk menungguku dan menjadi orang pertama yang aku temui saat aku dapat melihat lagi dan di sinilah dia.
Igyu, dia sangat lembut selembut dirimu tapi dia bukan kamu. Dia sangat lucu, tawanya sehangat tawamu, namun dia bukan kamu. Igyu, kalau nanti aku berpaling darimu kepadanya, restui kami ya? Semoga dia orang yang kamu kirimkan untuk menemani kesendirianku. Igyu, you will never be replaced aku berjanji. Tapi, biarkan dia mengisi sisi kosongnya ya? Igyu, aku sangat senang bersamanya. Rasanya, hatiku dapat melihat dunia walau mataku gelap gulita. Dia selalu menjadi mataku, dia menceritakan semua yang dia lihat, membuatku membayangkan indahnya. Igyu, bila nanti aku bisa melihat lagi, dan aku hanya melihat ke arahnya, kamu ikhlaskan? Karena yang ingin aku lakukan kali ini adalah berlari ke arah pria ini dan memeluknya. Mengucapkan terima kasih sebanyaknya karena selalu menemani 4 bulan ku di dalam gelap. Dan berjanji akan membalas kebaikannya dengan sayang yang kumiliki.
“Mingyu?” Satu nama, hanya satu nama yang kupanggil.
“Yaa? Di sini.” Katanya, memegang tanganku.
“Oh, di sini. Hehe.” Cengirku.
“Gimana? Matanya ada yang gatel?” Tanyanya panik. Selain hafal langkah kakinya, kini aku sudah hafal seluruh nada suaranya, dari nada suaranya yang bahagia, excited, senang, sedih, lelah dan nada-nada lainnya.
“Ngga, cuma absen.”
“Kamu tuh!” Katanya, menjawil hidung bangirku — kebiasaannya.
“Perbannya boleh dilepas kapan? Aku mau liat kamu.” Kataku tak sabar.
“Sore, pas Bang Seungcheol kunjungan. Sabar ya?” Katanya menepuk tanganku yang kujawab anggukan.
“Bun, Pa. Kok aku bangun kalian ngga excited sih?” Dumelku. Aku mendengar kedua orang tuaku berbicara dikejauhan, aku yakin mereka sedang membicarakan sesuatu sambil memakan buah, karena kudengar suara pisau mengupas sesuatu.
“Gimana mau excited, nama pertama yang dipanggil Mingyu? Papa kamu manyun nih, Won.” Kata bunda ku dengan nada jahilnya.
“Uwuwuw.. mana yang tua-tua ganteng?” Kataku menepuk angin, mencari ayahku, aku tahu dia sedikit berlari dan memelukku.
“Hehe. Maafin Wonwoo ya, Pa.”
“Ngga ada yang perlu kamu minta maafin, kamu ngga salah.” Katanya. Selalu seperti ini. Aku menyayangi mereka. Sungguh.
“Selamat sore. Mana ya pasiennya?” Tanya Choi Seungcheol yang in charge untuk perawatan dan operasi mata Wonwoo.
“Selamat sore, dok.” Sapa suara hangat dari mulut Wonwoo.
“Gimana kabarnya?” Basa-basi.
“Baik, dok. Hehe.”
“Pasti ngga sabar mau dibuka ya perbannya?” Tanya Seungcheol yang di balas anggukan yakin oleh Wonwoo.
“Kita buka ya.” Kata Seungcheol membuka perban dimata Wonwoo dengan sangat hati-hati dan mengajak Wonwoo mengobrol, bertanya segala macam hal yang tidak penting dan perban terlepas sempurna. Wonwoo masih memejamkan matanya, menunggu sang dokter memberikan aba-aba.
“Won, yuk buka matanya pelan-pelan. Mingyu udah tepat di hadapan kamu.” Kata Seungcheol.
Perlahan namun pasti Wonwoo membuka matanya, melihat satu pria tampan bermanik elang dengan gigi taringnya yang mengintip ketika dia sedang tersenyum, dan hidung mancung dengan tahi lalat diujungnya.
“Mingyu?” Tanyanya yang dijawab anggukan yakin dari pria yang berada didepannya.
“Mingyu!” Katanya lagi, Wonwoo melayangkan tubuhnya kepada pria yang terus menerus dia panggil.
“Iya, Wonwoo. Ini Mingyu.” Kata pria itu meyakinkan Wonwoo sembari mengelus surainya.
“Mingyu?” Tanya Wonwoo, melepas pelukannya dan meraba wajah pria itu, persis dengan wajah pria yang dia raba selama 2 bulan belakangan ini.
Igyu, aku sudah melihat Mingyu. Igyu, Mingyu mirip dengan wajahmu namun berbeda. Igyu, aku bisa melihat lagi. Igyu! Aku sangat bahagia.
“Kok bengong?” Tanya Mingyu ketika Seungcheol sudah keluar dengan kedua orang tua Wonwoo dan meninggalkan mereka berdua.
“Kamu mirip Igyu. Aku ngga nyangka.”
“Jadi inget Igyu?”
“Inget terus ngga pernah lupa.” Jawab Wonwoo lantang. Manik rubahnya kembali bersinar. Manik yang sudah Mingyu cintai walaupun sempat meredup.
“Aku?”
“Kamu? Mingyu.” Kata Wonwoo lagi.
“Tapi, kamu beda sama Igyu. Beda banget.”
“Won?” Tanya Mingyu.
“Ya?” Jawabnya.
“Kamu punya hutang.”
“Grant your wish? Sure. What do you need?”
“Kamu.”
“Gimana?”
“Jadi, pacar aku yuk!”
“Kamu?”
“Iya, aku.”
“Mingyu?”
“Mau?”
“Permintaan kamu apa?” Taya Wonwoo lagi.
“Kamu jadi pacar aku?” Tanya Mingyu, “Tapi aku ngga menjanjikan selamanya karena selamanya terlalu fana. Tapi, aku menjanjikan berusaha untuk selalu berada disisi kamu saat apapun keadaan kamu. Semoga masih dibolehin.”
“Aku akan pergi sampai kamu minta—” kalimat Mingyu terpotong.
“Jangan, jangan pergi walaupun aku yang minta. Aku masih butuh kamu dan selalu.” Jawab Wonwoo.
“Hah?”
“Iya, Mingyu. Ayok, pacaran sama aku!”
“Tapi aku kamu ngga boleh cemburu sama Igyu, karena aku ngga akan bisa lupain dia.” Syarat dari Wonwoo.
“Asal kamu sayang sama aku dan ngga nganggep aku Igyu, kita lanjutin prosedur pacaran ini.” Kata Mingyu jahil.
“Lanjutin dong! Aku sayangnya sama kamu, sayang Igyu lewat doa aja.”
“Aku ngga?” Tanya Mingyu jahil. Sebenarnya Mingyu tidak sungguhan cemburu. Itu hanya bercandaannya saja. Dia senang melihat Wonwoo frustasi seperti saat ini.
“Kamu selalu juga. Ih, Mingyu!” Kata Wonwoo, memeluk Mingyu lagi.
“Jadi, pelukannya ngga mau dilepas?”
“Ngga mauuu. Mau peluk kamu terus.” Kata Wonwoo tertawa riang.
“Iya, hahaha. Aku di sini buat kamu.” Kata Mingyu, melonggarkan pelukan mereka dan melihat manik bercahaya milik Wonwoo yang baru pertama kali ia lihat.
“Wonwoo. I love you.”
“Love you too, Mingyu”
“Mingyu?”
“Ya?”
“Terima kasih.”
“Everything for you, your highness.” kata Mingyu mengecup kening Wonwoo.
“Sayang kamu.” Mingyu melayangkan kecupannya di pipi kanan dan kiri.
“Selalu sayang.” Mingyu mengecupi ujung hidung pria disampingnya itu.
“Sayang, Mingyu.” Balas Wonwoo yang kemudian memajukan wajahnya dan mempertemukan belah bibir mereka, Mingyu membalasnya dengan ciuman hangat. Membawa tubuh Wonwoo ke haluannya dan menciumnya kembali.
Igyu, aku bahagia. Igyu, aku ingin hidup lebih lama dengan Mingyu. Igyu, aku kini bahagia. Kamu juga bahagia ya? Terima kasih karena menemuiku hari itu. Terima kasih mendatangkan Mingyu. See you in another life, Igyu.
— Fin —