KATINGTENG [Kaka Tingkat Ganteng] [Narasi 1] – Seharian dengan Kak Wonu
Hari telah terganti, tak bisa 'ku hindari Tibalah saat ini bertemu dengannya Jantungku berdegup cepat, kaki bergetar hebat Akankah aku ulangi merusak harinya? Mohon Tuhan, untuk kali ini saja Beri aku kekuatan 'tuk menatap matanya Mohon Tuhan, untuk kali ini saja Lancarkanlah hariku, hariku bersamanya Hariku bersamanya
Pagi ini lagu Sheila On 7 – Hari Bersamanya sudah melantun indah dari audio di dalam mobil Yaris 2020 Grey Metallic itu dengan sang pengendara sedang bersenandung mengikuti lirik lagu tersebut, jam 7.30 pagi sudah membelah jalan Kota Jakarta. Mingyu sedang di dalam perjalanan ke Menteng untuk menjemput pria yang sudah ia kagumi dari tahun lalu untuk mengantarnya ke kampus mereka yang ada di Grogol.
Bila ingin dihitung jarak, jarak dari rumah Mingyu yang ada di Kemanggisan itu hanya memakan waktu 20 – 30 menit ke kampus, itu juga kalau macet, sedangkan hari ini, dia membutuhkan waktu ekstra untuk sampai ke kampusnya. Alasannya hanya satu, menjemput Wonwoo sesuai dengan permintaan Eunwoo, temannya sekaligus adik dari pujaan hatinya itu.
Kini jam sudah menunjukkan pukul 9 kurang 15, dia sudah ada di depan rumah dengan dua tingkat berwarna abu-abu muda dengan paduan putih, asri karena banyak tanaman dan pohon tumbuh di halaman rumahnya, pagar hitam tinggi depan yang menyambutnya pagi ini. Sesuai dengan alamat yang dikirimkan Wowo — panggilan Eunwoo dari teman-teman dan keluarganya — “Okay, ini rumahnya. Gue telfon atau gue chat? Bentar, masih jam 9 kurang 15 tapi. Gue kecepetan apa jalanan lagi baik banget sama gue?” monolognya, masih terdiam di dalam mobil sambil memegangi ponselnya.
“Dahlah, kabarin aja. Gue harus ada di perpustakaan jam 10 juga.” katanya lagi. Bermonolog dan langsung menghubungi nomor 'Tambatan Hati' di sana.
“Halo?” jawab pria di ujung sana, sedikit bingung. Iya, gimana dia ngga bingung, pertama Wowo ngga ngasih tau siapa yang akan jemput dia pagi ini, dan kedua tiba-tiba untuk pertama kalinya Mingyu menghubunginya via telephone. Selama ini, Mingyu hanya chat saja dan tidak seintense itu hingga mereka harus saling mengubungi via telephone.
“Hai, Kak. Ini gue udah di depan. Lo udah siap belum?” tanyanya langsung, setelah terdiam sedikit karena kaget mendengar sexy nya Wonwoo pagi ini. Jantungnya mendadak berdegup, entah kenapa dia merasa sangat gugup. Seharusnya kan biasa aja ya?
“Eh, emang Mingyu yang jemput?” tanyanya dari ujung sana dan terdengar beberapa suara, seperti pintu yang tertutup dan langkah kaki menuruni tangga, yang Mingyu asumsikan tadi dia masih di kamar dan sekarang sedang menuruni tangga.
“Bentar ya, gue udah siap kok ini, tinggal keluar.” katanya dengan terbru-buru.
“Santai aja, Kak. Gue baru sampe kok.” kata Mingyu, tidak ada niat untuk mematikan sambungan telfon itu.
“Ini gue udah di depan by the way, lo di —” Katanya terhenti setelah melihat pria tinggi yang menggunakan kaos putih yang dibalut oleh flannel kotak-kotak warna paduan antara biru, hitam dan abu-abu dipasangkan dengan blue jeans belel — robek di bagian paha dan lutut, kurang lebih seperti itu —. Wonwoo langsung melangkahkan kakinya ke arah depan Mingyu, tersenyum sambil mengkat tangan kanannya dan mengucapkan Hai dengan suara lirih, Mingyupun membalas senyumnya, mengangkat salah satu tangannya untuk membalas yang dilakukan oleh kakak tingkatnya itu dan dia — Mingyu — memamerkan fangs yang ada di jajaran gigi atasnya.
“Masuk, Kak.” kata Mingyu sambil membukakan pintu penumpang mobil yang sudah menemaninya belakangan ini.
“Thank you.” kata Wonwoo berjalan ke arah pintu yang sudah dibuka dan duduk manis di dalam sana. Mingyu langsung menyusulnya dengan sedikit berlari dan duduk di kursi pengemudi. Mingyu langsung mengemudikan mobilnya kembali ke Jakarta Barat — tepatnya Grogol.
“Lo mau denger lagu apa, Kak? Pindah-pindahin aja pake ini.” ucapnya sembari memberikan ponselnya yang sudah terbuka applikasi musik dan tersambung ke audionya, kembali konsen menatap jalanan. Wonwoo sempat bingung karena pria di sampingnya ini percaya banget dengan memberikan ponselnya, “Apa ngga takut gue gap-in pacarnya chat dia atau gebetan dia bales chat gitu. Kalau gue baca gimana?” tanya Wonwoo ngomong sendiri, tentunya di dalam hatinya.
“Kenapa?” tanya Mingyu menatap ke arah pria berkacamata bundar di sampingnya sebentar dan kembali melihat ke jalan. “Ngga akan ada chat pop up aneh-aneh kok, Kak. Orang yang gue chat aneh-aneh kan ada di sini.” jawabnya lagi yang mengundang Wonwoo melihat sekitar mobilnya, mencari orang yang ada di sini yang dimaksud Mingyu.
“Elo. Astaga, kenapa gemes banget sih masih pagi?” kata Mingyu yang masih fokus. Wonwoo menundukkan kepalanya sambil berpura-pura mencari lagu di sana. Malu, mukanya sudah merona merah muda kali ini, sesekali dia memegang pipinya dan kembali fokus ke arah ponsel Mingyu.
“Lo ada kelas jam berapa?” tanya Wonwoo memecah keheningan mereka.
“Jam 10, online sih. Nanti gue di Perpus aja. Lo mau langsung ke Perpus kan sampe kampus?” tanya Mingyu, yang dijawab anggukan yakin oleh Wonwoo.
“Kelas lo beres jam berapa, Kak?” tanya Mingyu.
“Jam setengah dua sih seharusnya bisa lebih cepet.” jawab Wonwoo.
“Gue mau nganterin lo pulang, tapi gue ada kelas dari jam satu sampe setengah tiga, apa-apa ngga kalau lo nungguin gue?” tanya Mingyu. “Online juga kok. Lo baca di perpus aja, sukakan?” sambung Mingyu.
“Boleh kok, gak apa.” jawab Wonwoo yakin, dan dibalas dengan usapan di atas kepalanya oleh tangan besar milik Mingyu sambil tersenyum. Yang barusan rambutnya di usap malah tersipu malu. “Ealah asu! Ngapain gue usap-usap ini rambut cowo cantik?” dalam hati Mingyu, dia malah kaget dengan refleksnya sendiri. “Masya Allah, Mingyu. Kaget gue ini rambut diusep.” ucap Wonwoo dalam hati, masih mencoba untuk biasa saja, padahal mah mulai deg-degan itu.
Kini jam sudah menunjukkan pukul 10 kurang 5 menit, dan mereka sudah berada di salah satu meja di perpustakaan yang sangat lengang itu, ngga kosong sih, masih ada beberapa mahasiswa tapi bisa dihitung dengan jari. Perpustakaan kan identik dengan sunyi, ini semakin sunyi — kurang lebih seperti itu.
Mingyu langsung mengeluarkan laptopnya dan memasang airpodsnya di kedua ketelinganya, Wonwoo masih di sana memperhatikan yang sedang Mingyu lakukan sambil menopang dagunya dengan kedua tangan. Mingyu menaikkan alisnya dan bilang “Kenapa?” tanyanya tanpa suara, membuyarkan apa yang sedang Wonwoo lakukan, “Kenapa gue liatin juga?” monolog pria ramping itu dalam hati, dia hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Mingyu dan pergi dari kursinya, mencari buku yang sudah dia rencanakan untuk di baca pagi ini untuk kelas Kardioviskulernya.
Wonwoo sudah kembali dari kelasnya, di sini lagilah dia — perpustakaan — dan mendapatkan pria yang tadi pagi sudah rela menjemputnya masih duduk di tempat yang sama dari terakhir kali dia meninggalkannya, pria itu — Mingyu — sedang membuka buku tebalnya sambil mecoret beberapa tulisan di sana dan menyalin beberapa kata ke bindernya. Wonwoo dengan tenangnya duduk di hadapan pria itu.
“Hai!” sapa Wonwoo sambil menaruh barang-barangnya di kursi sebelah, masih menggunakan jas putih labnya. Mingyu mengedarkan pandangannya pada pria yang ada di depannya itu.
“Hai!” balas Mingyu yang masih menatapnya. Wonwoo menaikkan kedua alisnya, seperti bertanya 'Kenapa?'. “Lo ganteng kak pake jas putih gitu. Approved jadi calon dokter tampan.” kata Mingyu lagi dengan senyumnya, yang membuat Wonwoo lagi-lagi merona.
“Lo udah makan siang? Kelasnya mulai jam berapa?” tanya Wonwoo mengalihakan pembicaraannya yang dibalas gelengan oleh Mingyu.
“Kelasnya 10 menit lagi kata anak-anak.” jawabnya sambil menunjuk ke ponselnya. “Masih nunggu dosennya, tapi kita udah stand by nih di Zoom.” tunjuknya ke layar laptonya yang sudah menyala dengan wajah-wajah asing. Yaiya, ngga ada yang dia kenal. Selain beda angkatan, mereka juga beda jurusan.
“Oh, abis lo kelas, kita makan dulu ya? Gue juga belum makan.” ajak Wonwoo.
“Lo makan duluan aja, katanya lo punya gerd, emang boleh telat makan?” tanya Mingyu.
“Asal ngga ngopi, aman kok sampe jam 3. Masa gue ninggalin lo lagi.” keluh Wonwoo, mengerucutkan bibirnya. “Sumpah, ini orang effortlessly lucu, gemes, cantik. Gimana bisa gue jadi ngga sayang sih? Capek banget gue.” ucap Mingyu merutuki dengan sopan pria di depannya ini.
“Haha. Asal ngga ninggalin gue sama cowok lain, gak apa kak.” Tawa Mingyu. “Dan gue serius.” kata Mingyu disela-selanya.
“Tau ah, Gyu. Lo doyan banget sih becanda gitu. Belajar sana!” pinta Wonwoo sambil menatap laptop yang dianggurin oleh Mingyu sejak dia kembali.
“Orang gue bilang serius.” jawab Mingyu dengan cicitan yang masih terdengar memandang kembali layar laptopnya. Dan mulai fokus menyelesaikan sisa kelasnya.
“Lo lagi mau makan apa deh?” tanya Mingyu yang sudah duduk di balik kemudinya dan Wonwoo yang sudah ada di kursi penumpang, di sebelahnya. Mobilnya masih terdiam di parkiran, karena mereka tidak memiliki tujuan pasti siang menuju sore itu.
“Apa ya, Gyu? Apa aja yang penting makan.” jawab Wonwoo yang dibalas kerutan di sekitar kening Mingyu yang sedang menghadap Wonwoo, pria yang lebih tua itu mengurut kerutan di dahi pria yang lebih muda di hadapannya. “Jangan digituin jidatnya, cepet kerutan lho nanti.” kata Wonwoo sambil menyingkirkan tangannya sendiri. Dia kaget dengan gerakan refleksnya. Mingyu juga terkejut. Dari pagi mereka banyak terkejutnya ya?
“Suka gudeg ngga? Mau gudeg Bu Kris? Atau mau masuk ke mall?” tanya Mingyu memberikan ide yang ada di kepalanya.
“Kalau ke mall gue suka betah sendiri, nanti lo kemalem baliknya. Hehe.” cengiran Wonwoo yang menambah kegemasannya naik 100% dan ingin direngkuh oleh Mingyu.
“Kalau lo mau ya ga pa-pa, gampang. Kan yang penting elu nya, bukan gue.” jawab Mingyu. “Tapi, Kak.. Gue lagi pengen Kintan atau Ojju kalau boleh jujur.” kata Mingyu lagi.
“Boleh, as long as ga seafood gue okay.” setuju Wonwoo. “Oh okay noted. Dia ga suka seafood. Inget tuh, Ming.” ucap Mingyu dalam hati.
“Okay, kita ke CP.” Mingyupun mulai mengemudikan mobilnya menuju mall yang dia sebutkan.