Narasi 2 – 🍄 Shall We? 🍄
Cast: Mingyu/Yuvin Mingyu POV
Setelah diantar papa temannya kemarin yang biasa dia panggil Om Wonwoo dan ngasih nilai raportnya, Yuvin anak semata wayang gue memutuskan untuk diem di kamarnya. Gue sempet ngetok-ngetok kamarnya untuk ngajak makan malam. Tapi, Yuvin masih di dalam kamar yang terkunci, alasannya 'Lagi pengen sendiri'. Sebenarnya, hari ini gue pengen banget meluk anaknya dan ngucapin selamat karena hasil raportnya yang bagus, walaupun, gue ga pernah assist dia selama ini. Dia dapet ranking 3 dan gue ga pernah lebih bangga. Tapi, memang sampai saat inipun gue masih bertanya-tanya, 'Apa gue se-ngga bisa itu ngurus anak? Apa Yuvin selalu ngerasa gue ga sayang sama dia?' pengen banget rasanya teriak dan bilang kalau 'Ini lho yang ayah kerjain semua buat adek!' tapi takut dia sakit hati. Masih labil kata orang. Masa-masa pubernya ngga bisa gue halau.
Seandainya, Nayana – almarhum istri gue – masih ada, mungkin Yuvin ga akan kesepian dan sedih kaya gini. Pasti dia bisa bisa ngehandle anak ini dan gue bisa dengan lebih mudah mendekatkan diri ke Yuvin.
Dan siang tadi, gue abis ngobrol sama ayah dari sahabat anak gue itu, intinya komunikasi, anak remaja memang seperti itu. Diemin aja sampai dia mau bicara, tapi, Yuvin itu manusia yang paling bisa diajak adu bisu, terlebih sama gue. Gue ga bisa nunggu dia ngomong sama gue, karena itu ga akan mungkin.
Tok tok tok
“Dek, sebelum kamu tidur, ngobrol yuk sama ayah.” Kata gue di depan pintu kamarnya, di dalem terdengar hening. Apa udah tidur?
“Yuvin, ayah nungguin kamu dari kemaren lho ini.” kata gue lagi, gue harus maju terus pantang nyerah.
“Ayah bukan cenayang Yuvin, ayah ga tau kamu kenapa kalau kamu ga cerita.” gue masih teguh pendirian berdiri di sini – di depan pintu berwarna coklat bertuliskan 'Yuvin's Here'.
Gue diem, ngga beberapa lama, Yuvin membukakan gue pintu tanda mempersilahkan gue masuk. Anak itu langsung duduk di pinggir kasur dan mengusak matanya pelan, sedangkan gue ambil posisi di kursi meja belajarnya. Kamarnya sedikit remang malam ini.
“Masih marah sama ayah?” Tanya gue mendorong kursi belajarnya yang beroda itu menghampiri tempat dia duduk. Hanga gelengan dari kepalanya pelan, dia menunduk. Gue sedih liatnya. 'Apa ga punya mama akan senelangsa ini ya anak gue?'
“Terus kenapa?” Tanya gue lagi, pandangan dia lurus ke depan mata gue. Mungkin kalau dia Cyclops di X-Men kepala gue udah bolong.
“Sebel sama ayah, karena ayah ga pernah dateng ke hari penting adek. Junior High School Graduation, ambil raport di sekolah, ade turnamen basket, olimpiade matematika. Dimana semua orang butuh support dan presence, tapi adek tunggu ayah ga ada.” Jawabnya panjang lebar, menangis. Gue akui, dia benar. Acara-acara yang dia sebutkan gue ga pernah ada, selalu Minghao yang dateng buat gantiin gue. Kadang dia pikir ayahnya itu Minghao.
“Ga pernah ayah bermaksud kaya gitu.” Jawab gue, gue ga punya pembelaan selain gue sibuk kerja kantoran dan meniti kesuksesan untuk Project Cuan yang gue dan Minghao bangun dan akan gue titahkan nantinya buat Yuvin.
“Ayah kerja ini itu, ngurus ini itu semua untuk Yuvin, jadi maafin kalau ayah terlalu banyak melewatkan moment sama Yuvin.” Jawab gue, ini bukan alasan.
“Yuvin iri sama Ichan, Om Wonwoo selalu bisa nyempetin waktunya buat Ichan, sarapan bareng, anter Ichan ke sekolah, bekelin Ichan, bahkan bekelin aku.” DEG! Gue kaget, nama itu lagi. Om Wonwoo, siapa sih manusia ini? Kenapa dia seperti malaikat buat anak gue?
“Padahal, sama single parents juga. Punya restoran tapi freelance jadi editor di penerbit. Samakan sibuknya?” Tanya Yuvin menatap gue sambil air matanya jatuh satu persatu. Sedih banget gue liatnya.
“Tapi, kenapa dia bisa ayah ga bisa?” Tanya Yuvin lagi.
“Ayah kerja kantoran Yuvin, punya jam kerja, beda kalau ayah cuma fokus di Project Cuan. Ngertiin ayah mau ya?” Tanya gue. Pasrah gue, gue emang sucks banget buat management waktu.
“Sampe kapan? Sampe kapan ayah ngelewatin hari-hari penting Yuvin?” Tanya dia, melas. Gue lebih melas lagi, gue bingung jawabnya. Gue diem cukup lama, megangin pundaknya, mengelus pelan di sana. Bingung cara comfortnya.
“Ayah cuma bisa minta maaf, Vin..” kata gue membuka keheningan di kamar yang gue baru sadari ini banyak gundam di mana-mana. Somehow, gue lupa apa yang pernah gue kasih, inikah? Semua ini gue beliin dan menganggap Yuvin udah bahagia? I'm the real moron, indeed!
“Ayah –” katanya terpotong. “Yuvin bahagia walau cuma punya ayah, tapi, Yuvin akan lebih bahagia kalau ayah bisa meluangkan waktu ayah buat Yuvin, 1 hari 1 jam, Yuvin cukup.” Katanya lagi. Gue? Miris dengernya, gue langsung memeluk anak gue itu, dan berjuta kali gue ucapkan maaf.
Malam ini, gue baru sadar, Om Wonwoo yang Yuvin banggain itu bener, “I'll try my best for Ichan, mungkin Mingyu bisa melakukannya buat Yuvin. We already been there kan, posisiin jadi mereka is the best way.” dan “Mungkin sesekali bisa bawa Yuvin buat ngobrol di sini.” komunikasi katanya.
Jadi, sebenernya siapa sih manusia yang bernama Wonwoo ini? Gimana penampilan dan parasnya?