Narasi 4 – 🍄 Shall We? 🍄

Cast : Wonwoo/Leechan Author POV


Sabtu pagi, di kediaman Wonwoo sudah ada ribut-ribut yang berasal dari dapur. Bunyi suara mesin toast, suara pisau beradu dengan talenan ketika sesuatu terpotong, kemudian semua ditata rapih di atas piring, jadilah Banana Honey Toast untuk sarapan hari ini. Setelah semua sudah disajikan di atas meja makan, pria yang masih menggunakan piyama itu mengirimkan pesan dengan ponselnya, dan mengambil foto makanan itu. Disusul oleh suara langkah kaki terburu-buru dari lantai atas rumahnya.

“Hey, tidak berlari Ichan, nanti jatuh!” Kata pria bermanik rubah itu sembari mengingatkan anaknya yang sedikit berlari saat menuruni tangga. Dan hanya dijawab dengan cengirannya. 'Gemes bgt anak gue.' Ucapnya dalam hati.

“Yuk! Sarapan. Hari ini mau kemana?” Tanya Wonwoo ketika mereka berdua sudah duduk dan dihadapkan oleh sarapan mereka.

“Hmm.. papa ga ke resto?” Tanya Ichan yang dijawab gelengan oleh pria dihadapannya.

“Papa abis nolak jadi editor buku baru hari ini.” Katanya.

“Why? Kan bisa diberesin weekend?” Tanya remaja itu sambil mengunyah kembali makanannya.

“Ga suka soalnya deadlinenya 2 minggu, terus main sama Ichannya kapan?” Tanya Wonwoo.

“Kan bisa abis itu.” Jawab Ichan.

“Meh! Still I don't like it, so I refuse. Don't mind it. Papa lebih suka main sama anak remaja.” Kata Wonwoo meyakinkan anaknya.

“Lagian, papa, Om Jun sama Om Jiun lagi bahas untuk expand Tavore di Jakarta lain. Buka cabang gitu. Gimana menurut Ichan?” Ucap Wonwoo yang dijawab dengan binar-binar bahagia dari wajah anak di depannya yang masih menggunakan kaos belel untuk tidurnya.

“Gimana apanya? Itu keren banget. Mau buka di mana, Pa?” Tanya anak bernama Jeon Leechan ini.

“Menurut kamu di mana? Kemang?” Tanya Wonwoo.

“Boleh sih, tapi banjir ga sih?” Ucap anak umur 14 tahun itu yang sekarang memegang dagunya dan menautkan alis, tanda sedang serius memikirkan lokasi untuk ide papanya.

“Lagi mikir gitu kamu lucu banget sih. Balik jadi bayi lagi dong!” Ucap Wonwoo.

“Ihs, kapan sih Pap bisa memperlakukan aku selayaknya anak umur 14tahun?” Cemberutnya.

“Ga mau, kamu cuma bayi remaja buat papa.” Tawa Wonwoo yang disambut wajah Ichan yang masih ceberut.

“Kidding, dek. Gemes banget lagian. Yuk, lanjutin lagi makannya. Abisin.”

“Jadi hari ini kita kemana?” Ucap Wonwoo lagi.

“Nonton yuk! Ajak Upin. Bonon sama Kwannie mau ikut katanya kalau kita pergi.” Jawab Ichan yang dibalas oleh anggukan Wonwoo.

Sarapan itu selesai dengan tenang, tapi challenge Wonwoo belum selesai sampai di situ.

Setelah merapihkan meja makan, pria yang biasanya berkacamata bulat itu, meghampiri anaknya yang sedang duduk dan menonton channel kartun di depan televisi 49 inch milik mereka, ikut duduk di sebelahnya.

“Adek, papa mau ngobrol sebentar boleh?” Tanya Wonwoo dengan nada serius, Ichan langsung mengambil remote tv dan mengecilkan volume suaranya, menghadap ke arah papanya yang sudah duduk di sebelahnya. Mengangkat alisnya, tanda bahwa dia sudah siap mendengarkan.

“Sekitar beberapa minggu yang lalu, Om Mingyu ngajak papa ngobrol bareng-” Wonwoo berhenti dan berdehem menpersiapkan kalimat selanjutnya. “Om Mingyu ngajak papa buat ke jenjang yang lebih dari sekarang, emmmm.. kalau sekarangkan cuma temenan, maybe we will to make a romance relationship or maybe talk about marriage lat-” kalimat Wonwoo terhenti, Ichan tersenyum.

“Kenapa senyum?” Tanya Wonwoo.

“Gak apa, seneng aja kalau papa akhirnya mikirin itu. Marriage things. Hehe.” Ucap Ichan sambil tersenyum.

“No no. It's not about me. Tapi, tentang kamu.” Ichan bingung dan mulai mengerutkan dahinya, bertanya, “Kok aku?”

“Karena nanti akan ada Yuvin dan Om Mingyu juga. Kalau memang papa berjodoh dengan Om Mingyu, kita akan tinggal berempat. Kamu gimana?” Tanya Wonwoo, ada ragu dikalimatnya. Takut mengecewakan Ichan ketika mendengarnya.

“Kalau papa sendiri gimana?” Tanya Ichan kembali.

“Kok nanya balik?” Kini Wonwoo yang mengerutkan dahinya.

“Papa seneng ngga?” Tanya Ichan.

“Of course I'll be happy, but papa will be happier if you are also happy with me.” Jawab Wonwoo.

“If that's the case, I'm happy when papa is happy. So, you can conclude by yourself. Lagian, hubungan pertemanan Ichan dan Yuvin baik-baik aja. Om Mingyu juga baik sama kita.” Jawab Ichan yakin.

“Tapi, apa Om Mingyu tau? Dan nerima Ichan?” Tanya anak itu, suaranya mencicit.

“Tau, papa udah cerita. Tapi, Ichan tau kan, Papa Wonu ga pernah peduli Ichan anak kandung papa atau bukan? Papa ini tetep papa Ichan.” Wonwoo terhenti sebentar, menggenggam tangan mungil anak yang sudah diangkatnya dari 12 tahun lalu. “Kalau mereka memang ngga bisa nerima Ichan, pilihannya cuma dua, step back or go away. Karena ga ada alesannya jadiin Ichan sebuah pilihan. Ngerti kan maksud papa?” Tanya Wonwoo meyakinkan Ichan. Ichan mengangguk yakin.

“Papa beneran suka Om Mingyu berarti?” Tanya Ichan mencari pembenaran. Wonwoo mengangguk yakin, Ichanpun mendekatkan tubuhnya untuk merengkuh sang ayah.

“Ayo, pah. Pelan-pelan kita nambah personil di Kartu Keluarga.” Ajak Ichan yang dibalas oleh senyum manis pria cantik itu.


“VIIIINNN... YUVIIIINNNN... SARAPAN, KAAKKK!!” Teriak pria dengan tinggi 187 cm yang masih menggunakan t-shirt sleeveless berwarna hitam dan boxer setengah pahanya dari anak tangga paling bawah.

“OKAAAYYY!!” jawab suara dari satu kamar di lantai atas, tak lama salah satu pintu terbuka dan ada suara langkah kaki terburu dari lantai atas.

“Hayo! Lari-larian di tangga nanti jatoh!” Tegur pria yang memiliki warna kulit tan itu.

“Hhaaahh.. capek lari dari kamar.” Keluh remaja yang biasa dipanggil Upin oleh teman-teman dekatnya itu.

“Siapa yang nyuruh?” Tanya pria yang sedang menggunakan kacamata minus dan membaca koran yang dipegangnya. Tidak dihiraukan anaknya.

“Ayah bikin nasi kebuli?” Tanya Yuvin.

“Bukan. Pakde Ahmed yang di belakang rumah tadi pagi ngirim, katanya nanti siangan ada acara di rumahnya. Terus, ngasih kita itu deh.” Jelas ayah anak itu, Mingyu.

“Sarapan dulu coba. Baca korannya nanti lagi.” Seru anaknya sambil menyendoki nasi kebuli yang ada di mangkok besar untuk diletakkan ke piring yang berada dihadapannya. Mingyupun menuruti anak semata wayangnya.

“Project Cuan atau Kim Adinata Group yang lagi hectic?” Tanya anak remaja yang memiliki gaya rumahan sama seperti ayahnya itu.

“Dua-duanya lagi sibuk. Kenapa?” Tanya Mingya balik.

“Om Wonu nanya pas nganterin pulang ke rumah, mungkin beberapa hari yg lalu. Lupa!” Kata Yuvin agak acuh.

“Udah lama ayah ga ngobrol sama dia kayaknya, cuma ketemu pas anter kalian sekolah.” Kata Mingyu sambil mengingat, kapan terakhir kali dia bertemu dan berbicara dengan pria yang belakangan ini memenuhi hari-harinya.

“Bosen?” Tanya Yuvin sambil mengunyah nasinya. Mingyu menghentikan suapannya.

“Kok ngomong gitu?” Ucap Mingyu kecewa.

“Udah 3 minggu ini kan kamu tau, ayah bahkan pulang malem terus dan jarang ngobrol sama kamu.” Jelas Mingyu.

“Iya, balik lagi kaya dulu.” Suaranya Yuvin sedikit kecewa. “I'm fine, it's normal. But, don't be like that to Om Wonu, he didn't know the nature of you when you're busy with your work.” Lanjut Yuvin lagi, tanpa melihat ke arah ayahnya.

“I didn't mean it.” Jawab Mingyu lesu.

“Bagus deh kalau gitu.” Kata Yuvin acuh sambil berdiri dari meja makan ke westafel cuci piring dan mencuci piringnya.

“Sore ini Upin ke rumah Ichan, mau pergi sama Bonon dan Kwannie. Ga usah dianter, naik ojol aja.” Kata anak remaja itu melewati ayahnya yang masih diam di meja makan. Sudah tidak nafsu makan lagi, anaknya kembali dingin.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Mingyu naik ke lantai atas, ke kamar anaknya. Diketuk 3x pintu itu, “Masuk aja!” Pinta si empunya kamar. Yuvin langsung duduk ketika suara daun pintu kamarnya terbuka.

“Ayah masuk ya?” Yang dijawab oleh anggukan.

“Kenapa?” Tanya Yuvin ketika ayahnya sudah duduk dipinggiran kasur queen size milik anaknya itu.

“Kamu tuh marah lagi sama ayah?” Tanya Mingyu perlahan.

“Ngga, you're like that. What should I expect? Ayah 4 bulan kemarin tried so hard. Appreciate it.” Jawab anaknya, suaranya masih dingin dan acuh.

“Tapi, kaya yang marah sama ayah.” Kata Mingyu.

“Rather than getting angry, I'm more disappointed sih. Ya gitu deh.” Jawab anaknya sambil mengindikkan bahunya. Tanda malas dengan ayahnya.

“Om Wonu, jangan dicuekin. Kalau emang ngga mau atau bosen, jangan dighostingin. Kasian. Soalnya, dia baik banget sama aku.” Kata Yuvin lagi.

“Kenapa kamu khawatir banget sama Wonu?” Tanya ayahnya dengan nada yang lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Yuvin sedikit terkejut dibuatnya.

“Koh Hao said that if you will have a serious relationship with Om Wonwoo, dia masih belum jawabkan? And you're like this, how can I ignore it? Om Wonu tuh udah kaya orang tua aku. Sayang aku sama dia!” Kata Yuvin dengan nada yang tidak mau kalah.

“Ayah tuh emang ga bisa ga sibuk, susah management waktu, I understand. But don't be ignorant, mungkin aja Om Wonu bingung sekarang.” Kata Yuvin lagi. “What if he already has an answer for you? Terus, ayah kaya gini? Apa dia ngga jadi ragu?” Yuvin menutup mulutnya sambil menarik bedcover dan menutup semua badannya. Berpura-pura tidur, agar ayahnya pergi keluar dari kamarnya.

Mingyu masih membisu, melangkahkan kakinya lunglai menjauh dari kamar anaknya, menuju kamarnya. Duduk di pinggir kasur, menopang dagunya dengan telapak tangan kiri, dan memegang ponselnya di tangan kanan. Menekan tombol dial hijau dilayar dan menaruh benda pipih itu ditelinganya.

“Halo..” suara lembut di seberang sana, suara yang sejujurnya selalu dia rindukan.

“Hai! Kamu sehat?” Tanya Mingyu sambil memukul pelan pahanya. Nervous.

“Sehat, kamu gimana? Makannya gimana?” tanya Wonwoo, nadanya khawatir.

“Alhamdulillah aku sehat juga. Kalau makan, aku masih makan 3 kali sehari. Haha.” Jawabnya dengan tawa canggung.

“Syukurlah.. mmm.. ada apa nelfon aku? Aku pikir kamu sibuk?” tanya lagi.

“Want to hear your voice. I miss you.” Jawab Mingyu lancar.

“Omg! I miss you too. I thought you were so busy that didn't have time to reply my message or call me.” kata cowo di seberang sana terang-terangan.

“Sorry to keep you waiting and ignore your message lately.” Kata Mingyu.

“Really? You ignore my message? Why? Haha.” tawa pria manis itu canggung.

“Kalau bales, aku takut pengen ketemu. Takut kangennya semakin banyak, sedangkan kerjaan banyak banget ga bisa nunggu.” Nada suara Mingyu melemah.

“It's okay. If you miss me, I can come to you, you don't always have to come to me. Yakan?” tanya pria di seberang sana meyakinkan.

“Iya, maafin aku ya.” Kata Mingyu, “Mm.. tapi tawaran aku sebulan yang lalu masih berlaku. If you have got the answer you can tell me. Right now maybe.”

“I already have the answer. But, you better take care of your first priority. My answer still can be wait.” jawab Wonwoo sambil tersenyum, tapi sayang Mingyu tidak bisa melihatnya.

“You are my priority right now.” Jawab Mingyu yakin.

“Waw, thats so intense.” terdengar suara tawa santai dari Wonwoo.

“Really, I miss you!” Kata Mingyu, dia gemas, ingin memeluk pria di seberang sana kalau ia bisa. “Hmm.. kata kakak hari ini dia mau jalan sama Ichan, Bonon dan Kwannie ya?” Lanjutnya.

“Yuhuu~ sama aku juga. Mau nonton. Wanna join us?” tawar pria ramping itu.

“Can I?” Tanyanya.

“Sure, why not?”

“Kakak lagi marah sama aku.”

“Pasti karena kamu sibuk, terus, kamu cuekin lagi anaknya?” tebak Wonwoo. “4 bulan kemarin kamu bisa, kenapa sekarang kambuh lagi?” lanjutnya, bertanya.

“Ngga paham aku, kenapa bisa gitu. Can you help me?”

“How can I?”

“Ya ingetin aku.” Jawabnya.

“Gimana mau ngingetin kamu? Wong chat aku aja kamu anggurin.”

“Ngga... ngga akan lagi aku nyuekin kamu. Janji.”

“Don't promise if it's still hard to keep up. I'm good without that promise thing! Nanti aku ingetin kalau kamu kambuh lagi ya..” kata Wonwoo berusaha menenangkan.

“Maafin aku ya, aku masih banyak kurangnya.” Kata Mingyu lesu.

“Manusia kan tempatnya kurang, makanya mereka saling mengisi dengan manusia lainkan?” kata Wonwoo. “Refreshing dulu yaaa.. ikut aku sama anak-anak, kita nonton nanti sore. Aku tunggu di rumah. Okay?” kata pria itu semangat.

“Iya, kita ketemu ya nanti sore. Aku boleh bayar kangen aku ngga?”

“Explain please~”

“Peluk? I need charge my energy, I almost died, my battery drain.” Kata Mingyu, kini tampangnya sudah memelas.

“Sure.. Hugs and kiss in your forehead for your hard work during this long month.” kata Wonwoo yakin.

“Serius? Aku akan tagihin itu sampe dapet. Aku orangnya teguh pendirian lho.”

“Of course. A man always kept his word, right?” tanya Wonwoo sambil tertawa.

“Yes. So, see you ga nih?”

“See you, then.”

“Won..”

“Yes?”

“Aku sayang sama kamu. Pengen kamu tau aja.”

“Iya, Mingyu. Me too.”

“Me too apa?” Tanya Mingyu bingung, takut salah denger.

“Sayang kamu juga?” kata pria di seberang sana tertawa.