Pulang Bareng Vol. Kesekian

“Nha, ini manusia yang bikin jidat anak ganteng gue jadi warna pink.” kata Giana dengan suara lantang ketika Putra berjalan agak cepat melewati salah satu kedai kopi di depan gedung perkantorannya.

Ia sudah sangat mewaspadai hal ini terjadi, Putra sudah menghitung kemungkinan-kemungkinan yang dapat ia alami ketika pulang melewati area ini, bagaimana ia harus bertindak saat bertemu atasannya dari kantor? Karena sejujurnya saat ini ia sangat ingin sekali menghindari ke-empat serangkai atasan-atasan tim digital tempatnya bekerja — Theo, Onel, Gian, dan Celo. Terutama pria yang terakhir kali disebutkan, Celo. Bukan karena tiap melihat manager-nya bawaan Putra kesal — ya-iya sih memang mereka persis cat and dog yang ngga akur-akur — tapi, malam ini Putra — cowo tinggi yang biasa dipanggil Kucing atau Uta — lebih ngga mau ketemu Celo karena malu udah marah-marah di depan elevator tadi sore, ia sadar sih kalau ia memang ngga seharusnya marah, kan yang salah dia. Terbukti karena saking malunya, setelah ia menemukan salep trombopop yang entah punya siapa — tapi tetap dia gunakan juga — berada di atas mejanya, si dia yang tingkah lakunya kaya kucing garong itu langsung ngibrit membawa peralatan kerjanya ke cafe pantry kantor dan duduk paling pojok agar tidak ketemu dengan primadona-nya tim digital — Celo. Ya, walaupun mereka tetap bertukar pesan lewat e-mail tentang progress kerjaan — yang sebenarnya bisa mereka lakukan via chat.

“Sial, ketauan!” rutuk pria berkacamata itu dalam hati. Putra diam tak bergeming, masih mempertimbangkan untuk berbalik dan menyapa ke-empat Musketeer tersebut atau pura-pura tuli, kemudian menggeret Achel untuk kabur dari tempat itu sekarang juga. Tapi, wait a minute ~ Achel mana? Kok tidak tampak di depan mini market yang sudah mereka janjikan untuk bertemu?

“Buru-buru amat, Ta, sini dulu lah!” sapa Theo, salah satu dari empat orang itu. Pria yang paling loyal diantara yang lain, karena gampang banget ngajak makan teamnya terus ke kasir duluan dan lupa nagih, soalnya, ngga tau caranya menggunakan split bill atau malah bill-nya ngga sengaja kebuang sama tissue.

Putra berbalik, ya masa dia kabur? Kan ngga enak, setidaknya, ia berniat untuk berbasa-basi sebentar sembari menghubungi Achel dan menanyakan keberadaannya.

“Bisa-bisanya ini anggora putih satu ngilang.” omel Putra dalam hati meratapi ponsel-nya, berjalan menuju ketempat Celo, Theo, Gian dan Onel yang lagi sibuk mengepul asap beraroma yang sudah bercampur aduk oleh rasa liquid vape mereka.

“Uta alergi asep cuy, bengek nanti.” tegur Onel meminta ketiga temannya yang lain menghentikan aktifitas mereka menghisap vape ketika Putra sudah sampai di hadapan mereka.

Mendadak Marcelio tersedak tak karuan, dibandingkan dengan ketiga teman yang lainnya, setelah mendengar kalimat Onel mereka menghirup vape dan menghembuskan asapnya perlahan ke lain arah agar tidak terhirup Putra, berbeda dengan pria berbadan tinggi kekar itu, si dia yang pintar dan tak sabaran malah menelan asapnya sendiri — berniat agar asapnya tak terhirup Putra, yang terjadi adalah ia yang tersedak. Pria berkacamata manis itu dengan refleks-nya menepuk punggung Celo yang kebetulan ada di dekatnya, sedangkan Gian, Theo dan Onel malah menertawakan kebodohan Celo.

“Minum, minum!” kata Putra mengambil kopi yang entah punya siapa berada di meja melingkar tempat mereka berdiri — untuk menghilangkan batuk-batuk Celo.

Thanks, thanks.” kata Celo sembari mengangkat tangannya, memberikan gesture ‘cukup’ kepada Putra, dan kemudian pria yang dipanggil kucing oleh teman terdekatnya itupun berhenti, dan mengambil langkah mundur, untuk menjauhi Celo karena baru menyadari gerak refleknya, yang seolah sangat perhatian sekali kepada manager-nya itu.

Onel tersenyum mencurigakan melihat tingkah laku Putra yang sedikit canggung di sebelah Celo.

“Nyari siapa, Ta?” tanya Gian ketika Putra sibuk lagi dengan benda pipih canggih yang berada digenggamannya.

“Achel, Kak. Liat ngga? Tadi gue janjian di depan Lawsons sini.” kata Putra, masih sibuk menunggu jawaban dari temannya.

“Lho? Bukannya udah balik ya? Tadi, kayaknya ke arah parkiran BNI ngga sih?” tanya Onel. Dari wajahnya Putra tidak bisa menilai, apakah itu pertanyaan jahil seolah Putra ditinggalkan oleh temannya, atau memang Achel benar-benar meninggalkannya, dan pulang duluan. Karena Putra dan semua orang yang dekat dengan Onel sudah tahu kalau pria ini dikenal rajin menjahili teman-temannya, apalagi dirinya yang sudah dari SMP habis dijahili pria berambut blonde itu.

“Boong banget, Achel ngga akan tega.” jawab Putra, masih optimis kalau Achel tidak mungkin setega itu pada dirinya.

“Yeeee, ngga percaya. Yaudah.” kata Onel.

“Kayaknya emang balik deh, Ta, soalnya, kita berempat tuh daritadi di sini.” lanjut Giana. “Atau mungkin makan malem dulu di Pandan Wangi?” lanjutnya sambil menyebutkan salah satu warteg yang terdapat di daerah perkantorannya.

“Pandan Wangi udah tutup jam 9, ege.” jawab Onel, “Lagian dia ke kiri, bukan ke kanan tadi.” lanjutnya.

“Lah? Masa ninggalin? Gue balik sama siapa?” tanya Putra.

“Sama g—” belum selesai Giana menjawab, Onel sudah mendekap mulut wanita cantik itu dengan telapak tangannya.

“Giana pulang sama gue, dia ngga bawa mobil.” kata Onel, masih menutup mulut temannya. Wanita bermanik tajam seperti rubah itu berontak kecil dan berusaha melepaskan dekapan telapak tangan Onel yang sedikit agak kencang.

“Gue ditungguin cowok gue di Grandhika depan, ga bisa nganterin lo pulang, Ta.” kata Theo sembari menunjuk salah satu hotel berbintang di seberang gedung perkantorannya. “Lo pulang sama Celo aja, bawa mobil kan lo?” tanya Theo menanyakan ketersediaan tumpangan pria berbadan atletis di hadapannya yang sedang sibuk sendiri sembari scroll-scroll Twitternya.

Putra menatap Celo cemas, berharap pria tinggi itu menggelengkan kepalanya. Disaat Putra harap-harap cemas, Celo mengangguk. “Ngapain lo ngangguk, anjir?” kata Putra dalam hati. Ya, walaupun Celo belum tentu mau numpangin dia pulang, tetep aja ada 50% kesempatan Theo akan meminta manager-nya itu untuk mengantarnya pulang dengan paksa.

“Semoga, Celo ngga mau nebengin gue. Amiin.” do’a Putra dalam hatinya.

Tapi ya, namanya juga semesta, suka bercanda yang ada-ada saja, sometimes what you don't expect, is what you get.

“Sama gue aja, yuk, sekalian gue pulang lewat belakang. Macet kalau lewat depan.” kata Celo sembari menunjuk ke jalanan yang penuh dengan mobil-mobil di seberang mereka, mengantongi benda pipih ke dalam saku jeans-nya.

“Tapi gue—” kata Giana.

“Iya iya, gue temenin lo ke kamar mandi, mumpung kamar mandinya belom ditutup.” potong Onel sembari membalikkan badan Giana dan mendorongnya untuk menjauh dari Theo, Celo dan Putra.

“Baliknya tia-ti, Ta, Cel, The!” kata Onel dan Giana menjauh dari mereka, melambaikan tangan.

“Gue nyebrang dulu deh! Lo balik sama Celo aja Ta, udah malem lagian, naik ojek malem-malem gini ngga bagus buat badan lo. Gue masih butuh lo sehat.” kata Theo. “Masih banyak deadline. Haha. Yuk ah! Gue duluan. Bye!” kata Theo sembari tersenyum dan memukul lengan Celo yang kekar, kemudian berbalik badan, meninggalkan kedua insan yang tidak pernah akur ini.

“Jadi?” tanya Celo. “Gue parkir di Sentraya.” berjalan duluan, meninggalkan Putra, namun beberapa langkah ia terhenti, dan membalikkan tubuhnya, melihat Putra masih terdiam membeku. “Ayo, bentar lagi lampunya dimatiin.” ajak Celo. Iya, bila sudah jam 10 malam memang seluruh lampu di gedung perkantoran ini akan dipadamkan, hanya disisakan beberapa lampu remang saja, agar dapat menerangi jalan apabila masih ada beberapa orang yang pulang terlambat.

Putra perlahan namun ragu mengikuti langkah panjang kaki Celo. Tetap saja, dalam diam ia menurut juga.