No.1
Introduction: main characters — 1
Seperti yang udah gue bilang tadi di group chat yang isinya cuma temen-temen deket terbangsat yang gue miliki, kalau hari ini rencananya gue akan ketemu sama pacar si Papip dan anaknya.
Mungkin gue akan menceritakan sedikit latar belakang dari bokap gue. Yup, nama bokap gue adalah Kim Bum, dan beliau sudah menduda dari gue umur 10 tahun karena nyokap gue pergi dari rumah, entah kemana dan ngga pulang-pulang sampai hari ini, jadi, gue hanya dibesarkan oleh bokap gue yang ganteng. Karena gue melihat pria separuh baya itu sendirian, gue pun membiarkan beliau pacaran dengan wanita manapun yang ia sukai dengan satu syarat; bokap harus nyari cewek yang ngga seumuran dengan gue atau at least lebih tua sekitar 10 tahun lah dari gue.
Long story short, akhirnya Pak Kim Bum yang merupakan manusia sibuk sedunia itu bertemu dengan seorang janda cantik beranak satu. Kalau gue lihat dari fotonya sih, pacar bokap gue cantik, dan kelihatan masih muda. Tapi, kalau gue tanya dan denger dari cerita beliau, pacarnya ngga semuda yang gue bayangkan, hanya terpaut beberapa tahun lebih muda aja dari dia. Jadi, gue tanpa berbasa-basi langsung setuju dengan hubungan mereka. Oh by the way, bokap gue juga selalu update tentang kisah cintanya, walaupun kadang hanya lewat chat atau sepintas aja, soalnya beliau kan sibuk betul ya orangnya, kecuali ada satu hal gue baru banget tahu, yaitu kekasih bokap ternyata punya anak cowok yang surprisingly lebih tua satu tahun dari gue — untuk ini Bambam pasti kecewa, ‘sorry, Bam, ternyata gue dapetnya kakak tiri cowo, bukan cewe seperti yang lo idam-idamkan.’
Setelah denger gue akan punya kakak cowok, gue sih langsung berfikir, it's a good thing tho', we can be a best partner in crime or best friends who hang out together. That sounds like a fun idea! Having a wingman, casually dropping hints to Wonwoo waktu di perpustakaan, terus dia bilang, “Hey, have you met Gyu?” could be a cool and playful way to start a conversation.
“Lagi mikirin apa kamu, Gu?” tanya bokap gue, jujur gue agak kaget sih, soalnya kan gue lagi ngelamun sambil ngomongin dia dalam hati.
“Just wanna asking you aja sih, Pi. Papip pernah ketemu sama anaknya Tante Seulgi ini?” tanya gue santai, setelah beliau cerita sedikit tentang calon step older brother gue ini.
“Pernah sekali, waktu Papip mengantar bundanya pulang.” jawab bokap gue santai. Iya, bokap gue emang ngga bawel orangnya, anteng, dan selalu menjawab apa yang memang perlu dia jawab, setelahnya hening. Kalau diantara kita berdua, gue yang extrovert di sini, bokap gue mostly jadi patung Matahari.
“How does it look? Ganteng?” tanya gue, ya maklum, karena gue pecinta keindahan, gue pasti akan menanyakan apa yang sedap dipandang terlebih dahulu. Evil laugh.
“Later on, you decide for yourself what kind of person he is.” jawab bokap gue yang ganteng dan berwibawa itu. Gue menganggukkan kepala tanda setuju, kalimat terakhir bokap kaya pertanda kalau kehadiran pria itu akan menjadi surprise dalam hidup gue, atau mungkin bokap mikir anak gantengnya akan terkalahkan dengan calon kakak tirinya. OH NO! Oke, gue lebay.
“By the way, Pip, acar lunch ini ngga akan lama kan ya?” tanya gue.
“Why? Do you have appointment?” tanya bokap gue. Bokap gue memang paling mengenal gue, ngga sia-sia gue hidup 20 tahun sama beliau
“Iya, sama nak-anak aja sih, sekitar jam 7-an.” jawab gue yang hanya disambut anggukan oleh beliau.
“It's okay, as long as you don't get too drunk or go home in a drunken state. Kasian Bi Iyem ngurusin kamu sampe baju kamu bau alkohol gitu.” nasihat bokap gue, dan gue hanya bisa ngangguk, seperti biasa yang selalu gue lakukan.
By the way, hubungan gue sama bokap gue berjalan sangat baik, sesibuk apapun Bapak Kim Bum ini, dia bisa tahu siapa aja mantan-mantan gue. Ngga cuma mantan sih, dia bahkan tahu siapa sahabat-sahabat gue, sampai tau rumah mereka di mana. Eh, sebentar deh, ini kalau dipikir-pikir, daripada monitoring kehidupan sosial gue, kayaknya dia lebih ke — sudah memasang chip di badan gue, atau nyewa detektif swasta buat ngikutin gue ngga sih? Hmmm.
“Tuan Besar dan Tuan Muda, kita sudah sampai.” suara dari driver bokap yang sudah bekerja selama puluhan tahu itu menggema di dalam mobil sedan Mercedes Maybach Exelero yang kita naiki, bersamaan dengan berhentinya kuda besi beroda empat itu.
Jam baru menunjukkan pukul 01.35 siang, dan memang inilah kebiasaan Pak Kim Bum, dia akan datang lebih dahulu dari waktu yang sudah dijanjikan, serta memilih untuk menunggu dibandingkan membiarkan sang tamu yang harus menunggunya, tiap gue tanya kenapa padahal kita adalah warga negara Wakanda yang ngga pernah tepat waktu karena smartwatch belum di charge atau ketinggalan di meja sebelah tempat tidur, jawabannya selalu sama, beliau selalu bilang, “Ngga sopan Gu, membiarkan tamu kita menunggu.” Dan gue yang sudah beranjak dewasa ini dengan perlahan mulai memaklumi kebiasaannya.
Siang ini gue yang menggunakan white t-shirt tipis berlapiskan white suit serta sepatu pentofel hitam mengilap, dan Pak Kim Bum juga tak mau kalah rapih, beliau menggunakan kemeja putih tanpa dasi dengan 2 kancingnya yang sengaja ia buka, dipadu-padankan dengan suit biru dongker pattern vertical serta sepatu pentofel hitam yang tak kalah kinclong sedang berjalan memasuki salah satu lobby hotel bintang 5, hotel yang terkenal dengan restoran paling enak dan chef 5 stars michelin-nya. Ya ya ya, I really know his taste.
“Good afternoon, Mr. Kim.” sapa seorang pria yang merupakan manager operational hotel ini kepada gue dan bokap gue. Iya, kebetulan kita punya marga yang sama, jadi waktu dipanggil kita sama-sama menatap sang manager operational itu — yaiyaaaalaah, sama!
“Please this way, sir.” kata pria itu lagi ketika sudah melihat Pak Kim Bum mengangguk dan gue menjawab sapaannya dengan suara mencicit. Pelan-pelan aja, biar disangka pemalu.
Tak perlu waktu yang lama, gue sama Papip sudah keluar dari salah satu elevator restoran yang ternyata sudah dipesen setengah ruangannya hanya untuk makan siang hari ini oleh Pak Kim Bum. To be honest this is nothing special — it’s my dad, but I was still surprised. Let me take a moment of silence in shock. Thank you.
***
“Thank you.” kata bokap ketika sudah selesai memesankan makanan untuk lunch gue dan beliau sembari tersenyum. Setelah repeat the order, waiter berpakaian vest hitam, berkemeja putih bersih, dengan dasi, dan celana bahan hitam yang rapih itu meninggalkan kami berdua.
“Deg-deg-an ngga, Pip?” tanya gue memecahkan keheningan di meja makan ini, ditambah lagi memang beberapa meja di kanan dan kiri gue kosong.
“Not really, I have no doubt that Seulgi will win your heart right away.” jawab bokap gue dengan penuh percaya diri. Ya, kalau mau jujur, dari cerita dan unggahan bokap di social media-nya sih wanita yang bernama Seulgi ini cocoklah buat beliau, gue juga akan setuju-setuju aja untuk ngerestuin hubungan mereka. If they’re meant to be, why not?
As usual, gue sama bokap kalau lagi nunggu orang seperti apa yang sedang kita lakukan saat ini, pasti ngobrol ngalur ngidul, dari bahas ekonomi, bisnis, politik atau hal random lainnya, seperti kuliah, gimana gini gimana gitu, hingga, seorang wanita yang menggunakan gaun dark gray sleeveless, dan tas tangan senada bermerk designer terkenal dengan anggun serta senyuman cantiknya berjalan ke arah kami, bokap dan gue otomatis langsung berdiri. She is the woman and her son that we have been waiting for, but hold on a second! Gue kayaknya perlu kacamata minus karena gue seperti melihat sosok yang tak asing di balik tubuh tante cantik itu.
Jantung gue mulai ketar-ketir, r nya boleh dipanjangin, ketaarrrrrr-ketiirrrrrr~
“Mas,” sapanya lembut sembari tersenyum ketika sudah berada di hadapan gue dan bokap. Kalau gue lagi lagi boleh jujur sih, ini sih type bokap banget. Dilihat dari fisiknya aja, gue mulai mengerti kenapa bokap mau ngenalin gue sama pacarnya yang satu ini.
“Kok udah dateng aja sih? Kan kamu jadi nungguin akunya kelamaan.” kata wanita itu ke bokap dengan nada lembut, sambil megang lengan bokap gue. Iya, mesra. Gue masih ngga apa-apa. Iyakan ya? Gue so far masih so good.
“Ngga kok, sayang, saya sama Mingyu memang sengaja datang lebih cepat untuk menyambut kamu.” jawab Pak Kim Bum dengan suara lembutnya dan tersenyum, lalu merengkuh pinggang wanita separuh baya yang ramping itu. Jujur, gue jarang liat bokap sesumringah dan semanis ini sama cewek manapun selain Bi Iyem. Insert Devil laugh here.
“Oh iya, sayang, perkenalkan ini Mingyu, my only son, so far.” kata Papip sambil mengelus pundak gue, yang membuat gue dengan refleks tersenyum.
“Nice to meet you, Igu.” wanita paruh baya itu langsung memanggil gue dengan panggilan rumah gue, dan gue seperti terhipnotis, menyambut uluran tangannya, dan kami sudah saling bersalaman. Hal itu tentu saja karena gue ramah, gue juga tak lupa untuk tersenyum dan menyebutkan nama lengkap gue.
“Kim Mingyu.” kata gue.
“Kang Seul-gi.” jawab tante-tante cantik itu.
“Panggil Tante Egi, atau Mamim kalau kamu sudah siap.” kata bokap gue dengan tenang, wanita cantik di hadapan gue hanya tersenyum malu-malu.
LHO! Sebentaaar, pelan-pelan Pak Sopirrr!!!
“Tante Egi aja, Igu,” jawab Tante Egi itu sedikit menenangkan gue, mungkin dia ngga enak juga kali ya ngeliat mata gue yang langsung melotot kaya Suzanna pas mau minta 100 tusuk sate ke Bang Bokir.
“Igu dan Mas Bum, kenalin ini Wonwoo, anak aku.” kata Tante Seulgi seraya memperkenalkan seorang pria manis berkacamata kotak frame hitam yang sedari tadi hanya diam di belakangnya.
“Mungkin mas udah ketemu ya sama Nunu, tapi aku belum kenalin in person.” lanjutnya.
Wonwoo, asing ngga sih namanya? Tentu tidak, karena dia adalah cowok yang tadi namanya disebutin sama Seokmin, bak sulap, orangnya udah ada di depan mata gue saat ini.
Wonwoo bukan sekedar Wonwoo, tapi kakak kelas yang gue gebet dari jaman high school, dan pria yang bahkan menjadi alasan gue memilih masuk President University instead of ngambil jalur prestasi ke University of Indonesia, walaupun gue ngga sejurusan sama dia, at least gue selalu punya alasan ke perpustakaan kampus tiap hari Senin, Rabu dan Kamis, iya, cuma buat ngeliat mukanya yang gemes banget tiap lagi ngerjain tugas, atau baca novel romantis. Pengen gue temenin. Banget.
Dan betul, saat ini, gue sama dia sedang bersalaman. Akhirnya, gue bisa megang tangan dia yang putih. Gue nyebutin lagi nama lengkap gue, dan dia juga nyebutin nama lengkap dia pake senyum. Belum nyebur ke laut, tapi gue udah tenggelem di dalam senyuman indahnya, mampus ngga gue? Kalau boleh mengingatkan diri gue sendiri, ini bukan gue yang lagi dijodohin sama anak dari temennya bokap. Slap myself, and I really deserve it.
Jujur, halus banget tangannya, ngga pengen gue lepas rasanya, tapi memang namanya juga dunia tipu-tipu karena kamulah tempat aku bertumpu, bokap gue membuyarkan semuanya dengan menepuk lengan pria yang lebih tua satu tahun dari gue itu dan menyuruh kita semua untuk duduk pada tempat yang sudah disediakan. Oh My God, gue ngga mau lebay, tapi Wonwoo sekarang udah duduk di hadapan gue, lagi ngobrol sama nyokapnya buat menentukan pesanan seraya beberapa kali tersenyum. Ngga boleh bohong karena dosa, manik gue dan doi beberapa kali bertemu, lalu dia senyum ke gue manis banget. Senyum lo bisa gue bawa pulang aja ngga sih? Ah, elah! Mau gue pajang, woy!
“Gimana pindahannya?” kata bokap gue membuka perbincangan di meja persegi panjang ini, tentu pertanyaan itu keluar sesaat setelah Wonwoo dan Tante Seulgi sudah memesan makanannya.
Oh iya, ini juga Wonwoo yang sama ketika Seokmin ngabarin kalau ada tetangga baru di kompleknya.
“Lumayan heboh, soalnya Nu punya banyak perintilan, kaya buku, journal, computer PC gaming-nya—” kata Tante Seulgi yang sisanya ngga begitu jelas di gendang telinga gue, yang penting adalah dia suka baca, dia suka main game, dan itu very interesting.
“Rumahnya di Aarden Townhouse ngga sih, Tante?” tanya gue dengan percaya diri, padahal ngga ada satupun yang ngasih tau. Anggep aja gue fortune-teller deh.
“Kok kamu tahu?” itu pertanyaan bokap gue, dan pandangan mata manusia di depan gue juga seperti mempertanyakan hal yang sama.
“Iya, temen kampus Igu ada yang tinggal di sana juga, terus, sempet liat Kak Wonwoo waktu pindahan.” MAMPUS AJA MULUT LEMES GUE! Kenapa jawabnya gitu, njing?
“Lho? Kamu udah kenal Wonwoo, Gu?” tanya bokap gue. Tentu ini adalah pertanyaan wajar.
“Ngga kenal, Pip, tapi tau aja, beberapa kali ketemu di sekolah, dan di kampus,” ya jangan sepolos ini juga dong lambe-ku.
“Lo SMA di JIS, terus, kuliah di President University kan ya, Kak Wonwoo?” telat banget sih pertanyaannya, tapi okelah, bablas aja terus, nanggung!
“Iya, kamu jugakan?” jiah, dia nanya balik ke gue, cuy! sambil senyum lagi, kayak yang ngajak ngobrol seolah gue bukan orang aneh, padahal jelas-jelas gue co-gil (cowok gila).
Yaelah, suaranya lembut banget masuk ke daun telinga gue. Duh, Jeon Wonwoo!!
“Iya, ka.” gue jawab singkat, agak keki sih ini.
“Pantes, kayaknya aku juga beberapa kali liat kamu.” kata dia masih tersenyum ke arah gue. Gue kaget kaya yang 'Eh ayam eh ayam'. Dia pernah liat gue? Wow, gue visible dong ya di mata dia. UWUWUUWUUWUUWUW— Gemes banget.
“Iyakah? Sama, kak, gue juga ngerasa hal yang sama, muka lo juga ngga asing buat gue.” masih penuh dengan kepercayaan diri gue yang menumpuk, gue bantai semua rasa deg-deg-an gue sambil ngangguk-ngangguk.
Kaya ada yang salah sih, tapi bodo amatlah. Sebenernya kalimat gue yang tadi itu ada lanjutannya, 'muka lo juga ngga asing buat gue, apalagi masa depan kita. EEEAAAKK!!!' Stop, Mingyu! Slap myself in the face.
“Oh gitu, udah pernah pada ketemu? Bisa cepet akrab dong kalau gitu?” kata Tante Seulgi ke gue dan Kak Wonwoo yang cuma ngangguk sembari tersenyum. Senyum mulu deh, gue karungin juga lo!
“Kalau gitu boleh ya, mas, kapan-kapan aku ajak Mingyu buat bantu pindahan? Siapa tau anak-anak malah makin akrab.” tanya Tante Seulgi seraya tersenyum menggoda ke arah bokap gue.
“Iya dong, tentu saja boleh, dari pada dia main sama handphone dan kameranya terus, ajak saja dia untuk membantu kamu dan Wonwoo, sayangku.” izin bokap gue. Gue cuma bisa mengangguk aja. Sudah waktunya gue acting belaga gila sih.
Yah, ini sih namanya gue lagi diejek-ejek sama keadaan dan ngga kesempatan untuk move on sama sekali. Kejam juga nih hidup.
***
Seperti makan siang dan pertemuan keluarga untuk saling mengenal lainnya, gue, bokap, Wonwoo dan Tante Seulgi tenggelam dalam pembahasan yang kini sudah kemana-mana, mostly bokap membuka hampir semua aib-aib gue yang gue ngga tau gimana cara nutupinnya lagi, dan Tante Seulgi membeberkan cerita tentang seberapa menggemaskannya Wonwoo membuat gue jadi semakin tahu tentang pria manis di hadapan gue ini. Duh, anjirlah, bukannya mau mundur ini malah gue semakin ingin mencintainya dengan ugal-ugalan. Insert crying imoji here.
Saking serunya ngobrol, ngga disangka sekarang udah jam 5 sore. Gue punya firasat kalau bokap dan Tante Seulgi akan segera mengusir gue dan Wonwoo dari sini. Intuisi aja, belum tentu benar, tapi jarang meleset.
“Gu, kamu pulang gih sama Pak Hwaji, sekalian anterin Wonwoo dulu sebelum kamu ketemu temen-temen kamu.” dan ternyata intuisi gue betul.
“Papip masih ada urusan soalnya sama Tante Seulgi.” lanjut pria tampan separuh baya di samping gue itu. Ya kali ada urusan di hotel berduaan? Mungkin, bokap menyangka gue masih 10 tahun kali ya?
“Ngga usah, Om, Wonwoo bawa mobil kok.” kata pria manis pencuri hati gue itu ke bokap. Bokap gue geleng-geleng, kalau kaya gini tandanya dia insist nyuruh Wonwoo pulang sama gue (lebih tepatnya dianter sama Pak Hwaji).
“Naik mobil Papip aja, Kak, nanti lo gue anterin ke rumah. Mobil lo tinggalin aja di sini, nanti gue minta anak buah bokap buat bawain. Kuncinya di valet kan?” jelas gue, mengukuhkan kalimat bokap yang sekarang lagi senyum sembari mengangguk.
Gila ya? Sepanjang hari waktu makan siang ini gue bener-bener jago banget berperan sebagai anak Pak Kim Bum yang baik hati dan penurut, iya-iya aja sambil senyum ganteng, padahal aslinya gue lagi memaki takdir yang akhirnya bisa membuat gue kenalan sama Wonwoo gara-gara bokap gue dan nyokapnya pacaran. Lo kebayang ngga kalau gue nanti jadi adeknya Wonwoo? Wah, taik sih, mana bisa gue jadiin pacar? Apa gue nekat? Gue terabas aja? Mumpung bokap sama Tante Seulgi belum bahas pernikahan sama sekali. Gue yakin gue punya kesempatan sih, walaupun cuma 10%, 90%-nya udah dicuri bokap.
Still, njiiirrrr, gue ngga pernah memikirkan kalau ternyata my crush of almost 5 years adalah anaknya dari pacar bokap yang kemungkinan bakal jadi nyokap gue. Heh, takdir, apa boleh lo sebercanda ini sama gue?