Nothing has changed
Part of Reunited Universe
tw: fluff, slightly mature
“Wonu, Yulna di rumah Mama ya. Tadi mama culik.” sapa wanita paruh baya di seberang sana tanpa basa basi setelah pria yang dipanggil Wonu mengangkat teleponnya.
“Oh di Pondok Indah? Aku kira di rumah Kak Mingyu, aku udah di depan rumahnya.” Kata pria bertubuh ramping dan tinggi itu.
“Ya udah, tinggal masuk! Kunci rumahnya juga ngga pernah ganti kok. Orangnya kayaknya di dalem.” kata wanita itu.
“Tapi, Ma. Ngga enak aku kalau berdua. Aku pulang aja kali ya?” Tanya Wonwoo.
“Kok pulang? Udah malem. Nginep aja di sana!” pinta wanita yang dipanggil mama itu.
“Masuk aja, minta anterin Mingyu pulang. Gih! Kayak ke siapa aja kamu, Nu?!” kata Mama Kim.
Ya memang Mingyu bukan orang asing untuk Wonwoo, 9 tahun lebih mengenalnya sudah lebih dari cukup. Kalau bukan karena tindakannya 2 tahun lalu, mungkin kini seorang Jeon Wonwoo sudah menekan 6 digit kode pintu, dan segera masuk, mencari kamar utama dan merebahkan tubuhnya di bed king size ruangan yang sudah dibalut dengan seprai dan bedcover dari bahan terbaik. Ditambah lagi hari ini dia sangat lelah mengantar Jun melihat venue dan ikut ambil andil untuk memilih beberapa dekorasi pernikahan temannya.
Kembali ke Wonwoo yang masih menimbang-nimbang untuk masuk dan masih tersambung dengan Mama Kim di sana.
“Mama suruh Mingyu keluar aja ya kalau kamu masih ngga mau masuk gitu?” tanyanya.
“Ngga usah, Ma. Wonu pulang aja ya? Capek juga abis nemenin Jun.” Alasan, itu hanya alasan Wonwoo untuk tidak menimbulkan atmosphere aneh antara dia dan Mingyu saat berdua. Atmosphere canggung — menurut Wonwoo.
“Haduh, masih aja kamu tuh keras kepala ya, Nu? Yaudah, senyamannya kamu aja.”
“Iya, ma. Makasih ya udah jagain Yulna. Besok Nu jemput ke sana.” Kata Wonwoo membalikkan badannya, beranjak pergi dari depan pintu itu dan mematikan ponselnya.
“Mau kemana kamu malem-malem?” Tanya suara pria dari belakangnya. Wonwoo terdiam membeku. Ketahuan.
“Aku nanya sama kamu, Dek.” Kata suara itu lagi. Wonwoo membalikkan badannya, menatap pria yang lebih tinggi darinya, sedikit mendongakkan kepalanya dan menatap wajah itu dalam-dalam.
“Kenapa?” Tanya pria itu lagi, Wonwoo masih membisu.
“Hmm?” Masih dengan suara lembut manis pria dihadapannya.
“Mm..” Wonwoo sedang mencari kalimat yang tepat untuk berpamitan pulang.
“Mau cari alasan untuk apa?” Tanya pria itu dan lagi-lagi Wonwoo ketahuan. Pria ini terlalu kenal dirinya, berbohong pada pria di hadapannya adalah hal yang sulit untuk Wonwoo lakukan — tidak bisa.
“Bukan itu—” suara Wonwoo menggantung, kini tatapannya sudah terfokus pada lantai dan kakinya yang sedang dia gerakkan ke belakang dan ke depan perlahan tanpa suara.
“Terus?” Tanya pria itu, menyilangkan tangannya di depan dada.
“Tadinya mau jemput Yulna, tapi tadi Mama Kim nelfon, kalau Yulna ada di Pondok Indah?” Jelas Wonwoo.
“Oh iya, tadi mama bawa setelah aku mandiin. Aku lupa ngabarin kamu, maaf.” Kata Mingyu.
“Mama pulang, aku mandi. Terus, beneran lupa ngabarin.” Tuturnya lagi dengan ekspresi wajah yang masih sama.
“Ngga pa-pa, kak.” Tanya Wonwoo, mulai berani menatap pria itu dan memiringkan kepalanya.
“Maaf karena lupa.”
“Iya, ngga usah minta maaf lagi. Yulnakan juga pergi ke rumah eyangnya.” Tutur Wonwoo sembari menyunggingkan senyumnya.
“Terus, kamu mau kemana kalau aku ngga buka pintu?” Tanya Mingyu kepada pria di hadapannya, senyuman Wonwoo menghilang. Dia lupa sebentar untuk mencari alasan agar dia bisa pulang.
“Pulang?” Kata Wonwoo tidak yakin.
“Masuk, di luar dingin!” Pinta Mingyu, berjalan ke belakang Wonwoo dan mendorong pria yang lebih sering dia panggil 'Dek' itu.
“Kak, tapi—”
“Nurut aja, ini hukuman ketiga kamu.”
“Hukuman aku kok banyak?” Tanya Wonwoo.
“Masih banyak, satu bulan ninggalin aku terhitung satu hukuman.” Jawab Mingyu, mendudukkan tubuh pria ramping itu di sofa ruang tengah rumahnya.
“Masih ada duapuluh satu hukuman lagi.” lanjut Mingyu, Wonwoo terdiam di tempat duduknya. Mingyu menghilang ke arah dapur.
Rumah ini masih sama, ngga ada perubahan dari terakhir kali Wonwoo ke sini dua tahun yang lalu. Oh ada yang berubah, ada beberapa frame berukuran sekitar 12R yang berisi foto gadis kecil yang sangat Wonwoo hafal pose-posenya — foto Yulna. Foto anak kecil yang selalu Wonwoo kirimkan lewat pesan setelah pria ramping itu memutuskan untuk memberitahukan keberadaan anaknya.
'Kak.. kenapa lucu banget foto Yulna dijejer centil disitu.' gumam Wonwoo dalam hati.
“Kamu udah makan?” tanya pria tinggi itu, memberikan segelas air mineral yang tadi Mingyu ambil di dapur, meletakkannya di hadapan Wonwoo dan duduk di sofa single, di serong sofa tempat Wonwoo duduk. Papa dari Yulna masih terdiam, dia masih terfokus pada jajaran frame di sana.
“Dek?” tanya Mingyu, mata si Kakak mulai mengikuti arah mata Wonwoo sedari tadi.
'Oh, lagi liat foto-foto Yulna? Kok sampe bengong?' gumam Mingyu.
“Itu Yulna.” katanya lagi, Wonwoo tersadar dari lamunannya ketika mendengar kalimat tadi dan jentikkan jari di hadapan wajahnya.
“Eh, maaf, Kak. Tadi kamu ngomong apa?” tanya Wonwoo.
“Kamu udah makan? Dan iya, itu foto Yulna yang kamu kasih ke aku.”
“Udah.. Udah.. tadi aku makan di nikahan orang, diajak sama Mba Andrea. Sekalian food testing katanya.” Jawab Wonwoo. “Dan terima kasih udah majang foto Yulna di situ.” Kata Wonwoo lagi.
“Dia juga anak aku, wajar kalau aku majang fotonya. Yakan?” Tanya Mingyu yang di jawab anggukan oleh Wonwoo.
“Terus, tadi kamu bilang cuma liat venue aja? Kok ada food testing segala?” Tanya Mingyu lagi.
“Diajak sama Mba Andrea, katanya sekalian partner cattering dia lagi ada di salah satu nikahan, jadi kita ke sana.” Kata Wonwoo antusias. Dia bahkan lupa akan kecanggungan antara mereka, kini kakinya sudah bersila di sofa tanda mulai lebih santai.
“Terus?” Migyu terus memancingnya.
“Hmm.. Enak. Hehe. Makanannya enak-enak.” jawab Wonwoo, menyunggingkan senyumnya.
“Suka?” Tanya Mingyu.
“Zupa Soup sama syomaynya enak, terus, gemesnya apa coba?” tanya Wonwoo, Mingyu menaikkan alisnya tanda bertanya 'apa?'
“Prasmanannya ada 3 warna nasi, ungu, ijo sama putih. Terus, lauknya juga enak-enak. Tadi aku ngga nyoba yang seafood sih, tapi kata Jun enak.” Kata Wonwoo. “Kayaknya, Jun ngambil package yang itu deh.” Gemas, hanya itu yang sedari tadi Mingyu fikirkan, rasanya hanya ingin memeluk pria ini hingga pagi.
“Terus? Ngapain lagi?” tanya Mingyu kepada pria yang hari ini menggunakan kacamata dengan bingkai hitam.
“Tadikan emang ke venue nikahan Jun, gemes banget ada dua hall, indoor sama outdoor. Guedee banget tempatnya.” kata Wonwoo mulai bercerita dengan bahasa tubuhnya, yang menandakan dia sudah lebih relax dan tidak lagi merasa canggung. Mingyu mendengarkan pria itu sembari menyunggingkan senyum tampannya.
“Terus, aneh banget. Jun aneh banget—” kata Wonwoo mengulang kata aneh banget berkali-kali karena merasa tidak percaya dengan apa yang dia alami hari ini.
“Masa Jun nurut sama semua pilihan aku? Ngga ngelawan atau pake berdebat dulu. Kamu taukan, Jun tuh kaya gimana sifatnya? Apalagi kalau udah sama aku kaya love and hate relationship, kita tuh lebih ke sayang tapi jijik.” Kata Wonwoo yang dijawab anggukan oleh Mingyu.
“Terus?”
“Terus terus, kamu kaya tukang parkir tau ngga?” jawab Wonwoo dengan nada sewotnya sembari menyunggingkan senyumnya.
“Ya aku mau denger kamu cerita.” kata Mingyu, tertawa mendengar jawaban Wonwoo.
“Aku yang lebih pengen denger kamu cerita.” kata Wonwoo, mengingat si Kakak hari ini pergi dengan Yulna, pasti cerita mereka lebih seru dari ceritanya yang hanya berkisar dengan menemani Jun menyiapkan pernikahannya yang masih setengah tahun lagi itu.
“Kamu beresin dulu ceritanya.” Pinta Mingyu. “Buat dekorasi gitu-gitu, gimana?” Tanyanya.
“Hmm.. Decornya udah sepaket sama hall venue-nya. Bagus banget juga. Tapi, ngga Jun banget.” Kata Wonwoo protes.
“Kalau ngga Jun terus siapa?” Tanya Mingyu.
“Semuanya tuh lebih ke selera aku. Apa sekarang tastenya jadi ke aku-akuan? Aneh banget deh.” Tanya Wonwoo, yang berkali-kali mengulang kata aneh banget.
“Mungkin karena dia iya-iya aja kali sama pendapat kamu?” Tanya Mingyu.
“Mungkin ya, Kak. Biarin aja ngga sih? Nanti pas nyadar juga dia rubah sendiri.” tawa Wonwoo, mengingat temannya akan heboh menggunta-ganti ini itu ke Mba Andrea.
“Terus, kamu sama Yulna hari ini gimana jalan-jalannya?” Tanya Wonwoo, menopangkan tangannya di dagu, siap mendengarkan Mingyu bercerita.
“Jalan ke IKEA, terus Yulna seneng banget. Dia pilih kasur, meja belajar, seprai, hordeng, piring, gelas. Semua dia yang pilih.” Kata Mingyu.
“Kok kamu percaya selera anak umur 2 tahun?” Tanya Wonwoo.
“Yaiya, seleranya bagus kok. Lagian, Dek, aku memang beli buat dia. Biar dia betah, jadi semua aku serahin pilihannya ke Yulna.” Jawab Mingyu santai sembari menyandarkan punggungnya pada sofa tempat dia duduk.
“Hah? Nanti diletakkin di mana? Kamukan ngga pernah ngitung luas kamar kosong di apart? Kamar buat dia di apart tuh kecil, Kak.” Tanya Wonwoo, bingung.
“Siapa yang bilang buat di apart?”
“Terus, di mana?” Tanya Mingyu.
“Buat di sini. Kan aku udah bilang ke kamu, kalau mau renov kamar buat Yulna, renovasi kamar kosong di rumahku aja.” Jelas Mingyu, menatap pria ramping yang duduk di sofa panjang, sedang melihat dengan wajah bingung ke arahnya.
“Let me ask you some questions. Or maybe just one question.” pinta Wonwoo.
“Silahkan.” Jawab Mingyu dengan tangannya yang mempersilahkan Wonwoo untuk bertanya.
“I don't want to be a GR ya, but are you asking me to live with you? Or want to invite Yulna to live together in this house without me?” akhirnya, pertanyaan itu keluar dari mulut Wonwoo dengan suara pelan namun pasti, sama halnya dengan saran yang diberikan oleh Jihoon.
'Demi meminimalisir rasa penasaran gue, ini emang harus gue tanyain. Semoga ga salah' gumam Wonwoo.
“Menurut kamu?” Tanya Mingyu.
“Aku ngga peka if you forget. Kamu ngga bisa nanya gitu ke aku, aku ngga ngerti.” Kata Wonwoo, Mingyu memindahkan posisi duduknya, menjadi di samping Wonwoo. Tubuh Wonwoo kembali menegang, dia tidak tahu harus berbuat apa. Karena sejujurnya yang dia inginkan saat ini hanya merebahkan tubuhnya yang lelah dan meletakkan kepalanya di dada bidang pria yang sudah ada di sampingnya. Dia ngga perduli dengan jawaban Mingyu kali ini.
'Nu.. You have to wash your brain. Ngga ada manja-manjaan sama Kak Mingyu. Kamu ngga punya hak, hei! Dan ini beresin dulu, dia ngajak Yulna tinggal sama dia atau he's asking both of you living together with him?' gumamnya.
“Aku ngajak kamu tinggal bareng setelah Yulna keluar dari Rumah Sakit sebenernya, Dek.” Senyum Mingyu. Wonwoo membelalakkan matanya, 'Hampir satu bulan?'.
“Ngga nyampe ya kode aku? Ngga ngebolehin kamu renov kamar Yulna, ganti sofa, renov apart.” Jelas Mingyu, Wonwoo masih terdiam terpaku.
“Kenapa tegang banget?” Tanya Mingyu, mengelus pipi Wonwoo dengan ibu jarinya. Wonwoo mengambil tangan pria yang lebih tua itu dan menggenggamnya lembut, sesekali mengelusnya dalam diam.
“Ngga tegang, aku kaget.” Kata Wonwoo. “Aku ngga ngerti sama hati kamu yang terbuat dari apa—” kalimatnya terpotong. Mingyu mengerutkan keningnya.
“Bukan, itu bukan sesuatu yang negatif. Aku cuma bingung, karena kamu masih seperti kamu. Ngga berubah sedikitpun, padahal aku udah bertingkah impulsive kaya apa, bertindak dengan pemikiran pendek, overthinking nya aku, dan kamu masih nungguin aku kaya gini.” Kata Wonwoo, menatap wajah Mingyu hangat. Pria tinggi itu masih terdiam.
“Aku ngga pantes dapet kamu rasanya—” Mingyu segera mendekap tubuh Wonwoo, memeluknya erat.
“Kamu ngga bisa menilai pantas atau ngganya kamu buat aku, Dek.” Kata Mingyu, masih di dalam dekapan Wonwoo.
“Aku itu rumah kamu, sejauh dan selama apapun kamu pergi, kamu masih bisa pulang. Aku akan selalu membuka pintu buat kamu. Kamu ngga akan kehujanan, kamu ngga akan kedinginan, ada aku. Aku janji.” Kata Mingyu, melepas pelukannya. Mengecup kening Wonwoo.
“Kamu persinggahan terakhir aku, jauh sebelum aku sadar kalau aku cuma butuh kamu.” Mingyu menggenggam kedua tangan pria berkacamata di hadapannya dan mengecup kedua punggung tangan itu.
“Apalagi sekarang udah ada Yulna, anak kita. Aku mau memberikan semua yang terbaik buat kamu dan Yulna. Aku pengen kamu berbagi beban kamu sama aku. Aku ngga mau liat kamu bingung sendirian waktu Yulna sakit, aku ngga mau liat kamu nanggung semuanya sendirian. Aku mau ganti dua tahun kita yang lewat gitu aja.” Jelas Mingyu, Mingyu membawa tubuh Wonwoo ke dalam haluannya, mengelus surai pria kesayangannya.
“Tolong, biarin aku jadi pria yang bertanggung jawab untuk kamu dan Yulna.” Kata Mingyu. “Jangan lari lagi kalau ada masalah, Nu. Aku pengen sekarang kita bisa menyelesaikan itu bareng-bareng, sama kayak pasangan lain.” Kalimat itu selesai bersamaan dengan Wonwoo yang mengalungkan tangannya di leher pria di hadapannya.
“Maafin aku ya. Ninggalin kamu dan bikin kamu jadi kesepian terus, Kak.” Kata Wonwoo.
“Kalau gitu, temenin aku ya?” Tanya Mingyu. “Temenin aku sampai aku ubanan, sampai aku ngga bisa bilang aku sayang kamu secara langsung. Sampai jarak antara hidup dan mati yang misahin kita.” Kata Mingyu, mengelus bibir berwarna merah muda milik Wonwoo.
“Kak?” Wonwok bingung dengan ucapan pria yang sudah memegang sebelah pinggangnya dengan satu tangannya, dan satu tangan lainnya membawa wajah Wonwoo lebih dekat dengan wajahnya, Mingyu mengecup bibir Wonwoo lembut.
“Nikah sama aku ya, Dek?” Tanya Mingyu, setelah tautan mereka terlepas. Wonwoo membelalakkan matanya.
“Hah?” Wonwoo kaget. Diam sejenak. “Tapi, kak? Mama sama Papi Kim? Koleganya? Temen-temen mereka gimana?” Tanya Wonwoo dengan wajah penuh kekhawatiran yang Mingyu rasa tidak perlu.
“Kamu bisa ngga, mikirin keluarga kecil yang mau kita bangun aja? Ketimbang kamu mikirin orang lain yang kita aja ngga hafal siapa namanya dan mereka itu apa?!” Pinta Mingyu, melihat manik unik pria di hadapannya lekat-lekat. Wonwoo membalas tatapan elang itu.
“Kamu inget kan, kamu akan ambil semuanya, Dek? Apapun yang aku lakuin kamu akan terima?” Tanya Mingyu yang dibalas anggukan. Mingyu langsung mengeluarkan senjatanya.
“Aku akan beri kamu semua, dan tugas kamu akan ambil itu semua. Salah satunya ini. Jawaban kamu cuma ada dua—” kalimatnya terputus. Mingyu mendekatkan wajahnya ke salah satu telinga Wonwoo. “Ya atau mau.” Kata Mingyu membisikkan kalimatnya. Bulu kuduk Wonwoo meremang, suara berat Mingyu yang jarang dia dengar masuk dengan sopan ke panca indera pendengarannya.
“Kenapa harus bisik-bisik sih? Geli.” Wonwoo tertawa setelah kembali lagi ke bumi.
“Haha. Kenapa? Seksi kan?” Tanya Mingyu jahil.
“Seksi banget.” Jawab Wonwoo menangkup kedua pipi sang kakak, dan mengecupi gemas ujung hidung Mingyu.
“You don't know how much I miss US like this, Kak. I miss being pampered by you. Kamu tempat ternyaman aku.” Kata Wonwoo lagi.
“I want to kiss you until sunrise, rasanya.” Kata Wonwoo. Mingyu tersenyum, menarik tubuh ramping pria dihadapannya yang membuat Wonwoo terkejut, melingkarkan satu tangannya dipinggang Wonwoo dan memegang rahang sang adik sembari menyatukan dua belah bibir mereka. Kegiatan yang sangat Wonwoo rindukan.
“Boleh, kamu nginep ya? Besok jemput Yulna sama aku.” Kata Mingyu, ketika lumatan itu terlepas. Tangan Wonwoo yang masih mengalungi leher sang kakak sesekali mengusap lembut surai gelap milik Mingyu.
“Can I?” tanya Wonwoo lembut.
“Selalu bisa, kamu selalu diterima di sini.” Kata Mingyu. Kembali menyatukan bibir mereka dengan ciuman dan lumatan untuk menguapkan rasa rindu akan presensi satu sama lain yang terlewat.
“Ngh—” tidak sampai hingga lumatan, tangan Mingyupun sudah bergerak mengabsen satu persatu tubuh Wonwoo dari dalam balutan kemeja oversized biru yang pria itu gunakan. Bukan hanya Wonwoo yang merindukan sentuhan Mingyu, pun Mingyu merindukan their intimate time.
“Kahk.” Lenguh Wonwoo ketika ibu jari sang dominan sudah berada dipuncak salah satu dadanya dan menekan serta memilinnya sesekali serta bibir Mingyu yang sudah turun ke leher Wonwoo dan mengecupinya. Papa Yulna itu mengulum bibirnya.
“Hm?” Tanya Mingyu ketika melihat wajah Wonwoo yang sudah berubah menjadi merah jambu, Mingyu hafal wajah ini, mata sayunya, suara desahan yang tertahan semua itu karena Wonwoo sedang merasakan nikmatnya. Mingyu melanjutkan kegiatannya, membuat tanda sedikit kebiruan di collarbone pria di atasnya.
“Ini hukuman jug.. ahmh! Bukan?” Tanya Wonwoo berusaha menahan desahannya, walaupun sempat terlepas.
“Bukan kok, sayang.” Kata Mingyu menyudahi sentuhannya dengan mata yang tak kalah sayu, mengecup sekilas bibir ranum Wonwoo yang masih mengatur nafasnya, dan Wonwoo segera memeluk tubuh tegap sang kakak.
“Kangen, kak.” Kata Wonwoo dari dekapan sang kakak yang ditanggapi dengan tawa khas milik Mingyu.
“Kok ketawa?” Tanya Wonwoo sinis dan melepaskan dekapannya ketika mendengar gelak tawa Mingyu ketika dia mengutarakan rasa rindu akan sentuhan dari pria itu.
“Ngga pa-pa, kangen aja sama kamu yang clingy kaya gini. Blak-blakan bilang kangen, blak-blakan minta peluk atau malah langsung peluk aku. Kangen sama kamu yang bilang kangen, kangen sama tubuh kamu. Aku juga kangen, Nu.” Kata Mingyu.
“Aku puasa 2 tahun lho ini.” Kata Mingyu lagi.
“Emang kamu aja yang puasa?” Tanya Wonwoo, mengelus dada bidang sang kaka.
“Mau lanjutin lagi ngga?” Tanya Mingyu. Wonwoo mengangguk malu, nafsunya untuk melepaskan rindu sudah ada di ujung tanduk sekarang. Wonwoo memeluk erat tubuh sang kakak karena tahu apa yang akan Mingyu lakukan — menggendongnya. Dan benar saja apa yang Wonwoo perkirakan, Mingyu menggendongnya menuju kamar utama.
Mingyu masih seperti Kim Mingyu yang selama ini dia kenal. Perlakuannya, lembutnya, dan semuanya masih sama. Tak ada yang berubah dari si Kak Mingyu ini.