Offering from Kim's
Reunited — Narasi 20
TW//Mention death, bribery.
6 April 2022
Malam di hari ulang tahun gue, gue menyetir sekitar 45 menit hingga sampai ke salah satu komplek perumahan mewah. Menyetir sambil berfikir, apa saja yang ingin gue sampaikan lalu berniat langsung pulang.
Sampai ke alamat yang gue tuju, gerbang pagar hitam besar langsung terbuka secara otomatis, guepun langsung menerobos masuk tanpa basa-basi. Gue membiarkan mobil di depan pintu utama rumah dan masuk ke dalam rumah yang sudah seperti kastil di daerah bilangan Pondok Indah. Rumah orang tua gue, Kim's Mansion kalau kata orang-orang yang kerja sama bokap gue.
Di depan gue sudah ada wanita paruh baya — Nyonya Kim — yang bernama asli Oh Yeon Seo dan di sebelahnya ada Kim Bum, yes, bapak gue. Nama yang pengen banget Wonwoo jaga sampai dia harus kabur entah kemana — walaupun sekarang sudah tau dia kemana, tapi tetap ngga ada yang jelas.
“Kok tumben udah pada pulang?” tanya gue memecahkan keheningan ketika kita bertiga sudah duduk di ruang keluarga rumah besar ini. Lebih banyak asisten rumah tangga dibandingkan dengan penghuni aslinya, aneh baget memang.
“Kamu kan ulang tahun, terus mau ke sini. Ya mama suruh papi ngga kerja, lagian kerjaan bisa ke sini jalan kaki.” kata wanita paruh baya di sebelah gue, emak gue.
“Tumben banget kamu ke sini, mau ngerayain ulang tahun bareng?” tanya pria di depan gue yang sedang menggunakan vape-nya. *Oh, jadi wangi ruangan ini tuh dari asep vape? Pantes enak.* pikiran gue entah kemana. Memang belakangan ini gue gampang banget ke distrak karena masalah sepele.
“Ya sekalian juga, tapi ada yang lebih penting.” kata gue to the point.
“Pasti yang tadi kita bahas di chat kan?” tanya nyokap gue, sudah tau ternyata dia apa yang ingin gue sampaikan malam ini.
“Kamu mau lamarannya diudahin aja?” tanya bokap gue yang biasa gue panggil papi itu.
“Yaiya, sejak kapan sih aku pengen?” tanya gue dengan nada sedikit sinis.
“Tapi kemarin pas berita itu muncul, Dika bilang kamu terima-terima aja, soalnya kamu bilang kamu mau nurut sama orang tua kamu. Which is papi dan mama.” kata bokap gue. Dika cepu juga! hmm.. gumam gue.
Iya, memang gue bilang itu, karena gue lagi emosi banget. Gue iya-iya aja waktu nyokap ngejodohin gue sama mantan gue di SMA, tanpa ada willing mau dibawa kemana nih sandiwara gue. Gue juga marah karena alesan yang Wonwoo gunakan adalah buat jaga nama baik nyokap, bokap serta gue dan ga mau nyusahin hidup gue lagi, terlebih dia masih bilang kalau dia yang menyebabkan kematian Bang Cheol. Ditamah lagi dengan Wonwoo yang pergi tanpa pesan dan bawa bayi dikandungannya yang notabene itu anak gue. Pecah pala gue!
Kata orang dunia ini panggung sandiwara kan? Tapi, sandiwara gue ada sandiwara lagi, pura-pura jadi anak yang penurut. Biarin Wonwoo baca berita itu dan balik ke gue. Tanpa gue sadar gue malah kaya suicide, nyakitin Wonwoo dan juga mungkin menyakitkan untuk tunangan gue. Yang terakhir sebenarnya gue ngga peduli sih, soalnya gue udah ngomong juga sama dia untuk ngga ngarepin gue, gue juga nggga ada keinginan buat nikah sama dia gitu.
“Ya biar Wonwoo baca terus balik!” kata gue santai. “Tapi sampai sekarang orangnya ngga terpengaruh sama berita konyol kaya gitu. Buat apa?” tanya gue ke papi gue.
“Terus, ini udah gede beritanya sampe ke temen-temen serta ke kolega papi, gimana kita beresinnya?” tanya papi gue. Ya gue tau sih, gue bikin semuanya jadi runyam karena keegoisan gue. Tapi ya mau gimana? Gue ga mau nikah kalau bukan Wonwoo pendampingnya.
“Bilang aja aku hamilin anak orang! Cerita beneran, ga bohong!” kata gue santai.
“Tapi yang dihamilinnya ga tau di mana?” tanya mama ke gue.
“Gyu, mama tuh sayang sama kamu. Pas Wonwoo izin sama mama kalau dia mau ngejalanin lagi dan kali ini dengan proper, mama seneng banget, papi kamu jadi saksinya. Mama juga sayang sama Wonwoo, Gyu—” ucapan nyokap gue terpotong.
“Tapi, ya masa dia hilang hanya karena dia hamil, Mama tuh ngga abis pikir. Ini udah setahun, Gyu. Mau sampe kapan kamu nunggu?” tanya nyokap gue.
“Sampai selamanya kalau bisa, Mingyu pengen Wonwoo sama anak Mingyu aja. Udah. Mingyu ngga mau yang lain lagi. Ini juga Mingyu nyari Wonwoo.” kata gue. Putus asa? Tentu saja iya.
Udah satu tahun Wonwoo hilang, gue tau dia di Inggris, tapi entah dibagian mananya. Kalau gue samper, gue tau banget orangnya bakalan pergi lebih jauh lagi. Dan gue ngga mau itu terjadi, makanya gue cuma diem dan nunggu. Bukan ngga mau usaha, tapi Wonwoo semakin dicari, semakin dikejer, dia lari. Kalau emang mau sendiri, yaudah, gue kasih dia waktu. Gue rela kok nunggu selamanya kaya yang barusah gue bilang ke nyokap gue — Kalau memang dia perlu.
“Tadi di chat, katanya mama lagi mikirin caranya?” tanya gue, memecah keheningan, nyokap gue tetap cuek menyeruput gelas teh hangat yang baru saja dibawakan salah satu mbak-mbak di mansion ini.
“Hmm.. Ya mama harus ngomong dulu sama Chae. Dia mau ngga?” tanya mama gue. Duh, mana mau sih si Chae itu diajak kerja sama, orangnya freak gitu. decak gue dalam hati. Gusar.
“Ya kali anaknya mau, Ma. Orangnya gitu.” kata gue literally hopeless seada-adanya.
“Jadi, kita tanya lagi ke kamu. Mau sampai kapan nunggu Wonwoo?” tanya papi. Gue harap ini pertanyaan terakhir karena jawabannya masih sama.
“Sampai Wonwoo yakin kalau Wonwoo ngga sayang Mingyu lagi. Abis itu Mingyu nyerah.” kata gue yakin, yakin banget kalau Wonwoo masih sayang sama gue, walaupun disurat yang dia kasih dia nyuruh gue buat lupain dia. Tidak semudah itu Jeon Wonwoo.
“Kalau ngga mau dibatalin ya ngga usah, tapi Mingyu ga mau lebih dari tunangan. Nikahnya tetep sama Wonwoo. Gimana?” di sini gue mencoba bernegosiasi. Ide gila memang, gue udah gila karena Wonwoo.
“Mama.. coba deh kamu urus, ini anakmu udah hilang kewarasannya.” kata papi, memijat batang hidungnya, nyokap gue mengangguk sembari berfikir, gue hafal betul wajahnya yang sedang berfikir keras.
Ya, papi ngga salah kewarasan gue emang udah hilang dari satu tahun yang lalu, jadi ngga usah ditanya lagi.
17 July 2022
Entah kenapa saya di sini, sempat sedikit lupa. Oh iya, membatalkan pertunangan anak yang tinggal semata wayang itu, karena dia tetap bertekad untuk menunggu sang kekasih pulang yang saya tahu sampai sekarang sang kekasih masih bersembunyi. Entah di mana. Jangan tanyakan, apakah saya mencarinya atau tidak, tentu saya mencarinya. Namun, tampaknya Wonwoo sangat gesit dalam bersembunyi. Saya hanya tahu dia ada di mana, tapi tidak pernah terbukti bahwa dia ada di sana. Jujur, saya sangat ingin bertemu cucu dengan saya.
Entah apa yang ada dipikiran anak semata wayang saya itu, tapi jujur permintaan pertamanya sungguh merepotkan. Membuat deal dengan wanita muda yang sedang saya tunggu di salah satu restoran hotel bintang lima, sungguh melelahkan untuk saya.
“Halo, Tante!” sapa wanita yang sedari tadi saya tunggu.
“Hai, Chae. Duduk, langsung pesen aja mau makan apa?” tawar saya, tidak berdiri untuk sekedar basa-basi.
Sebenarnya, kalau dibandingkan dengan Wonwoo, Chae ini memang tidak ada apa-apanya sih. Wonwoo sudah type idaman saya memang sedari dulu, bahkan saat dia berpacaran dengan abang pun saya memang bercita-cita menjadikan Wonwoo menantu saya. Sebegitu besarnya pengaruh Wonwoo di Kim's. Bahkan Bum juga menganggap Wonwoo adalah anaknya.
Waktu Wonwoo hilang untuk yang pertama kalinya, Bum menyewa banyak detektif, tapi lihai sekali anak itu, kita tidak bisa menemukannya. Hingga kini pun, saya ngga tau dia lari kemana kala itu.
“Tan?” tanya wanita di depan saya, membuyarkan lamunan saya yang berlari kemana-mana tidak di sini bersamanya. Kasihan juga ya? pekik saya dalam hati.
“Oh iya, saya sudah pesan kok. Kamu coba sekarang yang pesan.” pinta saya sambil memanggil waiter yang melayani meja saya.
“Ada apa, Tan? Tumben, biasanya Kak Pras yang dateng ke aku.” Pras itu sekertaris saya, memang saya tugaskan untuk menyampaikan semua amanah saya ke Chae, saya punya kesibukan sendiri soalnya.
“Tante mau bahas hal penting yang ngga mungkin lewat Pras, Chae.” jawab saya, jujur. Wanita di hadapan saya ini mengangkat kedua alisnya, tampak bingung karena tidak adanya gurat khawatir di wajahnya.
Kita mulai saja ya pembicaraan ini agar cepat selesai masalahnya dan tidak berlarut. Supaya Mingyu juga fokus pada tujuannya tanpa adanya hambatan orang lain. Walaupun, hambatannya saya dan Bum yang buat.
“Tampaknya, pertunangan kamu dan Mingyu bisa kita akhiri ya, Chae?” tanya saya. Lancar sekali.
“Gimana, Tan?”
“Iya, kita sudahi saja ya pertunangan ini, Mingyu tetap tidak merubah pendiriannya, Chae.”
(Chae ya, kalau ditanya kenapa saya memilihkan Chae sang model untuk anak saya, itu mudah sekali, saat Mingyu sedang kalut, entah kenapa butik saya diketuk oleh seorang wanita yang seingat saya memang mantan kekasih Mingyu saat di high school.
Dia bilang dia ingin bersama dengan Mingyu dan lain-lain sebagainya. Dan entah apa yang saya pikirkan, saya langsung berfikir mungkin lebih baik Mingyu menikah dengan wanita ini saja, daripada terus-menerus menunggu Wonwoo.
Awalnya, Mingyu marah mendengarnya, tapi entah bagaimana dia mengiyakan setelah berbicara dengan Bum. Tapi, dia kembali protes lagi saat ulang tahunnya — April lalu. Sepertinya saya harus bertanya dengan Bum apa yang mereka bicarakan waktu itu.)
“Tapi, tante. Aku sayang banget sama Mingyu!” kata Chae dengan nada yang ngotot sedikit, membuat saya agak kaget.
“Saya tidak bisa memaksakan perasaan dan hati seseorang, Chae.” jawab saya yakin.
“Tapi gimana sama nama baik Tante dan Om? Dan aku mau taruh di mana mukaku, tan?” tanya Chae. Ya, memang itu yang kemarin-kemarin saya pikirkan, sampai saya menemukan solusinya dan mengubungin wanita ini secara langsung.
“Kamu tahu Model Scouts Agency di New York City sedang mencari model baru yang berwajah Asia?” tanya saya.
“Itu adalah agency ternama di NYC sana, saya tahu karena mode dan model adalah ranah saya, kamu ingat kan Chae?” kata saya lagi. Chae mengangguk. Mendengarkan saya dengan seksama, sepertinya dia sudah menyadari bahwa arah pembicaraan ini akan menjadi sebuah penawaran. Pilihannya adalah menarik atau tidak.
“Kita akan putuskan lamaran ini, dan kamu pindah ke Scouts tanpa audisi. Bagaimana penawaran saya?” tanya saya dengan sangat berhati-hati. Wanita itu berfikir.
“Untuk berita, jangan khawatir, saya akan buat agar kamu yang memutuskan pertunangan dengan anak saya karena kamu pindah ke sana dan Mingyu tidak bisa long distance. Begitu? Nama kamu tetap terselamatkan bukan?” tanya saya lagi. Wanita di depan tersenyum.
“Apa tidak masalah tante nama Mingyu menjadi seperti itu? Kesannya tidak bisa memperjuangkan kami.” tanya Chae dengan tatapan yang tidak bisa saya jabarkan sesungguhnya.
“Tidak masalah, yang penting ini cepat terselesaikan. Setelah kamu ke New York kita akan tayangkan beritanya. Sehingga, tidak ada yang curiga. Saya akan membantu kamu hingga sampai di Scouts.” kata saya, menjaminnya.
“Kita harus bikin perjanjian tante, karena ini tentang masa depanku.” kata wanita itu.
“Tentu saja. Saya akan mengirimkan kamu surat perjanjian yang akan disahkan oleh hukum. No problem untuk saya.”
“Okay, tante bisa kirim surat perjanjiannya. Kalau agencyku setuju dan kontraknya menarik, aku akan tanda tangan dan tante boleh eksekusi untuk sisanya.” kata Wanita itu.
Kini saya jadi mengerti, mengapa Mingyu tidak ingin bersama wanita di hadapan saya. Dia pintar, namun tatkala dia juga memiliki pemikiran yang cukup licik. Wanita memang harus seperti itu sih, agar tidak dibohongi oleh dunia yang kejam ini.
Tapi tadi dia bilang sayang sama Mingyu, namun mengiyakan penawaran saya? Saya yakin, pilihan saya hari ini memang sudah tepat.
Makanan kami datang, dan kami makan dengan khidmat tanpa perbincangan yang penting. Akhirnya, sedikit lagi. Semoga.