REUNITED ↳ Mingyu/Soonyoun/Jihoon ↳ Hurt ↳ 756 words. [Narasi 17] – 11 April 2021

Sama dengan hari Minggu lainnya, aku melangkahkan kaki ke apartemen yang sudah aku singgahi hampir satu tahun ini, menemani si pemiliknya menghabiskan sisa malam kami berdua dengan berpelukan, bercanda atau sekedar bercerita tentang hari ini. Terkadang menghabiskan bermalam-malam hariku tanpa pulang dan tetap di sini, disisinya.

Saat kupijakkan kakiku ke dalam apartmenen itu hari ini, hanya kehampaan yang ada dan suhu dingin ruangan yang merajai. Mencari ke setiap sudut ruang untuk menemukan sang pemiliknya dan nihil yang kudapatkan. Kosong, tidak ada satu helai pakaian di dalam lemarinya, selain milikku. Semuanya hilang seperti ditelan bumi.

I would hold you in my arms

Segera ku ambil benda pipih dikantong saku celana jeans-ku, mencari nomer si pemilik apartemen ini dan menghubunginya segera. Telfon yang tidak tersambung dan pesan yang tidak terkirim, hanya itu yang aku dapatkan pagi ini. Dan dia menghilang lagi, sama seperti 4tahun yang lalu.

Would you tell me I was wrong? Would you help me understand?

'Jeon Wonwoo, di mana kamu, Dek?' Terduduk aku dipinggir tempat tidurnya, mencoba menghubungi siapa yang bisa aku hubungi, teman-teman dekatnya. Jawaban merekapun sama seperti dulu. Nihil, tidak ada yang tahu di mana keberadaan kekasihku.

'Jeon Wonwoo, kamu di mana?' hanya itu yang terucap baik dari bibir maupun hatiku.

I feel broke inside Sometimes I just want to hide 'cause it's you I miss

Siang ini rasanya seperti bongkahan batu besar kembali menghantamku, kakiku melemah tidak dapat menapak, badanku bergetar hebat dan air mata tak malu turun untuk membasahi pipiku. Aku kehilangan kendali atas diriku hari ini, kubiarkan diriku kembali terlihat lemah.

Wonwoo kembali menghilang tanpa meninggalkan apapun dan aku kembali tersesat mengetahui duniaku menghilang. Dan aku tetap di sini, meratapi perginya rumahku tanpa berjejak.

You know it's so hard to say goodbye when it comes to this


Berlari, itu yang gue dan suami gue lakukan ketika melihat beberapa pesan di chat box yang tidak terkirim ke nomer pemiliknya. Panik, itu yang gue rasain. Amarah, itu yang terpancar dari aura suami gue — Jihoon.

Jantung gue berdegup hebat ketika merasakan aura dingin dari sebuah apartemen yang pintunya sudah suami gue buka. Menerobos masuk, itu yang kami berdua lakukan dan sore ini. Menyaksikan seorang pria menangis dengan perihnya, mengeluarkan suara penuh luka — Kim Mingyu — di sana. Mengaduh, memohon ampun memegang dadanya, memukuli sesekali, seakan menyesal dengan kenyataan yang kini dia hadapi. Pedih rasa, hati gue seperti ikut tercabik melihatnya.

Kaki Jihoon melemah dan menangis di ambang daun pintu kamar, bersimpuh. Gue rangkul punggung kecilnya dan membiarkan dia menangis didada gue yang memang diciptakan untuknya mengeluh dan mengaduh.

Gue? Sama halnya dengan mereka berdua, air mata pun menerobos keluar seakan tidak mau kalah. Kehilangan lagi, itu yang gue rasakan saat ini. Sama kehilangannya dengan pria tinggi yang sedang menangis di dalam kamar sana, tapi tidak akan mengalahkan rasa sakit yang menghantam pria itu, lagi.

Wonwoo hilang tanpa meninggalkan jejak lagi dan hanya kalimat terakhir di chat box untuk suami gue yang berbunyi 'Gue sayang banget sama kalian semua. Talk to you later, Cimol.'

Suami gue masih menangis, bertanya “Won, lo di mana, Won?” dengan cicitannya. Menjadi kuat, itu yang harus gue lakukan kali ini. Menjadi waras, untuk dapat segara menemukan Jeon Wonwoo.

Kini gue dan Jihoon sudah terduduk di sofa panjang abu-abu di seberang TV besar di tengah ruangan itu, menatap ke jendela dengan gorden terbuka, subuh tadi, si pemilik rumah ini yang sedang mengandung itu berpamitan dan kami sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk itu. Dan kami masih merasakan kosong.

Mingyu masih menangis tanpa henti di dalam kamar Wonwoo, tidak mengindahkan gue dan Jihoon yang sesekali memintanya untuk lebih tenang. Semakin kami menenangkannya, semakin keras tangisannya.

Gue yakin masih ada sisa wangi Wonwoo di sana yang akan dihirup habis oleh Kim Mingyu hari ini. Jihoon kirimkan beberapa pesan di group Serbuk Jasjus untuk meminta bala bantuan teman-teman Mingyu untuk datang, karena kami pun bahkan tidak memiliki kekuatan untuk pergi dari tempat itu.

Jihoon menatap mata gue dengan tatapan kosong, menangis lagi tanpa suara yang menusuk-nusuk hati gue. Memeluknya adalah hal yang hanya dapat gue lakukan sore ini. Ingin rasanya gue pun merangkul pria yang terluka di dalam sana, mungkin dia butuh itu, tapi tidak, dia hanya membutuhkan Jeon Wonwoonya.

'Wonwoo, gue berharap lo sadar kalau lari bukanlah cara pemecahan masalah. Dan gue harap lo tahu kalau dunia lo, sedang hancur di tempat terakhir lo tidur tadi malem. So Wonwoo, please come back home. We will always waiting for you and your baby.'