Saka's Confession
tw: blood, fight, friendship
Setelah mematikan telepon dari Andrian, Dhika segera mempersiapkan dirinya untuk benar-benar menghajar sahabat kecilnya itu. Dia sangat membenci Saka saat ini, ingin sekali menghabisi pria tinggi itu hingga tak mampu berjalan, rasanya. Walaupun, akhirnya dia akan diomeli habis-habisan oleh Pak Jeonny atau mungkin Arka bila dia tahu apa yang mas-nya lakukan kepada pria yang dia sayangi namun harus dia lupakan.
Kini Dhika Rahamardja sudah berada di depan pintu apartemen modern dan minimalis yang harganya, tentu saja tidak murah. Mungkin, satu unitnya lebih mahal dari 5 tahun gajinya sebagai Director HR di Avays Hotel. Pria berhidung mancung yang sudah membawa kotak P3K itu sudah menekan bell yang ada di sana. Tak membutuhkan waktu yang lama, seorang pria yang tingginya sama dengan Dhika, berwajah blasteran membukakan pintu, mengambil kotak P3K dan mempersilahkan anak sulung Rahamardja untuk masuk.
“Gue ngga tau dia jetlag atau ngga, kalau mau lo gebukin sekarang aja, mumpung orangnya ngga ada niat buat bales.” bisik David, pemilik apartemen.
“Badan doang kaya paspampres, giliran perasaan ngga bisa nentuin mau kemana. Bikin adek gue sedih aja.” decihnya, membuka sepatu dan masuk, mencari pria yang sangat ingin dia pukul sore ini.
“Dhik!” panggil Diaz yang ternyata sudah sampai di sana, dan sudah lebih dulu mendengarkan kisah romansa Saka yang lebih rumit dari Romeo and Juliet. “Gue udah denger semuanya, dari Bule, Andrian sama Saka. Gue vote kalau lo gebukin Saka sekarang.” lanjutnya.
“Gue udah siapin mobil, kalau sekarat kita tinggal bawa aja. MMC deket kok.” kata Andrian santai.
Tidak ada yang tegang di dalam ruangan ini selain rahang Dhika yang mengeras dan Saka yang masih menundukkan kepalanya, seakan enggan melihat Dhika karena malu.
“Malu lo liat gue?” tanya Dhika dengan nada dinginnya. “Giliran lo ngejer adek gue ngga ada malunya ya?” lanjutnya.
Dhika mendekatinya, menarik kerah black t-shirt Saka dan segera memberinya satu pukulan dengan kekuatan standard yang dimilikinya. Jangan lupakan bahwa Dhika Rahamardja salah satu mahasiswa lulusan kumlaud Fakultas Psikologi angkatan 2015 universitas bergengsi di Depok adalah salah satu orang yang membawa pulang medali perak di ajang bergengsi World Karate Championships di Bremen, Jerman.
“Ngomong deh, sebelum lo gue bikin ngga bisa ngomong!” Bugh! kepalan tangan Dhika sudah menghajar rahang pria tinggi di hadapannya yang masih tidak melawan juga. Ketiga kawannya yang lain hanya melihat tanpa ada keinginan untuk membantu, sama seperti yang sudah mereka ucapkan sebelumnya. Mereka menepatinya.
“Siapa yang ngebolehin lo godain adek gue? Lo cuma atasannya, Nisaka Mingyu!” Bugh! satu pukulan lagi di pelipis kanan Saka. Tangan kiri Dhika masih menggenggam erat kerah t-shirt sahabatnya, belum saatnya pria itu terjatuh.
“Gue — sayang — Arka, — Dhik!” kata Saka terbata-bata, kali ini Dhika memberikan bogeman-nya dengan penuh tenaga hingga badan bongsor Saka terjatuh.
“Lo — ngga boleh — sama sekali — punya rasa sama — Arka — karena gue — ngga — akan pernah rela — adek gue — jadi korban bengis — keluarga besar lo!” kata Dhika terbata-bata, ia menduduki tubuh paspampres itu dan terus-menerus memukulinya seiring dengan kalimatnya.
Diaz menghampiri Dhika, mencoba menghentikannya, namun kekuatan pria itu lebih besar hingga dia terdorong ke belakang dan menimpa tubuh Andrian yang sedang asyik menonton adik sepupunya di siksa.
“Anjing lu! Sakit banget pantat lu kena paha gue.” bisik Andrian kepada Diaz yang tubuhnya ada dipangkuannya.
“Sorry, oleng gue. Gue baru tau kalau Dhika masih banyak tenaganya.” balas Diaz sembari berbisik pula dan memperbaiki posisi duduknya di sebelah Andrian.
Tak lama, Dhika menjatuhkan tubuhnya di samping tubuh Saka yang wajahnya sudah habis babak belur ia pukuli.
“Gue — ngga bisa — Dhik, gue — sayang — Arka.” Saka masih terengah-engah setelah menerima pukulan yang bertubi-tubi dan cukup keras itu.
“Nih, minum dulu.” kata David, memberikan segelas air mineral untuk kedua temannya itu dan membantu Saka untuk duduk.
“Udah belum?” tanya David. “Kalau belum gue prepare lagi Saka-nya. Mau bikin sampe kaya gimana babak belurnya?” tanyanya lagi.
“Udahlah, udahan aja, capek kan lo?” tanya Andrian mengambil tangan Dhika dan membantu temannya itu untuk duduk.
“Gue ngga tau tenaga lo masih segede itu, Dhik. Standing applause.” kata Diaz, berdiri dan bertepuk tangan diikuti oleh Andrian.
“Lo semua tuh nganggep ini bercandaan?” tanya Dhika, masih dengan nada tingginya karena emosi.
“Ngga, Saka harus dapet hukuman dari lo, gue sebagai sahabat lo dari SMA dukung banget. Tapi, lo juga harus tau apa yang terjadi sama Saka dan perasaannya, lo ngga boleh ngelarang orang untuk ngerasain sesuatu, itu terlalu egois.” jawab David.
“Sekarang lo dengerin dari sisi Saka, setelah itu, terserah lo mau nanya ke Arka atau ngga, tapi ada baiknya lo dengerin Arka juga. Karena dari yang gue liat, perasaan Saka juga ngga unrequited love, adek lo juga suka Saka, Dhika.” lanjut David.
“Abis ini lo mau gebukin Saka sampe masuk IGD atau operasi plastik, gue yang tanggung. Dengerin dulu.” Pinta Andrian.
Dhika meminum airnya dengan sekali teguk, meletakkan gelasnya, siap mendengarkan apa yang ingin dijelaskan Saka, tatapan Dhika yang tajam, sangat bisa menusuk jantung dan menyayatnya.
Perlahan Saka mengelap darah yang keluar dari gusi dan bibirnya yang sobek, berusaha keras menahan sakitnya dan menceritakan semuanya kepada Dhika. Dhika berusaha mendengarkan suara Saka yang terdengar semakin lama semakin lirih, dan terdengar suara isakan tangis di sana. Saka menangis, air matanya jatuh dari kelopak mata yang sudah berwarna biru keunguan karena pukulannya tadi.
“Gue — emang belum bisa — apa-apa sekarang, tapi — satu hal yang — akan gue perjuangkan — adalah Arka, Dhik.” kata Saka berusaha mengucapkan semua kalimatnya, antara ringisan sakit dan rintihan hati, cukup membuat Dhika sedikit tidak tega.
“Lo tau, satu dunia tau kalau itu ngga bisa Nisaka. Nyokap dan bokap lo ngga akan memperlakukan Arka seperti mereka memperlakukan Bian.” kata Dhika, amarahnya sudah menyurut. “Gue ngga mau adek gue yang selalu gue embrace jatuh ke tangan keluarga lo yang mungkin nyakitin dia.” lanjutnya.
“If you love him, please let him free. Ikhlasin keinginan lo yang ngga mungkin terwujud.” kata Dhika, berdiri. “Cinta ngga harus memiliki, Sak. Wake up dan balik ke reality.” Dhika menepuk bahu Saka yang masih meringis.
“Semoga setelah gue gebukin, lo kembali lagi jadi Nisaka Mingyu Putradinata yang tau tempatnya ada di mana.” lanjutnya. “Biarin adek gue dengan hidupnya, jangan coba-coba buat ganggu dia.”
“Gue tau kalian akan sakit banget untuk saling melupakan, tapi ini bener-bener jalan yang paling baik untuk kalian berdua.” kata Dhika. “Gue berharap, lo bisa lupain Arka, gue ngga akan pernah restuin hubungan kalian.” lanjutnya, melangkah menjauh dan meninggalkan apartemen itu, hingga pintu di belakangnya berbunyi tanda terkunci. Dhika segera membuka kotak pesan yang sedari tadi menunggu pesannya untuk di balas, ada pesan dari Love Of My Life yang menanyakan keberadaannya karena pria manis di ujung sana sedang menunggunya dan satu pesan dari unknown yang membuat senyumnya melebar.
Dhika melangkah ke parkiran dan membawa kembali mobilnya untuk menjemput kekasihnya. Mengistirahatkan fikirannya dengan lagu-lagu yang menenangkan karena fikirannya yang penuh, hari ini sungguh di luar dugaannya, tenaganya terkuras habis karena amarah. Kalau Jisoo tau, dia sudah pasti dimarahi habis-habisan, apalagi bila Arka tahu, bahwa pria yang dia sayangi babak belur di tangan mas nya itu.
From: Andrian Buaya
Dja, gue bawa Saka ke UGD nih ya. Lo pikirin lagi kata David dan confess-nya Saka malem ini. Gue akan dukung kalau lo juga nanya ke adek lo tentang perasaan dia ke Saka. Gue ngga akan nanyain lagi Arka di mana. Hide well until Saka can solve this shit family problem. Lo tetep sahabat kita semua, part of anak sendok emas. Kita masih sayang sama lo kok.