Letting Yo Go, Again
Sesuai dengan saran dari Mas dan Ayahnya, Arka kini sudah berjalan melangkahkan kakinya ke dalam rumah megah milik keluarga Bumi Putradinata. Jika ditanya apa yang dia lakukan? Jawabannya, tidak tahu, karena sang pemilik rumah tidak memberitahukan maksud dan tujuan beliau ingin menemuinya.
“Nuwun sewu, Tuan. Mas Arka sudah sampai.” kata wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di sana itu tepat di depan pintu besar ruang kerja milik Bumi.
“Masuk saja ya!” pinta suara pria tegas dari dalam ruangan.
“Silahkan, Mas.” kata pemilik panggilan Bi Iyem itu. Arka menundukkan kepala sembari mengucapkan terima kasih dan membuka pintu ruang kerja di hadapannya.
Arka melangkahkan kakinya memasuki ruangan kerja dengan interior khas Eropa modern itu dan berdiri tepat di depan meja kerja pria paruh baya yang masih segar dan tampan. Masih menundukkan kepalanya.
“Duduk, Nak Arka.” kata beliau kepada Arka yang masih diam dan membisu. Keheningan menjalar di ruangan itu, Arka masih enggan membuka suaranya.
Tak lama pria itu — Bumi — bangun dari singgasananya, menghampiri Arka dan meletakkan kedua tangannya dibahu pria manis yang adalah anak dari personal assistant-nya dan menuntun pemuda itu untuk duduk. Arka terkejut dengan sikap Bumi terhadapnya. ’Terlalu baik’.
“Terima kasih sudah datang, Nak Arka.” kata Bumi membuka suaranya, Arka masih menunduk, tidak berani menatap Bumi yang kini sudah duduk di seberang sofa yang berada di tengah ruangan.
“Saya meminta kamu ke sini karena saya ingin meminta bantuan Nak Arka.” lanjutnya dengan nada yang berwibawa, Arka mendongakkan kepalanya, bingung.
“Saya sudah membicarakan ini dengan Jeonny secara matang-matang, dan saya harap kamu memahami maksud serta tujuan saya.” lanjut Bumi. “Untuk saat ini, tolong jauhi Nisaka dan fokus ke study gelar doctor kamu terlebih dahulu.” Bumi melanjutkan kalimatnya dan menatap ke arah Arka yang kini sedang menatapnya. Tatapan mereka bertemu dan entah keberanian darimana Arka menatap kembali wajah Bumi dengan tajam.
“Saya tidak mengerti maksud Pak Bumi.” Arka bingung dengan kalimat dari sang pria berkuasa di hadapannya.
“Saya melihat kamu dengan Saka malam itu, Arka.” kata Bima. “Malam pernikahan Dhika, di area swimmingpool.” Arka sontak terkejut, telapak tangannya tiba-tiba basah oleh keringat. Panik, itu yang dirasakan Arka, degup jantungnya bekerja lebih cepat. Dia sempat lupa apa yang terjadi malam itu dan bahkan tidak terpikirkan olehnya bila ada orang yang melihat mereka, terlebih lagi pria menakutkan ini yang menjadi saksinya.
Arka ingin rasanya menenggelamkan dirinya saat ini juga. Kemudian tak lama ia tersadar dan kembali bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Pak Bumi melihat semua kejadiannya? Apakah Pak Bumi akan menghilangkannya dari kehidupan Saka? Apa tindakan Pak Bumi kepadanya nanti? Semua itu membuatnya semakin was-was.
“Tidak, tentu saya tidak akan mengatakannya pada siapa-siapa. Tidak ada yang tahu akan kejadian itu, Nak Arka.” Lanjutnya lagi. “Saya sudah tahu Saka tidak menyukai Bian, saya sudah tahu kepada siapa hatinya berlabuh, walaupun anak itu terus-menerus menghindar dari saya. Tapi—” Bumi menggantung kalimatnya, Arka kembali menatapnya tajam dengan manik rubahnya, menanti dengan cemas kalimat yang akan keluar dari mulut pria dengan bawaan tegas itu selanjutnya. Bumi sendiri masih tenang dengan menyilangkan sebelah kaki sembari menyesap morning coffee miliknya.
“Bukan sekarang, bukan saat ini. Kalian belum bisa—” kalimatnya terpotong.
“Maaf sebelumnya, Pak Bumi. Saya tahu saya salah malam itu, sayapun sangat menyesali tindakan impulsive itu—” potong Arka. “Saya tahu saya tidak pantas menjadi seseorang yang berada di samping Pak Saka, saya sangat mengerti, saya tahu diri dan saya juga tahu bila saya tidak akan bisa dengan Pak Saka.” lanjutnya.
“Tolong, jangan lakukan apapun kepada keluarga saya. Bahkan ayah dan kakak saya rela mengabdikan diri mereka kepada Bapak, saya mohon biarkan kami hidup tenang. Saya bisa menjanjikan agar hal itu tidak akan terjadi lagi.” jelas Arka, tubuhnya bergetar, ketakutan jelas muncul di sana. Takut apa yang dibicarakan oleh orang di luar sana ternyata benar, bagaimana bila terjadi sesuatu kepada ayah dan kakak-kakaknya? Dia tidak bisa membayangkan orang-orang yang dia sayangi akan tersiksa akibat dari ulahnya.
Bumi kaget mendengar kalimat Arka, kemudian ia tersenyum kecil, “Memang menurut kamu apa yang akan saya lakukan kepada keluarga kamu?” nada suaranya tersengar sangat santai dan Bumi terlihat tenang. Arka terdiam, tidak bisa menjawab. Apakah dia terlalu berlebihan? Hanya itu yang ada dipikirannya.
“Kakak-kakak saya memang pebisnis kejam ya? Bahkan semua orang tahu, kamu yang baru tinggal di Indonesia saja bisa mengetahuinya.” lanjutnya. “Saya tidak akan berkhianat dengan orang terbaik saya, Arka. Ayah kamu adalah pria yang paling jujur dan teman yang menyenangkan untuk saya, bagaimana bisa saya bertindak jahat kepada Jeonny dan keluarganya? Bahkan, saya dengan senang hati menganggap kamu dan Dhika adalah anak saya sendiri.” jelasnya, bahu Arka yang tadi terasa tegang kini mulai perlahan lebih santai, setidaknya dia yakin pria di hadapannya ini tidak mungkin memutar-balikkan omongannya.
“Namun perihal Saka—” bahasan yang dibicarakan selalu kembali pada pria yang sudah memporak-porandakan hati Arka setahun belakangan ini.
“Tidak usah khawatir, Pak Bumi. Saya dan Pak Saka tidak ada apa-apa.” jawab Arka, tanpa ragu, dan sangat yakin. “Terakhir, itu yang terakhir.” jawab Arka.
“Baiklah, itu yang terakhir. Dan saya akan pegang omongan Nak Arka.” kata Bumi. “Jadi keputusannya sudah sangat bulat, kamu harus segera kembali ke Inggris agar Saka tidak mengacaukan pertunangannya, dan tugas Nak Arka adalah melanjutkan study doctor di Inggris hingga tuntas. Kita akan sering bertemu saat saya berkunjung bersama Jeonny ke sana, nanti.” katanya, nadanya kembali berwibawa membuat Arka kembali termangu dan memproses setiap kalimatnya.
Benar saja firasatnya tadi pagi, dia harus segera meninggalkan negara ini lagi untuk menjauhi Saka yang selalu tanpa sengaja hadir akibat becandaan Semesta.
“Saya tidak berniat jahat. Pegang omongan saya, Arka. Ini semua untuk kamu dan Saka, bukan untuk saya.” lanjutnya.
“Jeonny sudah menyiapkan tanggal kepulangan kamu ke Inggris, dan saya harap kamu menikmati sisa waktu kamu selama di sini bersama dengan teman-teman serta keluargamu. Mereka sangat baik dan sangat menyayangimu, Nak Arka.” katanya lagi. “Saya juga memberikan amplop kepada Jeonny untuk kamu, jangan dibuang walaupun isinya adalah uang.” kata Bumi lagi, Arka hanya mampu mengangguk, memang dia bisa menolak saat ini? Tentu saja tidak.
“Mau sarapan bersama saya, Yuna dan Saka?” tanya Bumi.
“Tidak, Pak. Terima kasih. Saya harus merapihkan barang dan perasaan saya. Bertemu Saka tentu bukan pilihan yang baik saat ini.” tolak Arka dengan halus, Bumi mengangguk, kemudian berdiri dan menepuk punggung Arka perlahan.
“Kalau begitu, saya permisi.” kata Arka berdiri dari tempatnya duduk dan meninggalkan rumah itu.
Saat Arka melangkahkan kakinya keluar, tanpa ia sadari Saka melihatnya dalam diam dan membiarkan matanya yang hanya mampu melihat punggung tegap pria yang tak mungkin dapat ia rengkuh itu.