I’m here…
Wonwoo masih sesekali menatap ke arah bunga yang ia letakkan di kursi penumpang, di sebelah tempat bekal yang berisi pudding chocolate pandan buatan Mommy. Cukup lumayan lama tadi ia memilih bunga itu, bunga berkelopak putih, tidak akan terlalu mencolokkan?
Jam tangan pria berumur 28 tahun itu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore lewat beberapa menit, ia keluar dari mobilnya, membawa titipan mommy-nya dan dengan percaya diri menenteng bunga yang ia beli untuk kekasihnya — pria manis yang beberapa minggu ini mengacuhkannya. Wonwoo sangat percaya diri bahwa yang akan keluar dari dalam rumah adalah asisten keluarga Kim, Bi Tini. Sehingga ia akan menitipkan semuanya kepada beliau dan pergi meninggalkan rumah besar nan asri itu.
Sedangkan dari dalam rumah, ada seorang pria manis yang sedang berlari menuju pagar rumahnya yang berwarna abu-abu tua dengan riang, ia berharap orang di luar sana adalah petugas PLN yang datang untuk memperbaiki listrik rumahnya yang tiba-tiba mati.
Pintu gerbang dibuka dan memperlihatkan pria dengan tubuh tinggi, berpakaian putih dan celana rumah berwarna cokelat, pria yang yang sudah tiga minggu ini tak pernah membalas satupun bubbles chat-nya, Wonwoo tentu saja terkejut, sama halnya, Mingyupun terkejut.
Semilir angin berhembus di antara kedua pria yang masih saling menatap tanpa berucap. Wonwoo membuka ragu suaranya, memecah keheningan sore itu.
“Hai?” sapa pria tampan itu dengan sedikit ragu. “Dek?” panggil pria itu lagi, masih dengan nada yang sama — ragu. Mingyu disadarkan dari diamnya dengan degupan jantungnya berdetak tidak seperti biasanya.
“Ya?” jawab pria yang lebih muda itu, mencoba untuk tetap tenang tidak gugup.
Tidak hanya Mingyu, sosok pria di hadapannya pun merasakan gugup yang nyaris sama. Sangat takut bila ia akan diusir oleh sang pemilik rumah karena tak ingin melihat wajahnya, Wonwoo sangat yakin, pria di hadapannya ini pasti masih membencinya, dan untuk kesekian harinya ia masih harus menahan rindunya. Bagaimanapun hubungan mereka masih menggantung, entah apa yang akan Mingyu lakukan pada hubungan mereka, Wonwoo hanya bisa berpasrah dengan memberikan kekasih manisnya ini waktu untuk berfikir.
“Ini pudding dari mommy, vla-nya di dalem, langsung dimasukin kulkas, takut basi.” kata Wonwoo menyodorkan tempat bekal dari tangan kanannya.
“Yah, ngga bisa aku masukin kulkas lagi mati lampu.” kata pria manis itu menekukkan wajahnya gemas. Saat ini rasanya Wonwoo ingin sekali meng-uwel-uwel wajah pria manisnya. Seandainya saja bisa.
“Lho, kok bisa? Dari kapan?” tanya Wonwoo melihat sepintas ke arah dalam rumah Mingyu, untungnya masih terang, sehingga tidak tampak begitu gelap. “Berani kamu sendirian? Atau ada Seungkwan? Bi Tini?” tanya pria yang lebih tua lagi. Nadanya sih sedikit khawatir.
“Ngga, aku sendirian.” jawab Mingyu. “Soalnya, pas bangun tidur udah ngga ada siapa-siapa.” cerita sang adik manis. Mereka masih pada tempatnya — di depan gerbang rumah, Mingyu belum meminta Wonwoo untuk masuk.
“Berani?” tanya pria tampan itu lagi, dan lagi-lagi nadanya masih khawatir karena Wonwoo sangat tahu sang pria manis di hadapannya ini tidak menyukai kegelapan, selain saat menonton di bioskop dan tidur.
“Masih terang sih.” jawab Mingyu, badannya berbalik melihat ke dalam rumahnya.
“Oh sama ini, dek.” kata Wonwoo menunjukkan sebuket bunga tulip putih yang ia beli saat perjalanan menuju rumah pria yang lebih muda. Mingyu tidak bisa menutupi wajahnya yang terkejut ketika dihadapkan oleh sebuket bunga cantik yang memang Wonwoo siapkan untuknya. “Buat kamu.” lanjutnya, memberikan buket yang ia genggam sedari tadi, Mingyu mengambilnya dengan sedikit ragu.
“Oh, ya sudah kalau gitu.” jawab Wonwoo. Sebenarnya dalam lubuk hatinya yang terdalam saat ini, ia ingin sekali Mingyu mengatakan bahwa pria itu masih menginginkan sesosok abang untuk menemaninya. “Abang pamit dulu ya, dek.” lanjut Wonwoo setelah memberikan bunga yang tadi ia beli dan titipan dari Mommy-nya, nadanya sedikit kecewa, seolah merasa sang kekasih tak membutuhkannya karena tak memintanya untuk stay.
“Kamu sibuk ya, bang?” suara lembut pria itu menghentikan langkah kaki Wonwoo yang sudah memunggunginya, dan sang pria yang lebih tua itu kembali berbalik, menghadap ke arah sang adik. Saat ini rasanya jantung Wonwoo ingin terbang — bahagia.
Wonwoo menggelengkan kepala sebagai jawaban tanpa perlu ia berpikir berkali-kali kepada pria yang berada di depannya.
“Kalau masuk, bantuin cek listrik, mau?” tanya Mingyu dengan suaranya yang semakin lama semakin lirih. “Tapi kalau ngga mau ya ngga apa-apa, Inggu coba telepon PLN lagi.” lanjutnya.
“Ngga, abang coba cek dulu, boleh?” Wonwoo melangkahkan kakinya ke pekarangan rumah yang biasa ia datangin ketika menjemput kekasih manisnya itu.
“Sekring lampunya ada di mana ya, yang?” tanya Wonwoo kepada kekasihnya. Iya, maafkan Wonwoo yang sedikit ngelunjak dengan memanggil pria yang masih menggantungkan hubungan mereka dengan panggilan sehari-hari sebelum Jeonghan menyerang hubungan mereka.
“Ada di samping.” jawabnya, jangan tanya seberapa merahnya pipi Mingyu sore ini ketika mendengar Wonwoo memanggilnya dengan panggilan yang.
Mingyu berjalan melewati Wonwoo lebih dulu untuk menunjukkan tempat yang tamu-nya tanyakan, sekaligus menutupi wajahnya yang memerah.
“Ini.” Wonwoo segera menghampiri kotak listrik yang di hadapannya, merogoh saku celana sontoknya dan mengambil benda pipih, lalu mengetik sesuatu, dan meletakkan benda itu didaun telinganya — ia menghubungi seseorang.
“Dek—”
“Iya?”
“Kayaknya kamu harus ngungsi deh, ini kabelnya putus, mati lampu total.” jawab Wonwoo. “Tukang PLNnya dateng tapi malem banget, Bunda sama Ayah pulang jam berapa?” tanya pria tampan itu.
“Hmm, belum tanya akunya.” wajah pria manis itu kebingungan ketika harus membayangkan dirinya yang akan tinggal sendirian dalam rumah yang redup sembari menunggu orang tuanya pulang.
Wonwoo melihat wajah pria manis yang sedang mengernyit di hadapannya, dengan lincah jemarinya mengetikkan sesuatu di layar ponselnya dan mengirim pesan tersebut dengan cepat, tak lama senyuman terpancar dari wajah tampannya. Approved— pikirnya.
“Aku temenin mau?” tanya Wonwoo berbasa-basi, tidak perlu sebenarnya, Bunda sudah memperbolehkannya. Iya, barusan saja Wonwoo meminta izin kepada sang pemilik rumah untuk menemani pria gemas di hadapannya hingga mereka kembali.
Mingyu terdiam, tentu saja ia tidak pernah berada di posisinya saat ini. Mati lampu dan hanya berdua dengan pria yang kebetulan masih ia gantung statusnya.
“Tadi Bunda udah bilang boleh, tapi kalau kamu keberatan, abang pulang aja.” nada suara Wonwoo yang biasanya bulat dan percaya diri, kini terdengar sedikit sedih. Iya, ia sedih karena dengan diamnya Mingyu, pria tampan itu seperti tertolak untuk sekian kalinya.
Mingyu membalikkan tubuhnya, Wonwoo mengikutinya bagaikan puppy yang siap diusir dari rumah majikannya.
“Masukin aja mobilnya, aku simpen pudding sama bunga dulu di dalem.” tanda persetujuan Mingyu.
Pria yang lebih muda masuk ke dalam rumah dan meletakkan bawaan Wonwoo tadi di dapur, lalu menyimpan bunga cantik di vas bunga kaca.
***
Gelap menghampiri dua sejoli yang sedari tadi terdiam satu sama lain, tampak sibuk sendiri. Mingyu yang sedari tadi sibuk menyiapkan presentasi untuk sidangnya di meja makan, kini sudah menghidupkan lilin dan meletakkannya di beberapa sisi rumah, ponsel-nya mati total dan ia tidak heran. Sedangkan pria yang lebih tua yang duduk di seberangnya-pun pura-pura tak kalah sibuk dengan gambar denah di layar leptopnya, sejujurnya, sudah hampir dua jam ia hanya memandang layar 14 inch itu, kemudian diam-diam menatap gemas wajah Mingyu yang serius melalui kacamatanya.
“Ngga ada makanan, Bang Wonu, makan malemnya beli aja ngga pa-pa?” tanya Mingyu yang sudah kembali duduk akhirnya membuka suara, membuat debaran jantung Wonwoo menjadi sangat tak biasa.
“Adek mau makan di luar aja?” bukannya menjawab pertanyaan Mingyu, si dia yang salah tingkah itu malah bertanya balik, dan menatap wajah pria yang lebih muda dibalik remang-remang cahaya.
“Ngga, kita order online aja maksud aku, kan kamu masih ngerjain kerjaan juga.” jawab Mingyu. ‘Apanya yang dikerjain? Daritadi cuma bengong liat leptop, tapi mikirin kamu.’ kata Wonwoo dalam hatinya.
“Oow, boleh.” jawab Wonwoo.
“Handphone aku mati—” belum selesai Mingyu berbicara Wonwoo sudah menyodorkan ponselnya.
“0604 password-nya. Pesen aja semua yang kamu mau.”
Tidak hanya password dengan tanggal lahir Mingyu, foto lockscreen Wonwoo pun foto Mingyu candid, dan tampaknya itu bukan foto yang Wonwoo ambil sendiri. Mingyu tersenyum tipis, ia cukup senang mengetahui Wonwoo tampak masih menunggunya.
***