The End of The Day
↳ TW: fluff, Saturdate, kissing. ↳ Part of Faling, Fallen
Arka segera turun, izin sekali lagi dengan sang ayah dan berjalan keluar rumah, pemandangan yang pertama kali disuguhkan Sang Pencipta adalah pria dengan kacamata hitam yang sedang menyilangkan tangannya ke dada, tanpa sengaja memamerkan lengan kekar hasil dari rajinnya ia pergi ke gym yang dilapisi dengan black t-shirt dan celana jeans biru, sedang berbincang dengan kakaknya, sesekali tersenyum karena candaan dengan Dhika menampakkan taring di kanan-kiri jajaran gigi atasnya dan pria itu pula yang sudah 3 bulan ini menjadi boss-nya, Nisaka Mingyu.
“Tuh anaknya keluar.” kata Dhika ketika melihat adik semata wayangnya datang menghampiri mereka berdua dengan instax kuning yang ia kalungkan di dadanya, tampak seperti anak kecil yang siap pergi bertamasya, membuat kedua pria yang lebih dewasa darinya itu gemas.
“Ngga bawa kamera professional, dek?” tanya Dhika menghampiri Arka dan merapihkan rambut sang adik. “Udah mulai gondrong ih, besok potong yuk, trim dikit sama gue.” kata Dhika yang dijawab anggukan manis oleh Arka.
“Katanya Pak Saka dia bawa kamera DSLR?” tanya Arka melihat ke arah atasannya.
“Iya, gue bawa kok sampe lensa tele juga bawa.” kata Nisaka kepada Dhika, setelah melihat tatapan lembut Arka.
“Aku juga bawa Digital Pocket-ku kok.” kata Arka lagi, menepuk tas hitam khusus kamera yang menggantung di bahunya.
“Yasudah, berangkat gih, nanti kesiangan kamunya capek, jangan capek-capek ya, Ucil. Jangan panas-panas dan jajan sembarangan.” Dhika mengelus pucuk kepala adiknya. “Pulang juga jangan malem-malem, kabarin ya kalau ada di mana gitu.” kata Dhika, sembari membukakan pintu untuk adik semata wayangnya.
“Harus ya, Dhik?” tanya Nisaka ketika sudah duduk di kursi pengemudi dan Arka yang sudah duduk di kursi penumpang melalui kaca yang terbuka lebar.
“Harus lah, manusia kesayangan gue di seluruh dunia, harus lo jagain hari ini ya, Sak. Gue titip. Jangan diturunin di jalan, dia ngga hafal Jakarta.” kata Dhika tersenyum kepada sahabatnya itu.
“Hmm, oke.” kata Saka.
“Mas, aku berangkat. Nanti kabarin ya venue sama menu-nya.” kata Arka sebelum Saka melajukan Tesla Model S Plaid berwarna biru miliknya, Dhika mengangguk dan tersenyum.
“Gue jalan, Dhik!” izin Nisaka.
“Yup, hati-hati.” kata Dhika, melihat sedan biru itu menjauh dari pagar rumahnya dan kembali ke dalam, serta bersiap untuk menjemput pujaan hatinya, Jisoo.
Arka dan Nisaka masih hening di dalam sedan dengan interior mewah itu, hanya ada lagu Camped milik RINI yang bersenandung menemani ruangan yang canggung itu.
I can keep on loving you Just let me keep on loving you Tell me what I'm suppose to do Cause I'm all for you
“Kalau di rumah jadi pangeran ya?” tanya Saka, memecah keheningan antara mereka. Arka hanya menganggukkan kepalanya.
'Why are you cute, aku jadi pengen jagain.' gumam Saka dalam hatinya.
“Kamu suka musium?” tanya Nisaka lagi, berusaha mencari topik pembicaraan, karena Arka hanya terdiam.
“Hmm, suka. Kenapa? Are we going there?” tanya Arka, memandang Nisaka dengan tatapan bertanya dan memiringkan kepalanya. Excited.
'Kenapa ada manusia selucu ini? Padahal gue cuma liat sepintas? And why am I late to find you?' gumam Nisaka, ketika melihat ke kanan dan menatap Arka sebentar, tak lama ia menganggukkan kepalanya.
“Emang boleh ya ambil foto di musium?” tanya Arka, merapihkan posisi duduknya, bermain dengan digital camera pocket Leica seri M miliknya, dan melihat-lihat hasil jepretannya di London, sebelum dia pulang ke Indonesia.
“Serius banget, lihat apa?” tanya Nisaka ketika melihat ke arah Arka sesekali.
“Oh, ini. Hasil foto sebelum pulang kemarin, ternyata banyak yang belum dipindahin.” kata Arka, masih memandang kameranya. “Nanti bapak boleh liat, nyetir aja dulu.” katanya lagi.
“Kata Dhika, ada hasil foto kamu di kantor Papa?” tanya Nisaka.
“Di kantor Pak Bumi? Oh iya? Baru denger.” jawab Arka sedikit terkejut. “Kalau di kantor ayah banyak, saya tahu. Tapi kalau di kantor Pak Bima saya belum pernah dengar.” lanjutnya dengan nada suara yang masih sopan, seakan mereka berada di lingkungan kantor.
“Hmmm, kayaknya kamu ngga perlu manggil saya Pak deh kalau di luar urusan kantor.” kata Nisaka.
“Terus?” tanya Arka, dia mendongakkan wajahnya dan menatap wajah Nisaka dari samping. Dari arah ini Arka dapat melihat rahang yang tegas, dagu yang sedikit bulat namun kenyal, dan leher jenjang pria tampan yang duduk di sampingnya.
“Kalau ngobrol santai aja gimana?” tawar Nisaka.
“Ngga mau.” jawab Arka secepat kilat tanpa berfikir, mengalihkan pandangannya ke luar jendela, tak lama lampu lalu lintas itu berubah warna menjadi merah, Nisaka menghentikan mobilnya dan menatap Arka.
“Why?” tanya Nisaka menatap wajah Arka yang masih menatap ke luar jendela.
“Anggap saja saya sudah nyaman dengan memanggil anda dengan Pak Saka?” kata Arka.
Alasan tentu saja, Arka tidak ingin ada perasaan yang tercampur antar pria yang ada di sampingnya dengan dirinya. Dia tahu, sangat tahu, akan berbahaya bila ia menuruti permintaan atasannya itu, bukan hanya terjatuh, tidak mentup kemungkinan setelah itu dia akan terluka, sendirian. Bahkan, tidak bisa dipungkiri beberapa minggu terakhir ini berkali-kali Arka hampir terjatuh pada kharisma Nisaka.
'Tidak, tidak boleh lebih dari pekerjaan.' gumamnya. Arka tahu dirinya, sangat hafal dan dia harus bertahan, untuk kebaikan keluarga serta dirinya. Mungkin, itu yang dikhawatirkan oleh kakak dan calon kakak iparnya itu, karena itu mereka tidak bosan mengingatkannya.
Mobil biru itu menyisir Kota Jakarta, menuju tempat tujuannya.
“Ka —” kalimat Nisaka tergantung ketika melihat binar mata dari Arka saat melihat patung gajah yang berada di depan lapangan luas hijau itu dengan bangunan yang sangat besar di belakangnya.
“Nanti saya boleh foto gajahnya? Never seen that before.” kata Arka bersemangat.
“Sure, you can. Everything.” suara Nisaka tertekan pada kata pertama dan mengecil di kalimat akhirnya.
Setelah berputar-putar hingga kaki Arka terasa sangat lelah, pria ramping dengan dada lebar itu mencari tempat duduk untuk menunggu Nisaka yang masih bersemangat foto sana-sini di musium penuh sejarah itu, serta Saka menyusuri berbagai tempat di sana. Tak lama, Saka menghampiri pria manis bermanik rubah yang perlahan menggoyahkan perasaannya pada Bian.
“Capek?” tanyanya ketika menemukan pria itu dan duduk di sebelah Arka. Pria yang menggunakan beanie di sampingnya mengangguk yakin, memang benar, dia lelah.
“Saya ngga tau kalau bapak sangat excited untuk hunting foto di sini?” tanya Arka, sembari membuka tutup botol dan memberikan air mineral itu kepada atasannya.
“Thanks.” kata Nisaka sembari merebahkan punggungnya ke senderan bangku dan memberikan kamera berat itu pada Arka.
“Kalau kamu mau lihat hasilnya, take a look, it's free.” kata Nisaka. Arka dengan tenangnya menggeser-geser layar touch screen pada kamera Nisaka dan menemukan wajahnya di sana.
“Pak Saka?” panggilnya.
“Gue ngambil foto yang indah doang kok.” kata Saka.
“Hahahaha” Arka menggelakkan tawanya sembari melempar kepalanya ke belakang, bila ayahnya tahu apa yang dia lakukan saat ini di depan atasannya, ayahnya pasti akan menegurnya. “Bener kata Mas Dhika, temen-temennya buaya dan anda salah satu buaya yang jelas ada di depan mata saya.” kata Arka menutup mulutnya dan mengerutkan hidungnya, masih tertawa.
“Thanks for the entertainment, Pak Saka. Very entertaining.” kata Arka, berdiri dan berjalan meninggalkan Saka. Saka kesal sebenarnya, karena dia bersungguh-sungguh saat mengatakan itu, malah dianggap gurauan oleh personal assistant-nya.
Berbeda dari Saka, Arka kini sedang mencoba menormalkan debaran jantungnya saat mendengar kalimat santai yang keluar dari bibir ranum milik Saka. Bila boleh jujur, Arka kaget, namun ia senang, dan sedih pada saat yang bersamaan. Perasaannya sungguh bercampur aduk, seandainya tidak ada tembok yang jelas terlihat, mungkin ia akan membiarkannya, tapi tidak saat ini, di mana tembok Berlin terpampang jelas di hadapannya, memintanya untuk bangun dan tersadar.
Nisaka mengikuti langkah kaki Arka, berjalan lebar untuk menyeimbangkan jalannya dengan anak bungsu dari keluarga Rahamardja itu.
“Mau kemana, Arka?” tanyanya.
“Patung Gajah, foto sebentar dan setelah itu kita pulang, Pak Saka.” kata Arka yang masih berjalan, sedikit mendahului Saka.
“Lho? Ngga lah, yang namanya hunting foto tuh ngga cuma ke satu tempat, Arka.”
“Mau kemana lagi, Pak?” tanya Arka berhenti hingga Saka hampir menabraknya.
“Ke Taman Suropati, Menteng. Kita naik sepeda, kata orang naik sepeda sore di sana seru.” kata Saka, Arka menatapnya sinis.
“Kalau naik sepeda di sana namanya bukan hunting foto, Pak, tapi jalan sore.” jelas Arka. Arka sedang membangun benteng tak terlihat saat ini.
“Apa salahnya? Kan kita nanti naik sepeda yang bisa digowes berdua, kamu gowes saya foto.” kata Saka.
'Oh itu maksudnya? Hahaha. Mikir apa lo, Arka?' gumam Arka dalam hatinya.
“Oh, kalau itu boleh.” Arka menyetujuinya. Tanpa pria manis itu sadari ada senyum yang mengembang dari bibir Saka.
Sesuai dengan perkataan Saka, kini mereka sudah ada di Taman Suropati, tapi tidak perkataan Saka yang bilang dia akan hunting foto dengan Arka yang akan mengayuh sepedanya. Kenyataannya Saka berasa di depannya sedang mengayuh sepeda sedangkan Arka sibuk mengambill foto dengan pemandangan taman yang sangat hijau. Selain pepohonan juga ada rumah burung merpati dan air mancur kecil yang cantik sebagai penghiasnya.
Berkali-kali ponsel Saka berbunyi, lagi-lagi diacuhkan saat melihat nama seseorang muncul di layarnya, kini mereka sudah duduk di salah satu tempat duduk panjang yang ada di salah satu bagian taman itu.
Arka datang membawa air mineral yang dia beli, karena melihat atasannya yang sudah sangat berkeringat, memandang lurus ke langit jingga yang disuguhkan Sang Pencipta sore ini.
“Langitnya bagus, harusnya kamu foto.” ucap Saka, Arka menurut dan mulai membidik kamera milik boss-nya itu.
“Done.” kata Arka santai, melihat kembali hasil-hasilnya.
“Kamu pernah ngerasain hal aneh ngga di saat kamu dekat orang yang baru kamu kenal?” tanya Saka tiba-tiba, Arka terdiam sejenak.
“Contohnya?” Tanya Arka.
“Nyaman, padahal kamu baru kenal, tapi sudah merasa bahwa dia adalah rumah yang tepat.” Jelas Saka. “Dan anehnya, dia malah mendistrak kamu, membuat kamu malah lupa dengan orang yang seharusnya ada dipikiran kamu, saat kamu bersama orang baru itu?” tanyanya lagi.
“Belum pernah sih, Pak. Saya sendiri adalah orang yang rumit, kalau ditambah dengan hubungan rumit, tampaknya saya ngga mungkin bisa menanggungnya.” jawa Arka santai. Bohong tentu saja, Arka memang orang yang rumit, tapi, kini dia berada di pikiran yang rumit pula karena pria yang ada di sampingnya ini. Namun dia tau, dia masih harus bertahan.
“Hmm, dapat dipahami.” kata Saka.
“Yup.” Arka melihat kantung celana jeans Saka, asal suara ringtone yang sama seperti makan malam pertama mereka berasal dari sana.
'He's prince calling.' kata Arka dalam hatinya.
'Bian ini, astaga.' gumam Saka dalam hatinya.
“Sudah malam, kita pulang?” tawar Saka, Arka segera menganggukkan kepalanya dan mereka berjalan beriringan ditemani nada suara telepon itu kembali terdengar.
“Pak, better diangkat saja. Di Jepang sudah hampir jam 10 malam, dan dia pasti khawatir dengan bapak yang hari ini tanpa kabar.” kata Arka. “Saya bukan stalker kok, saya tahu bapak ngga ngasih dia kabar karena handphone itu ngga pernah keluar dari kantong celana bapak hari ini. So yeah, guessing.” jelas Arka dan semuanya terasa masuk akal. Saka masih acuh, berusaha tak mendengarkan asistennya.
Sesampai di mobil, Saka membukakan pintu untuk Arka dan menyentuh kepala pria berkacamata bundar itu agar tidak terpentuk pada saat masuk, tanpa sadar pipi Arka memerah. Tidak ada yang memperlakukannya seperti ini, sebelumnya. Saka segera ke jok belakang, mengambil baju yang sudah ia siapkan sebelumnya.
“Jangan liat ke belakang, bahan addictive.” kata Saka tertawa.
Begitulah manusia semakin dilarang, pasti akan semakin dibuat penasaran, begitupula dengan Arka. Pria manis itu segera menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan Saka yang sedang membuka t-shirt hitam yang ia gunakan sedari siang. Arka segera memalingkan wajahnya dengan pipi yang kian memanas. Badan berbentuk dengan perut kotak-kotak dan dada yang bidang terpampang jelas di hadapannya tadi.
“Hahaha told you, bandel sih.” kata Saka mengejeknya, lalu keluar dari jok belakang dan pindah ke kursi supir. “Ngga nyesel tapikan?” tanya Saka jahil.
Arka masih memalingkan wajahnya dan berkata, “Nyesel, mata saya jadi sudah ternodai.” jawabnya.
“Haha, kepo sih.” kata Saka, masih tertawa. Pria tinggi itu melanjukan mobilnya ke sebuah gedung pencakar langit, Arka terdiam saat Saka sudah membukakan pintu mobil untuknya.
“Hmm?” tanya Arka dalam dehamannya masih dari dalam mobil Tesla itu.
“Hmm? Dinner.” kata Saka santai, seakan tahu apa yang Arka tanyakan.
“Saya ngga mungkin membiarkan anaknya Om Jeonny pulang dengan kelaparan, tentu saja. Yuk!” ajaknya, Arka melihat telapak tangan pria tampan itu berada di hadapannya. Saka menjulurkan tangannya, berharap Arka dapat meraihnya, namun, Arka keluar tanpa menggenggam sedikitpun tangan itu. Arka kembali mendingin.
“Please, lead the way.” ajak Arka. Saka berjalan di sampingnya dan mereka terdiam tanpa suara.
Makan malam mereka sudah tersaji cantik di meja, Arka segera mendekatkan pesanannya. Suasana canggung antara mereka kembali, tidak seperti pada saat di Musium Nasional ketika Saka mengambil beberapa foto, lalu memamerkannya pada Arka dan pada saat mereka bersepeda keliling Taman Suropati dengan candaan mereka hingga mereka lelah.
Arka mulai membangun temboknya lagi, dia merasa menyesal karena tadi kelepasan karena perjalanan sore ini sangat menyenangkan, pikirannya bercampur aduk, apalagi ketika endengar nada dering dari ponsel Saka, nada dering yang sama lagi. Kali ini, Saka mengangkat telepon yang masuk.
“Hai.” Sapanya.
“Sama Dhika, iya, bantuin dia nyari venue. — iya, bagus. — Ngga gede deh, nikahannya sederhana. — Iya. — Nikahan dia tuh kamu pulangkan? — Oh belum tahu, oke. — Udah jam 12 kan? Kok masih bangun? — Oh iya, Diaz sama Andrian ngga jadi ikut, akhirnya aku ikut Dhika. — Haha, iseng dia, aku sama dia terus kok. — Sekarang? — Lagi di Avays. — Iseng, sayang. Haha — Yaudah, sana tidur. — Iya. Night.” kata Saka, menutup teleponnya.
Arka? Tentu pria dengan manik secantik manik rubah itu mendengarnya.
“Bian.” katanya ketika Arka masih menatapnya intense. “Kenapa?” tanya Saka.
“Ngga apa-apa, aneh aja.” jawab Arka.
“Apa yang aneh?” tanya Saka.
“Entah apa yang bapak cari untuk kriteria pasangan bapak, tapi, jangan bohongi hati bapak dan orang lain, ngga baik.” kata Arka. “Nanti jadi habbit yang ngga bisa bapak lepasin. Kalau saya tahu bapak bohong, mungkin saya ngga akan percaya bapak.” lanjutnya.
“Sekali ini aja, Pak Saka, jangan ada lain kali.” kata Arka, kembali mengunyah makanannya.
“Kamu ngga akan percaya saya?” tanya Saka, menegaskan dan dibalas gelengan oleh Arka.
“Sorry to say this, but, no.” jawabnya setelah makanannya habis ia kunyah. “Saya lebih memilih pria jujur dibandingkan tampan, karena tampan relatif.” lanjut Arka, menyunggingkan senyuman manisnya, Saka langsung terdiam mendengar ucapan Arka dan kembali perasaannya diaduk dengan senyuman pria itu.
Saka jelas memikirkan perkataan Arka sepanjang jalan, karena hanya diam yang ada di mobil itu.
“Thanks for today, Pak Saka. Semoga next hunting bisa ditemenin sama teman atau pacarnya.” kata Arka santai sembari melepaskan seatbelt-nya, Sakapun melakukan hal yang sama. “Jadi saya bisa tidur di rumah.” lanjutnya.
Saka merubah posisi duduk Arka menjadi ke samping, dan berhadapan dengannya saat pria itu hendak membuka pintu mobil. Tubuh Arka otomatis mengikuti arahan kedua tangan Saka yang sudah berada di lengannya. Saka menatap lekat wajah Arka dalam-dalam di dalam kegelapan mobil yang berwarna biru itu. Arka masih bingung apa yang akan terjadi, belum terprediksi olehnya.
“Saya ngga pernah ada niat membohongi siapapun, Arka, termasuk kamu atau Bian.” kata Saka, mendekatkan tubuhnya dan menatap lekat bibir plum milik Arka. “Tapi, waktunya masih belum tepat untuk melepaskan Bian lalu ke kamu, dan masalahnya lagi adalah ngga pernah ada waktu yang tepat untuk meninggalkan Bian.” lanjutnya.
“Ini suatu yang rumit di keluarga Putradinata dan kamu ngga akan ngerti. Karena jujur, perasaan saya ini benar-benar menyiksa.” kata Saka lagi, ibu jarinya dengan lembut menyentuh bibir bawah pria yang menggunakan beanie itu. Arka membeku.
Arka memejamkan matanya ketika dia mulai merasakan nafas Saka semakin dekat, Saka menyatukan belah bibir mereka berdua, mengecupnya lembut, entah apa yang merasuki Arka saat ini, pria manis itu terdiam menerimanya, jantungnya berdegup kencang. Namun, tak lama Arka tersadar, matanya membola dan mendorong tubuh Saka.
“Maaf, Pak.” kata Arka dan meninggalkan mobil itu, berlari masuk ke rumahnya tanpa melihat ke belakang. Sedangkan Saka, terdiam membisu merasakan degup jantungnya yang tak kalah cepat, menyentuh bibirnya seakan masih merasakan lembut dan manisnya bibir Arka. Saka melajukan mobilnya, kembali ke realita dimana dia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan seperti ini untuk yang kedua kalinya. Seharusnya, Saka bisa berhenti sampai di sini untuk tidak memperdalam rasanya pada Arka.
We can find a way We can find a way, you know, i'll be here tomorrow Where you go I'll follow We might falter but it don't matter