THE VOW
Gue berusaha berjalan sebiasa mungkin ketika melangkahkan kaki menuju altar di dalam ruangan yang serba elegan berwarna silver yang selama 3 bulan ini calon suami gue siapkan. Gue berjalan beriringan dengan bokap gue menuju pendeta berada di ujung sana memegang kitab suci yang gue yakini, sedang menanti gue untuk menjadi saksi pengucapan isi janji pernikahan yang akan gue lontarkan dengan lantang.
“Good luck, son.” kata bokap gue setelah ia sudah selesai mengantarkan gue ke hadapan pria paruh baya yang sudah berpakaian rapih serba hitam, sebelum dia duduk di kursi paling depan.
Acara janji pernikahan ini hanya dihadiri kerabat dekat, keluarga gue dan Arka, calon teman hidup gue itu mau semuanya sangat private kali ini, agar acara lebih khusyuk. Dari tempat gue berdiri saat ini, gue dapat melihat sepupu-sepupu, serta temen-temen gue dan Arka tersenyum hangat ke arah gue seakan menyemangati gue yang sedang sangat gugup ini.
Kalau dipikir-pikir, gue sudah lama tidak merasakan perasaan gugup setengah mati seperti saat, terakhir kali perasaan ini muncul saat tahun lalu gue akhirnya dipertemukan lagi oleh pria manis yang sedang duduk anteng di kamar apartemennya tanpa menyadari kehadiran gue karena si dia sedang berkutat pada komputernya. Sejak saat itu, hingga nanti, dan sampai kapanpun, he’ll be mine forever and I’ll never let him go. Never again.
MC berkata bahwa calon pengantin dipersilahkan untuk masuk dan darah gue mengalir semakin cepat, jantung gue rasanya semakin berdetak cepat. Arkadia Wonwoo Rahamardja, pria yang datang bagaikan angin segar dikehidupan gue akan berjalan ke hadapan gue, lalu, gue akan meminta jemari lentik putih mulus itu kepada pria separuh baya yang akan berjalan bersamanya dan akan menggenggamnya, SELAMANYA!
Pintu cokelat besar di ujung, tempat di mana mata gue dan para undangan yang lain menatap, terbuka. Lagu Wedding March dimainkan dengan sngat manis saat gue dapat melihat bayangan pria yang sudah gue nantikan.
Aku menunggu di balik pintu cokelat yang berada di hadapanku untuk terbuka, tanganku sudah diapit oleh pria setengah baya di sampingku, dan aku memegang lengannya erat dengan 1 tangan lainnya menggenggam bouquet with white and blue gardenia flowers. Ayah akan mengantarku jalan menuju altar di balik pintu ini, tempat Nisaka sudah menungguku. Aku tahu dia gugup, namun, bukan hanya kamu, sayang, akupun gugup setengah mati.
“Ayah yakin adek sudah siap untuk menuju ke kehidupan baru yang akan adek jalani dengan Nisaka. I love you, adek. Kamu harus bahagia dengan suamimu ya.” nasihat ayahku, aku mengangguk, tak sadar air mataku jatuh dari ke pipi, Mba Andrea yang selalu mendampingiku — owner dari wedding orginazer yang banyak membantu untuk terlaksananya hari ini —, dengan sigap memberikan tissue dari saku blezer hitamnya, dan mengingatkanku bahwa kami akan segera masuk beberapa saat lagi.
“Adek sayang ayah.” kataku mengecup punggung tangan ayahku.
“Ayah juga sayang kamu, sangat.” jawab pria itu dengan senyum yang selalu menghangatkan hatiku, menggenggam jemariku dengan tangan kirinya.
“Sekarang.” kata Mba Andrea setelah mengambil tissue yang berada di tanganku.
Pintu di hadapanku terbuka lebar, mataku hanya tertuju pada pria tampan ber-tuxedo serba putih dengan dasi kupu-kupu di lehernya, sedang tersenyum gugup, mengelap pelan keringatnya di kening dengan punggung tangan yang terlapis sarung tangan putih tipis.
Dengan jantung berdegup kencang, kulangkahkan kakiku yakin menuju pria yang sudah menungguku selama ini dan kuberikan juga senyuman termanisku untuk semua para undangan. Maura berada di belakangku dan membawa keranjang berisikan rose petals yang ia lemparkan sembari tersenyum lebar, aku rasa.
Sampailah aku di tujuan kami, ujung the aisle. Kini aku sudah berada di hadapan calon suamiku, sebelum ayahku mengecup pipiku dan dengan yakin memberikan tangan kananku yang langsung diambil oleh Saka tanpa keraguan, dengan Kenan yang mengambil bouquet bunga yang ku bawa.
Kini aku sudah kembali menatap dalam pria yang kini sudah menggenggam jemariku dengan penuh percaya diri dan tersenyum lebar memperlihatkan ke dua gigi taring lucunya.
Kami berdiri berdampingan, menghadap pendeta. Pria yang menggunakan jas setelan hitam itu menganggukkan kepala ketika melihat wajahku dan Saka yang sudahh berada di hadapannya, siap untuk melanjutkan upacara.
Berkali-kali kukatakan bahwa naik halilintar tidak ada apa-apanya dengan apa yang sedang kualami saat ini, jantungku masih berdetak kencang, aku gugup, kuyakinkan diriku bahwa acara ini akan segera selesai dan pria di sampingku akan menjadi suamiku.
“Nisaka Mingyu Putradinata dan Arkadia Wonwoo Rahamardja, apakah kalian berjanji untuk setia sampai maut memisahkan kalian?” tanya sang pendeta kepada pria yang berada di sampingku, memecahkan keheningan di dalam ruangan ini dan membuatku kembali terfokus pada acara yang sedang kami lakukan.
Saka dan aku mengubah posisi kami untuk saling berhadapan. Pria di hadapanku ini menatap lembut ke arahku, dia sejenak, menarik nafasnya perlahan, lalu ia berkata dengan suara baritone-nya yang menenangkan hatiku, “Arkadia Wonwoo Rahamardja, aku mengambil engkau menjadi suamiku,”
Aku tersenyum mendengar kalimat itu, aku menarik nafas dan berucap sama yakinnya dengan Saka, “Untuk saling memiliki, dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya,” kataku melanjutkan kalimatnya.
“Pada waktu susah, maupun senang,” ucap Saka menambahi kalimatku.
“Pada waktu kelimpahan, maupun kekurangan,” kataku lagi.
“Pada sehat, maupun sakit,” lanjutnya, masih dengan tersenyum dan kubalas senyumnya.
“Untuk saling menghargai dan mengasihi sampai maut memisahkan kita.” kalimat penutup yang kami ucapkan bersamaan.
Mas Andrian yang berada di sisi Saka dan Kenan yang berada di belakangku berjalan dua langkah menghampiri kami dengan membawa kotak mika transparan yang sudah disiapkan berisi cincin pernikahan kami.
Saka menyematkan cincin beralaskan berlian custom yang sengaja dibuat oleh Bumi Putradinata untuk calon menantunya dan begitupun dengan pria yang dihadapannya, dengan manik rubah yang berbinar sedang mengisi jari manis Saka dengan cincin berlian dari kotak mika yang diberikan oleh Kenan.
“Demikian seperti yang dikatakan dalam firman Tuhan, di Matius 19:6, demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” kata pendeta itu meresmikan Saka dan Arka sebagai sepasang suami. Pria paruh baya itu mempersilahkan kedua mempelai untuk saling berhadapan kembali dan mencium sebagai tradisi diakhir.
Saka kini sudah menatap wajah Arka yang bersemu dan semakin cantik karena terkena pantulaan cahaya yang berada di ruangan tersebut, dan si dia yang membalas tatapan Saka dengan senyuman hangatnya.
“Hai.” kata Saka membuka suara sembari tersenyum, memegang pinggang ramping Arka dan mendekatkan tubuh mereka untuk mengikis jaraknya.
“Hai.” jawabnya dengan senyuman manis, menatap pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu.
Saka masih tersenyum, lalu mengelus salah satu pipi Arka dengan tangan bebasnya dan menyatukan kedua bilah bibir mereka, saling mencium dan saling memagut mesra, seakan tidak ada yang mampu memisahkan mereka lagi.
Suara piano lagu Wedding Merch kembali berkumandang yang kini sudah dicampur denga riuh sorakan dari saudara-saudara dan kerabat dekat mereka yang melihat scene romantis tersebut. Mereka menyudahi ciuman itu dengan senyuman jahil ke arah saudara dan teman mereka, lalu Saka mengecup kening suaminya dan kemudian memeluknya.
“Thank you for waiting for me, my love.” bisik Saka.
“Thank you for accepting me as I am and coming home, mas.” kata Arka, dan membalas pelukan Saka.
Arka dan Saka masih berdiri di altar, pendeta sudah pergi menuju backstage karena sudah dijemput oleh salah satu dari tim WO dan kini stage Arka dan Saka sudah dipenuhi oleh orang-orang yang datang untuk mengucapkan selamat kepada pengantin baru. Lagu A Whole New World original soundtrack dari Aladdin melantun merdu dibawakan Dhika dan Kenzie untuk mengisi ruangan yang berwarna white silver dengan hiasan mewah bergelantungan, menambah kemegahan ruangan itu.
Unbelievable sights Indescribable feeling Soaring, tumbling, freewheeling Through an endless diamond sky A whole new world A hundred thousand things to see I'm like a shooting star, I've come so far I can't go back to where I used to be Let me share this whole new world with you