They're Here
tw: drama
Saka sedikit terkejut ketika menatap layar ponselnya saat Andrian bilang bahwa ibu ratu yang menghilang tiba-tiba muncul dan sudah berada di gedung kantornya. Dia segera menghubungi duda beranak satu itu.
“Ngga salah liat?” tanpa basa-basi Saka segera bertanya saat panggilannya terjawab oleh sang kakak sepupu.
“Ngga, gue sempet salim. Ada di depan lobby, kayaknya ngga boleh masuk ke dalem deh, karena langsung dijagain satpam.” kata Andrian dari seberang sana. “Gue di depan lift.” lanjutnya.
“Gue pinjem mobil, ketemu di depan lift, gue otw turun.” kata Saka tergesa-gesa, mematikan sambungannya dan segera mengambil ponsel dan atasan suit-nya lalu keluar ruangan. Arka sedang tidak berada di ruangannya, tadi izin ingin membuat kopi, namun, belum kembali.
Sesampai di depan lift, benar saja dia sudah menemukan kakak sepupunya itu tampak sedang bersender menunggu seseorang. Saka segera menghampirinya.
“Ini ticket valet-nya, gue bawa Tesla dongker gue. Bawanya ati-ati, Sak, brand new tuh!” kata Andrian segera memberikan sebuah kartu dengan bahan seperti kartu ATM yang berukuran setengahnya kepada Saka.
“Oke.” kata Saka, berjalan meninggalkan Andrian, namun, membalikkan tubuhnya lagi. “Lo ke ruangan gue aja, dari lift ke kiri paling ujung, ada nama gue sama Arka. Lo diskusiin aja dulu sama Arka soal agency yang Korea, nanti gue review.” lanjutnya.
“Gue jalan dulu, thanks.” kata Saka lagi, menepuk pundak sepupunya.
“Lo yakin mau ketemu nyokap lo?” tanya Andrian, menarik lengan Saka yang sudah hampir berbalik.
“Ya gimana juga dia nyokap gue, An. Kudu gue beresin juga urusan sama beliau. Ngeganjel aja guenya.” jawab Saka. “Nanti gue kabarin Arka, kalau dia panik, tolong tenangin dia ya, gue ngga kemana-mana kok, deket sini paling cuma makan sama nyokap.” lanjutnya dan Saka pun berlalu, sedangkan Andrian mengikuti arahan adik sepupunya itu.
Benar kata Andrian, mamanya sudah di luar lobby gedung perkantoran yang dulu selalu ia kunjungi bila sedang bosan, kini, melangkah masuk saja tidak boleh, hal itu terbukti dengan beberapa satpam yang menjaga sang ibunda.
Saka memberikan tiket valet kepada petugas yang ada di depan pintu lobby dan melangkahkan kakinya untuk menemui Yuna, ibunya. “Ma?” sapa Saka yang hari ini sangat berwibawa dengan menggunakan setelan jasnya berwarna hitam, dan kemeja putih dengan dasi hitam, dan rambut yang tadi pagi sudah ditata oleh Arka, menunjukkan kening mulusnya.
“Anak mama!” kata Yuna menerobos security dan berhamburan memeluk tubuh anak tunggalnya itu, menangis. Saka membalas pelukannya.
Mobil Tesla biru dongker dengan model terbaru milik Andrian sudah ada di hadapan mereka, Saka membuka pintu penumpang untuk mamanya dan mempersilahkan wanita paruh baya itu untuk masuk. Kini mereka sudah berada di kendaraan beroda 4 itu.
“Kita ngobrol di luar ya, mama udah sarapan?” tanya Saka, menatap wajah wanita yang melahirkannya itu sebentar dan kembali fokus ke jalanan.
“Belum, mama mau sarapan sama kamu.” jawab wanita itu.
“Boleh, kita cari tempat makan yang tenang ya.” kata Saka. Sang ibu mengangguk sembari memegang tangan kanan Saka yang menganggur.
“Mama kangen banget sama kamu.” kata Yuna dengan berderai air mata, Saka yang medengarnya juga merasakan rasa sedih yang sama, namun teringat akan foto-foto yang sempat dilihatnya, mamanya ini adalah orang yang sama yang telah mengkhianati papa dan dirinya, dia masih belum bisa memaafkan sang ibu seutuhnya.
Anak tunggal dari Aditya Bumi Putradinata dan sang ibu sudah berada di salah satu restoran mewah yang menyediakan breakfast dan brunch untuk pengunjungnya. Meja mereka duduk cukup dalam di sudut restoran untuk menghindari adanya orang yang akan mengenali mereka.
Setelah memesan makanan untuk mereka berdua, Saka memecahkan keheningan dengan membuka suaranya terlebih dahulu karena ingin mendengar langsung alasan kenapa mamanya sekarang ada di hadapannya.. “Ada apa, Ma?” tanya Saka to the point.
“Mama emang ngga pantes ngomng kaya gini, tapi mama mau minta bantuan kamu, karena cuma kamu yang bisa bantuin mama saat ini, Gu.” Migu adalah panggilan sayang sang Mama untuk dirinya, biasanya panggilan ini keluar kalau memang mamanya sedang menginginkan sesuatu dari pria tampan itu.
“Tentang apa?” tanya Saka. “Aku sibuk, Ma. Banyak yang harus aku urus belakangan ini.” lanjut pria itu.
“Mama ngga mau cerai sama papa kamu, Saka.” kata mamanya.
“Keputusannya sudah ketuk palu, ma. Udah ngga bisa diubah lagi.” kata Saka. “Kita ngga bisa mempermainkan pernikahan dan hukum seenaknya, ma. Mama tau itukan?” Saka menggelengkan kepalanya.
“Tapi, mama ngga mau cerai sama papa kamu! Kamu pasti sudah dengarkan di pengadilan kalau Mama marah-marah?” tanya Yuna.
“Tau, dan aku ngga nyangka mama bisa menurunkan derajat mama kaya gitu.” kata Saka. “Kalau mama ngga mau cerai sama papa, seharusnya mama ngga selingkuh in the first place. Mama yang paling tau kalau semua info ngga akan lepas dari pandangan papa.” jelas Saka.
“Dan Saka akan mendukung semua keputusan papa. Mama silahkan—” kalimatnya terpotong karena melihat mamanya yang kemudian menatap ke arah lain, Saka mengikuti pandangan sang Mama dan terkejut melihat kepada dua orang yang paling tak ingin ia temui di kehidupannya yang sudah mulai tenang ini.
“Om Bintoro? Bian?” tanyanya, Saka segera berdiri dari tempat duduknya, terkejut, kali ini Saka merasa sedang dijebak. “Kok bisa? Ma?” tanya Saka menatap sama ibu, tidak mungkin mereka berdua tau di mana Saka dan mamanya kalau bukan Ibu Ratu yang memberitahukan keberadaan mereka.
“Apa ini maksudnya? Mau minta izin ke aku kalau kalian mau menjadi keluarga? Silahkan! Ambil mama, never come back to me again kalau gitu.” kata Saka ingin pergi namun tangannya ditahan oleh Bintoro.
“Kita bicara dulu, boleh?” tanya pria paruh baya yang mungkin seumuran dengan mamanya, suaranya berwibawa.
“Ngga boleh, saya sibuk. Maaf, om kalau saya lancang.” kata Saka, baru 2 langkah dia berjalan, dengan jelas ia mendengar Bian meneriaki nama pria yang ia sayangi.
“Aku udah ketemu sama Arka, dan aku ngga segan buat ganggu dia kalau kamu ngga mau dengerin apa yang papa dan Tante Yuna mau bahas hari ini!” kata Bian, pria manis itu dengan tenangnya duduk di sebelah kursi Saka yang ditinggal oleh pemiliknya.
Saka berbalik, kembali duduk di meja yang hampir ia tinggalkan tadi, duduk tanpa melihat ke arah sampingnya, Bian. “Gampang ya ngancemnya cuma butuh satu nama.” kata Bian tersenyum miring sembari menggunakan serbet di pangkuannya.
“Mau bahas apa, sekarang sudah hampir makan siang, saya masih ada meeting yang lebih penting dari ini.” suara Saka terdengar sangat dingin.
“Pertama, maaf atas kelancangang Om—” kata Bintoro.
“Ngga usah minta maaf, kita bisa to the point aja.” paksa Saka. Dia hanya ingin kembali ke kantor dan memeluk Arka saat ini. “Apa yang mau dibahas?” tanya Saka.
“Baiklah kalau itu mau kamu, saya akan langsung saja.” kata Bintoro dengan nada yang tak kalah berwibawa. “Saya mau kita kembali bekerja sama, dan kamu tetap men—” kalimatnya terputus.
“Menikahi Bian? Maaf, saya sudah punya pilihan saya sendiri. Jawabannya, tidak, terima kasih.” kata Saka dengan nada yang semakin tegas. “Sama halnya dengan kerja sama, saya menolaknya.” jawab Saka tanpa berfikir.
“Dan untuk mama yang mau kembali dengan papa, ngga usah berharap, ma. Mama jalanin aja hidup mama dengan keluarga baru mama.” jawab Saka. “Terakhir, buat kamu Bian, jangan berani-beraninya kamu ganggu Arka atau kamu akan tau akibatnya. Ini bukan peringatan, tapi ancaman.” kata Saka, pergi meninggalkan meja restoran mewah itu dan memasuki mobil Tesla milik Andrian.
“Hah! Bahkan Bian bawa selingkuhannya ke sini dan tetep minta gue nikahin? Tolol! Keluarga tolol!” Monolog Saka ketika melihat pria dengan sweater hoodie hitam menjauh dari parkiran mobil.
Saka langsung menghidupkan kendaraannya dan keluar dari plataran parkiran restoran mewah itu.