We Met, We Know, We Love

[One-Shot AU] ↳ Mingyu/Wonwoo ↳ bxg >> switch gender (man!gyu, wom!won) ↳ fluff/romance ↳ 4.6k words. ↳ written in bahasa.

“Hujan lagi, Nu.” Kata seorang wanita di hadapannya, wanita yang dipanggil Nu itu berpaling dari sebuah buku yang sedari tadi mencuri perhatiannya.

“Iya, Kak. Udah pertengahan April juga.” Jawab wanita berkacamata bundar itu kepada seseorang di hadapannya, sembari menatap ke luar jendela cafe yang sedari tadi mereka kunjungi.

Charissa Wonu, nama lengkap wanita berkacamata itu. Wanita berumur 23 tahun yang biasa dipanggil dengan Wonu, berparas ayu, tingginya yang semampai bak model majalah, berkulit putih pucat, bermahkotakan rambut wavy coklat gelap sepunggung yang hari ini sedang dikuncir dengan gaya half ponytail asal dengan jedaynya, memiliki mata secantik rubah, hidung mancung, dengan wajah tanpa polesan make up, dan bibir merah mudah yang selalu dilapisi dengan liptint kesayangannya.

“Gimana tawaran gue? Mau?” Tanya seorang di hadapannya yang selalu Wonu panggil dengan imbuhan Kakak sebelum namanya.

“Gue ga cocok jadi model, Kak Han.” Jelas Wonu kepada wanita dihadapannya, Hannie. Mantan teman sekantornya dulu yang kini bekerja di salah satu majalah mode besar di Ibukota.

“Cuma freelance aja, Nu. Coba dulu sekali, pake baju kebayanya Anne Avantie lho!” Rayu Hannie.

“Lo kan cita-citanya nikahan pake jaitan Beliau. Kapan lagi pake karyanya dan ga bayar? Malah gue yang bayar elo.” Masih mempersuasi wanita yang lebih muda 2 tahun di hadapannya itu.

Wonu menyilangkan kaki kanannya menumpu kaki kirinya dengan anggun, menopang dagunya dengan tangan kanan masih memandangi hujan deras di luar cafe, langit mulai menggelap. Hari ini adalah hari favorite Wonu, Sabtu. Seminggu lalu Wonu dan Hannie memang sudah merencanakam untuk hang out bersama as a bestie. Namun tak disangka tawaran menjadi model lepasan muncul dari mulut Hannie.

Photographer nya juga profesional kok, Nu. Mana mungkin sih majalah gue pake yang abal-abal.” Ucap Hannie. Wonu adalah wanita paling sulit diyakinkan, paling keras kepala, paling-paling menurut Hannie.

“Kalau weekdays kan gue ga bisa, Kak. Gue kerja.” Wonu masih kekeuh ingin menolak tawaran Hannie karena tidak percaya akan kemampuannya di depan kamera profesional.

“Ambil cuti aja, Nu. Katanya cuti lo masih penuh? 2 hari aja.” Suara Hannie terdengar sudah kelelahan merayu wanita di hadapannya yang hari ini menggunakan long-sleeved berwarna putih dengan lengan kemejanya yang sudah dilipat hingga siku dipadukan dengan rok pendek jeans selutut itu.

“Mmm.. menurut lo apa nanti fotografer-nya ngga ngamuk sama gue yang kaku?” Tanya Wonu, pertanyaan terakhirnya sebelum dia menjawab keinginan Hannie.

“Tenang, photographer nya super baik. Gue jamin a hundred percent!” Yakin Hannie.

“Okay. Kalau lo jamin kaya gitu, gue ambil.” Jawab Wonu setuju, sedikit ragu, tapi percaya akan penilaian Kak Hannie-nya itu.

“Sip! I'll prepare our contract, and send it to you. A.S.A.P!” Suara Hannie mantap.

“Asiiikkkk kerja bareng lagi. I'm so happy!” Wajah Hannie sumringah yang dibalas senyum Wonu.

“Jadwal pemotretan dari lo kan, Kak?”

Absolutely yes! Gue akan kirim seminggu sebelum pemotretan, so, lo bisa minta cuti untuk hari itu.” Kata Hannie, masih semangat.

Nice.” Kata Wonu, melihat sebentar ke luar jendela, jalanan yang masih basah, hujan yang masih turun dan langit yang semakin gelap, memalingkan wajahnya ke buku novel yang sedari tadi ia pegang.

“Gue balik duluan ngga pa-pa, Nu?” Tanya Hannie setelah mereka berbincang hal lain selain Wonu yang akan menjadi model lepasan, wajah Hannie menyiratkan kekhawatiran di sana.

Yes, sure. Ga apa kok, gue juga masih mau baca buku, plus latte?” Kata Wonu mengangkat gelas caramel latte-nya.

Okay then. Gue duluan ya, Nu?” Hannie berdiri dari bangkunya, cupika-cupiki — cium pipi kanan – cium pipi kiri — dengan Wonu dan berkata “See you, adik manis.” Sebelum meninggalkan Wonu sambil melambaikan tangan, wanita yang ditinggal hanya memberikan senyum terbaiknya. Namun, Hannie sempat berhenti dan berbincang dengan seseorang di sana, “Mungkin kenalannya.” Pikir Wonu dan kembali sibuk dengan bukunya.

Kini sudah jam 8 malam, Wonu mulai merapihkan barang bawaannya ke dalam tas, tas sedang yang hanya cukup satu buku, dompet, ponsel dan liptintnya.

“Oh shit! Battery gue abis.” Monolognya ketika melihat layar ponsel pintarnya gelap, tidak bernyawa. Wonupun berdiri, melangkah ke depan cashier dan meninggalkan barangnya tergeletak di kursi.

“Mba, sorry. Ada chargeran iPhone ngga ya?” Tanya Wonu berhati-hati.

“Wah, maaf Kak, kita ngga punya.” Jawab sang cashiernya tidak enak.

“Yah, yaudah deh. Thank you ya.” Kata Wonu dengan senyumnya dan meninggalkan cashier tersebut. Dia tidak menyadari bahwa ada sepasang mata pria memperhatikan gerak-geriknya dari seberang meja, saat Wonu pertama kali membuka suara dan merutuki ponselnya. Tersenyum.

What should I do now?” Monolognya dengan memandangi tasnya yang sudah rapih. “Ah, bodo lah.” Wonu, masih bermonolog. Pria itu masih mendengarnya sembari melihat-lihat buku besar semacam album yang sedari tadi dia bulak-balik. Wonu berdiri, terdiam di kaca luar cafe itu sambil menghalau air hujan yang menyipratnya dari atap cafe. Hujannya semakin menjadi.

Lama berdiri di sana dengan tas kecil yang menghalau, kemejanya tetap basah “Damn me! Kenapa pake kemeja putih?” Erangnya dalam hati, tak lama ada sebuah cardigan menyelinap di punggung hingga bahunya, kaget, itu yang dirasakan Wonu. Dia menolehkan wajahnya dan menemukan seorang pria tinggi, bersurai hitam, berhidung mancung, sedang memegang bahunya agar cardigan coklat yang diberikan tidak terjatuh karena belum diraih oleh sang empunya bahu.

“Eh.” Wonu membuka suaranya, kaget, memegangi bahunya yang sudah tertutup cardigan.

“Saya lihat kamu kuyup, better use this, your clothes are starting to see through.” Kata pria tersebut membuka suaranya, lembut.

“Oh iya. Sorry to bother your eyes.” Jawab Wonu dengan sopan dan tersenyum. “Cardigannya saya pinjem dulu. I didn't prepare anything for today's weather.” Kata Wonu lagi. Pria tersebut tersenyum, tampan.

No worries. I've gotta go, please take care.” Pesan pria itu, tersenyum dan menunjukkan dua fangs di kanan dan kirinya mencuat manis, sebelum meninggalkan Wonu dengan cardigannya. “Eh bentar? Namanya siapa? Alamatnya di mana? Balikinnya kemana?” Ucap wanita dengan tingg 171 sentimeter itu dalam bathinnya setelah pria itu menghilang.


Dua minggu dari terakhir kalinya dia bertemu dengan Hannie di cafe yang berujung dia pulang menggunakan cardigan seorang pria yang dia tidak tahu siapa. Memang betul kata pria itu, long-sleeved nya basah kuyup dan memperlihatkan warna bra yang dia gunakan kala itu. Dia tidak tahu bagaimana dia pulang bila tidak menggunakan cardigan tersebut, malam gelap, di Kota Jakarta, wanita seorang diri, pulang menggunakan busway dengan kemeja putih basah yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Membayangkannya saja sudah cukup merinding. Wonu sangat bersyukur.

Kini Wonu sudah ada di studio yang diinfokan oleh Hannie, dengan kemeja navy blue berlengan pendek yang dilipat dua kali di sana dan menggunakan rok di atas lutut lima sentimeter berwarna khaki yang memamerkan kaki jenjangnya, dengan rambut kali ini di ikat ponytail tinggi.

“Udah nyampe?” Tanya seorang wanita dari belakang Wonu yang suaranya sangat dia hafal.

“Belom, masih di ojol.” Jawab Wonu sambil menurunkan bibirnya yang dihadiahi tawa sang kakak. Sesungguhnya Wonu masih tidak yakin akan kemampuannya, takut mengecewakan Kakak Hannie-nya itu.

Don't worry, just follow his lead!” Kata Hannie menunjuk seseorang ketika melihat sang adik manisnya nervous tidak karuan.

Who?” Tanya Wonu yang masih mengikuti Hannie.

The photographer lah! Kenalan dulu biar ga awkward.” Ajak Hannie, sedikit menarik adiknya itu.

“Mingyu!” sapa Hannie, orang yang dipanggil Hannie langsung mendongakkan kepalanya dari kamera yang sedari tadi sedang ia setting. Hannie dan Wonu pun berjalan semakin mendekat.

“Hai.” Sapa pria tampan tinggi, bersurai hitam lebat sedikit berantakan, yang memiliki tai lalat dipipi itu.

Please, meet the model— Wonu.” Kata Hannie memperkenalkan Wonu ke seorang yang tadi ia panggil Mingyu.

“Mingyu, nice to meet you.” Ucapnya sembari memberikan tangannya untuk dijabat.

“Oh iya, Wonu. Nice to meet you too?” Katanya, entah kenapa dia semakin gugup, membalas jabatan tangan dan senyum pria itu. “Still, cantik.” Ucap Mingyu dalam hatinya.

“Okay, sekarang lo dandan terus ganti baju ya, Won. Let's go!” Kata Hannie membuyarkan pikiran Mingyu, dan mendorong Wonu meninggalkannya.

Terhitung 45 menit waktu yang dibutuhkan Wonu untuk bersiap-siap. Dia sudah menggunakan baju jaitan karya Anne Avantie berwarna hijau pekat yang dihiasi payet dan brokat, namun bahan kebayanya sendiri adalah satin yang super lembut, dengan belahan berbentuk V yang cukup tinggi hingga cleavage nya terlihat jelas, lengan baju seperti sabrina sehingga menampakkan bahu lebarnya dan collarbone yang menonjol dengan jelas untuk atasannya, disandingkan dengan bawahan bahan batik motif entah apa namanya berwarna dominan hijau yang serupa atasannya, motif yang berwarna emas, hitam, biru muda, hijau dan warna-warna cantik lainnya dengan belahan yang tinggi untuk memamerkan kaki jenjang dan paha mulus milik Wonu. Seperti yang Wonu duga, baju ini luar biasa bagus. Namun, sangat terbuka untuknya. Make up nya cukup sederhana dengan beberapa warna yang sedikit menonjol agar dapat tertangkap di kamera.

“Lo sih cantik banget valid no debat!” Kata Hannie ketika melihat Wonu sudah siap dari tatanan rambutnya yang di sanggul dengan mawar merah hingga ke bawah kakinya yang sudah menggunakan high heels hitam bercorak dengan hak 7 sentimeter.

“Tinggi gue jadi 178cm gini, Kak. Giant!” Kata Wonu pelan.

“Bagus kok, gue udah bilangkan badan lo tuh bagus? Lo liat kaca deh! Ya ampun, gue ga percaya lo cuma jadi design graphics dengan badan seanggun ini.” Celoteh Hannie.

Is the dress too open? Liat deh, lo bisa liat cleavage gue yang gini.” Wonu sedikit protes karena kebagian baju yang terbuka dibandingkan yang lain.

See! Your collarbone and your shoulders are the highlights for today! Just shut up and take a shoot.” Ujar Hannie kesal karena Wonu terus protes, padahal buat Hannie, Wonu sudah cukup sempurna.

Okay, Sissy! Just lead a way. Gue harus jalan ke mana?” Tanya Wonu, menyerah.

“Haha. Follow me!” Ajak Hannie, menuju ke arah para kru fotografer, dengan beberapa kamera sudah siap di sana, dua layar monitor, pencahayaan yang terang dan back drop yang sudah disiapkan sesuai dengan konsepnya.

Mingyu membulatkan matanya ketika melihat sosok wanita cantik datang ke arahnya, kaget. “She's really human, right? Why she's so.. perfect?” Gumam Mingyu sambil mengikuti arah jalan Wonu.

Sorry.” Kata Wonu pertama kali ketika sampai di depan back drop.

Why?” Tanya Mingyu menjauhkan kameranya, melihat Wonu seksama ketika mendengar kalimat itu terlantun dari mulut wanita yang sudah berlapis lipstick merah di hadapannya itu. “You look so perfect, so, we wont take long for this.” Kata Mingyu dari balik kameranya, menciptakan senyum kecil dari Wonu yang kini blus on nya sudah tampak lebih jelas merekah di pipinya, padahal pipinya memanas karena malu.

Just relax, Wonu. I'll take the picture, ok?” Tanya Mingyu menanyakan kesiapan Wonu untuk difoto, Wonu menjawab dengan anggukan pelan.

Okay, good girl. Lihat kamera ya, Cantik. 1.. 2..” kata Mingyu. Suara 1.. 2.. 3.. bergema di dalam ruangan itu, mengambil foto Wonu. Hannie memonitor hasil jepretan Mingyu di 2 layar yang sudah disiapkan di sana. Tersenyum lebar merasa puas.

Perfect, Wonu!” Ucap Hannie melihat hasil-hasilnya hingga Wonu selesai untuk pemotretannya, dan bertepuk tangan bangga.

“Bagus banget hasilnya. Lo mau liat?” Tanya Wonu.

Photographer nya aja yang pro, guekan gitu aja, kak.” Jawab Wonu malu-malu.

Whatever! Gue share after kita pilih-pilih ya. Damn good! Gue pasti bingung milihnya. Dan gue bangga banget. Huhu.” Kata Hannie memeluk wanita yang kini semakin jauh lebih tinggi darinya.

“Abis ini gue udah atau ada lagi ka?” Tanya Wonu, berhati-hati.

“Beres kok, cuma gue sama team mau makan bareng. Ikut aja! Biar makin akrab.” Ajak Hannie yang diiyakan oleh Wonu. Karena kebetulan memang dia cuti seharian dan memiliki waktu kosong hari ini. “Daripada bengong di apart.” Pikirnya.


Kini Wonu sudah kembali memakai pakaian yang ia gunakan saat berangkat ke studio tadi pagi, make up yang sudah dihapus sempurna selain alis dan bibirnya yang sudah dilapisi liptint yang selalu ada di tasnya dan duduk di salah satu bangku dekat dengan peralatan kamera, entah kenapa dia ada di sana, menunggu Kak Hannie-nya.

Sorry. Mau ambil tas itu, can I?” Tanya seorang yang membuyarkan lamunannya. Iya, orang itu Mingyu.

“Oh sorry, this one?” Tanya Wonu yang buyar dari lamunannya dan dijawab dengan anggukan. Tas itu memang lebih dekat dengannya, bila pria itu tetap mengambil sendiri, pasti akan menabrak tubuh ramping Wonu.

Here.” Jawab Wonu, menaikkan kedua ujung bibirnya yang tipis.

Thank you.” Jawab Mingyu. “Gimana malam itu? Arrives safely?” Tanya pria yang memasukkan sesuatu ke dalam tas tadi, yang ditanya malah bingung.

Pardon?” Tanya Wonu, she no has an idea.

Cardigan coklat? Rain? Cafe?” Tanya Mingyu, memberikan beberapa kata kunci untuk Wonu mengingatnya.

“Ah! Mr. Fangs?” Tanya Wonu, kebingungan berbalik ke Mingyu, matanya bertanya ke arah Wonu. Wonu memang benar-benar lupa bagaimana rupa pria yang membuatnya bersyukur dengan cardigan yang digunakannya malam itu.

I don't know your name, but, I do remember you had fangs. So, yeah! Mr. Fangs. Hehe.” Kata Wonu, tersenyum manis dan memamerkan kerutan pada hidungnya.

“Kenapa ga Mr. Cardigan?” Tanya Mingyu, memamerkan kedua fangsnya.

Your fangs are more attractive than cardigans, I think.” Jawab Wonu dengan percaya diri. Disambut tawa manis dari Mingyu, mengelus pucuk kepala Wonu dengan refleks dan berkata “I like it.” Wajah Wonu kini sudah bersemu merah. “I swear to God, this girl damn good to be true.” Rengek Mingyu dalam hati. Sedangkan menurut Wonu, “Selain professional photographer, he's very tall, ganteng, baik hati dan menarik. Himself was more attractive than his fangs, anyway.” Wonu mulai tertarik.


Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, team Hannie sudah pulang satu persatu, ada yang sudah mabuk dan menaiki taksi, ada juga yang dijemput oleh pasangannya seperti Hannie, ada yang pulang dengan kendaraan online atau kereta. Dan di sinilah mereka berdua, Wonu dan Mingyu di depan restoran yang tadi mereka tandangi untuk ronde ke 2. Wonu masih bingung harus naik apa, sedangkan Mingyu sengaja menunggu Wonu pulang.

Are you drunk?” Tanya Wonu, memecahkan keheningan antara mereka.

“Ngga lah, gue nyetir.” Jawab Mingyu. “Mau bareng?” Tanya Mingyu sedikit ragu, menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu.

It's late and it's not good for you to walk alone. Right?” Tanya Mingyu meminta persetujuan Wonu. “Bahaya, Won.” Ucapnya lagi sedikit khawatir.

It's just 10.” Jawab Wonu santai.

“Yup, but still dangerous tho.” Kata Mingyu. “Tapi, bebas. Kalau mau bareng hayo, mobil gue parkirnya agak di sana. Kalau mau ya jalan bareng. At least I have an accompany to talk in the car.” Katanya. Wonu terdiam sebentar, mempertimbangkan penawaran pria yang jauh lebih tinggi darinya itu.

Okay, You're a little bit insist, so I'll accept it.” Kata Wonu, “Thank you.” Senyumnya merekah menerima tawaran pria tinggi itu. Disambut dengan senyuman lega pria itu.

Wonu tidak tahu bahwa pria itu — Mingyu — sangat ingin menjaganya. Entah mengapa, bila dikatakan love at the first sight memang ada, mungkin itulah yang Mingyu rasakan malam di kala hujan tempo lalu. Wonu menariknya seperti magnet utara kepada magnet selatan, dengan kencangnya.


Kini mobil CRV Hitam milik Mingyu sudah sampai di depan pintu lobby apartemen Wonu. Mingyu menghentikan kuda besinya dan menunggu Wonu untuk turun.

By the way, Mingyu. Cardigannya udah bersih. Mau sekalian diambil?” Tanya Wonu memecahkan keheningan setelah mobil itu sampai di tujuan, seperti tidak ingin berpisah.

Not today, I guess. Udah malem banget dan kamu harus istirahat. Today is a long day, isn't it?” Tanyanya, mengelus lengan Wonu lembut. Wonu tidak menolak afeksi itu, malah dia menyukainya, walaupun darahnya berdesir, degupan jantung yang bergemuruh. Dari usapan kepala, elusan dilengan. Wonu suka bagaimana pria ini memperlakukannya lembut. “Well, ini pertemuan kedua. Wonu sudah gila.” Ujurnya dalam hati, ketika merasakan detak jantungnya ribut.

Okay. Please give me your phone number, so I can call you to return the cardigan.” Pinta Wonu, menyodorkan ponselnya ke arah pria yang berkulit sawo matang itu. Mingyu mengambil ponsel itu dan menekan beberapa tombol yang terlihat di layar.

Here. Please call me.” Kata Mingyu, tersenyum hingga gigi taringnya mengintip di balik bibir kenyalnya yang — menurut Wonu —sexy.

Thank you. I will use it well.” Kata Wonu, dan melepaskan seatbelt yang sedari tadi mengukung dadanya.

You have to. Haha.” Tawa Mingyu.

Good night, Wonu. Sleep tight.” Kata Mingyu sebelum Wonu turun.

Good night, Mr. Fangs.” Jawab Wonu turun dari mobil, menunggu mobil itu berlalu dan masuk ke dalam lobby menuju unit apartment-nya.

Wonu hanya tidak tahu, jantung pria di dalam mobil CRV Hitam yang sudah berlalu itu berdegup lebih kencang, berusaha menahan nervous-nya ketika mereka sedang berdua. Menahan rasa ingin merengkuh wanita itu. Tak apa, selalu ada lain kali untuk Mingyu. Akan banyak alasan lainnya.

We always have another time, Wonu.” Ucap Mingyu bermonolog sembari mengintip dari kaca spion yang memperlihatkan wanita yang dia antar masih di sana.


Sudah terhitung dua bulan sejak Mingyu berkenalan dengan wanita cantik yang kini ada dihadapannya. Kini mereka sudah ada di kedai ice cream terkenal di salah satu mall, dan wanita di hadapannya itu sedang asik memakan ice cream vanilla dari cone yang tadi dipesannya, menyampirkan rambut panjang yang sedang terurai — rambut bergelombang, poni yang sudah mulai menusuk matanya yang selalu menggunakan kacamata bundarnya, rambut yang berwarna coklat gelap, menambah kecantikannya — ke belakang daun telinganya dengan tangannya yang bersih, putih dan lembut.

“So, kamu akan pergi ke Spain next Thursday and will stay there in a week?” Tanya wanita yang hari itu menggunakan t-shirt hitam dengan kerah V yang ditutupi kemeja oversize kotak-kotak merah dan biru, memecah lamunan pria di hadapannya yang masih memperhatikan satu demi satu bagian dari wajah mulus putih wanita itu.

“Yup!” Jawabnya santai, tanpa mengalihkan pandangannya.

And why do you keep staring at me like that? Is there something in my face?” Tanya wanita itu memegang wajahnya dengan satu tangan, mengecek bila ada sesuatu, mungkin ice cream-nya berantakan atau sisa nasi menempel di pipinya.

Nothing. Aku cuma seneng mandangin kamu, I'm tattooing your face in my brain right now.” Jawabnya semakin santai, sambil mengambil gelas lemon tea yang ada di atas meja dan meneguknya perlahan. Pria itu tidak terlalu suka ice cream, dia hanya menemani sang wanita yang dari awal bertemu sudah mencuri perhatiannya itu.

Dengan Mingyu sadari, kini wajah sang wanita sudah bersemu merah muda. Malu. Mingyu selalu mengeluarkan kalimat yang membuatnya merona dan kadang telinganya hingga merah saking tersipu malu oleh kata-katanya.

Just shut up! Kamu tuh kebiasaan deh, kalo ngomong lemes bgt mulutnya.” Kata Wonu menutup mukanya dengan sebelah tangannya yang tidak memegang cone. Sudah hal biasa mendengarkan kalimat-kalimat random atau gombalan dari pria di depannya, tapi, Wonu seolah tidak pernah siap untuk tidak tersipu malu akan hal itu.

“Abisin itu ice cream-nya, nanti meleleh, Kitten. 15 menit lagi kita harus masuk theater lho.” Ah iya, Wonu baru teringat kalau dia akan menonton film dengan pria itu, merekapun sudah membeli tiketnya secara online semalam pada saat sedang bercengkrama di telephone.

Ini bukan pertama kalinya waktu yang mereka habiskan berdua sejak Mingyu mengantar Wonu sampai di lobby malam itu. Mereka mulai bertukar pesan, saling mengikuti social media satu sama lain, bertukar kabar, bahkan bertukar sambungan telephone hanya untuk meceritakan hal ini itu yang terjadi pada mereka.

Mereka bisa bertemu di hari kerja bila keduanya senggang, dan bila weekend biasanya Mingyu akan menjemput Wonu di depan apartemennya, mereka akan makan siang bersama, mengitari mall, melihat gallery foto, pergi ke museum, bahkan makan malam bersama atau seperti hari ini menonton bioskop.

Hold my hand. Kamu suka tiba-tiba masuk toko.” Ucap Mingyu insecure yang kemudian mengaitkan jarinya lembut ke sela-sela jari wanita yang kini sudah berjalan di sampingnya menuju bioskop. Wonu membalas kaitannya, mengunci jari jemari mereka, menutupi mukanya yang dia rasa kini sudah muncul semburat merah muda lagi dan lagi sambil celingak-celinguk salah tingkah.

Kini mereka sudah berada ke dalam studio theater, sudah ada beberapa orang yang duduk sesuai dengan tiket yang mereka beli. Wonu pun melakukan hal yang serupa diikuti oleh Mingyu yang sudah membawa air mineral untuk Wonu dan cola di tangannya untuk dirinya sendiri, sedangkan Wonu sudah menyimpan big mix popcorn di atas pahanya yang bebas.

Filmnya sudah mulai, satu demi satu adegan sudah dipertunjukkan, Wonu sibuk memakan popocorn ke mulutnya, bergantian dengan menyuapi pria di sampingnya, masih serius. Sedangkan pria di sampingnya sudah sekitar 15 menit tidak memperhatikan ke layar besar di hadapannya hanya menerima suapan popocorn dan malah memperhatikan wanita yang datang bersamanya dengan ekspresi-ekspresinya yang lucu menanggapi adegan di layar besar itu.

Hey, I'm not the main character, so, please stop staring at me.” Bisiknya saat menyadari Mingyu melihat ke arahnya.

Do you want to be the main character in my life?” Tanya Mingyu berbisik dekat ke telinga Wonu, yang ditanggapi Wonu dengan mata terbelalak karena serangan dadakan yang diberikan pria itu dan bulu kuduk meremang karena geli oleh nafas Mingyu sempat berada di sana.

Stop joking around and watch the movie, Mister.” Bisik Wonu menegur santai untuk sepersekian detik, sebelum dia melihat ke arah Mingyu, wajah pria itu sudah sangat dekat dengan wajahnya.

I'm serious tho.” Bisik Mingyu, mencuri kecupan di pipi kanan Wonu. Kaget yang Wonu rasakan, dan Mingyu yang dengan santainya kembali memperhatikan layar besar tersebut.

Wonu tidak tahu bila dada Mingyu kini sudah bergetar tidak karuan akan hal nekat yang baru saja dia lakukakan, begitupun dengan Mingyu yang membuat seorang Wonu terpaku, membisu, mencari fokusnya dan mulai mencoba untuk menonton lagi.


So, meet you on Tuesday night?” Tanya Mingyu, ketika mobil kesayangannya sudah sampai di depan pintu lobby apertemen milik Wonu. Dijawab anggukan oleh sang wanita.

“Aku berangkat Thursday, so, Tuesday puas-puasin ketemunya ya.” Ajak Mingyu.

Of course. I will.” Ujar Wonu percaya diri.

By the way, Won. Before you get on, can I kiss you?” Tanya Mingyu pelan. “Just a peck kiss on a lips, maybe.” Ragu Mingyu ketika melihat Wonu sedikit tersentak dengan keinginannya.

Wonu mulai kembali ke alam sadarnya, melepaskan seatbelt-nya memajukan tubuhnya lebih dekat dengan Mingyu dan mencium cepat bibir kenyal yang lebih tebal dari bibirnya itu.

Good Night, Mr. Fangs.” Kata Wonu membuka pintu mobil SUV itu, sedikit salah tingkah yang terlihat jelas.

Good night, Kitten.” Ujar Mingyu sambil tersenyum sebelum Wonu menutup pintunya dan membalas senyumnya.

Wonu memasuki apartmennya yang berukuran 30 meter persegi dan mendudukkan badannya di sofa, mengulum bibirnya sendiri, seakan masih terasa benda kenyal itu. Merutuki kebodohannya, mencium lelaki yang bukan pacarnya, “Charissa Wonu, you idiot! Pegangan tangan, suapin makan, bukan menjadikan dia cowok lu, Bitch!” Rutuknya sambil menggoncangkan badannya di sana, melempar bantal-bantal yang tadinya tertata cantik di sana.

Sedangkan di mobil CRV hitam yang sedang melaju, ada pria dengan detak jantung yang menderu, sesekali menyentuh bibirnya, seakan ciuman singkat tadi masih terasa di sana. Senyuman lebar terlukis ketika mengingat wajah wanita itu. “Oh my God. Can I make you mine?” Monolognya sembari menggenggam bajunya dengan detak jantungnya yang merusuh.

Tidak sampai disitu, malam itu mereka masih menghabiskan waktu via chat dan telephone hingga salah satu dari mereka ada yang tertidur, seakan waktu mereka saat bertemu tidaklah cukup. 8 jam dengan Wonu masih kurang untuk Mingyu, begitupun sebaliknya.


Selasa yang ditunggu Wonu dan Mingyu untuk saling bertemu, sebelum mereka terpisah jarak, benua dan perbedaan waktu selama satu minggu — belum pernah terjadi —. Wonu sudah mematikan leptop kantornya, menata rapih rambutnya dengan mengikat half ponitail with twist techniques, merapihkan sweater rajut biru muda yang oversize, ujungnya sudah dimasukkan ke dalam rok pendek bermotif kotak biru dongker, menutupi tubuhnya.

“Ciyeee.. date?” Ledek teman dekatnya di kantor.

“Ngga ih, Kwan. Ngga tau apa. Haha.” Jawabnya bingung. Apa ya? Date? Kayaknya ngga juga ya? Apa dong? Katanya dalam hati. Bingung. Sadar kembali, dia merapihkan leptopnya, memasukkannya ke dalam tas trapeze ukuran large berwarna navy itu serta barangnya yang lain. Berpamitan karena sudah mendapatkan pesan bahwa pria yang dia tunggu sudah masuk ke plataran perkantorannya.

Mereka sudah bertemu, Wonu kini sudah duduk manis di kursi penumpang, dan Mingyu mulai menjalankan mobilnya dengan laju sedang.

“Kamu kenapa cantik banget?” Tanya pria itu membuka suara saat mobil berhenti karena menemui lampu merah di depannya, menatap Wonu.

“Hah?” Tanya Wonu kali ini sedang memindai lagu-lagu di playlist musik dari ponsel Mingyu yang tergeletak tadi untuk memilih lagu yang ingin dia dengarkan dengan salah tingkah dan rona yang muncul dipipinya. Pipinya kembali memanas.

You have always been beautiful, but today is prettier. Why?” Tanya Mingyu kini sudah menjalankan kembali mobilnya itu. “Supaya aku ngga macem-macem di Spain ya?” Tanyanya sambil meledek Wonu. Mencairkan suasana tegang karena pertanyaan 'kenapa?' dari Mingyu, Wonupun tidak memiliki jawabannya, dia hanya ingin terlihat cantik di depan Mingyu.

“Ihs, kamu tuh totally resek!” Jawab Wonu sambil memukul pelan lengan pria di sampingnya.

Kini sudah terlantun lagu Sheila on 7 yang berjudul Buat Aku Tersenyum. Jakarta pukul 7 malam di hari Selasa, tidak terlalu buruk untuk mereka, bila ada traffic jam di depan, mereka akan bersenda gurau, menertawakan hal yang tidak penting, atau bercerita tentang kegiatan mereka hari ini.

Mobil Mingyu berhenti di ujung Kota Jakarta, tanpa Wonu sadari mereka sudah berada di Ancol. “Hah? Ancol?” Tanya Wonu bingung.

More precisely, Le Bridge. Kamukan ngga bisa makan seafood, so, here we are. Menunya western kok. Don't worry.” Jawabnya setelah membuka pintu untuk Wonu dan menggenggam tangan Wonu, masuk ke dalam. Sebelumnya, Mingyu berbicara dengan waiter di sana karena Mingyu sudah reservation meja untuk mereka berdua.

But, I don't know, if you have seasick or not?” Tanya Mingyu yang mendapatkan pukulan kecil ketika mereka masih berjalan ke arah tempat duduk yang sudah disediakan, di dekat laut. Mingyu hanya cengengesan sambil menangkap tangan yang lebih kecil darinya itu. Suasananya romantis banget sih di sini. Ini pertama kalinya Wonu ke sana dan terkesima oleh interior yang sebenarnya simple with romantic vibes.

“Mau makan apa?” Tanya Mingyu ketika Wonu sedang konsentrasi dengan menu di tangannya.

“Aku mau morotin kamu, so, I choose Wagyu ternderloin medium rare with strawberry smoothies.” Jawab Wonu sambil mengembangkan senyumnya. Benar saja Wonu memesan makanan termahal di restoran itu, dihadiahi senyuman oleh Mingyu. Karena itu memang inside jokes mereka.

“Haha. Whatever makes you happy, Kitten.” Jawab Mingyu, kemudian memanggil waiter untuk mencatat pesanan mereka. Setelah waiter beranjak. Mingyu mulai mengawali pembicaraannya, kali ini nadanya serius.

“Won?” Panggilnya dengan nada serius.

Yes?” Jawab Wonu tenang, suaranya yang selalu menenangkan hari-hari Mingyu.

I want to confess.” Kata Mingyu blak-blakan.

About?” Tanya Wonu, suaranya masih dengan nada yang sama. Angin semilir mulai menyapa rambut coklat gelap itu melayangkan beberapa helainya, menyapa lembut sang pemiliknya yang cantik.

Us? I realized that, I love you. I want you to be my girlfriend, spend our time together longer —” kata Mingyu to the point, wajah wanita di hadapannya kini memerah sambil menunduk, tangan Mingyu menyentuh pipi merah itu, mendongakkan wajah cantiknya untuk melihat ke arah lelaki yang sudah putus asa yang sangat ingin dicintai oleh Wonu itu. Mengelus pipi itu dengan ibu jarinya lembut. Just as Mingyu imagined, those white cheeks were extremely smooth.

I'm not a Kahlil Gibran, jadi aku ngga bisa merangkai kalimat romantis. And yeah—” kata Mingyu lagi, kalimatnya menggantung di sana. Wonu menurunkan tangan Mingyu dari pipinya, diganggam tangan lelaki itu, diusap dengan lembut menggunakan ibu jarinya, sama persis yang Mingyu lakukan pada pipinya tadi.

“Mingyu.. No need romantic words, your feeling is the important thing.” Jawab Wonu dengan tersenyum lebar. “Siapa yang nyuruh kamu jadi Kahlil Gibran, Mingyu is all what I want.” Lanjutnya lagi sambil tersenyum, mengecup tangan pria yang ada digenggamannya.

Then, would you be mine, Charissa Wonu?” Tanya Mingyu gamblang, sembari memegang kedua tangan hangat wanita itu.

Of course.. Yes, I do, Mingyu.” Jawab Wonu sambil tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi putihnya. Melihat ke arah pria yang memang sudah mencuri banyak tenaga, pikiran dan perhatiannya 2 bulan terakhir.

Makanan mereka sudah datang, Mingyu memesan steak yang sama dengan Wonu dan ice lemon tea kesukaannya. Mereka sesekali berbincang, kemudian menghabiskan makanannya. Malam semakin larut, kini sudah hampir jam 11 malam.

Mereka masih ada di Ancol, di pinggiran bibir pantai yang bisa digunakan untuk parkir, mmbiarkan laut yang menghitam di sana, bulan dan bintang sebagai penghiasnya. Sedangkan, dari dalam mobil CRV itu kini ada Wonu yang sudah berada dipangkuan Mingyu, sedang menikmati waktu mereka berdua berbincang dan berciuman. Hanya itu. Tidak lebih dari itu.

“Kamu ngga boleh bandel ya nanti. You're mine now, Mingyu” Tegur Wonu sambil memeluk pria yang kini sudah menjadi kekasihnya itu.

“Justru kamu yang ngga boleh bandel aku tinggal di sini.” Balas Mingyu, menggigit hidung wanitanya itu.

I love you, Kitten.” Kata Mingyu mengecup bibir wanita yang kini ada di atas pahanya.

I love you too, Mr. Fangs.” Jawab Wonu sambil mengecup lekat bibir Mingyu kembali dengan menyisir surai sang pria.