Sincerely..
Wonwoo berjalan perlahan dengan memegang bucket bunga tulip putih yang kata orang dapat diartikan bunga permohonan maaf. Dua tahun belakangan ini, dia selalu menyempatkan diri menginjakkan kaki di komplek pemakaman mewah daerah Karawaci ini, San Diego Hills Memorial Park untuk sekedar datang mengunjungi mantan kekasihnya sambil bercerita kegiatannya atau hanya menaruh bunga untuk mempercantik makamnya. Kini dia mengambil posisi duduk di samping nisan yang bertuliskan Kim Seungcheol dan mengelus nisannya lembut.
“Hai, Bang..” Sapanya kepada gundukan daun yang rata di sampingnya, mengelus gundukan itu pelan.
“Ini.. Aku bawain tulip putih lagi.” katanya sambil tersenyum.
“Bang, aku akan terus minta maaf sampe kamu mau maafin aku. Dan aku akan terus melakukan itu, kamu taukan?” katanya sambil mulai menitikkan air mata.
“Aku akan minta maaf seumur hidup aku.” Suara Wonwoo semakin lirih.
“Aku akan minta maaf untuk waktu kamu yang singkat, aku juga minta maaf karena ternyata setelah bangun tembok tinggi, aku tetep ga bisa ngilangin perasaan aku buat Mingyu. Dan aku minta maaf karena aku jahat sama kamu. Aku minta maaf karena aku ga pantes ada di antara kalian berdua. Aku minta maaf karena aku egois, aku minta maaf karena aku rakus.” tangisnya pecah, air mata mengalir dengan deras ke pipi pucatnya. Di jarak 5 meter, ada teman-temannya melihat dari jauh, takut terjadi suatu hal. Karena Wonwoo beberapa kali tertidur di makan Seungcheol setelah menangis dalam waktu yang cukup lama dan kelelahan, jadi sejak saat itu teman-temannya selalu berkunjung untuk menemaninya.
“Kemarin, aku ketemu Mingyu di lobby gedung kantorku. Setelah waktu itu aku cerita ke kamu kalau aku ketemu dia di Bali setelah 2 tahun, sekarang di lobby gedung kantor. Tanpa sengaja lagi, skenario semesta lucu ya? Aku sampe bingung ngikutin alurnya.” tawa kecil nya diselingi air mata yang masih menetes, sudah sedikit mereda.
“Bahkan dia mengambil ciuman pertamaku lagi setelah dua tahun, Bang. Selalu dia yang pertama.” cicit Wonwoo, senyumnya menghilang diganti tangis lagi dan lagi, tidak sederas tadi, tapi kali ini dia sesenggukan.
“Maaf, Bang. Aku mohon maafin aku dan usahaku yang ternyata ga sekuat niatku, sampe aku harus selalu kembali lagi ke Mingyu. Dari semua manusia.” katanya lagi, tangisnya kini meledak, lagi.
“Setelah kemarin ketemu aku harap hanya ada perasaan pedih dan tusukan-tusukan di hati aku kalau ngeliat atau ngebayangin dia seperti pas pertama kali ketemu di Bali, jadi aku punya alesan untuk ninggalin dia lagi. Tapi ternyata ngga, malah diganti sama deg-deg-an, kayak ada sengatan listrik dan kupu-kupu terbang di perut yang aku rasain lagi, ketika kita ngobrol, ketika kita hanya terdiam dan bahkan pas dia nyium aku lagi. Seperti kejadian 4 tahun lalu direwind dalam bentukan yang sedikit diretouch. Karena itu, maafin aku.” Tangisnya kenceng, belum mereda.
“Aku jahat ya?” tanya pria yang berbusana hitam-hitam itu sambil mengelap air mata dengan tissue yang sempat diberikan oleh Jihoon.
“Bang, bilang aku jahat lewat apapun supaya aku tau diri untuk mulai pergi menjauh dari Mingyu lagi. Ga usah peduliin perasaan aku kalau emang menurut kamu aku jahat.” sambungnya.
“Maafin aku, bang. Aku masih sayang Mingyu. Sayang banget sampe aku ga tau lagi harus ngapain kalau orang itu bukan Mingyu.” katanya nangis.
Tanpa Wonwoo sadari, ada seseorang di sana yang namanya selalu dia ucap hari ini, mendengarnya dan memperhatikannya dari tempat dia berdiri. Soonyoung dan Jun menutup mulutnya, kaget, hampir berteriak, tapi, mereka ingat kalau sekarang mereka ada di taman pemakaman.
Mingyu berjalan ke makan abangnya, melewati teman-teman dari orang yang dia sayangi, dan merengkuh tubuh Wonwoo dari belakang, ikut menangis dalam diam hanya meneteskan air matanya. Wonwoo membeku, terkejut tidak karuan, belum siap untuk menghadapi bila kejadian seperti ini terjadi dia itu. Dia merasakan bahunya basah, pria manis itu pun menyadari Kak Mingyunya pun sebenarnya sedang menangis. Dielus pelan surai pria yang lebih tua di belakangnya, tanpa ia sadari mereka sama-sama menangis dalam diam. Sudah 30 menit, posisi mereka tetap seperti itu.
“Apa ga pegel?” tanya Jun membuka mulutnya sambil berbisik ke teman-temannya sambil menunjuk dengan bibir dua insan yang sedang berpelukan itu.
“Pegel sih pasti.” jawab Soonyoung tak kalah berbisik.
“Gue lebih pegel denger kalian ngeluh mulu sih! Kita balik ke mobil aja deh, udah ada Mingyu!” kata Jihoon yang terdengar seperti perintah. Mereka bertiga pun melangkahkan kakinya, menuju tempat parkiran.
Butuh waktu 1 jam untuk mereka tenang dan meninggalkan makam Seungcheol, dua insan itupun jalan beriringan, mata Wonwoo masih bengkak dan merah memandang lurus ke depan.
“Nangisnya dari tadi?” tanya Mingyu, sambil sesekali mengelap air mata sisa yang masih menetes ke pipi Wonwoo, pria itu hanya menjawab dengan anggukan yakin.
“Hahaha. Jangan ditangisin lagi ya?” pinta Mingyu dengan nada pelan. Wonwoo langsung memalingkan wajahnya ke samping, dengan tatapan bertanya 'kenapa?' ke arah Mingyu, pria yang merasa ditatap tiba-tiba dengan terkejut itu langsung menjawab, “Soalnya, abang udah tenang di sana. Kamu jangan nangisin lagi, kasian abang kalau kepikiran kamu.” Wonwoo pun mengangguk pelan, berusaha memahami karena tidak mungkinkan dia tidak menangis mengingat Seungcheol meninggal karena ulahnya. Sampai saat ini pun dia masih merutuki dirinya sendiri.
“Kamu biar aku aja yang mikirin. Biar abang tenang di sana.” kata pria tinggi itu sambil melihat ke langit, menganggap seolah kakaknya itu melihat mereka dari atas sana.
Wonwoo pun melihat langit, dan berucap dalam hati, 'Apa iya, bang?'