Bimbingan Kedua


tw: kissing, french kiss, naughty thoughts.

Setelah menikmati makan siang yang disiapkan oleh Mingyu dan berbagi cerita ringan, suasana di ruang makan berubah menjadi lebih serius. Wonwoo dan Mingyu kini duduk berhadapan, meja makan sudah dipenuhi oleh buku-buku, modul, dan jurnal yang semua sudah disiapkan Mingyu untuk membantu mahasiswa bimbingannya tersebut agar dapat menyelesaikan skripsinya. Mingyu sudah menggunakan kacamatanya saat menatap layar laptop Wonwoo, memeriksa abstrak dan bab pendahuluan yang ditulis terburu-buru oleh pria muda itu pagi tadi. Sementara itu, Wonwoo memegang salah satu jurnal yang berada di hadapannya, membolak-balikkan halaman demi halaman, meski sesekali pandangannya teralih ke arah Mingyu, mengamati sang dosen yang masih fokus pada layar di depannya.

Sejenak, mata mereka bertemu dalam hening yang menyelimuti ruangan. Mingyu tersenyum kecil dan dengan nada menggoda bertanya, “Why, Wonwoo? Is there something strange about my face?

Wonwoo terkejut, wajahnya memerah. “Eh? No… nothing strange, Prof,” jawabnya dengan nada gugup, berusaha mengalihkan pandangannya kembali ke jurnal.

Mingyu tak bisa menahan senyum yang perlahan merekah di sudut bibirnya, memperlihatkan gigi taringnya yang mengintip. Senyum itu muncul saat ia menyaksikan reaksi manis Wonwoo yang sedikit canggung. Kontras yang terlihat antara yang ditunjukkan Wonwoo saat ini dengan pria cantik yang beberapa saat jam lalu bertukar kalimat-kalimat nakal melalui akun anonim.

Tak lama kemudian, Mingyu memecah kesunyian di antara mereka yang sejak tadi hanya diisi oleh suara ketikan lembut keyboard yang dimainkan oleh jemarinya dan gemerisik halus halaman kertas yang terus dibolak-balik oleh Wonwoo.

“Saya sudah memberi notes untuk beberapa bagian pendahuluan yang perlu kamu revisi. Coba cek lagi dan perbaiki,” kata Mingyu sambil mengulurkan laptop Wonwoo ke arah sang pemilik. Wonwoo menerima benda pipih itu, masih berusaha untuk tenang di antara kegugupannya.

“Sudah menemukan jurnal yang cocok untuk tinjauan pustaka kamu? Atau masih bingung, Wonwoo?” tanya Mingyu, memandang Wonwoo yang menunduk, matanya tertuju pada layar laptop-nya, namun pikirannya tampak melayang jauh entah kemana.

Mingyu memperhatikan Wonwoo yang diam, dan dengan nada menggoda ia berkata, “Or would you prefer to discuss this while sitting on my lap?” Suaranya lembut namun jelas, menggema di ruang makan yang hanya berisi mereka berdua.

Pria yang lebih tua itu menggeser kursinya sedikit ke belakang dan menepuk pahanya, senyum nakal menghiasi wajahnya. Wonwoo membeku, napasnya tercekat. Jantungnya berdegup keras mendengar tawaran yang tak terduga itu. Kalimat itu terasa akrab, karena Wonwoo tahu betul bahwa frasa tersebut sering mengisi fantasinya yang hanya ia sampaikan kepada seorang pria anonim yang sudah menjadi teman sexting-nya beberapa minggu belakangan ini di DM Twitter.

'How could Prof. Mingyu say something that only Daddy and I know?' tanya Wonwoo dalam hatinya penuh dengan tanda tanya.

Wonwoo menelan ludah, matanya terpaku pada Mingyu yang masih tersenyum jahil. “Gimana, Prof?” tanyanya, berusaha terdengar santai meski dalam hatinya masih terkejut mendengar apa yang dosen pembimbingnya itu katakan.

“Kenapa? I thought it was a pretty normal question, no? I’ve seen Soo Hyuk have his mentee sitting on his lap during a counseling session before,” jawab Mingyu dengan santai sambil senyum jahil, senyum yang membuat Wonwoo semakin bingung. “Kamu ngga mau juga kayak mereka?” tanya Mingyu lagi, senyumnya tetap sama, masih menggoda Wonwoo.

“Oooh,” kata Wonwoo cepat, seolah merasa lega bahwa Mingyu bukanlah pria yang sama dengan yang sedang ia fikirkan. “Thanks for the offer, Prof, tapi saya duduk di sini aja,” lanjutnya, mencoba mengalihkan perhatiannya kembali ke laptop dengan tak mengindahkan bercandaan dosennya itu.

Mingyu hanya tersenyum mendengar jawaban Wonwoo, tatapannya penuh rasa puas yang samar. Wonwoo kembali terdiam, memikirkan betapa mudahnya ia akan pindah tempat duduk jika saja yang meminta adalah ‘daddy’ —pria anonim dari DM twitternya—sebuah imajinasi yang sering mengisi fantasinya. Namun sekarang, di hadapannya adalah Mingyu, dosen pembimbing yang selalu membuatnya merasa canggung, Wonwoo hanya bisa duduk diam, berusaha menyembunyikan jantungnya yang tiba-tiba berdebar tak karuan saat bayangan ’daddy’ itu datang sekelebat.

“Haha I thought you wanted it too,” kata Mingyu menegaskan seolah ia bisa membaca fikiran mahasiswanya itu. “Forget it kalau kamu ngga mau, we can just discuss things the usual way,” lanjut professor muda itu lagi dengan santai.

Wonwoo sedikit bingung dengan kalimat Mingyu, namun, ia mencoba untuk kembali fokus pada google docs yang sudah terbuka di hadapannya. Ia berusaha keras untuk tetap berperilaku seperti biasa, meski wajahnya tidak bisa menyembunyikannya.

Mingyu, di sisi lain, tampaknya menikmati kecanggungan di antara mereka. Ia menopangkan tangan di bawah dagu dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari Wonwoo. Ada sesuatu dalam tatapan Mingyu yang sulit untuk Wonwoo artikan, membuat pria manis itu agak bingung harus bersikap seperti apa.

“Kalau begitu, kamu selesaikan dulu bab 1-nya, Wonwoo, sementara saya akan mengerjakan pekerjaan saya yang belum selesai,” kata Mingyu, berusaha mengembalikan situasi di ruangan tersebut sambil tetap memberikan senyumnya yang menggoda.

Wonwoo mengangguk. “Baik, Prof,” jawab pria cantik itu dengan suara pelan.

Tak lama, Mingyu bangkit dari kursinya dengan gerakan yang tenang, seolah ingin mencairkan suasana yang sedikit kaku di antara mereka. “I’m going to make a drink,” katanya ringan, memecahkan keheningan di ruangan itu sambil melangkah ke arah dapur. “Tea or coffee, Wonwoo?” tanyanya sambil berbalik sebentar, memandang Wonwoo masih dengan senyumnya.

“Kopi boleh, Prof,” jawab Wonwoo pelan, suaranya lembut, hampir seperti bisikan ditelinga Mingyu.

Pria yang lebih tua itu hanya mengangguk dan berbalik lagi, langkahnya ringan saat ia menuju dapur. Wonwoo menghela napas panjang, mencoba memusatkan kembali perhatiannya pada revisi bab pendahuluan di laptopnya. Namun, keheningan di ruang makan, yang hanya diisi oleh suara lembut dari dapur—bunyi panci dan cangkir—malah membuat pikirannya semakin tak beraturan.

Wonwoo sesekali mencuri pandang ke arah Mingyu yang terlihat begitu tenang, berdiri di dapur dengan gerakan cekatan saat membuat minuman untuk mereka. Ada sesuatu yang begitu memikat dari sosok dosen pembimbingnya itu—dari bentuk tubuhnya yanh bagus, wajahnya yang tampan, kulit sawo matang yang terawat, kemudian bagaimana caranya bicara, senyumnya yang menggoda namun penuh teka-teki, tatapannya yang seolah selalu bisa membaca pikiran Wonwoo, membuat jantung Wonwoo semakin deg-degan.

The more Wonwoo thought about Mingyu, the more daddy's image appeared, as if Mingyu were his daddy.

Sedangkan, Mingyu tampak menikmati setiap momen kecil bersama Wonwoo yang mereka habiskan bersama di unit apartemennya. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Wonwoo, dan ketika mata mereka bertemu, Mingyu hanya tersenyum manis, memamerkan gigi taringnya yang memikat, seperti ada sesuatu yang Wonwoo tak bisa benar-benar definisikan, tapi membuat wajahnya terasa panas.

Akhirnya, Mingyu kembali ke meja dengan dua cangkir kopi di tangannya. Dia meletakkan salah satu cangkir di depan Wonwoo, “Here you go,” katanya dengan suara lembut, tatapannya penuh perhatian saat beradu mata dengan Wonwoo. “I hope this eases you up a little. You seem so tense, Wonwoo,” lanjutnya, mengelus lembut bahu Wonwoo sebelum kembali ke kursinya.

Wonwoo mengangguk, tersenyum kecil meski rasa gugup masih terasa di hatinya. “Terima kasih, Prof,” jawabnya, lalu kembali mengetik perlahan, memastikan setiap kata tertulis dengan benar sesuai catatan yang diberikan Mingyu. Sesekali, ia melirik ke arah Mingyu yang juga sedang sibuk melanjutkan pekerjaannya di seberangnya, sambil sesekali menyesap kopi dengan ekspresi yang tampak tenang, namun manik elang tajamnya tetap memperhatikan Wonwoo.

Setelah beberapa saat, Wonwoo menyelesaikan revisinya. Mingyu segera bangkit dari kursinya dan berpindah untuk duduk di samping pria muda itu. Ia menarik kursi lebih dekat, tubuhnya yang kekar kini hampir menyatu dengan tubuh Wonwoo. Dengan satu tangan yang ia letakkan di belakang bagian tubuh pria muda itu dan tangan lainnya berada di atas meja, sibuk menekan keyboard laptop di hadapannya, tak ada ruang yang tersisa di antara mereka. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci, sangat dekat hingga Wonwoo bisa merasakan hangatnya napas Mingyu yang menyapu lembut pipinya.

Wonwoo menelan ludah, merasa jantungnya berdegup kencang, mencoba mengabaikan rasa hangat yang semakin menyergap kulitnya. Entah mengapa, ia hanya terpaku, tak mencoba menghindar dan hanyut dengan wangi musky dari parfum yang menempel pada kulit sang dosen pembimbing.

Manik elang Mingyu menyusuri setiap kata di bab pendahuluan yang baru saja direvisi oleh Wonwoo dengan konsentrasi. Sementara itu, pria cantik berkacamata itu menunggu dengan gugup, menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, merasakan jantungnya berdegup kencang di dekat sang dosen pembimbing.

Momen keheningan itu terasa begitu intens sampai Mingyu mengangguk pelan, senyum lembut merekah di wajahnya. “Good job, Wonwoo,” bisiknya, tangannya yang berada di belakang tubuh Wonwoo terangkat, mengelus lembut punggung sang pria manis. Sentuhan itu tampak begitu alami, refleks yang dilakukan tanpa berpikir, namun seketika membuat tubuh Wonwoo menegang. “Kamu sudah mengemas latar belakang penelitiannya dengan sangat baik,” lanjut Mingyu, lengannya sudah melingkari bahu Wonwoo yang lebar, masih mengelusnya, seolah menghargai setiap usaha yang pria muda itu lakukan.

Wonwoo felt his cheeks flush, his face warm, melting into Mingyu's embrace.

Napas Wonwoo tercekat saat mata mereka kembali bertemu, Mingyu menatapnya begitu dalam, menatapnya lurus dengan intensitas yang membuat jantungnya berdegup kencang, tak beraturan. Dia bisa merasakan hangatnya napas Mingyu yang begitu dekat, dan itu membuatnya tak mampu berfikir panjang, karena saat ini Wonwoo tak ingin menyudahinya.

Satu tangan Mingyu membawa wajah Wonwoo lebih mendekat ke arahnya, dengan jari-jarinya yang merapikan surai merah kecoklatan pria cantik berkacamata itu. Mata dan jemari Mingyu menelusuri manik rubah Wonwoo, lalu beralih ke bibirnya yang sedikit terbuka, seolah meminta izin kepada sang pemilik untuk dapat menciumnya. Wonwoo tak berkutik seolah tersihir. Kini mereka dapat saling merasakan napas masing-masing, dengan bibir yang hanya berjarak beberapa inci, dan tanpa sadar, Wonwoo sudah memejamkan matanya, merasakan setiap sentuhan jemari dosen pembimbingnya itu dengan jantungnya berdentam, seakan menunggu bibir hangat Mingyu menyentuh ranumnya.

Namun, tepat ketika jarak di antara mereka hampir hilang, Mingyu tiba-tiba menghentikan gerakannya. Profesor muda itu tampak menahan dirinya yang tak kalah terbuai oleh pria cantik di rengkuhannya. Mingyu menarik napasnya dalam, tersadar akan apa yang hampir dilakukannya, ia menegakkan kembali tubunya, sedikit mundur, dan mengelus lembut rahang Wonwoo.

Wonwoo felt a pang of disappointment; he should have been able to feel the warmth of Mingyu's mouth and their lips intertwined.

Mingyu berdeham pelan, mencoba mengabaikan keintiman yang baru saja terjadi di antara mereka. “Alright, let’s get back to focusing on your thesis,” katanya dengan nada tegas, meski sedikit bergetar. Ia meraih salah satu jurnal yang tergeletak di meja depannya, berusaha memecah suasana yang kembali agak canggung. “Bab dua, tinjauan pustaka,” lanjutnya, berusaha membawa kembali fokus ke diskusi yang semestinya.

Mingyu dapat melihat wajah Wonwoo yang sedang menahan rasa kecewa, namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan melanjutkan percakapan seperti biasanya. Begitupun dengan Wonwoo.

Yang Wonwoo tidak tahu adalah Mingyu sedang berusaha keras mengalihkan pikirannya kembali ke topik skripsi, walaupun sulit baginya untuk menyingkirkan bayangan bibir ranum Wonwoo yang tampak begitu menggodanya. Bibir yang sama dengan pria yang ia sering bayangkan di balik masker kucing milik seorang pria manis anonim bernama BJ Babycatpussy. Hati Mingyu berdebar cepat, pikirannya bergejolak.

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang semakin liar setiap kali pandangannya jatuh pada wajah Wonwoo yang terlihat sangat sexy sore itu. Mingyu dapat membayangkan wajah horny pria muda di hadapannya setiap kali mereka sexting, dengan desahannya yang ia kirim tadi pagi kembali menggema di gendang telinga Mingyu. Membuat ada sesuatu yang bangun secara perlahan dari tubuhnya.

Dan yang Mingyu tak sadari adalah Wonwoo juga mencoba kembali fokus saat ia menunjukkan beberapa jurnal yang akan digunakan untuk skripsinya. Namun, pikirannya Mingyu mulai melayang. Ia sudah membayangkan tangannya bergerak perlahan mengelus paha Wonwoo hingga ke pangkalnya, meraba lembut menggoda bagian selangkangan pria itu dari balik celana bahan yang ia gunakan, mengecup bibir pria cantik itu, lalu turun ke bagian jenjang lehernya sambil menanggalkan satu per satu pakaian yang dikenakannya, memperlihatkan tubuh yang selama ini hanya bisa ia lihat melalui layar komputernya saat menyaksikan live streaming dari BJ favoritnya — Babycatpussy. Ia membayangkan merasakan kehangatan kulit Wonwoo, aroma lembut tubuhnya, membiarkan dirinya larut di sana.

Bayangan itu terasa semakin nyata saat Mingyu membayangkan bibirnya mengecup bibir tipis Wonwoo dengan lembut, lalu semakin dalam, semakin penuh gairah. Membawa pria muda itu ke pangkuannya, mengeksplorasi dan memanjakan setiap bagian sensitive-nya, mendengar Wonwoo mendesah di telinganya saat dia menjelajahi setiap bagian tubuh indahnya, membuatnya menggeliat di atas paha Mingyu yang kekar.

Mingyu tersentak kembali ke realitas, menggelengkan kepalanya sedikit, mencoba mengusir bayangan-bayangan sensual yang memenuhi benaknya saat Wonwoo menyentuh lengannya lembut, memanggil namanya beberapa kali.

“Prof? Are you okay?” tanya Wonwoo tanpa mengetahui apa yang sedang Mingyu pikirkan tentang dirinya.

“Oh, sorry,” ucapnya sambil berdeham, mencoba menormalkan suaranya yang sedikit lebih dalam dan berat dari biasanya. “Jadi, jurnal mana yang menurut kamu paling relevan untuk dasar teori di Bab 2, Wonwoo?” tanyanya saat akal sehatnya perlahan kembali.

Wonwoo masih merasa sedikit canggung, mencoba menjawab pertanyaan dosen pembimbingnya dengan yakin. Namun, di dalam benaknya, bayangan bibir Mingyu yang hampir menyentuhnya tadi terus menghantuinya, membuat bulu halusnya bergidik. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapan Mingyu, sesuatu yang tak bisa ia artikan, tetapi yang diam-diam ia inginkan.

Pria manis yang lebih muda itu tak mampu menahan diri untuk tidak membayangkan bagaimana rasanya jika Mingyu benar-benar menciumnya, merasakan sentuhan tangan Mingyu lebih dari sekadar elusan singkat pada pundak, bahu, dan rahangnya tadi. Ia ingin tahu sebesar apa milik Mingyu, apakah sebesar milik ‘daddy’-nya? ia juga ingin melihat tubuh Mingyu yang kekar, apakah seindah tubuh sang ‘daddy’? Wonwoo membayangkan dengan nakal tubuh Mingyu yang menekan badannya, mencoba mengaudiokan suara Mingyu yang mendesahkan namanya saat pria yang lebih tua itu kehilangan kendali. Pikiran itu membuat darahnya mengalir lebih cepat, wajahnya memerah, napasnya tertahan, vagina-nya terasa mulai membasahi pantieliners yang ia gunakan.

Mingyu, sadar akan kecanggungan yang melingkupi ruangan itu, mencoba memusatkan kembali pembicaraan mereka. “Jadi, jurnal apa saja yang paling cocok, Wonwoo?” tanyanya sekali lagi, membuyarkan lamunan Wonwoo.

Wonwoo, dengan jantung yang masih berdebar kencang, berusaha mengontrol dirinya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Mingyu dengan lebih percaya diri. Mingyu mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan pria manis di sampingnya dengan saksama. Pandangannya tak lepas dari wajah Wonwoo, memperhatikan setiap gerakan dan ekspresi menggemaskan yang muncul. Sesekali, Mingyu memberi komentar atau pertanyaan tambahan, membimbing Wonwoo untuk menggali lebih dalam argumen-argumennya.

Meskipun suasana di ruangan itu perlahan kembali terasa normal, namun, pikiran Mingyu terus dihantui bayangan Wonwoo yang berada di pangkuannya dengan jemari gendutnya yang sedang memanjakan bagian intim pria cantik itu yang basah oleh jarinya, tubuh mereka yang saling menyatu dan napas yang semakin memburu. Sementara Wonwoo berusaha keras untuk tetap fokus pada diskusi, walaupun bayangannya terus melayang-layang nakal, membayangkan bagaimana rasanya jika sang dosen pembimbing benar-benar mulai menjelajahi setiap bagian tubuhnya yang mulus, seperti yang ia bayangkan saat bermain dengan sang ’daddy’. Sehingga, bayangan antara 'daddy'-nya dan dosen pembimbingnya itu tercampur menjadi satu, menciptakan bayangan yang semakin abstrak namun erotis.

Namun, keduanya tetap berusaha menjaga kendali. Meski pikiran masing-masing melayang ke arah yang tak seharusnya, diskusi mereka tetap berjalan lancar.

Oh, it’s already 6 PM,” kata Wonwoo, melirik jam di tangannya yang menunjukkan pukul 6 sore. “Kayaknya ini waktunya saya untuk pulang dan menyelesaikan Bab 2 di rumah, Prof,” tambahnya, menyadari bahwa waktu telah berlalu lebih cepat dari yang ia kira. Mingyu mengangguk pelan, meskipun hatinya enggan melepas kehadiran pria manis itu.

Setelah bersiap-siap, Wonwoo melangkah menuju pintu unit apartemen Mingyu, diikuti oleh Mingyu yang mengantarkannya hingga ke depan pintu utama. Wonwoo, yang sudah mengenakan sandal yang ia gunakan tadi, berbalik ke arah Mingyu. “Terima kasih banyak, Prof. This is really helping me out,” ucapnya dengan nada lembut.

Mingyu yang kini sudah berada di hadapan sang mahasiswa bimbingannya itu hanya tersenyum, “Sama-sama, Wonwoo. Don’t hesitate to reach me out if you need to discuss anything,” kata Mingyu yang dibalas anggukan penuh rasa terima kasih oleh Wonwoo.

Tatapan mereka masih bertemu, dan hati Wonwoo bergetar, ia seolah tidak ingin sesi bimbingan mereka berakhir hanya seperti ini. Ada sesuatu dalam tatapan Mingyu yang menariknya lebih dekat. Tanpa sepenuhnya menyadari tindakannya, Wonwoo meletakkan tas laptop dan bukunya sembarang. Lalu dengan impulsif dan tanpa aba-aba, pria cantik itu membuka kacamatanya membuangnya entah kemana, dan menarik kerah t-shirt Mingyu agar mendekat ke arahnya, mengikis jarak di antara mereka, serta menyatukan bibirnya dengan ranum dosen pembimbingnya itu.

Mingyu awalnya terkejut, matanya membelalak, namun tak perlu waktu yang lama, ia mulai membalas ciuman tersebut, kegiatan yang sebenarnya sangat ingin ia lakukan dengan pria yang lebih muda di hadapannya itu sedari tadi. Cumbuan mereka semakin dalam saat satu tangan Mingyu dengan lembut memegang rahang Wonwoo, sementara tangan lainnya memeluk pinggang ramping sang mahasiswa. Wonwoo membalas dengan melingkarkan kedua tangannya di leher Mingyu, saat dosen itu perlahan mendorongnya lembut ke belakang pintu utama apartemen tersebut. Kedua sejoli itu memaksimalkan kedekatan mereka dalam lumatan-lumatan penuh gairah, hingga lidah mereka saling beratut, dan bertukar saliva, desahan lembut keluar dari bibir tipis pria cantik yang kini berada direngkuhan Mingyu.

“Mhhh…” desahan manja Wonwoo terdengar saat ia menepuk lembut bahu pria yang lebih tua 15 tahun darinya itu, lalu melepaskan ciuman mereka dengan lembut. Napas mereka masih terengah, dan wajah mereka berdua sudah merah merona.

Setelah kembali ke kesadaran di tengah tarikan napasnya yang berat, Wonwoo mendorong tubuh Mingyu untuk mundur perlahan, ia langsung meraih barang-barangnya dengan tangan yang bergetar, dan melangkah cepat keluar dari unit apartemen Mingyu. Perasaannya campur aduk antara malu, cemas, dan bingung. Entah apa yang ia pikirkan saat menginisiasi ciuman itu.

Mingyu masih berdiri di tempatnya, mencoba mengumpulkan pikirannya yang mengawang. “Wonwoo, tung…” kalimatnya menggantung di udara saat Wonwoo seolah tidak mendengar suaranya dan dengan cepat melangkah keluar, meninggalkan apartemen Mingyu, lalu masuk ke unit apartemennya.

Mingyu hanya bisa berdiri diam, tatapannya kosong menatap pintu yang tertutup. Kepalanya dipenuhi oleh pertanyaan dan kebingungan, mencoba mencerna apa yang barusan saja terjadi antara mereka.