mnwninlove

Agenda Kelonan


Seperti yang sudah-sudah selama 2 tahun belakangan ini, Mingyu selalu menjadi one call away Wonwoo. Setelah kejadian 2 tahun lalu 'perenggutan keperawanan pada bibir Wonwoo' if you can say that, Mingyu dan Wonwoo akhirnya menjalin hubungan asmara secara diam-diam. Teman Wonwoo yang tahu hanya Jun, itu juga karena dia tanpa sengaja melihat Wonwoo pelukan di depan mobil dengan Mingyu. Disidang? Sudah pasti. Tapi, Jun hanya diam saja.

Setelah hari keramat itu juga, tidak jarang mereka menghabiskan waktu bersama hingga berganti hari, agenda kelonan saat Seungcheol sedang dinas. Begitupun hari ini, semalam Mingyu menginap di apartnya, sehingga tadi pagi mereka berangkat kerja bersama, Mingyu menghentikan mobilnya di lobby kantor Wonwoo dan pria yang duduk di kursi penumpang memberinya kecupan kupu-kupu dibibir Mingyu lalu keluar dari mobil.

Jam makan siang datang, dan mereka kembali mengagendakan kelonan karena lusa Seungcheol pasti akan mengambil hak kepemilikan atas Wonwoo sampai dia dijadwalkan untuk terbang lagi.

—————————‐———————

Malam itu seperti hari sebelumnya, Mingyu menjemput Wonwoo di lobby untuk pulang, setelah Wonwoo memasang seatbeltnya merekapun berangkat ke apart Wonwoo.

“Hari ini ngga usah masak ya?” tanya Wonwoo sambil menggenggam tangan kiri Mingyu yang bebas tidak memegang kemudi.

“Kenapa?” tanya Mingyu balik.

“Pengen kelonan aja sama kamu. Ga usah jauh-jauh dari aku.” kata Wonwoo sambil menurunkan bibirnya.

“Hahaha. Iya, nanti peluk sampe mejret yaaa..” kata Mingyu jail.

Sesampainya mereka diapart dan masih di pintu, hal pertama yang mereka lakukan adalah melumat bibir satu sama lain sampai berjalan mundur dan melandaskan pantat Mingyu di sofa, kemudian Wonwoo langsung duduk dipangkuannya. Lumatan yang semakin lama semakin menuntut, semakin penuh nafsu.

Wonwoo melepas kancing kemeja Mingyu satu persatu, begitupun Mingyu melepaskan kancing baju Wonwoo hingga terlihat bahu bidang, putih seputih susu milik Wonwoo dan dada bidang serta otot-otot yang pas di tubuh pria bekulit sedikit lebih gelap milik Mingyu.

Mingyu memberikan kecupan-kecupan di leher jenjang milik Wonwoo dan juga disepanjang bahu milik pria itu. Memberikan tanda kemerahan yang hampir ungu di collarbone milik pria dipangkuannya ini, seperti mengklaim tanda kepunyaan. Wonwoo mulai mendesah pelan dan menjambak halus pria di hadapannya. Lidah Mingyu turun ke dada pria manis itu, menjilati dan mengemut bak bayi raksasa yang kehausan di tonjolan dada kanan Wonwoo dan memilin, sesekali mencubit tonjolan di bagian kirinya, desahan Wonwoo semakin tak tertahankan. Gundukan di bawahnya mulai mengeras pun milik Mingyu. Mingyu masih melakukan kegiatannya, memberikan banyak tanda kemerahan di dada Wonwoo. Wonwoo pun menyerahkan tubuh halusnya ke dalam buaian dan belaian jari jemari Mingyu untuk menelusuri setiap inci dari tubuhnya yang kini sudah tidak tertutupi sehelai benangpun.

Mingyu menggendong Wonwoo ala bridal ke dalam kamar, menaruh pria yang malam ini miliknya dan mengukungnya di bawah, Wonwoo melingkarkan tangannya di leher Mingyu dan menyatukan belah bibir mereka, semakin bernafsu dan berantakan. Kejantanan mereka saling bergesekan, membuat Mingyu mengerang dan Wonwoo mendesah ketika tautan bibir mereka melonggar sedikit. Mingyu membuka balutan kain yang tersisa. Wonwoo sudah mengeluarkan precumnya, Mingyu mengurut pelan kejantanan milik kekasihnya, mengambil tetesan precum tersebut.

“Hhh.. Ka.... Minghhh..” Wonwoo mulai mendesah kencang ketika dia merasakan ada jari ketiga masuk ke dalam lubangnya keluar masuk di sana dan menyentuh sweet spotnya beberapa kali. Mingyu melayangkan senyumnya hingga gigi taringnya hampir terlihat ketika melihat tubuh ramping milik pria dibawahnya kini bergetar menahan nikmat karenanya.

“Ngghhh Kak... I come... nghhhhh...” desah Wonwoo semakin tak tertahankan. “Keluarin aja, Sayang.” pinta Mingyu yang masih melakukan kegiatannya di bawah sana, semakin cepat. Cairan putih keluar menyembur ke perut Mingyu.

Wonwoo mendorong tubuh Mingyu untuk bersander di dashboard kasur miliknya yang berukuran king, dan ikut merangkak naik. Digenggamnya kepunyaan milik Mingyu yang berukuran lebih besar itu, tanpa ragu dia mengulumnya, menjilatinya, memanjakan milik Mingyu di dalam mulutnya yang hangat.

“Ahhhhh, shit Wonwoo... mulut kamuhhh...” erang Mingyu yang mencoba menahan untuk tidak mendorong kepala Wonwoo.

“Nuuhh.. Fuck Nuuuhhh.. nghhhhh..” kalimat itu yang keluar dari mulut Mingyu saat akhirnya Wonwoo melakukan deep throat yang dia sengaja untuk menggoda kekasihnya itu. Cairan Mingyu keluar menyembur ke Wonwoo, pria yang sedikit terkejut masih dalam posisi yang sama, lalu menjilati cairan kental putih milik kekasihnya, namun kegiatan itu dihentikan oleh Mingyu yang menarik badannya dan mengelap wajahnya dengan tissue yang berada di nakas samping kasur, “Kenapa ditelen, hm?”, Wonwoo hanya tersenyum malu dan masih terduduk di atas badan Mingyu.

Setelah itu Mingyu mengecup bibir Wonwoo singkat, merapihkan poni dan keningnya yang sudah berkeringat, “Kamu cantik banget, Yang.” ucapnya sambil tersenyum.

Olahraga malam itu memang belum selesai, sampai ada ronde kedua saat Wonwoo menaiki pinggang bawah Mingyu dan menggerakkan pinggulnya di atas kepunyaan Mingyu sambil mendorong lubang pantatnya melahap habis kejantanan pria yang lebih tua itu. Setelah dirasa sudah pas, pria berkulit putih itu mulai menaik turunkan pinggulnya, melemparkan kepalanya kebelakang sambil mendesah memanggil nama pria di bawahnya ini dan meliukkan badan rampingnya tanda kalau dia sangat menikmatinya.

Untuk Mingyu, Wonwoo yang di hadapannya sekarang ini adalah ciptaan Tuhan yang paling sexy, paling indah, paling menawan, paling menggairahkan dan tak ingin dia bagi untuk yang siapapun. Kegiatan yang kini mereka lakukan selalu menjadi kegiatan favorite Mingyu saat bersama Wonwoo. Wonwoo mendesah, Mingyu mengeras.

“Igyoohhhh.... ngghhh... Aku keluar lagihhh yahh..” Desah Wonwoo sambil mengocok kepunyaannya secara acak, Mingyu mengambil alih untuk mengocok kejantanan Wonwoo pelan dan membantu menaik turunkan pinggul Wonwoo dengan tangannya yang bebas melingkar di pinggang pria itu.

“Keluarinh ajahh... Shit your hole clenchinghh..” kata Mingyu yang menjawab sambil menekan badan Wonwoo yang masih di atasnya, lalu mendorong Wonwoo ke samping, badan Wonwoo masih bergetar tanda ingin keluar, “Ka.. iyahh, di situ..” Mingyu kembali menghujam sweet spot yang membuat pria yang sedang digempur itu keenakan, seperti merasa terbang karena saking nikmatnya.

“Ka.. ahhh.. aku ga kuat!” erangnya mendesah, sedikit mencengkeram bahu Mingyu.

“Iyahh, Dek. Keluarinhh ajahh.. I'm close, Babe.. Bentar”

“Oemji, Kaaakhhh.”

“Hold on, Sayang fuck.. ahhhh” Mingyu mengerang dan akhirnya berhasil melepaskan isi kejantanannya, Wonwoo juga mendapatkan pelepasan keduanya, badannya masih merasa melayang, dengan cairan lengket yang membasahi perutnya. Lubangnya terasa penuh hangat oleh kepunyaan Mingyu.

Mingyu kemudian mengatur nafasnya pelan, melumat lembut bibir ranum pria di bawahnya dan berkata, “I Love You, Dek..” yang kemudian di balas oleh Wonwoo, “I Love you more, Ka..” sambil tersenyum sambil mengatur nafasnya.

Setelah after care, membersihkan sisa-sisa cairan cinta milik mereka, mereka pun terlelap karena kelelahan.


YOU


tw: cheating

“We are all in the gutter, but some of us are looking at the stars and I can see stars through your eyes”


Setelah menulis pesan singkat SOS di imessage group sahabat kentalnya, di sinilah dia – Wonwoo – di depan pintu mematung sebelum membuka pintu untuk tamu yang dia tau siapa tanpa berbicara lewat intercomm yang tersedia berada di dekatnya.

Cklek!

Sepersekian detik, bahkan mungkin kurang, pria yang dari tadi berdiri di depan daun pintu itu langsung melingkarkan tangannya dan menarik pria yang lebih kecil darinya itu ke dalam pelukannya. Erat, lama dan hangat.

“Ka..” suara cicitan Wonwoo menyapa telinga pria itu.

“Ya, Dek.” suaranya teredam karena dia bicara tepat dicuruk leher Wonwoo. Possessive, tidak ingin melepaskannya.

“Kaya gini sebentar ya.” pinta pria itu lagi, Pria bermata rubah itu tidak menolaknya dan perlahan mulai menyambut pelukan hangat Mingyu dengan memberikan afeksi berupa usapan-usapan kecil naik turun kemudian ke kanan dan kiri di punggung pria itu.

Mingyu melepaskan pelukannya, perlahan mundur namun masih memegang kedua bahu pria di depannya sambil melihat dan mencermati dalam-dalam bagian demi bagian wajah Wonwoo, dari surai dikeningnya, hidungnya, mata rubah cantiknya, perlahan tangan kanannya menyentuh pipi kiri pria yang sering dia panggil 'dek' ini, mengelusnya dengan ibu jari. Mingyu perlahan memajukan badannya, mengikis jarak antara mereka berdua merasakan deru nafas satu sama lain yang semakin mendekat dan menyatukan belah bibir mereka, melumatnya perlahan tak ada perlawanan.

Pada saat yang bersamaan Wonwoo kaget, membelalakkan matanya sebentar, namun mulai membalas ciuman Mingyu, memejamkan matanya, melingkarkan kedua tangannya ditengkuk leher Mingyu dan mulai menikmatinya. Jantungnya berdebar hebat, seperti ada sekumpulan kupu-kupu yang bersarang diperutnya. Wonwoo tidak tahu, kalau Mingyu merasakah hal yang sama.

Wonwoo melepaskan tautannya lebih dulu, berusaha mencari oksigen yang direnggut Mingyu pada saat berciuman tadi. Mingyu mengelap bibir Wonwoo dengan ibu jarinya, belum ada kata yang keluar dari bibir masing-masing, hanya saling menatap sendu melepas rindu. Wonwoo masih melingkarkan tangannya ditengkuk leher Mingyu sesekali mengelus surai disana, sedangkan Mingyu melingkarkan kedua tangannya dipinggang Wonwoo, sambil sesekali mengelus pinggang ramping itu dengan ibu jari.

“Ka..” pria yang biasanya menggunakan kacamata bundar itu mencoba untuk mengusir keheningan.

“Hm?” Jawab pria yang dipanggil 'Ka' itu tanpa mengalihkan pandangannya. Pria di depannya menundukkan wajahnya, semburat rona merah dipipi putih Wonwoo mulai terlihat, membayangkan ciuman yang baru pertama kali ia rasakan di 21 tahun hidupnya, itu ciuman pertamanya.

“Dek..” Wonwoo pun mendongakkan kepalanya sedikit terkejut dan karena panggilan itu membuyarkan bayangan ciuman pertamanya. Mingyu memajukan kepalanya lagi, melumat lagi bibir Wonwoo, kali ini pria ramping dengan surai hitam itu sudah mempersiapkan dirinya.

Belum melepas tautannya, Mingyu menggendong pria yang lebih muda satu tahun darinya itu dengan koala style, melangkah ke dalam apartement yang sudah dia hafal tata letaknya dan mendudukan mereka di sofa, Wonwoo dipangkuannya masih melingkarkan kakinya dipinggang Mingyu.

Kini Mingyu yang memisahkan jarak antara belah bibir masing-masing. Mingyu kehabisan nafasnya kali ini. Wonwoo langsung menenggelamkan kepalanya diceruk leher Mingyu dalam diam. Dihirupnya aroma parfum Chritian Dior Eau Sauvage di sana, wangi aroma citrus yang sudah becampur dengan wangi tubuh Mingyu memasuki saluran pernafasan Wonwoo dengan sopan. Wonwoo sangat menyukai wangi ini, wangi ini candu baginya.

“Hei.. Mau sampe kapan ini jadi koala?” kata Mingyu iseng, membuyarkan keheningan diantara keduanya. Wonwoo refleks menjauhkan kepalanya dari ceruk leher Mingyu sambil cemberut, kegiatannya menghirup wangi Mingyu terganggu. Mingyu terkekeh dan langsung mencubit hidung bangir milik pria dipangkuannya itu.

“Aku yang kangen, kamu yang clingy. Nular ya kangennya?” tanyanya lagi. Wonwoo masih terdiam, dalam hati menjawab 'Dari kapan guemah udah kangen duluan'.

Wonwoo mulai beranjak dari pangkuan Mingyu, “Kaka mau minum apa?” tanyanya, dia sekarang itu sedang bingung. Di luar sana ada pacarnya yang sedang mengemudikan pesawat, di depannya ada pria yang entah sejak kapan, seperti magnet berlawanan baginya dan Wonwoo selalu tertarik mendekat. Selalu.

Tiba-tiba ponsel genggamnya berdering, di situ jelas tertulis nama “Bang Seungcheol” dia berniat untuk mengambil benda pipih itu dan ingin mengangkatnya, namun tangan Mingyu lebih cepat dan merebut ponsel itu, menyimpannya di nakas sebelah sofa yang diduduki pria yang sekarang sedang menatapnya sambil menggelengkan kepalanya lembut. Wonwoo terdiam, seperti terhipnotis.

“Kalau ada gue, gue maunya lo fokus sama gue. Bang Seungcheolnya nanti aja.” pintanya, pelan namun menuntut.

“Tapikan-” omongannya terputus, Mingyu mendekatkan dirinya ke Wonwoo, menatap manik pria bermata indah di depannya dan berkata “Gue sayang sama lo, Nu. Gue kangen 2 minggu lo dipepet abang terus! Gue juga mau. Gue capek ngebatin terus.” keluhnya. Entah ada setan apa di sana, Wonwoo mengelus pipi pria yang lebih tinggi darinya itu sambil tersenyum, dan berucap pelan, “I really miss you. Tapi, gimana? Guekan pacarnya Bang Seungcheol, Ka.”

“Sama gue aja ya, Nu, kalau ga ada Bang Seungcheol?” tanyanya. Wonwoo terkejut. Kali ini dia beneran kaget, detak jantungnya berpacu tidak karuan, dia belum pernah se-deg-deg-an ini, pun bila dekat dengan pacarnya. Darah dalam tubuhnya berdesir, itu yang dia rasakan kini. Mingyu memeluk Wonwoo erat-erat, dan berkata, “Gue ga apa kok kalau harus jadi yang kedua.”

Deg!


BUAT ANNIVERSARY ~ —‐———————————————

Entah kenapa gue ngerasa banget Ka Mingyu lagi coba jaga jarak sama gue setelah dia tau gue jadian sama Bang Cheol. Itukan abangnya, dan gue Wonunya! Pengen banget misuh-misuh, dari susah banget diajak ketemuan karena katanya sibuk, gue minta ditemenin skripsi pas weekend pun katanya dia capek pengen tidur di rumah. Huft! Padahal, dulu ga pernah deh kayaknya, apa pernah tapi gue ngga berasa? Yagitu deh.

Jadi, akhirnya hari ini gue memberanikan diri ngajak dia keluar setelah beribu-ribu kali ditolak, dengan alesan gue mau beli kado anniv buat Bang Cheol. Ngga, itu ga sebenernya salah atau alesan doang kok, 2 hari lagi emang Bang Cheol mau balik dari penerbangannya setelah dia muter-muter Benua Asia dan bisa libur 2 minggu dan pas banget hari jadian kita. Wow!! Jadi, gue mau beliin pacar gue yang umurnya lebih tua 6 tahun itu barang yang berkesan buat dia, walaupun jujur gue agak keki nih, he can buy everything that he want. Pilot!

Setelah hari ini gue beneran dicuekin Mingyu, gue diem aja deh, Ka Mingyu emang aneh! Tadinya, rencana gue tuh setelah ngajak dia cari kado, gue mau minta ajarin dia buat sidang sempro gue minggu depan, setelah hari ini skripsi gue masih dicoret acak sama dospem gue buat persiapan minggu depan supaya ngga 'babak belur'. Tapi, ya namanya juga takdir berkata lain dan ga semua keinginan gue tercapai, hari ini gue ngerjain persiapan sidang sempro gue SENDIRIAN dan dicuekin sama kaka tingkat gue itu.

Beneran sibuk kali?!


Hari ini, gue serius banget belajar bikin ayam suwir bumbu rendang resep mamanya Ka Mingyu, which is mamanya Bang Cheol juga. Frankly honest, ini tuh makanan kesukaan Mingyu tapi gue bikin buat Bang Seungcheol besok pas dia udah pulang. Eh bentar, ada yang aneh ga? Ngga lah, biasa! Hahaha.

Tiba-tiba siang itu, ada chat masuk “Terus kemaren tuh mau apa?” ketik pria di ujung sana dan dilanjutkan dengan “Hari ini mau?” sambil senyum-senyum mempoutkan bibir gue, gue bales “Sibuk?” gue berdoa dalem hati semoga jawabannya ngga. And yes, dia bilang ga sibuk. Asik, gue bisa maksa dia buat nyicipin ayam suwir rendang buatan gue walaupun dia harus keracunan.

Setelah beres-beres masak, gue simpen hasil karya gue yang ternyata enak itu ke tupperware supaya nanti bisa diangetin pake microwave terus dimakan pake nasi anget. Duh! Cepet kek malem. Setelah beresin apart, gue siap-siap mandi, udah jam 5 nih, gue yakin banget Kim Mingyu pasti berangkat dari kantornya abis sholat Maghrib, masih ada waktu. Abis maghrib-an gue bertaut tuh sama kaca, pilih-pilih baju buat dipake pergi malem ini, this is not a date! Dahh! Akhirnya pilihan gue jatoh ke sweather mocha yang kegedean dan gue nyaris tenggelem, dipadu padankan pake skinny jeans hitam gue, sepatu nike, dan ga boleh lupa kacemata, nanti gue buta!

Jam 7 teng! Ka Mingyu atau biasa gue panggil Ka Igyoo itu ngabarin kalau dia udah di pos penjagaan apart gedung M, building tempat gue tinggal. Gue langsung bergegas ke bawah, Ka Igyoo suka bete kalau harus nunggu lama. Ya siapa jugakan mau nunggu lama?


Di Mall bilangan Jakarta Pusat itu, dia tetep stay close with me, bener-bener tenang bgt nurutin gue masuk satu toko ke toko lain. Kok gemes banget Bundaaakkk! Stay focus, Wonu.. Stay focus!

“Bang Cheol lagi pengen apa sih, ka?” tanyaku pelan dengan cup es krim strawberry baskin robbins di tangan, capek ih muter-muter sumpah. Dan jawaban dia cuma menggindikan bahunya dan nyolong es krim dari sendok gue yang tadinya mau gue hap! Ihs.

Kita masih di Mall ini, ya Tuhan udah dari south ke east, balik ke south lagi, terus dia tiba-tiba bilang, “Lo beliin baju uniqlo aja ga si?” Wah, idenya boleh juga, kenapa ga dari tadi??

“Kenapa baru bilang?” tanya gue sambil buang sampah sisa es krim tadi.

“Baru kepikiran aja.” jawabnya santai dan berjalan meninggalkan gue ke arah es kalator turun, berjalan duluan. Bulu kuduk gue langsung merinding, sejak kapan Mingyu setegap itu ya? Sejak kapan kemeja kerja dia lengannya agak kesempitan dan pamerin otot-ototnya? Dan sejak kapan gue deg-degan liat dia dari belakang? WON! SADAR WON! Calon adek ipar itu!! Kemudian, gue hanya menggeleng-gelengkan kepala gue rusuh. Pusing bun, kekencengan gelengnya. And yeah, here we go, sekarang kita ada di depan toko uniqlo.

“Uniqlo selamat datang. Selamat datang di uniqlo, selamat berbelanja” sapa pegawai-pegawai di sana ramah dan gue bayar pake senyum aja. Gue? Masih ngikutin Mingyu, yang jadi puppy siapa akhirnya? Iya, gue!

“Beli ini aja, Bang Cheol suka warna item.” sarannya, dan cowo tinggi itu hanya langsung membantu gue untuk mencari ukuran Bang Cheol dan kita langsung ke cashier, cuss! Soalnya udah jam 9 malem. Seriously, beliin kado orang sampe muter-muter sejam, untung sama Mingyu, jadi ga bosen, bisa gue jailin. Haha.

Pas di jalan balik, keadaan hening banget asli, dianya diem aja.

Namun tiba-tiba, “Jadi, 2 minggu kedepan Wonu cuma punya Bang Cheol ya?” 'Hah?'

“Ga bisa gue ajak ndusel-ndusel dulu.” lanjutnya, gue dalem hati masih 'Hah?'. Untuk ini emang gue suka manja sih ke Igyoo, apalagi kalau pusing, pengennya ndusel, please ndusel in harfiah! Gue masih perjaka.

“Ga bisa manjain lo dulu, lo udah ada yang manjain soalnya.” gue? Ya masih ber 'Hah?' lah. Ini Mingyu apaan sih? Jadi ga jelas. Gue udah hampir cosplay jadi kang jualan keong hah heh hah heh terus dalem hati.

“Ya bisa aja ga sih? Ndusel bertiga? Lo bisa ikut dia main pas gue lagi sama dia?” Jawab gue, iya, semena-mena banget. Di mana rumusnya ndusel bisa bertiga? Gue sama Mingyu di dada Bang Cheol gitu? Wow, aneh abis.

Ga nyadar, udah sampe building apart gue, “Parkir dong, masa kaya abang grab.” Kata gue dengan suara manja dan bibir sengaja gue turun-turunin ke bawah, apa kalian ga jijik ngebayanginnya?


Asli deh, ga susah ngerayu Ka Igyoo gue buat turun dan makan masakan gue. Di depan kita sekarang udah ada sayur labu, gimbal jagung dan ayam suwir rendang yang tadi siang gue bikin, semua tinggal gue angetin sih, ga butuh waktu lama. Dia bantuin gue rapihin meja while gue ngangetin makanan buat kita makan malem.

Makan malem hening, sesekali dia bilang, “Selain ayam suwir rendang ibuk, ayam suwir rendang kamu sih favorite!” terus ga lama setelah selesai ngunyah, “Gimbal jagung kamu juga the best!” kata dia kemudian menyuapkan makanan ke mulutnya lagi. Gue diem aja, malu anjir. Maaf nih, gue lemah bgt sama pujian, abis dipuji gitu ya pasti pipi gue merah ga si? Gue nunduk aja sambil nyuapin makanan gue.

“Sayang banget sih, punya abang gue.” Katanya tiba-tiba. Well, gue kagetlah, jantung gue kaya digedor ada yang maksa keluar. Deg-degan namanya setelah gue googling. Setelah itu dia hening lagi. Gue ga jawab sama sekali, ya mau jawab apa? Bingung.

Dia nyuci piring bekas makan gue dan dia tadi dalam diam. Gue beresin meja makan, sambil rapihin sisa makanan di dalam kulkas dengan kepercayaan besok bisa gue angetin dan dimakan lagi. Diem dia kali ini super lama, dia minum air putih yang udah direfill berkali-kali, duduk di sofa sebentar, terus berdiri, ambil hpnya, terus... nyium pucuk kepala gue dan pamit pulang. Gue ya diem di sofa, tempat terakhir dia ninggalin gue kebingungan. Maksudne nyium pucuk ku wopo????

Kan gue jadi lupa mau minta tolong dia buat ajarin sempro gue! HAAAAAHHH!!! SH*IT!

Berbaikan dengan Keadaan


Jarum jam pendek sudah diangka 9 dan jarum panjangnya sudah diangka 6 dijam kecil yang terdapat di atas meja kerja Wonwoo. Bukan tidak menggunakan jam ditangan, namun, dia lebih senang mendengar dentingan jarum detik demi detiknya. Dia masih di sana, di kursi kerja miliknya yang sudah beberapa jam dia duduki dengan posesif.

Membalikan badan untuk melihat jalanan kota daerah Kebayoran yang masih sedikit padat dan lampu-lampu gedung yang cerah memancarkan cahayanya. Dia masih di situ, mengerjakan pekerjaannya yang seharusnya masih bisa dilanjut besok, tanpa seorangpun di kantor selain dia dan pria keturunan Prancis yang selalu dia dan Jun panggil Pak Botak, CFO di kantornya yang lebih sering terlihat di kantor dibandingkan pulang lebih dulu.

Sudah 5menit dia menatap nanar ke luar jendela kantornya yang super besar, lalu dia tersenyum, berdiri dan mengemasi barangnya.

“Go home, Won?” sapa Pak Botak saat dia melewati meja Wonwoo.

“Yes, sir. It's already late.” Jawabnya, datar. Seperti biasa.

“Okay then, take care.” ya, logat Prancisnya yang dikeluarkan untuk berbahasa Inggris memang membuat spell Inggrisnya terasa samar.

“Thanks, Sir. You too.” Jawab Wonwoo sambil mengibaskan rambutnya dan berjalan menghilang menuju ke arah lift dan meninggalkan CFOnya sendirian di lantai itu.

Menekan angka 1 adalah wajib hukumnya sampe ke lobby, dan dilanjutkan dengan lift di sisi lain untuk menuju area parkiran, tapi tidak dengan Wonwoo malam ini, dia tidak membawa mobil, tadi pagi dia dijemput oleh Jun karena harus meeting di daerah Kuningan.

Wonwoo terdiam sejenak sembari tangannya scroll-scroll jempolnya, dia berfikir sambil mengecek pekerjaannya sesekali. Tak lama, seseorang menyapanya “Nu?” otomatis yang namanya disebutkan itu kaget, karena sudah tidak ada siapa-siapa lagi di lobby selain dia dan satpam.

“Hah?” ya Tuhan, hampir aja dia melompat.

“Hahaha..” tawa renyah pria di seberangnya yang berjarak tidak lebih dari 1 meter.

“Sorry. Kaget ya?” tanyanya masih tersenyum sesekali mengulum bibir bawahnya, manahan tawa.

“Ngga sih, cuma heran aja masih ada yang manggil, udah malem.” Kemudian dia membuka lagi mulutnya “Lo... kerja di sini, Ka?” tanya Wonwoo sedikit kaget karena baru sadar pria di depannya menggunakan kartu akses khusus karyawan di gedung ini dan baru saja pulang tidak seperti habis bertemu klien, tidak berantakan tapi tidak rapih juga keadaannya malam ini.

“Dari tahun lalu kali, almost 7 months I guess.” jawabnya santai. “Kita ga pernah ketemu aja ya kalau jam makan siang? Hehe” kata pria itu sambil memegang tengkuknya, salting.

“Iya sih, aku eh gue jarang turun pas makan siang.” jawab Wonwoo. 'Tuhan, hilangkan kecanggungan ini, please' teriak pria yang hari ini mengenakan kemeja biru laut dengan tangan kemeja yang digulung sampai siku dan celana jeans yang robek sana sini di area lutut dari dalam hatinya. Mingyu sedikit memperhatikan gaya adik kelasnya ini. Manisnya, kharismanya, cantiknya, semua dibalut jadi satu, ya menjadi manusia di depannya ini.

“Mau balik?” tanya Mingyu mencoba mengurangi kecanggungan lagi dan lagi yang selalu terjadi diantara mereka. Yang ditanya hanya menganggukan kepala. “Mau pulang bareng gue, dek?” Tanya Mingyu lagi. Wonwoo sedikit kaget dan memalingkan mukanya dari arah lantai, dan langsung menatap Mingyu. “Kalau mau aja, there is no compulsion at all. Bebas. Mau hayuk ikut ke parkiran, ngga yasudah.” sambungnya lagi dengan cepat berharap Wonwoo tidak memikirkan hal yang tidak-tidak terhadapnya, seperti, dia akan menculik dirinya.

“Ke arah apart gue dari sini lumayan lho!” tantang Wonwoo. Emang sih agak muter dan Mingyu tau itu, sangat tau.

“Ga apa, ikhlas kok gue.” Jawabnya sambil nyengir dan memamerkan gigi taringnya yang selama ini Wonwoo rindukan.

“Okay kalau gitu. Parkir di mana?” tanya Wonwoo bergerak, yang diikuti oleh pria bermarga Kim itu.


Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Sesampainya di apart Wonwoo, Mingyu langsung pulang? Tentu saja tidak, Wonwoo mengajaknya mampir untuk minum kopi, agar di jalan pulang nanti Mingyu tidak ngantuk lantaran dia harus menyetir sendiri, kalau saat ini mereka masih ada di 6 tahun yang lalu, mungkin pria bermarga Jeon ini sudah memaksa kakak kelasnya untuk tidur di apartementnya hingga esok pagi. Tapi sayangnya, ini 2020 bukan 2014 di mana ada rasa canggung antara keduanya berada di ruangan tertutup milik Wonwoo, seperti sekarang.

“Banyak yang berubah ternyata.” Kata pria yang duduk di sofa abu-abu milik Wonwoo sambil membuka jas navy yang ia gunakan sedari pagi. Kalimat yang mungkin mampu memecahkan hening antara keduanya. Wonwoo mendengarnya dari arah meja makan, karena kini dia sekarang sedang membuat kopi untuk pria itu.

“Apartmentnya yang berubah, yang nempatin masih sama, Ka.” kata Wonwoo sambil melangkahkan kakinya ke arah sofa tempat Mingyu terduduk sambil membawakan gelas kopi panas untuk Mingyu dan teh hangat untuknya kemudian duduk di sebelah Mingyu, tidak terlalu jauh namun tidak bisa dikatan mereka duduk berdekatan.

“Masih minum susu sebelum tidur?” tanya Mingyu sambil menyesap kopi panas ditangannya.

“Ga setiap hari, kalau ga bisa tidur aja.” jawab Wonwoo sambil melihat TVnya yang sedari tadi tidak mereka nyalakan. Kini mereka mulai tampak lebih santai, dibandingkan dengan pertama bertemu di pantai waktu tahun baru lalu atau saat tadi bertemu di lobby.

Tak lama pembicaraan pun mengalir, mereka mulai mengakrabkan diri kembali, sudah lama dan mereka saling merindukan satu sama lain. Cerita demi cerita keluar dari mereka satu persatu, pertanyaan dan jawaban mengumbar di udara. Jam kini sudah menunjukkan pukul 2 malam. Mingyu menyadari hal tersebut dan pamit untuk pulang. Wonwoo mengantar Mingyu sampai ke depan pintu apartnya. Namun belum selesai Mingyu menggunakan sepatu kerjanya, kemejanya ditarik oleh Wonwoo, perlahan karena ada sedikit keraguan dihati kecil Wonwoo.

Mingyu sedikit kaget, mendongakkan badannya untuk berdiri tegak di hadapan lelaki yang lebih pendek 5 cm darinya, tersenyum kemudian mengecupi ubun-ubun pria yang lebih ramping darinya itu tanpa ia sadari. Reflex.

“Ada apa hm?” tanya Mingyu, karena setelah dia mengecup ubun kepala Wonwoo, Wonwoo masih menarik kemeja Mingyu sedikit dan menatap pria yang lebih tinggi darinya tanpa berkata apapun.

Dilihatnya pria manis itu, dari mata, hidung, dielusnya pipi si dia dengan buku jari Mingyu, diciumnya kening pria itu penuh kasih sayang. Lalu, diapitnya dagu Wonwoo dengan telunjuk dan ibu jari lelaki jangkung itu kemudian menariknya sedikit untuk mendongak, lalu pria yang bekulit tan itu mengecupnya perlahan, tanpa nafsu hanya rindu. Perlahan mulai memagut, mengulum bibir satu sama lain, ditariknya tengkuk sang pria yang lebih muda untuk lebih memperdalam ciumannya, memiringkan kepala satu sama lain agar tidak saling menabrakan hidung mancung keduanya. Lama dan cukup intens, hingga mereka melepaskan ciuman tersebut karena kehabisan udara. Tersisa benang saliva di antara bibir keduanya. Kemudian, Mingyu membersihkan bibir basah Wonwoo dan berpamitan pulang sambil mengelus surai lelaki itu. Mereka tidak tahu, pintar menutupi atau memang tidak merasa bahwa ada kupu-kupu yang berterbangan diperut mereka masing-masing, hati merekapun bergemuruh. Masih, sampai saat pintu apartement Wonwoo menutup rapat ataupun Mingyu yang sedang mengendarai mobilnya menelurusi Jakarta 3 jam sebelum mentari terbit.


Ted Mosby di How I Met Your Mother pernah bilang, “When it's after 2am, just go sleep. Nothing good happens after 2am.”

Seharusnya, Wonwoo nurut sama kalimat itu.

Akhirnya, kita bertemu di suatu malam.


Wonwoo menyelipkan ponsel ke dalam saku jas, sekadar memeriksa notifikasi yang masuk. Langit di atas laut mulai menghitam, memayungi permukaan air yang perlahan kehilangan warna. Debur ombak terdengar lebih nyaring malam ini, menyatu dengan udara dingin yang justru membawa ketenangan.

Pria yang mengenakan turtleneck putih dan jas pinstripe gelap yang sedari tadi pagi ia gunakan dan kini tergeletak di pangkuannya itu duduk dengan tenang. Jemarinya menyentuh pasir, menggenggam dan meremas butirannya perlahan, seperti mencoba mengurai kenangan yang belakangan ini mulai kembali merangkak dari sudut-sudut hati yang selama ini ia jaga sendiri.

Angin malam mengacak surainya. Ia membiarkannya. Membiarkan wajahnya disentuh oleh dingin, berharap angin bisa menyapu bersih dan membawa pergi kegelisahan yang sejak beberapa hari terakhir terus menggantung di pundaknya, seolah gelisah itu enggan luruh.

“Hm...” gumamnya pelan, sembari sesekali mendorong kacamata yang melorot di hidung mancungnya. Malam semakin larut dan langit sepenuhnya gelap. Sekitar pantai sunyi, hanya ombak yang diterangi rembulan dan kerlip samar bintang, menemani pria itu.

Sorry... permisi,” suara baritone lembut seorang pria menyusup di antara debur ombak dan angin. Wonwoo tersentak. Tubuhnya refleks menegak.

Suara itu...

Ia mendongak perlahan. Jantungnya berdetak kencang. Wajahnya refleks menoleh, lalu kembali ke laut. Ia tersenyum getir.

‘Halu. Pasti gue cuma halu karena lagi kepikiran dia,’ pikirnya.

Tapi lalu, suara itu kembali, kali ini lebih jelas, dan memanggil namanya. “Wonwoo?”

Wonwoo membeku sejenak. Jantungnya berdegup semakin cepat saat mendengar suara yang selalu ia rindukan itu memanggil namanya. Tubuhnya refleks bangkit berdiri, membiarkan jasnya jatuh ke pasir. Dan di sana, di bawah cahaya pucat bulan berdiri seorang pria tinggi tampan dengan sorot mata yang tak pernah hilang dari ingatannya. Kim Mingyu.

“Kak Mingyu?” suara Wonwoo tercekat ketika menyadari apa yang ada di hadapannya bukanlah sebuah halusinasi.

Mingyu menatap Wonwoo, matanya berkaca-kaca seolah sudah sangat merindukan pria itu. “Wonwoo?” ulangnya, nyaris seperti helaan napas yang tertahan selama bertahun-tahun. Dan tanpa aba-aba, langkahnya maju, dan dalam sekejap, Wonwoo sudah berada dalam pelukannya.

Hangat, erat dan nyata.

“Nu... Dek...” bisik Mingyu, mengulang nama panggilan itu seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa pria yang selama ini ia cari dan yang sempat ia lihat beberapa hari lalu benar-benar berada di hadapannya dan ia sedang tidak bermimpi.

Wonwoo terdiam. Lidahnya kelu. Tubuhnya kaku. Tapi pelukan itu... terasa terlalu akrab untuk ia tolak. Mingyu mengeratkan pelukannya pelan, seolah takut jika ia melepaskannya sedikit saja, pria di hadapannya akan menghilang lagi seperti dulu.

I thought I’d lost you forever,” gumam Mingyu, suaranya nyaris putus di ujung tenggorokan.

Wonwoo menggigit bibirnya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai memberontak. Rindu yang selama ini ia bungkam akhirnya tumpah tanpa bisa dicegah. Ia menelusupkan wajahnya lebih dalam ke dalam pelukan itu, seperti ingin menghapus jarak lima tahun yang memisahkan mereka.

Mingyu menarik diri perlahan agar bisa kembali menatap wajah pria yang begitu ia rindukan. Tatapan mereka bertemu saat air mata jatuh perlahan di pipi Wonwoo. Dengan gerakan lembut, Mingyu menyentuh wajah pria cantik di hadapannya dan menghapus air mata itu dengan punggung jarinya. Jemarinya bertahan di sana, mengelus lembut pipi pria itu. Wonwoo memejamkan mata, membiarkan sentuhan itu. Membiarkan dirinya menikmati kehangatan yang telah lama ia rindukan. Satu tangannya dengan ragu-ragu mencubit sisi bawah black t-shirt yang dikenakan Mingyu—erat, seperti mencoba memastikan bahwa pria itu benar-benar ada di sana. Bahwa semua ini nyata.

Mingyu membuka mulutnya, setelah menarik napas panjang. “Aku nyari kamu ke mana-mana, Nu, bertahun-tahun dan kamu hilang kaya ditelan bumi,” suaranya bergetar. “Aku pikir aku nggak akan pernah bisa lihat kamu lagi,” lanjutnya sambil kembali memeluk tubuh pria ramping di hadapannya lagi.

Wonwoo membuka matanya pelan, mengangkat wajahnya, mencoba untuk memberanikan diri untuk menatap pria tampan yang berada di hadapannya, namun, masih tak ada kata yang terucap. Hanya ada suara ombak dan angin yang menjadi latar dari jarak mereka yang kian menyempit.

Kedua pria itu sudah duduk di atas pasir putih kecokelatan, di mana jas pinstripe gelap Wonwoo masih tergeletak. Tanpa ragu, Mingyu memungutnya dan membersihkan sisa pasirnya sedikit, lalu menaruhnya di atas pangkuan Wonwoo begitu mereka duduk berdampingan.

Mereka tak bersuara. Hanya duduk—saling diam—dalam jarak yang nyaris bersentuhan, namun tidak canggung.

Mingyu melirik ke arah pria yang masih duduk sambil mendundukkan kepala di sampingnya, lalu tersenyum kecil. “Masih suka nyari tempat sepi kalau lagi overthinking?” tanya pria yang lebih tua itu.

Wonwoo menoleh, matanya masih sedikit merah. Ia mengangguk pelan.

Keduanya kembali terdiam.

Mingyu menatap laut sejenak, sebelum akhirnya bersuara lagi. “Kamu ke mana selama ini?” tanyanya perlahan, hati-hati, seolah takut membuat pria di sampingnya kembali menjauh, lalu menghilang lagi.

“Kenapa?” tanya Mingyu lagi, nada suaranya tetap lembut, namun jelas terasa getir. “Do you really hate me that much?” lanjut pria tampan itu bertanya, suaranya baritone-nya pelan.

Wonwoo menoleh padanya, menatap wajah pria yang dulu pernah ia panggil rumah—satu-satunya tempat yang selalu membuatnya merasa nyaman. Tapi sekarang, yang ia lihat hanyalah pria dengan masa lalu yang penuh luka. Mata itu... masih sama, tapi di dalamnya ada sesak yang Wonwoo kenal terlalu baik. Ia buru-buru menunduk lagi, seolah pandangan itu terlalu berat untuk ia hadapi.

Pertanyaan barusan, saat Mingyu bertanya do you really hate me that much? menyisakan dentuman hebat di dalam dadanya. Sesak. Pedih. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

'Did I hate you, or do I just hate myself?' batinnya lirih. Bahkan dirinya sendiri tak pernah benar-benar yakin. Karena meski ia pergi, hatinya tak pernah benar-benar meninggalkan Mingyu.

Mingyu kembali menarik napas panjang, suaranya terdengar lagi, lebih lirih, lebih pelan, lebih dalam. “The truth is, I hate myself, too,” ucapnya, getir. “Setelah abang dan kamu pergi, I just... don’t feel like I have a purpose anymore.

Bagai ombak besar yang menerjang tanpa henti, kalimat itu mengguncang hati Wonwoo yang rapuh. Pria manis itu hanya mampu terdiam, tidak tahu apa yang harus dia katakan, ia tak bisa berkata apa-apa. Karena ia tahu betul bagaimana rasanya kehilangan arah. Karena ia pun merasakannya setiap hari selama lima tahun terakhir.

Selama ini ia mengira dirinya satu-satunya yang hancur. Bahwa hanya dia yang menanggung rasa bersalah itu. Tapi ternyata... Mingyu juga hancur. Sama remuknya. Sama hilangnya.

“Maaf,” bisiknya. Satu kata pertama yang keluar dari bibir Wonwoo, pelan, nyaris tak terdengar, penuh penyesalan.

“Aku yang bikin semuanya jadi berantakan. Abang pergi karena aku. Kalau aja aku nggak...” kalimat Wonwoo terhenti saat sekali lagi Mingyu menarik Wonwoo ke dalam pelukannya. Erat. Seolah ingin membungkus semua luka yang pernah mereka bagi.

“Ini semua salah aku, dek... bukan kamu.” jawab Mingyu, Wonwoo menggeleng pelan di dalam pelukan itu.

“Nu,” kata Mingyu dengan suaranya yang lembut sambil mengeratkan pelukannya. Lembut namun pasti. “Kalau ada yang harus disalahin, itu aku. Aku kehilangan abang karena ego aku sendiri,” lanjut pria yang lebih tua itu.

“Tapi rasa kehilangan itu nggak pernah bikin aku sedetikpun berhenti sayang sama kamu,” kata Mingyu sambil mengelus sayang surai gelap Wonwoo.

Wonwoo hanya mampu menggeleng pelan dalam pelukan pria yang lebih tua itu. Air matanya kembali terjatuh, satu per satu, membasahi pipinya lalu meresap ke t-shirt hitam yang dikenakan Mingyu.

“Semua ini salah aku, kak,” Wonwoo terdiam sejenak, menarik napas gemetar sebelum melanjutkan. “Karena yang egois dan nggak bisa milih untuk ngelepasin kamu... atau Abang.”

“Dan aku pikir ninggalin kamu akan lebih baik daripada harus terus di samping kamu dengan ribuan penyesalan, Kak,” kata Wonwoo di antara isakannya.

“Dek...” panggil Mingyu, suaranya pelan namun dalam, saat ia melepaskan pelukan mereka perlahan. Bukan untuk menjauh, hanya memberi ruang untuk melihat wajah pria manis itu lebih jelas. “Ngga cuma kamu, Dek, aku juga hancur dengan kepergian abang. Tapi aku semakin hancur dengan kehilangan kamu,” lanjutnya.

Wonwoo tak sanggup menatap pria tampan di hadapannya. Ia hanya menunduk, tangan gemetar melepas kacamata dari wajahnya. Ia mengusap air mata yang sejak tadi tak kunjung berhenti.

Ia hanya ada di sana. Menunggu.

“Kamu nggak salah, Nu,” ucap Mingyu akhirnya, kembali memecah keheningan antara mereka. “Aku yang harusnya jagain kamu. Bukan malah... ngambil kamu dari abang.”

“Itu nggak akan terjadi kalau aku—”

Mingyu memotong kalimat Wonwoo dengan lembut sambil menatap wajah cantik pria di sampingnya, mengambil kedua tangannya dan mendekapnya. “Kalau dari awal aku jujur soal perasaanku ke kamu dan ke abang, semua nggak akan serumit ini.”

“Tapi, Kak...”

“Aku yang bikin kamu bingung, Wonwoo.”

“Ngga, kak. Aku yang ngga bisa milih antara kamu atau abang,” elak Wonwoo.

Mingyu menggeleng pelan, ibu jarinya mengusap punggung tangan Wonwoo yang masih ada dalam genggamannya.

“Nu, kamu nggak perlu milih waktu itu. Perasaan tuh ngga sesederhana itu.”

Wonwoo menggigit bibirnya, menunduk. Tapi tak ada lagi isak. Hanya embusan napas yang perlahan kembali tenang. Mingyu mengangkat dagu pria itu, menatapnya dalam-dalam.

“Sekarang, kamu nggak usah lari lagi,” kata Mingyu pelan, matanya lembut. “Kita bisa mulai lagi. Nggak harus buru-buru. Nggak harus langsung sembuh.”

Wonwoo menatapnya. Dalam. Lama. Seolah ingin memastikan bahwa kalimat itu benar-benar datang dari Mingyu yang ia kenal, pria yang masih menyimpan perasaan yang sama.

“Udah ya, udah cukup kamu nyalahin diri sendiri, Nu,” kata Mingyu. “Jadi cukup ya, dek, jangan tinggalin aku lagi. Setidaknya aku bisa tanggung jawab ke abang untuk jagain orang yang paling dia sayang selama ini,” lanjut pria tampan itu dengan nada suaranya yang lembut.

Wonwoo terdiam. Matanya mulai memerah lagi, tapi kali ini tanpa air mata. Ia menatap pria di sampingnya dengan tatapan yang sedikit demi sedikit mulai melembut.

Wonwoo tak menjawab. Tapi pelan, ia mengangguk. Tak ada lagi isak, hanya satu tarikan napas dalam yang ia hembuskan perlahan. Beban di dadanya seolah berkurang. Tak sepenuhnya hilang, tapi untuk pertama kalinya—ia merasa tidak sendirian.

Wonwoo menoleh sebentar, menatap wajah pria itu dalam diam. Ia tak bisa bicara, tapi sorot matanya cukup menjawab.

Mingyu mengeratkan genggamannya sedikit. “Tetap di jangkauan aku, kaya gini.”

Wonwoo masih tidak menjawab, ia bingung harus menjawab seperti apa. Ia hanya menghela napas panjang, pelan, seolah hendak melepaskan beban yang selama ini ia pendam seorang diri.

Angin laut kembali berembus, membawa aroma garam dan dingin malam, tapi di antara mereka, hangatnya terasa cukup.

Wonwoo menyandarkan kepala ke bahu Mingyu. Matanya terpejam perlahan. Dalam diamnya, ia merasa tenang. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, tak ada suara gaduh di kepalanya. Tak ada bayang-bayang yang menuntut penebusan. Hanya ada suara ombak, denyut jantung Mingyu yang perlahan menenangkan, dan kelegaan yang menjalar dari genggaman tangan mereka yang tak saling melepaskan.

Dan di bawah langit yang gelap, diterangi cahaya pucat rembulan, dua pria dewasa itu duduk bersebelahan, saling bersandar, saling menggenggam.

Jeon Wonwoo ya?


Pria yang selalu memporak porandakan isi hati gue sejak lima tahun yang lalu. Gue sama Wonwoo awalnya cuma temen main, literally sekedar main. Dia sendiri adalah sahabatnya Unyoung yang kebetulan temen sekossan gue dan suka nongkrong bareng. Si dia kadang ikutan nongol atau cuma lewat dan ngendon di kamar Unyoung.

Udah kenal lumayan deket, akhirnya gue bisa nganterin si dia pulang ke apartnya sekali duakali tigakali, sampe keterusan. Dan bahkan pulang kerja jaman fresh grad gue suka banget gangguin dia lagi skripsian dengan nongolin batabg hidung gue di apartnya.

“Ka, lo bantuin gue ngolah data gue kek, daripada lo bengong depan tv!” katanya ngomel, karena gue emang lagi santuy banget nonton We Bare Bear di channel Cartoon Networknya.

“Sumpah ya, lo mirip bgt sama Grizzly.” serunya sambil ketawa dan memamerkan hidung bangirnya yang mengkerut sambil benerin kacematanya, 'lucu' gumam gue dalam hati.

“Hilih, mau dibantuin padahal. Bodo ah, kerjain sendiri.” Iseng gue, gue emang udah bertekad banget bantuin dia biar cepet lulus.

“By the way, Ka. Gue mau nanya deh.” nadanya mendadak berubah serius, gue jujur merinding.

“Shot!” jawab gue ringan, padahal perasaan gue ga enak.

“Lo kan adeknya Bang Cheol. Bang Cheol tuh gimana sih?” tanyanya saat itu.

Deg! Gue kaget.

Wonwoo emang kenal sama abang gue, Kim Seungcheol. Gara-gara dia pernah berkunjung beberapa kali weekend ke rumah gue sekedar minjem buku untuk bahan skripsian dia atau mabar buat lepasin rasa jengahnya sama si dosen pembimbingnya yang suka corat-coret sana-sinikertas bimbingan skripsinya. Suatu hari kunjungan Wonwoo ke rumah gue. Pas banget Abang gue lagi pulang juga, ya gue kenalinlah. Masa ngga? Harusnya sih ga usah aja ya?

“Dek, bagi nomernya Wonwoo dong!” pinta Seungcheol ke gue dengan nongolin kepalanya dari pintu kamar gue setelah sekali tadi dia ketemu sama Wonwoo.

“Buat?” tanya gue, agak ketus sih, tapi ya mau jealous juga gue siapa? Cuma sneakers, ga ada hak.

“Pe – de – ka – te. Jomblo jugakan kek lo? Eh kek gue juga ding!” katanya santai sambil jalan masuk ke kamar gue dengan berbalutkan kemeja putih seragam pilotnya yang emang bikin dia jadi makin gagah. Yes, abang gue pilot maskapai penerbangan swasta, doyannya lari-larian di airport kek Cinta pas ngejer Rangga.

“Lo apa ga mau mandi bebersih apa kek gitu sebelum masuk kamar gue? Asli jorok sih!” omel gue sambil nendang dia pake kaki gue yang lumayan panjangnya setiang listrik, sebelum dia duduk di pinggir ranjang gue.

“Gue abis ganti seprei, Bang! Please enyah!” usir gue, yang ini gue ngusir beneran bukan karena dia belum ganti baju sih, tapi supaya dia lupa kalau tadi minta nomer Wonwoo.

“Yadeh yadeh, gue bebersih dulu. Tapi tetep share nomer Wonwoo ke gue.” pintanya dengan suaranya. dan itu mutlak.

Ga selang beberapa setelah tau nomer Wonwoo, abang gue pun melancarkan aksi PDKTnya, dan ga butuh lebih dari 2bulan dari kejadian Wonwoo nanyain tentang abang gue itu, Wonwoo resmi melepas status jomblonya, dan jadi pacarnya Bang Seungcheol. Gue? Keduluan coy! Confession gue, gue telen dalem-dalem. Gue harap, ga pernah keluar dari mulut gue.

I wish.

Aku, Wonwoo dan Cerita yang Tertinggal


Sudah delapan tahun berlalu sejak pertama kali gue sadar kalau seorang pria bernama Jeon Wonwoo punya kuasa yang aneh atas perasaan gue. Entah sihir apa yang pria manis itu punya, tapi setiap gerak-geriknya seolah mengisi relung hati gue yang kosong, menciptakan ruang yang cuma bisa diisi olehnya. Dan saat itulah gue ngerti kalau dia satu-satunya orang yang bisa bikin gue jatuh cinta, bahkan terlalu dalam, sampai rasanya nggak ada jalan untuk bisa kembali lagi.

Awalnya, gue dan Wonwoo cuma dua mahasiswa yang kebetulan sering ketemu karena lingkaran pertemanan kita yang sama. Dia teman dekat Soonyoung—teman sekosan gue. Wonwoo sering mampir ke kos, kadang cuma buat numpang duduk di kamar Soonyoung, kadang ikut nongkrong di ruang tamu dan nimbrung ngobrol. Dulu semuanya kelihatan biasa aja. Nggak ada yang nyangka kalau pertemuan-pertemuan kecil itu akan jadi awal dari cerita yang akhirnya nggak bisa gue hindari.

Lambat laun, semuanya ngalir begitu saja. Nggak tahu bagaimana awalnya, tapi gue mulai sering nganterin dia pulang ke tempat tinggalnya. Sekali, dua kali, lalu jadi kebiasaan yang gue tunggu-tunggu setiap kali dia mampir ke kosan. Ada rasa tenang saat gue tahu dia sampai dengan aman. Dan bahkan di hari-hari paling sibuk gue sebagai fresh graduate yang lagi belajar adaptasi sama dunia kerja, gue masih nyempetin diri buat nongol tiba-tiba di apartemennya, cuma buat gangguin dia yang lagi skripsian.

Tapi Wonwoo, dia selalu buka pintu buat gue. Tanpa pernah nanya kenapa, tanpa nuntut penjelasan. Seolah kehadiran gue di hidupnya bukan sesuatu yang aneh. Dia selalu nyambut gue dengan senyum kecilnya yang nggak pernah gagal bikin gue merasa kalau gue sedang pulang.

Gue masih inget banget malam itu salah satu malam Minggu yang tenang, kayak malam-malam biasanya kalau gue lagi sama dia. Gue udah duduk santai di sofa apartemennya, nonton series random di Netflix sambil nyemil biskuit sisa yang sengaja dia taruh di meja buat gue abisin. Lampu temaram dari sudut ruangan bikin suasananya nyaman. Nggak ada suara lain selain percakapan dari layar televisi dan deru pelan AC yang nyaris nggak kedengeran.

Lalu seketika suara dia nyela keheningan. Lembut. Nggak mengganggu, malah bikin gue merasa kalau sedang ia butuhkan.

“Kak, kamu tuh bantuin aku ngolah data kek, daripada nonton ngga jelas,” pintanya, nadanya setengah kesal, tapi bukan ke gue, melainkan ke skripsinya yang memang lagi nyusahin banget, dan tampaknya pria manis itu sampai dititik frustasinya.

Gue hanya tertawa kecil. Ngelirik ke arah dia yang lagi benerin posisi kacamatanya, ujung hidungnya sedikit berkerut karena kesal. Gerak-geriknya kecil tapi selalu berhasil menarik perhatian gue. Gue ubah posisi duduk gue, dan merapat ke sebelahnya, lalu ngerapihin beberapa kertas yang tercecer di atas meja—di depan kami.

“Mana? Sini, gue bantuin,” ucap gue, dan bahkan gue sendiri bisa denger gimana suara gue terdengar terlalu santai padahal jantung gue lagi deg-degan setiap kali berada di dekat dia.

“Ini,” si dia menyodorkan kertas sambil memanyunkan bibir tipisnya sedikit. Gerakan kecil yang selalu dia lakukan setiap kali lagi kesel tapi pasrah. Dan sialnya, ekspresi itu selalu berhasil bikin gue lupa cara bernapas dengan benar.

Ada sesuatu dari caranya memperlihatkan rasa kesalnya yang nggak pernah benar-benar bisa gue anggap serius. Karena di mata gue, semuanya tetap terlihat manis dan menggemaskan. Terlalu.

Wonwoo dengan kacamatanya yang sedikit melorot dan rambut acak-acakan karena terlalu sering digesek oleh tangan, bahkan dalam keadaan pusing ngerjain skripsi pun, dia tetap terlihat cantik. Cantik banget. Buat gue.

Dan di detik itu, sihirnya kembali bekerja. Sihir yang selalu muncul di saat-saat nggak pernah gue duga. Yang nggak pernah gagal bikin gue jatuh lagi. Jatuh lebih dalam, lebih dalam dari sebelumnya.

'Ya Tuhan, anak ini bikin gue nggak bisa ke mana-mana,' batin gue, sambil nahan senyum yang gue sembunyikan sebisanya.

Kadang gue suka mikir, gimana bisa hal sesederhana ini, seperti malam yang biasa, obrolan ringan, tawa kecil, dan senyum dia yang selalu hadir tanpa paksaan bisa bikin gue ngerasa... lengkap.

Tapi rupanya, rasa lengkap itu cuma sementara sampai suara dering ponsel-nya membelah keheningan nyaman yang tadi melingkupi gue— dan dia. Gue langsung refleks ngelirik ke arahnya, dan seketika dada gue mengencang. Nama yang muncul di layar ponsel-nya terlalu familiar buat gue. Terlalu jelas sampai gue bisa membacanya.

Wonwoo dengan wajah yang sebelumnya begitu dekat dengan gue, dan terasa hangat, segera berdiri, mengambil ponsel itu dengan gerakan tenang. Dia nggak bilang apa-apa, hanya tersenyum ke arah gue sebentar dan menjawab telepon itu dengan suara lembut, suara yang ngge pernah dia pakai kalau ngomong ke gue, selain kalau ada maunya.

Tapi kali ini, suara itu bukan meminta sesuatu ke gue. Suara itu buat orang lain.

Dia melangkah ke dalam kamar, masuk ke dalam, dan menutup pintunya rapat-rapat. Nggak ada suara. Nggak ada penjelasan.

Gue cuma bisa duduk di sofa. Diam. Mata gue tetap tertuju ke arah pintu itu, seolah berharap dia akan kembali keluar secepat dia masuk. Tapi menit demi menit berlalu, dan gue tetap sendiri. Duduk di ruang tengah yang perlahan jadi terlalu sepi buat gue.

Punggung rampingnya yang tadi berjalan menjauh masih terpatri jelas di kepala gue. Dan untuk pertama kalinya malam itu, gue sadar kalau kebahagiaan gue ternyata bisa disela oleh satu nama.

Satu nama yang selalu bikin gue jadi cuma penonton, bukan pemeran utama dalam hidup Wonwoo.

Beberapa belas menit kemudian, pintu kamar itu akhirnya terbuka lagi, Wonwoo keluar dari dalam dengan langkah ringan, seolah nggak ada apa-apa yang baru saja terjadi. Seolah dia nggak sadar kalau selama dia di dalam sana, dunia gue berubah sunyi.

Dia menghampiri gue yang masih duduk di tempat yang sama, bersandar pada kaki sofa yang tadi penuh tawa dan percakapan santai.

“Sampai mana tadi kita?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. Ada nada tidak enak di sana. Seolah ia tahu ia telah meninggalkan gue sedikit lebih lama dari seharusnya. Atau mungkin juga dia bisa merasakan kalau sesuatu dalam diri gue berubah, mungkin ekspresi gue nggak sesantai sebelumnya.

Gue menoleh sekilas. Mencoba memberinya senyuman, walau tipis. “Tadi lo minta gue compile data, kan?” sahut gue, mencoba terdengar santai.

Wonwoo duduk kembali di samping gue, tapi kali ini, gue merasakan sedikit ada jarak. Nggak jauh, bahkan mungkin kalau dilihat orang lain, kami masih terlihat dekat. Tapi buat gue, jarak itu terasa seperti garis halus tak terlihat yang memisahkan. Garis yang muncul begitu dia menutup pintu kamar tadi.

Dia kembali menatap layar laptop-nya, tangannya meraih lagi kertas-kertas yang tadi sempat gue rapikan. Tapi gue menangkap tatapan singkat dari ujung manik rubah cantiknya. Tatapan yang seolah menakar sesuatu dalam diri gue. Tapi gue nggak tahu pasti apakah dia sedang merasa bersalah? Atau sekadar ingin memastikan gue nggak kenapa-napa?

Tampaknya, gue terlalu pandai berpura-pura. Terlalu lihai menyembunyikan pertanyaan yang sejak tadi memenuhi dada gue. Bahkan saat Wonwoo beberapa kali melirik gue dari ujung matanya, gue tetap pura-pura memaku pandangan ke layar TV. Menahan diri supaya nggak menoleh, supaya nggak kelihatan kalau gue sebenarnya sedang menunggu dia mulai bicara.

Tapi pura-pura itu melelahkan. Akhirnya gue menoleh, pelan. Senyum gue muncul lagi, tapi nggak selebar sebelumnya. Lebih lembut, lebih pasrah. Bukan karena hati gue sudah lebih baik, tapi karena gue nggak mau waktu gue sama dia malam ini berakhir dalam diam yang menggantung.

Gue buka suara, nyaris berbisik. “Kenapa?” tatapan gue melembut, “Apa, Nu?”

Dia berhenti dari segala kegiatannya. Gerakan tangannya terhenti di udara, dan dia cuma menatap gue. Mata indah di balik kacamatanya terlihat ragu, seperti ada sesuatu yang ingin dia ucapkan tapi belum tahu bagaimana memulainya.

Tapi justru di situlah, di diamnya, hati gue terasa perlahan sakit.

Karena di detik itu gue sadar, ternyata sedekat apa pun posisi duduk kita, ada jarak yang lebih lebar dari sebelumnya. Jarak yang nggak bisa gue isi karena bukan gue yang baru aja berbicara dengannya di telpon dan mendengar suaranya yang selembut itu.

Dan sialnya, gue masih di sini. Tetap mau bantuin dia. Tetap milih untuk duduk di sisinya, meskipun bagian kecil di hati gue tahu: gue bukan siapa-siapanya. Cuma seseorang yang kebetulan hadir malam ini, bantuin dia skripsian, sambil diam-diam jatuh cinta sendirian.

Lalu Wonwoo tiba-tiba memanggil gue, membuyarkan lamunan gue. Suaranya berubah sedikit ada ragu dan gue bisa ngerasain ada sesuatu yang berbeda dari cara dia menatap gue kali ini. Penuh. Manik rubahnya menembus pertahanan gue. Dan untuk pertama kalinya malam itu, gue nggak bisa baca mimik wajahnya.

“Kak Gyu...”

Gue noleh pelan, diam dan menunggu pria manis itu melanjutkan kalimatnya.

“Aku mau nanya,” lanjutnya.

Shoot,” jawab gue, mencoba terdengar ringan. Gue masih bersandar ke sofa.

Lalu dia akhirnya berkata, pertanyaannya standar tapi berhasil bikin waktu di sekitar gue mendadak berhenti sejenak. “Sebenernya, beberapa bulan ini aku lagi ngobrol intens sama Mas Seungcheol. Menurut kakak gimana?”

Deg.

Itu pertanyaan yang seharusnya biasa. Kalau saja bukan Wonwoo yang nanya. Kalau saja bukan gue yang dengar.

Gue nggak langsung jawab. Karena di kepala gue, semuanya tiba-tiba berisik. Dari mulai pertanyaan, kenapa gue bawa dia ke rumah waktu Seungcheol tiba-tiba pulang? Kenapa gue kenalin mereka? Kenapa gue kasih nomernya Wonwoo ke abang gue? Apa maksudnya ngobrol intens? Apa dia suka sama abang gue? Apa mereka saling suka? Gue gimana? Semua pertanyaan ada di kepala gue. Ingin rasanya gue minum panadol satu strip saat itu juga.

Dan di antara ribuan diksi yang gue tahu seumur hidup gue, baru malam itu, gue nggak tahu mana yang paling layak untuk gue ucap.

Pertanyaan yang Wonwoo berikan ke gue beberapa detik yang lalu rasanya kayak pukulan buat gue. Dan yang lebih nyebelin dari itu semua adalah ini semua bisa terjadi karena ulah gue sendiri.

Wonwoo bisa kenal Bang Seungcheol (atau yang tadi Wonwoo panggil 'Mas Seungcheol'), abang gue sendiri, karena gue yang ajak dia ke rumah. Gue kira, itu cuma hari-hari libur biasa yang gue dedikasikan buat bikin pria manis itu lupa sebentar dari skripsi dan dosen killer-nya. Gue nggak pernah menyangka kalau malam itu justru jadi titik awal segalanya.

Gue masih inget jelas. Hari itu, rumah lagi sunyi. Nyokap dan bokap gue lagi pergi ke luar kota, Wonwoo datang bawa camilan dan laptop, izin kalau dia mau istirahat sebentar. Gue bikinin teh hangat, kita duduk bareng di ruang tengah. Semua terasa nyaman, kayak biasanya.

Sampai abang gue muncul entah dari mana, masih pakai seragam pilotnya—kemeja putih rapi, dasi longgar di leher, koper kecil di tangan kiri, dan senyum. Iya, senyum yang biasa dipakai Bang Seungcheol buat menaklukkan siapa pun yang menjadi lawan bicaranya.

“Lho? Lo bawa temen, dek?” tanyanya waktu itu, ringan.

“Ehem, iya. Ini Wonwoo, anak bimbingan Prof. Siwon,” jawab gue santai, sampai detik itu gue inget kalau gue nggak merasa ada yang salah. Semua berjalan biasa aja.

Abang gue cuma ngangguk sambil mendekat, lalu mengulurkan tangannya ke arah Wonwoo. “Kim Seungcheol,” ucapnya.

“Jeon Wonwoo,” sahut Wonwoo, sopan seperti biasa.

Dan sejak jabat tangan itu, entah kenapa ada sesuatu yang berubah. Bukan di Wonwoo, tapi di abang gue.

Gue kenal banget sama pria itu, gue tahu arti dari setiap tatapan Bang Seungcheol. Gue tahu nada suaranya kalau dia sedang tertarik. Dan malam itu, untuk pertama kalinya, gue ngeliat abang gue terlalu banyak senyum, terlalu banyak tanya, terlalu antusias ngebahas hal-hal yang biasanya nggak penting buat dia.

Dan Wonwoo? Dia nggak sadar apa-apa. Cuma ngerespon dengan sopan, kadang ketawa kecil, kadang kembali bengong karena mikirin data skripsinya yang masih kacau.

Tapi gue sadar.

Dan entah kenapa, dari malam itu gue mulai belajar berpura-pura. Pura-pura nggak tahu bagaimana abang gue sengaja mampir ke ruang tengah lebih sering dari biasanya tiap dia pulang dan Wonwoo datang. Gue juga pura-pura nggak dengar suara mereka ngobrol lebih lama di dapur. Gue juga pura-pura nggak lihat saat Bang Seungcheol mulai sering nyari tahu kabar Wonwoo lewat gue, dan mulai menceritakan tentang pria manis itu dari point of view yang nggak pernah gue tahu.

Tapi yang paling menyakitkan? Gue juga harus pura-pura kalau semua itu nggak akan mempengaruhi kehidupan gue.

Padahal gue tahu, dalam diamnya, abang gue yang jatuh duluan. Dan gue, yang terlalu lama mencintai Wonwoo dalam diam, cuma bisa ngerasain pelan-pelan dunia gue sedikit kacau dengan sendirinya.

Karena kalau yang jatuh cinta adalah gue, tapi yang punya keberanian dan pesona buat ambil hatinya adalah abang gue sendiri, ya gue harus apa?

Dan sejak tiga bulan setelah akhirnya Wonwoo bertanya ke gue tentang Bang Seungcheol, mereka resmi pacaran.

Dan gue?

Gue cuma jadi adik dari pacarnya. Orang yang nemenin Wonwoo kalau abang gue lagi terbang. Gue tetap di sana, tetap ada, tetap jatuh cinta, tapi sendirian. Nggak pernah gue utarakan. Nggak pernah gue perjuangkan.

Nggak ada pengakuan. Nggak ada keberanian. Nggak ada ‘gue’ dalam cerita mereka.

Yang ada cuma doa yang gue bisikin tiap kali liat punggung Wonwoo makin jauh: doa supaya dia bahagia, meskipun alasannya bukan gue.


Ada yang pernah bilang kalau ‘manusia takkan pernah bisa menang dari rasa kesepian.

Dan begitulah malam ini dirasakan oleh Jeon Wonwoo, ditemani secangkir espresso double shot keduanya hari ini, layar laptop yang masih menyala, lampu ruangan kantor yang mulai meredup, serta temaram cahaya dari gedung-gedung tinggi yang terlihat samar di balik jendela kaca. Kesunyian semakin merayap, datang entah dari mana, menyelubungi ruangan dan sekaligus hatinya.

Entah mengapa malam ini ia tidak ingin pulang cepat. “Masih ada deadline yang harus diselesaikan,” gumamnya lirih, seolah tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk pulang. Sebuah alasan klise yang ia ciptakan agar tetap bertahan di lantai atas gedung ini, enggan turun ke lobi dan menyusuri jalanan Jakarta untuk kembali ke apartemen yang sunyi.

Jarum jam nyaris menyentuh angka sepuluh malam. Tubuhnya yang terlalu lama duduk mulai terasa kaku. Ia menyandarkan punggung, merenggangkan bahu, lalu berdiri mendekat ke jendela besar untuk mencuci mata, menyapu pandangannya ke arah lampu-lampu jalanan dan gedung yang membias indah, seolah menawarkan ketenangan yang tak benar-benar bisa ia raih malam ini.

“Hah…” desahnya pelan namun berat, membuang napas kasar yang terasa menyesakkan dada. Hatinya mendadak bergemuruh, tak beraturan. Sekelebat kenangan tentang mantan yang tak akan pernah kembali melintas cepat di kepalanya, seperti film rusak yang terpaksa diputar ulang, disusul dengan bayang wajah seseorang yang terpaksa ia tinggalkan, ikut menyeruak ke permukaan seolah bekerja sama untuk menyiksanya malam ini.

Wajah seseorang yang sangat ia cintai. Yang manik elangnya selalu membuat Wonwoo tenang, yang tawanya sambil memperlihatkan kedua taring itu pernah menjadi rumah, dan yang kini hanya bisa ia temui dalam ingatan yang menyakitkan.

Perasaan bersalah dan rindu berbaur menjadi satu, menekan dadanya hingga terasa semakin sesak. Seakan semesta memang memilih malam ini sebagai panggung bagi rasa kehilangan yang selama ini hanya ia pendam dalam diam.

Kesepian datang menyerang tanpa ampun, mengendap-endap lalu menerkam dadanya yang sudah lama tak benar-benar lega.

Wonwoo masih menatap ke luar jendela saat ia merogoh saku celana bahan yang ia gunakan, menarik ponselnya keluar, membuka kamera, dan membidik pemandangan dari balik jendela kantornya.

Foto itu diunggah ke Instagram Story-nya, disertai kutipan singkat. Sebuah bentuk pelampiasan sunyi yang tak bisa ia teriakkan dengan suara.

Tidak lama berselang, kedua sahabatnya, Jun dan Soonyoung langsung menemaninya lewat pesan singkat untuk sekedar menyuruhnya pulang karena malam semakin larut.

Setelah membalas pesan dari kedua sahabatnya, Wonwoo meletakkan kembali ponsel-nya di meja. Ia kembali menghela napas, kali ini lebih dalam, lebih berat seakan mencoba melepaskan pikiran di kepalanya. Tubuhnya disandarkan pada sandaran kursi, mata menatap kosong ke langit-langit ruangan, seolah mencari serpihan kekuatan dari kerlip lampu yang mulai mati satu per satu.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Lalu perlahan, Wonwoo kembali menegakkan tubuhnya. Dengan gerakan pelan namun pasti, ia kembali menyalakan laptop yang ia biarkan menyala. Jari-jarinya mengetikkan satu email terakhir, menekan tombol send, menutup layar itu dengan satu gerakan ringan.

Tak ada kata-kata, tak ada gumaman. Ia hanya mempersiapkan bawaannya dan berdiri. Melangkah meninggalkan meja kerjanya, meja yang masih menyimpan sisa hangat dari kesendirian yang menemaninya malam ini.

Sepi itu belum benar-benar pergi. Tapi malam ini, ia memilih untuk tak lagi melawannya. Ia membiarkan kesepian itu ikut bersamanya pulang.

Wonwoo menurunk lift menuju lobi, lalu berjalan pelan menuju mobilnya yang terparkir di sudut basement gedung.

Malam Jakarta masih sama, padat, terang, dan asing. Dan mungkin, malam ini memang tak akan terasa lebih baik. Tapi setidaknya, Wonwoo tahu bahwa dirinya masih bisa pulang. Masih punya satu tempat untuk menenangkan diri, walau akhirnya apa yang ia rasakan akan ia biarkan begitu saja dan tertidur.

Dan itu cukup. Untuk malam ini, itu cukup.

***

Wonwoo baru saja hendak merebahkan tubuhnya yang masih terbungkus kemeja kerja dan celana bahan di atas sofa abu-abu di ruang tamu apartemennya, ketika ponsel-nya berdering. Layar pipih itu memunculkan satu nama yang tak asing, nama yang sudah menemaninya sejak masa kuliah, lengkap dengan wajah sebesar layar yang terpampang.

“Lo nggak beneran baru sampai rumah, kan, Mr. Jeon?” suara yang terdengar tanpa basa-basi, sedikit kesal, menyapa dari seberang. Soonyoung.

Wonwoo hanya tersenyum miring, tipis. “Enggak baru-baru banget sih. Sepuluh menit yang lalu lah,” balasnya santai. Suaranya terdengar cuek, seolah tak terpengaruh oleh nada khawatir yang sangat jelas terdengar di telinganya.

Ada jeda sesaat, sebelum suara Soonyoung kembali terdengar. Kali ini lebih pelan. “Lo tuh lagi kenapa deh, Nu? Nggak mau cerita sama gue?” Ia menarik napas, menambahkan dengan suara yang jauh lebih lembut, “It’s okay kalau belum siap cerita. I’m here when you are.

Wonwoo terkekeh, tapi tak ada tawa dalam suara itu. Lebih seperti tawa getir, patah dan pahit. “Haha... No, I’m not okay,” katanya jujur, akhirnya.

Salah satu tangan Wonwoo terangkat, menyentuh dadanya sendiri. Ada rasa ngilu yang meremas dadanya. “Nggak tahu kenapa, Nyong. Dari tadi dada gue sakit banget. Kayak... kosong, tapi sakit,” bisiknya, nyaris tak terdengar. “I don’t even know what’s going on. I just know something’s not there anymore.

Sejenak, hanya suara napas beratnya yang terdengar. Di seberang sana, Soonyoung diam, tak berkata apa-apa. Ia hanya diam, membiarkan isakan pelan Wonwoo terdengar di telinganya.

Ia tahu, sahabatnya itu selalu pintar menyembunyikan kesedihannya. Wonwoo, selalu rapi menyimpan tangisnya. Tapi malam ini, semua yang ia sembunyikan pelan-pelan runtuh, akhirnya tumpah ruah tanpa diminta.

Soonyoung menunggu. Dengan sabar, karena ia tahu, bagi seseorang Jeon Wonwoo menangis pun adalah sebuah keberanian yang langka ia lakukan.