mnwninlove

Narasi 2 – 🍄 Shall We? 🍄

Cast: Mingyu/Yuvin Mingyu POV


Setelah diantar papa temannya kemarin yang biasa dia panggil Om Wonwoo dan ngasih nilai raportnya, Yuvin anak semata wayang gue memutuskan untuk diem di kamarnya. Gue sempet ngetok-ngetok kamarnya untuk ngajak makan malam. Tapi, Yuvin masih di dalam kamar yang terkunci, alasannya 'Lagi pengen sendiri'. Sebenarnya, hari ini gue pengen banget meluk anaknya dan ngucapin selamat karena hasil raportnya yang bagus, walaupun, gue ga pernah assist dia selama ini. Dia dapet ranking 3 dan gue ga pernah lebih bangga. Tapi, memang sampai saat inipun gue masih bertanya-tanya, 'Apa gue se-ngga bisa itu ngurus anak? Apa Yuvin selalu ngerasa gue ga sayang sama dia?' pengen banget rasanya teriak dan bilang kalau 'Ini lho yang ayah kerjain semua buat adek!' tapi takut dia sakit hati. Masih labil kata orang. Masa-masa pubernya ngga bisa gue halau.

Seandainya, Nayana – almarhum istri gue – masih ada, mungkin Yuvin ga akan kesepian dan sedih kaya gini. Pasti dia bisa bisa ngehandle anak ini dan gue bisa dengan lebih mudah mendekatkan diri ke Yuvin.

Dan siang tadi, gue abis ngobrol sama ayah dari sahabat anak gue itu, intinya komunikasi, anak remaja memang seperti itu. Diemin aja sampai dia mau bicara, tapi, Yuvin itu manusia yang paling bisa diajak adu bisu, terlebih sama gue. Gue ga bisa nunggu dia ngomong sama gue, karena itu ga akan mungkin.

Tok tok tok

“Dek, sebelum kamu tidur, ngobrol yuk sama ayah.” Kata gue di depan pintu kamarnya, di dalem terdengar hening. Apa udah tidur?

“Yuvin, ayah nungguin kamu dari kemaren lho ini.” kata gue lagi, gue harus maju terus pantang nyerah.

“Ayah bukan cenayang Yuvin, ayah ga tau kamu kenapa kalau kamu ga cerita.” gue masih teguh pendirian berdiri di sini – di depan pintu berwarna coklat bertuliskan 'Yuvin's Here'.

Gue diem, ngga beberapa lama, Yuvin membukakan gue pintu tanda mempersilahkan gue masuk. Anak itu langsung duduk di pinggir kasur dan mengusak matanya pelan, sedangkan gue ambil posisi di kursi meja belajarnya. Kamarnya sedikit remang malam ini.

“Masih marah sama ayah?” Tanya gue mendorong kursi belajarnya yang beroda itu menghampiri tempat dia duduk. Hanya gelengan dari kepalanya pelan, dia menunduk. Gue sedih liatnya. 'Apa ga punya mama akan senelangsa ini ya anak gue?'

“Terus kenapa?” Tanya gue lagi, pandangan dia lurus ke depan mata gue. Mungkin kalau dia Cyclops di X-Men kepala gue udah bolong.

“Sebel sama ayah, karena ayah ga pernah dateng ke hari penting adek. Junior High School Graduation, ambil raport di sekolah, ade turnamen basket, olimpiade matematika. Dimana semua orang butuh support dan presence, tapi adek tunggu ayah ga ada.” Jawabnya panjang lebar, menangis. Gue akui, dia benar. Acara-acara yang dia sebutkan gue ga pernah ada, selalu Minghao yang dateng buat gantiin gue. Kadang dia pikir ayahnya itu Minghao.

“Ga pernah ayah bermaksud kaya gitu.” Jawab gue, gue ga punya pembelaan selain gue sibuk kerja kantoran dan meniti kesuksesan untuk Project Cuan yang gue dan Minghao bangun dan akan gue titahkan nantinya buat Yuvin.

“Ayah kerja ini itu, ngurus ini itu semua untuk Yuvin, jadi maafin kalau ayah terlalu banyak melewatkan moment sama Yuvin.” Jawab gue, ini bukan alasan.

“Yuvin iri sama Ichan, Om Wonwoo selalu bisa nyempetin waktunya buat Ichan, sarapan bareng, anter Ichan ke sekolah, bekelin Ichan, bahkan bekelin aku.” DEG! Gue kaget, nama itu lagi. Om Wonwoo, siapa sih manusia ini? Kenapa dia seperti malaikat buat anak gue?

“Padahal, sama single parents juga. Punya restoran tapi freelance jadi editor di penerbit. Samakan sibuknya?” Tanya Yuvin menatap gue sambil air matanya jatuh satu persatu. Sedih banget gue liatnya.

“Tapi, kenapa dia bisa ayah ga bisa?” Tanya Yuvin lagi.

“Ayah kerja kantoran Yuvin, punya jam kerja, beda kalau ayah cuma fokus di Project Cuan. Ngertiin ayah mau ya?” Tanya gue. Memang sih, gue pemimpin yang bekerja diperusahaan bokap nyokap gue, tapi, tetep guekan pemimpin, kudu jadi panutan. Jadi, ga bisa seenaknya. Tapi, ternyata salah juga. Pasrah deh gue, gue emang sucks banget buat management waktu.

“Sampe kapan? Sampe kapan ayah ngelewatin hari-hari penting Yuvin?” Tanya dia, melas. Gue lebih melas lagi, gue bingung jawabnya. Gue diem cukup lama, megangin pundaknya, mengelus pelan di sana. Bingung cara comfortnya.

“Ayah cuma bisa minta maaf, Vin..” kata gue membuka keheningan di kamar yang gue baru sadari ini banyak gundam di mana-mana. Somehow, gue lupa apa yang pernah gue kasih, inikah? Semua ini gue beliin dan menganggap Yuvin udah bahagia? I'm the real moron, indeed!

“Ayah –” katanya terpotong. “Yuvin bahagia walau cuma punya ayah, tapi, Yuvin akan lebih bahagia kalau ayah bisa meluangkan waktu ayah buat Yuvin, 1 hari 1 jam, Yuvin cukup.” Katanya lagi. Gue? Miris dengernya, gue langsung memeluk anak gue itu, dan berjuta kali gue ucapkan maaf.

Malam ini, gue baru sadar, Om Wonwoo yang Yuvin banggain itu bener, “I'll try my best for Ichan, mungkin Mingyu bisa melakukannya buat Yuvin. We already been there kan, posisiin jadi mereka is the best way.” dan “Mungkin sesekali bisa bawa Yuvin buat ngobrol di sini.” komunikasi katanya.

Jadi, sebenernya siapa sih manusia yang bernama Wonwoo ini? Gimana penampilan dan parasnya?

Narasi 2 – 🍄 Shall We? 🍄

Cast: Mingyu/Yuvin Mingyu POV


Setelah diantar papa temannya kemarin yang biasa dia panggil Om Wonwoo dan ngasih nilai raportnya, Yuvin anak semata wayang gue memutuskan untuk diem di kamarnya. Gue sempet ngetok-ngetok kamarnya untuk ngajak makan malam. Tapi, Yuvin masih di dalam kamar yang terkunci, alasannya 'Lagi pengen sendiri'. Sebenarnya, hari ini gue pengen banget meluk anaknya dan ngucapin selamat karena hasil raportnya yang bagus, walaupun, gue ga pernah assist dia selama ini. Dia dapet ranking 3 dan gue ga pernah lebih bangga. Tapi, memang sampai saat inipun gue masih bertanya-tanya, 'Apa gue se-ngga bisa itu ngurus anak? Apa Yuvin selalu ngerasa gue ga sayang sama dia?' pengen banget rasanya teriak dan bilang kalau 'Ini lho yang ayah kerjain semua buat adek!' tapi takut dia sakit hati. Masih labil kata orang. Masa-masa pubernya ngga bisa gue halau.

Seandainya, Nayana – almarhum istri gue – masih ada, mungkin Yuvin ga akan kesepian dan sedih kaya gini. Pasti dia bisa bisa ngehandle anak ini dan gue bisa dengan lebih mudah mendekatkan diri ke Yuvin.

Dan siang tadi, gue abis ngobrol sama ayah dari sahabat anak gue itu, intinya komunikasi, anak remaja memang seperti itu. Diemin aja sampai dia mau bicara, tapi, Yuvin itu manusia yang paling bisa diajak adu bisu, terlebih sama gue. Gue ga bisa nunggu dia ngomong sama gue, karena itu ga akan mungkin.

Tok tok tok

“Dek, sebelum kamu tidur, ngobrol yuk sama ayah.” Kata gue di depan pintu kamarnya, di dalem terdengar hening. Apa udah tidur?

“Yuvin, ayah nungguin kamu dari kemaren lho ini.” kata gue lagi, gue harus maju terus pantang nyerah.

“Ayah bukan cenayang Yuvin, ayah ga tau kamu kenapa kalau kamu ga cerita.” gue masih teguh pendirian berdiri di sini – di depan pintu berwarna coklat bertuliskan 'Yuvin's Here'.

Gue diem, ngga beberapa lama, Yuvin membukakan gue pintu tanda mempersilahkan gue masuk. Anak itu langsung duduk di pinggir kasur dan mengusak matanya pelan, sedangkan gue ambil posisi di kursi meja belajarnya. Kamarnya sedikit remang malam ini.

“Masih marah sama ayah?” Tanya gue mendorong kursi belajarnya yang beroda itu menghampiri tempat dia duduk. Hanya gelengan dari kepalanya pelan, dia menunduk. Gue sedih liatnya. 'Apa ga punya mama akan senelangsa ini ya anak gue?'

“Terus kenapa?” Tanya gue lagi, pandangan dia lurus ke depan mata gue. Mungkin kalau dia Cyclops di X-Men kepala gue udah bolong.

“Sebel sama ayah, karena ayah ga pernah dateng ke hari penting adek. Junior High School Graduation, ambil raport di sekolah, ade turnamen basket, olimpiade matematika. Dimana semua orang butuh support dan presence, tapi adek tunggu ayah ga ada.” Jawabnya panjang lebar, menangis. Gue akui, dia benar. Acara-acara yang dia sebutkan gue ga pernah ada, selalu Minghao yang dateng buat gantiin gue. Kadang dia pikir ayahnya itu Minghao.

“Ga pernah ayah bermaksud kaya gitu.” Jawab gue, gue ga punya pembelaan selain gue sibuk kerja kantoran dan meniti kesuksesan untuk Project Cuan yang gue dan Minghao bangun dan akan gue titahkan nantinya buat Yuvin.

“Ayah kerja ini itu, ngurus ini itu semua untuk Yuvin, jadi maafin kalau ayah terlalu banyak melewatkan moment sama Yuvin.” Jawab gue, ini bukan alasan.

“Yuvin iri sama Ichan, Om Wonwoo selalu bisa nyempetin waktunya buat Ichan, sarapan bareng, anter Ichan ke sekolah, bekelin Ichan, bahkan bekelin aku.” DEG! Gue kaget, nama itu lagi. Om Wonwoo, siapa sih manusia ini? Kenapa dia seperti malaikat buat anak gue?

“Padahal, sama single parents juga. Punya restoran tapi freelance jadi editor di penerbit. Samakan sibuknya?” Tanya Yuvin menatap gue sambil air matanya jatuh satu persatu. Sedih banget gue liatnya.

“Tapi, kenapa dia bisa ayah ga bisa?” Tanya Yuvin lagi.

“Ayah kerja kantoran Yuvin, punya jam kerja, beda kalau ayah cuma fokus di Project Cuan. Ngertiin ayah mau ya?” Tanya gue. Pasrah gue, gue emang sucks banget buat management waktu.

“Sampe kapan? Sampe kapan ayah ngelewatin hari-hari penting Yuvin?” Tanya dia, melas. Gue lebih melas lagi, gue bingung jawabnya. Gue diem cukup lama, megangin pundaknya, mengelus pelan di sana. Bingung cara comfortnya.

“Ayah cuma bisa minta maaf, Vin..” kata gue membuka keheningan di kamar yang gue baru sadari ini banyak gundam di mana-mana. Somehow, gue lupa apa yang pernah gue kasih, inikah? Semua ini gue beliin dan menganggap Yuvin udah bahagia? I'm the real moron, indeed!

“Ayah –” katanya terpotong. “Yuvin bahagia walau cuma punya ayah, tapi, Yuvin akan lebih bahagia kalau ayah bisa meluangkan waktu ayah buat Yuvin, 1 hari 1 jam, Yuvin cukup.” Katanya lagi. Gue? Miris dengernya, gue langsung memeluk anak gue itu, dan berjuta kali gue ucapkan maaf.

Malam ini, gue baru sadar, Om Wonwoo yang Yuvin banggain itu bener, “I'll try my best for Ichan, mungkin Mingyu bisa melakukannya buat Yuvin. We already been there kan, posisiin jadi mereka is the best way.” dan “Mungkin sesekali bisa bawa Yuvin buat ngobrol di sini.” komunikasi katanya.

Jadi, sebenernya siapa sih manusia yang bernama Wonwoo ini? Gimana penampilan dan parasnya?

Narasi 2 – 🍄 Shall We? 🍄

Cast: Mingyu/Yuvin Mingyu POV


Setelah diantar papa temannya kemarin yang biasa dia panggil Om Wonwoo dan ngasih nilai raportnya, Yuvin anak semata wayang gue memutuskan untuk diem di kamarnya. Gue sempet ngetok-ngetok kamarnya untuk ngajak makan malam. Tapi, Yuvin masih di dalam kamar yang terkunci, alasannya 'Lagi pengen sendiri'. Sebenarnya, hari ini gue pengen banget meluk anaknya dan ngucapin selamat karena hasil raportnya yang bagus, walaupun, gue ga pernah assist dia selama ini. Dia dapet ranking 3 dan gue ga pernah lebih bangga. Tapi, memang sampai saat inipun gue masih bertanya-tanya, 'Apa gue se-ngga bisa itu ngurus anak? Apa Yuvin selalu ngerasa gue ga sayang sama dia?' pengen banget rasanya teriak dan bilang kalau 'Ini lho yang ayah kerjain semua buat adek!' tapi takut dia sakit hati. Masih labil kata orang. Masa-masa pubernya ngga bisa gue halau.

Seandainya, Nayana – almarhum istri gue – masih ada, mungkin Yuvin ga akan kesepian dan sedih kaya gini. Pasti dia bisa bisa ngehandle anak ini dan gue bisa dengan lebih mudah mendekatkan diri ke Yuvin.

Dan siang tadi, gue abis ngobrol sama ayah dari sahabat anak gue itu, intinya komunikasi, anak remaja memang seperti itu. Diemin aja sampai dia mau bicara, tapi, Yuvin itu manusia yang paling bisa diajak adu bisu, terlebih sama gue. Gue ga bisa nunggu dia ngomong sama gue, karena itu ga akan mungkin.

Tok tok tok

“Dek, sebelum kamu tidur, ngobrol yuk sama ayah.” Kata gue di depan pintu kamarnya, di dalem terdengar hening. Apa udah tidur?

“Yuvin, ayah nungguin kamu dari kemaren lho ini.” kata gue lagi, gue harus maju terus pantang nyerah.

“Ayah bukan cenayang Yuvin, ayah ga tau kamu kenapa kalau kamu ga cerita.” gue masih teguh pendirian berdiri di sini – di depan pintu berwarna coklat bertuliskan 'Yuvin's Here'.

Gue diem, ngga beberapa lama, Yuvin membukakan gue pintu tanda mempersilahkan gue masuk. Anak itu langsung duduk di pinggir kasur dan mengusak matanya pelan, sedangkan gue ambil posisi di kursi meja belajarnya. Kamarnya sedikit remang malam ini.

“Masih marah sama ayah?” Tanya gue mendorong kursi belajarnya yang beroda itu menghampiri tempat dia duduk. Hanga gelengan dari kepalanya pelan, dia menunduk. Gue sedih liatnya. 'Apa ga punya mama akan senelangsa ini ya anak gue?'

“Terus kenapa?” Tanya gue lagi, pandangan dia lurus ke depan mata gue. Mungkin kalau dia Cyclops di X-Men kepala gue udah bolong.

“Sebel sama ayah, karena ayah ga pernah dateng ke hari penting adek. Junior High School Graduation, ambil raport di sekolah, ade turnamen basket, olimpiade matematika. Dimana semua orang butuh support dan presence, tapi adek tunggu ayah ga ada.” Jawabnya panjang lebar, menangis. Gue akui, dia benar. Acara-acara yang dia sebutkan gue ga pernah ada, selalu Minghao yang dateng buat gantiin gue. Kadang dia pikir ayahnya itu Minghao.

“Ga pernah ayah bermaksud kaya gitu.” Jawab gue, gue ga punya pembelaan selain gue sibuk kerja kantoran dan meniti kesuksesan untuk Project Cuan yang gue dan Minghao bangun dan akan gue titahkan nantinya buat Yuvin.

“Ayah kerja ini itu, ngurus ini itu semua untuk Yuvin, jadi maafin kalau ayah terlalu banyak melewatkan moment sama Yuvin.” Jawab gue, ini bukan alasan.

“Yuvin iri sama Ichan, Om Wonwoo selalu bisa nyempetin waktunya buat Ichan, sarapan bareng, anter Ichan ke sekolah, bekelin Ichan, bahkan bekelin aku.” DEG! Gue kaget, nama itu lagi. Om Wonwoo, siapa sih manusia ini? Kenapa dia seperti malaikat buat anak gue?

“Padahal, sama single parents juga. Punya restoran tapi freelance jadi editor di penerbit. Samakan sibuknya?” Tanya Yuvin menatap gue sambil air matanya jatuh satu persatu. Sedih banget gue liatnya.

“Tapi, kenapa dia bisa ayah ga bisa?” Tanya Yuvin lagi.

“Ayah kerja kantoran Yuvin, punya jam kerja, beda kalau ayah cuma fokus di Project Cuan. Ngertiin ayah mau ya?” Tanya gue. Pasrah gue, gue emang sucks banget buat management waktu.

“Sampe kapan? Sampe kapan ayah ngelewatin hari-hari penting Yuvin?” Tanya dia, melas. Gue lebih melas lagi, gue bingung jawabnya. Gue diem cukup lama, megangin pundaknya, mengelus pelan di sana. Bingung cara comfortnya.

“Ayah cuma bisa minta maaf, Vin..” kata gue membuka keheningan di kamar yang gue baru sadari ini banyak gundam di mana-mana. Somehow, gue lupa apa yang pernah gue kasih, inikah? Semua ini gue beliin dan menganggap Yuvin udah bahagia? I'm the real moron, indeed!

“Ayah –” katanya terpotong. “Yuvin bahagia walau cuma punya ayah, tapi, Yuvin akan lebih bahagia kalau ayah bisa meluangkan waktu ayah buat Yuvin, 1 hari 1 jam, Yuvin cukup.” Katanya lagi. Gue? Miris dengernya, gue langsung memeluk anak gue itu, dan berjuta kali gue ucapkan maaf.

Malam ini, gue baru sadar, Om Wonwoo yang Yuvin banggain itu bener, “I'll try my best for Ichan, mungkin Mingyu bisa melakukannya buat Yuvin. We already been there kan, posisiin jadi mereka is the best way.” dan “Mungkin sesekali bisa bawa Yuvin buat ngobrol di sini.” komunikasi katanya.

Jadi, sebenernya siapa sih manusia yang bernama Wonwoo ini? Gimana penampilan dan parasnya?

Narasi 1 – 🍄 Shall We? 🍄

cast: Wonwoo/Ichan/Yuvin.


Jakarta International High School hari ini lebih ramai dari biasanya, selain ada acara class meeting para siswa-siswinya karena UAS sudah selesai, para orang tua juga diundang untuk pembagian report bayangan semester para murid.

Pria umur 32 tahun yang hari ini menggunakan long-sleeved shirt dengan kerah Shanghai berwarna navy blue yang dilipat hingga siku dan dipadupadankan dengan celana blue jeansnya, berjalan sepanjang lorong menuju kelas X-2, di mana sudah 1 semester ini anaknya belajar di sana. Pria itu bernama Jeon Wonwoo, sudah disambut senyuman manis oleh seorang anak 14 tahun yang menggunakan kemeja pendek putih yang dibiarkan keluar dengan celana panjang bahan berwana khaki, dan tidak lupa dengan dasi yang sudah longgar, Jeon Leechan atau biasa dipanggil Ichan. Anak semata wayangnya. Di sampingnya, ada sahabat kental Ichan dengan menggunakan baju yang sama, namun dibalut jaket bomber club basket sekolah itu, Kim Yuvin atau biasa dipanggil Upin yang sedang memasang wajah datarnya.

“Haiiii...” sapa pria 32 tahun itu ramah ke Ichan, setelah sampai di depan pintu berplang X-2 itu sambil mengusak kepala anaknya.

“Papa, telat 5 menit. Tapi, Miss. Dona belum dateng. Hehe. Tante sama Om Boo udah di dalem.” Kata Ichan menyambutnya.

“Okay. Ini papa masuk aja ya?” tanya Wonwoo celingak-celinguk ke dalam kelas.

“Masuk aja, Om.” kata Yuvin membuka suara. Sebelum membuka pintu kelas, Wonwoo mendekat ke arah Yuvin.

“Orang tua Upin yang mana?” tanyanya lembut.

“Paling ga dateng lagi, Om. Biasa, aku ambil raport sendiri.” jawab Yuvin santai.

“Om ambilin sekalian ya?” izin Wonwoo sambil tersenyum dan berjalan masuk tanpa menunggu jawaban dari sahabat anaknya itu, karena Yuvin masih sedikit kaget.

Sesampainya di dalam kelas, Wonwoo langsung duduk di sebelah keluarga Boo yang kebetulan anaknya memang teman Ichan dari SMP.

  • Di luar Ruangan Kelas

“Santuy aja, Pin! Sama bokap gue aman.” kata Ichan sambil merangkul sahabatnya itu menjauhi kelasnya ke arah booth makanan anak kelas XII yang ada di lapangan.

“Tukeran bapak yok!” ceplos Yuvin yang dijawab dengan jitakan dari Ichan.

Wonwoo memang seringkali jadi rebutan oleh sahabat-sahabatnya Ichan karena menurut mereka, Om Wonwoo itu adalah bapak yang ideal. Perhatiannya cukup dengan pengertian yang besar sehingga Ichan menjadi pribadi yang terbuka akan segala hal. Pesannya hanya, “Ichan boleh minta hak, tapi harus tanggung jawab yaa.” ; “Ichan boleh main, tapi jangan lupa sholat ya” atau “Ichan boleh ga belajar, tapi kl Papa marahin karena nilai kamu di bawah rata-rata Ichan ga boleh ngambek sama Papa.” Simple, tapi selalu Ichan inget.

“Lu maen aja ke rumah gue. Ga usah tukeran. Ga rela gue!” jawab Ichan santai.

Dua jam setelah Ichan dan Yuvin berkeliling booth kakak kelasnya, ponsel Ichan pun bergetar dan langsung di jawab begitu melihat nama di layarnya “Papa Nonu 💞”

“Yes, Pap.” jawabnya.

“Assalammualaikumnya mana?” tanya pria tinggi tersebut di seberang saluran telepon.

“Hehe.. Assalammualaikum..”

“Waalaikumsalam. Adek mau ikut papa pulang ngga? Papa udah beres nih.” kata pria di seberang sana.

“Yuk, Pa.. Upin ikut ya..”

“Boleh dong, kamu ajak Bonon sama Kwan juga ya..” ujar Wonwoo.

“Gampang merekamah chat aja, udah kaya bijik.” jawab Ichan ngasal, dia suka lupa kalau lagi ngobrol sama orang tua memang.

“Hush! Kamu nih! 15 menit ya, Papa tunggu di parkiran.” kata Wonwoo lagi.

“Okay!” kata Ichan sambil menutup teleponnya.

“Ikut gue pulang, kuy! Masa ga kuy!” kata Ichan sambil merangkul Yuvin ke kelas untuk mengambil tas. 'Diem aja deh ini si Kunyuk daritadi.' ucap Ichan dalam hati.


“Yuvin, Ichan.. ini raportnya ya.” Kata Wonwoo menaruh 2 amplop transparan di atas meja makan dan berlalu ke dapur yang berjarak beberapa langkah.

“Tadi, Om sempet bikin notes di raportnya Yuvin, biar orang tua kamu tau hasil rapat tadi sama perkembangan kamu di sekolah selama 6 bulan ini.” kata Wonwoo sedikit berteriak dari dapur agar suaranya terdengar oleh orang yang dituju.

“Iya, Om. Terim kasih.” kata Yuvin dengan lesu sembari membulak balik amplop transparan itu yang memang ada beberapa kertas tambahan yang diselipkan, notes yang dimaksud oleh Wonwoo.

“Jangan cemberut gitu ah, nanti gantengnya ilang lho! Om bikinin Soto Betawi kesukaan Upin ya sama brownies panggang juga, buat cemilan.” kata Wonwoo sambil mengusak surai Yuvin.

Pria ini punya kepercayaan bahwa makan-makanan enak dan dessert yang manis dapat menjadi moodbooster untuk segala jenis perasaan gundah. Hal ini juga yang membuat dia dan kedua temannya – Jun dan Uji – akhirnya memutuskan membangun restoran di daerah Senopati.

“Oh iya, om minta nomer orang tua Upin ya, ayah ibuk atau salah satunya boleh, biar nanti om kabarin ke mereka.” pinta Wonwoo yang meninggalkan Yuvin setelah melihat anggukan remaja itu.

Sedangkan di meja makan ada sticky notes yang ditinggalkan oleh Yuvin: “Ayah Mingyu; 0811-111-604xx” ditempelnya sticky notes itu di kulkas, ditumpukan lembaran menu agar tidak terlupa.

Let Me In


Setelah satu bulan Jeon Wonwoo rungsing entah karena kerjaan yang memakan banyak waktunya atau tidak bertemu pujaan hatinya, akhirnya cutinya diapproved dan sekarang dia bisa menyusun rencana demi rencana selama cutinya bersama Mingyu, pria yang selama sebulan ini memang sangat dia rindukan.

Sekarang jam sudah menunjukkan diangka 8, tandanya dia bisa turun ke lantai bawah dan bertemu dengan si Kakak. Dia keluar ruangannya riang, melambaikan tangan dan memberi senyuman kepada teamnya yang masih bergelut dengan deadline, efek dari cutinya yang diambil tepat dengan long weekend. Dia berjalan menuju lift, dan dia melihat pria tinggi yang berbalutkan jas biru dongker dengan motif kotak-kotak kecil tepat di depannya.

“Mingyuuu..” panggilnya sedikit berlari, merengkuh pria itu.

“Hai..” sapa pria itu sambil tersenyum, membalas pelukan pria manis di hadapannya yang memang juga sangat dia rindukan.

“Udah makan?” tanya pria berjas biru dongker itu sambil mengecup pucuk kepala Wonwoo.

“Kamu?”

“Belum dong, aku mau makan sama kamu.” jawab Mingyu sambil mencubit gemas hidung bangir pria yang sudah mencuri hatinya diam-diam ini.


Agendanya malam ini adalah makan di drive-thru McDonald's seperti yang diinginkan oleh pria berkacamata di sebelahnya. Setelah kenyang, kini mereka sudah ada di rumah Mingyu, sesuai dengan permintaan Wonwoo yang lagi stress berat, dia meminta untuk tinggal di situ selama dia mengambil cuti. Dan ide itu justru sangat diterima hangat oleh Mingyu, yang juga sama rindunya.

“Kamu mandi duluan gih! Tas kamu ini aku simpen di ruang kerjaku aja ya, kalau bajunya kamu ambil di closets, handuk ada di kamar mandi, bathrobenya juga.” kata Mingyu ketika sampai di rumahnya. “Anggep rumah kamu sendiri.” sambil mengecup kening Wonwoo, kemudian pria itu membawa tas kerja Wonwoo ke ruangan kerjanya di lantai 2.

Setelah Wonwoo selesai membersihkan dirinya dengan berbalutkan bathrobe, dia naik ke atas kasur Mingyu yang berukuran King itu, sambil membaca novel yang belum sempat dia selesaikan. Sebenarnya, novel hanya sebagai tameng dirinya untuk tidak terlalu deg-degan, karena sekarang darahnya berdesir, kupu-kupu terbang dan bersarang di perutnya. Sudah lama tidak tidur sekamar dengan Mingyu, dia jadi agak salting juga.

Tak lama pria manis yang sedang salting itu berjalan ke arah closet yang cukup besar dan membiarkan pintunya terbuka, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan tanpa sengaja melihat bentuk badannya saat Wonwoo membuka bathrobenya dan memamerkan punggung halus putihnya. 'Oh shit! Jeon Wonwoo!' kata orang itu dalam hati, ada rasa ingin memeluk pria di dalam closets itu segera, namun ditahan mati-matian. Wonwoo memilih kaos yang kebesaran ditubuhnya, mungkin kaos Mingyu akan selalu kebesaran untuk tubuhnya, dari dulu juga seperti itu. Setting by default, valid no debat. Kali ini, kaos yang dia pilih berwarna putih sedikit lebih panjang hingga menutupi setengah pahanya.

Dia juga mengambil satu boxer pendek yang tenggelam di bawah kaos putih itu dan dirasa boxer ini akan cukup dengan pinggangnya. 'Lho? Kok ini di gue pendek bgt? Apalagi di Mingyu! Ini punya siapa?' tanyanya dalam hati insecure, dia masih belum sadar kalau sedari tadi Mingyu hampir meninggoy menahan gemasnya. Ketika dia berbalik, betapa terkejutnya dia melihat ada sepasang mata memandangnya dari pintu closets.

“Kenapa pintunya dibuka?” tanya Mingyu sambil melangkah ke arahnya.

“Lupa, kalau belum aku tutup ternyata. Hehe” Alasan Wonwoo sambil menyunggingkan senyumannya.

“Btw, ini boxer siapa ka?” tanyanya sambil mengangkat kaos yang menunjukkan boxer yang Wonwoo pake. 'Masya Allah, pake boxer aja gemes banget gini.' kata Mingyu dalam hati.

“Baru kok itu, aku beli ga tau, pas mikirin kamu kali.” jawab Mingyu santai. Wonwoo mengangguk tanda setuju-setuju saja supaya cepet bisa keluar dari ruangan itu, karena jujur kini dadanya sungguh sudah bergetar hebat ketika pandangan yang disuguhkan adalah Mingyu dengan bathrobe tapi tidak tertutup dengan benar.

Dada bidang Mingyu terpampang nyata di depannya sekarang. Sudah lama rasanya ia tidak memegang dada itu saat tidak ada yang membalutnya. Wonwoo pun mengalihkan pandangannya dengan bedehem kecil dan melanjutkan tujuannya kembali ke tempat tidur dan berjalan melewati pria dengan gigi bertaring itu, namun tangannya ditahan pelan.

“Mau kemana?” tanya Mingyu.

“Ke kasur?” tanya Wonwoo balik.

“Oh yaudah.” kata Mingyu sambil mencuri kecupan dibibir Wonwoo. Wonwoo langsung berbalik, menghadap Mingyu dan berbisik, “Aku better pake boxer atau ngga Ka, malem ini?” tanya Wonwoo sambil menyunggingkan senyum jahilnya, lalu dia langsung berlalu meninggalkan Mingyu di closets tanpa menutup pintu itu.

Dia tau Mingyu masih memerhatikannya dengan membeku setelah ucapan jail Wonwoo barusan, pria dengan tubuh ramping itu membuka boxernya sambil menungging sedikit, dan langsung merangkak ke kasur yang memperlihatkan pantat sintalnya dibalut hanya dengan celana dalam berbahan sutra mengilap dan menenggelamkan badannya di bawah bedcover sambil kembali membaca novelnya.

Bulu kuduk si pria yang sedari tadi memperhatikannya meremang, jantungnya bergetar hebat, Wonwoo yang di depannya itu sudah membuat kejantanannya mengeras sedikit, lalu dia menutup pintu closets itu. Sedangkan di tempat tidur, Wonwoo tersenyum jail karena dia tau si pria yang lebih tua itu pasti sedang menahan dirinya mati-matian. Wonwoo, selalu tau kelemahan Mingyu.

Mingyu sudah mengganti bathrobenya dengan boxer setengah paha dan kaos sleeveless hitam yang memamerkan otot-otot di lenganya. Saat Mingyu membuka pintu closets, Wonwoo sedang membaca buku dan melihat ke arah bunyi tersebut sepintas, lalu pura-pura kembali membaca.

“Matiin lampu ya? Akukan tidur gelap?” disambut dengan anggukan Wonwoo, Mingyupun mengatur cahaya kamar ruangan tesebut melalui ponselnya.

Mingyu yang kini sudah menidurkan badannya di atas kasur, menghadap ke arah Wonwoo yang masih membaca dengan penerangan lampu di atas naksas tersebut.

“Gimana matanya ngga makin-makin sih kalau baca novel cuma pake lampu tidur?” tanya Mingyu sambil mulai melingkarkan tangannya dipinggal Wonwoo. Katakan Wonwoo panic in the cool way, bulu kuduknya meremang tapi tetap menampilkan wajah datarnya.

“Besokkan libur, aku mau beresin novel ini aja.” jawabnya.

“Justru karena besok libur dan kita mau berangkat ke villa, kamu harus tidur.” tukas Mingyu sambil mengambil novel dari tangan Wonwoo, menyimpannya di nakas sebelah sisinya tidur, membuka kacamata pria berhidung bangir itu, meletakkannya di atas novel yang tadi dan meredupkan cahaya lampu tidur di sebelah Wonwoo dengan sedikit menindih prianya itu, Wonwoo sedikit kaget.

Tak lama, Wonwoo mulai membaringkan tubuhnya di kasur sisi sebelah Mingyu, menghadap Mingyu yang sudah mulai memejamkan mata dan mendekatkan dirinya kedekapan pria itu, meletakkan kepalanya di lengan Mingyu, masih ada ragu sedikit dari Wonwoo untuk berada dijarak sedekat ini dengan Mingyu. Walaupun tidak jarang mereka melakukan intimates affection seperti pegangan tangan, berpelukan bahan berciuman. Tapi untuk tidur di dalam pelukan Mingyu, merasakan detak jantungnya, nafasnya di atas pucuk kepalanya, pelukan posesifnya ketika sedang tidur, kecupan-kecupan kecil sebelum mereka ke alam mimpi, semuanya cukup sedikit asing dalam beberapa tahun kebelakang ini untuknya. Tapi, tetap dia lakukan untuk mencoba, karena dia berjanji akan berjalan menuju Mingyu dan merengkuhnya erat.

Mingyu menarik badan Wonwoo untuk semakin mendekat dan menghabiskan jarak yang ada ketika dia merasakan tubuhnya mulai di dekap oleh pria yang ada dihadapannya. Tangan Minngyu menulusup masuk ke dalam t-shirt putih kebesaran milik prianya itu, mengelusnya di sana penuh sayang. Wonwoo menatap Mingyu yang masih mengelusnya, Mingyu menurunkan arah pandangnya, mulai mengecupi kening, pipi, dan hidung pria di sampingnya.

“Kenapa?” tanya Mingyu dengan nada yang cukup lembut.

Tanpa menjawab, Wonwoo langsung merapihkan posisinya agar wajah mereka sejajar, dia langsung mengelus pipi pria itu dengan tangan kirinya, kemudian tangannya pindah untuk mengelus tengkuk Mingyu, mengecup bibir milik Mingyu berkali-kali sambil tersenyum. Karena perasaan gemas yang menghampiri, pria itu melumat bibir bawah Wonwoo, mendekatkan tubuh sekaligus menekan punggung Wonwoo yang sedari tadi dielusnya. Wonwoo mulai mengimbangi ciuman itu dengan melingkarkan tangannya ke tengkuk milik Mingyu, lidah Mingyu menelusup masuk ke dalam mulut Wonwoo sambil beradu dengan lidah Wonwoo di dalam sana.

Tangan Mingyu mulai turun dari punggung Wonwoo ke pinggangnya, merematnya sebentar, mengelusnya dengan ibu jari dan berpindah lagi ke pantat sintal milik Wonwoo yang hanya tertutup celana dalam berbahan sutra, mengelus lembut lapisannya. Wonwoo memeluk pinggang Mingyu dengan kakinya agar memudahka pria tampan itu mengakses bagian bawah tubuhnya itu dan Mingyu sesekali meremasnya, Wonwoo menahan lenguhannya. Ciuman masih bertaut di sana cukup lama, hingga mereka kekurangan oksigen dan melepaskan tautan tersebut. Wonwoo mengelap bibir Mingyu yang basah dan menyamankan kepalanya ke dada Mingyu, namun masih melingkarkan kakinya dipinggang Minggu.

“Good night, Ka..” kata Wonwoo dengan nada yang tenggelam di dada Mingyu.

“Good night, Nu..” balas pria itu sambil melingkarkan tangannya yang menjadi bantal untuk Wonwoo dan memeluknya.


ADDICTED TO YOU 💫 ———————‐—————————————————————————————

Tepat jam 9.00 pagi, seorang pria ramping, putih dan lumayan tinggi yang hari ini menggunakan celana skinny jeans hitam dipadu dengan kemeja biru muda polos, tidak lupa lengan baju dilipat hingga siku, melayangkan senyumnya kepada security saat memasuki lobby area perkantoran itu. Jeon Wonwoo namanya, siapa security yang tidak tahu dia, pria dari lantai 35 yang selalu ramah kepada orang yang dijumpainya. Dia kerja di gedung ini sudah hampir 3 tahun, di salah satu agency media multi international.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, pria bermarga Jeon yang dipanggil Wonwoo itu akan absen di kantor, menaruh tasnya, menghidupkan leptopnya dan meninggalkan cubical utuk membeli secangkir kopi untuk mengawali harinya. Hari ini jatahnya membeli kopi latté di kedai Starbucks lantai 1 dan membelikan teman dekatnya – Jun – double shot ice americano coffee.

“Jeon!” Panggil seseorang yang suaranya sangat dia kenali, orang yang dipanggil Jeon itupun malas memalingkan wajahnya, dia hafal sekali dengan suara itu.

“Don't call me Jeon, you dumbass!” omelnya ketika pria yang bernama Jun itu duduk di hadapannya.

“TGIF nih, Won.” kata Jun sambil menaikkan kedua menaikkan kedua alisnya dan mengambil gelas ice americano yang dari tadi sudah bertengger di situ. “Ikut gue yok! Party party!” sambungnya.

“Ngga ah! Lo kan tau gue bukan orang yang into party gitu.” kata Wonwoo sambil menyisir kebelakang suarainya menggunakan jari jemari lentiknya.

“Ah, sekali aja sumpah! Kalau lo ga suka, kita balik. Bahkan gue akan ikut balik.” kata Jun yang dibalas dengan mata Wonwoo yang membulat. Tawaran yang sangat menarik karena Jun pulang di tengah pesta merupakan hal yang tidak akan pernah terjadi seumur hidupnya. Jun adalah sahabatnya dari SMA, dia kenal betul teman dekatnya ini, dia tidak pernah ingkar janji memang tapi tidak juga pernah meninggalkan pesta di tengah-tengah acara. 'Impressive' gumam Wonwoo dengan wajah yang masih mempertimbangkan tawaran Wonwoo.

“Acaranya Private Party kok, lo seharusnya akan lebih nyaman.” kata pria tinggi yang hari ini menggunakan kemeja hitam dengan celana jeans skinny robek-robek di area lututnya. Mereka sudah berdiri meninggalkan meja kedai kopi itu dan mulai berjalan ke arah lift untuk naik kembali ke kantor.

“Private Party justru lebih ga nyaman.” Kata pria berkacamata bundar itu sambil memijit tombol lantai kantor mereka.

“Ya lo ga harus joget?” ucap Jun santai.

“Ya bukan masalah jogetnya, Tuyul! Tapi, masalah ini acara siapa? Kan gue ga kenal.” jelas Wonwoo perlahan sebelum dia menggencet Jun diantara pintu lift.

“Temen gue pas kuliah di Aussie, nanti gue kenalin deh. Biar lo kenal, terus lo nyaman. Jadi, gue tetep party dan lo ga minta pulang.” ucap Jun santai.

“Udah tau gue anaknya ga suka pesta-pesta, masih aja disuruh ikutan sama gaya lo!” kata Wonwoo berjalan keluar dari lift dan berjalan ke arah mejanya.

“Yaelah, lo tuh punya tampang cakep, dipergunakanlah untuk memancing jenis kelamin yang lo suka! Jangan disia-siain. 25 tahun hidup lo terbuang sia-sia, Won.” ucap Jun sambil menaruh tasnya di meja depan milik cubical Wonwoo. Wonwoo ga pernah ambil pusing dengan ucapan Jun, dia memang typical pria yang suka meracau dan Wonwoo sangat hafal itu.

“Okay, tapi ada 3 syarat!” ucap Wonwoo.

“Shot!”

“Satu, gue ga boleh mabok, lo harus mengingatkan gue untuk sober, eventhough you're drunk!” kata Wonwoo, Jun menautkan kedua alisnya bingung 'Gimana gue mau ngasih tau dia, gue aja mabok kali.' kata Jun dalam hati. Dan Wonwoo menaikkan satu alisnya sambil bertanya dalam diam dengan menatap Jun 'Bisa ga lo?'

“Okay, cool! Next!” Kata Jun setelah terdiam beberapa detik, dia tidak yakin, tapi baiklah dia akan mencoba berusaha pikirnya.

“Kenalin gue dulu sama yang punya party-nya, at least gue tau di kandang macem apa gue berada.” kata Wonwoo lagi, kali ini Jun menjawab mantap, “Pasti pasti! Singanya Soft, namanya Joshua.” senyum disunggingkan di sana.

“Yang ketiga, lo pulang sama gue, in the middle of the party or not! Kaya janji lo barusan.” kata Wonwoo sambil kembali duduk di mejanya dan mulai menghidupkan kembali laptopnya yang daritadi ditinggal dengan mode sleep.

“Easy!” kata Jun yakin.


Seperti yang sudah mereka sepakati, di sinilah Wonwoo dan Jun, di depan rumah super mewah dengan arsitekur modern eropa, pintu kayu entah mahagoni atau jati yang terpampang tinggi di hadapan mereka.

“I never know you have this kinda friends, like crazy rich?” gumam Wonwoo masih terbengong-bengong melihat bangunan di depan matanya.

“I am. Gue tajir juga gila! Lo ga tau siapa yang punya Wenwen Corp?” tanyanya. Wenwen Corp adalah perusahaan konstruksi terbesar ketiga di Cina saat ini dan ya itu memang punya ayahnya Jun.

“Kebanyakan main sama gue, gaya lo jadi ga ada kaya-kayanya.” ucap Wonwoo, sambil mengikuti Jun yang sudah masuk ke dalam rumah itu.

Dibandingkan dengan Jun, keluarga Wonwoo terlihat biasa saja, Papa Jeon membangun bisnis antar paket yang sekarang sudah ada seribu lebih cabang di Indonesia dan Mama Jeon hanya ibu rumah tangga. Wonwoo anak sulung dengan satu adik bernama Jeon Seungkwan.

“Woy, bro! You're here!” sapa Jun kepada pria tinggi tegap, berkulit sedikit lebih gelap darinya dan tersenyum ke arah Jun sambil menampilkan sederetan gigi rapih dengan taring itu, sedikit membuyarkan lamunannya.

“I've arrived two weeks ago, I guess.” kata pria tampan itu.

“Won, let me introduce my friend, Mingyu, Kim Mingyu.” kata Jun sambil menepuk pundak Wonwoo. Pria yang disebut bernama Kim Mingyu itu mengulurkan tangannya, dan dibalas oleh Wonwoo dengan senyum manisnya. 'Cute' gumam Mingyu dalam hati.

“Yuk, Won. Masuk lagi kita.” rangkul Jun, “Talk to you later, bro!” meninggalkan Kim Mingyu yang masih menatap ke arah Wonwoo. Wonwoo tetap mengikuti Jun.

“Inget 3 syaratnya!” gumam Wonwoo. “Iya, Meng! Inget!” jawab Jun yang sekarang sudah memegang gelas beer.

“Mau ga?” tawar Jun. “Inget syarat pertama, anjir!” jawab Wonwoo sedikit kesal. Jun sudah meminum gelas yang dipegangnya seteguk demi seteguk. Wonwoo masih berada di dekat Jun saat itu, sampai seseorang pria dengan perawakan kurus, rambut blonde berkilau datang ke arah mereka, “Hai, Jun!” sapa pria manis yang saat itu menggunakan kemeja berbahan silk merah maroon, 'Pasti host party nih. Paling niat soalnya.' pikir Wonwoo.

“Hai Joshua! Here we go! Syarat ke dua lo, Won. Ini host partynya Joshua Hong!”

“Just call me Josh, and you?” tanya host party ini sambil menjulurkan tangannya, 'So far, temen-temen Jun ramah sih, belum ada yang gimana-gimana. Mungkin karena masih sore? Baru jam setengah 9 malam gitu.' pikir Wonwoo.

“Wonwoo.” jawab sahabat Jun itu sambil membalas uluran tangan Joshua untuk bersalaman.

“Okay, Wonwoo. Nice to meet you! Enjoy the party!” kata Joshua ramah sambil meninggalkan mereka berdua – Jun dan Wonwoo – entah ke arah mana.

Malam semakin larut, Wonwoo sudah memegang gelas beernya yang kedua dan berdiri di balkon lantai atas sambil menghirup udara malam dan semilir angin menerpa surai hitamnya. Jun entah sudah ada di mana, Wonwoo tidak mau ambil pusing saat ini, yang dia tau kini sudah mulai sedikit mabuk. High tolerance alcohol Wonwoo terbilang sangat rendah, dia bisa melakukan apa saja, dan melupakannya saat sadar nanti. Makanya, dia memberikan syarat pertama ke Jun.

“Sendirian?” tanya pria di sampingnya yang sedang menghirup alat vape miliknya. Pria itu Kim Mingyu, pria yang pertama kali dikenalkan Jun saat mereka menginjakkan kaki di rumah ini.

“Hmm..” gumam pria manis itu sambil menyesapi beer yang masih tersisa digelas yang sedang dipegangnya. “Lo?” tanyanya kepada pria tampan di sampingnya, sebagai tata krama dalam conversation saja, pikirnya.

“Haha. Everyone who's here is my friend.” jawabnya sambil memandangi wajah pria manis yang diahiasi dengan semburat pipi merah merona muncul dikedua pipinya. Wonwoo langsung jalan menuju ke arah berdirinya Mingyu, “Okay, then.” kata pria yang sudah setengah tidak sadar itu mengedarkan pandangannya ke arah lain.

“Mau temenin gue ngga? I don't like this kinda party.” kata Wonwoo lagi sambil menatap Mingyu tajam dengan manik rubahnya. Mingyu membalas tatapan itu dengan senyuman, “Boleh, lo mau kemana di rumah ini? Gue hafal.” kata pria yang bernama Mingyu itu dengan yakin, “Gue sepupu Josh by the way, ini rumah tante gue.” lanjutnya.

“Lo boleh tunjukkin gue ke arah kamar aja ngga? Gue udah mulai pusing.” kata Wonwoo sambil memegang tulang hidung. “Kamar yang mana?” tanya Mingyu.

“Yang mana aja, as long as gue bisa baring.” jawab Wonwoo.

“With my pleasure. Follow me!” kata Mingyu diikuti oleh Wonwoo di belakangnya, Minggu sesekali melihat ke belskang takut Wonwoo hilang atau tersesat di rumah besar ini. Lagu keras mengalun kencang di semua sudut ruangan. Orang-orang mabuk menikmati pesta, berjoged mengikuti alunan, ada yang kissing di dapur, ada yang mulai grepe-grepe di bawah tangga. Yang sudah pasti yakin, orang-orang itu 80% mabuk.

Mingyu menghentikan langkahnya di salah satu pintu lantai 2, tempat balkon itu berada. Mereka menyusuri lorong, ada beberapa orang berciuman di sana dan menghiraukan mereka yang jalan melewatinya. Mingyu membuka pintu putih itu, dan mulai masuk ke kamar tersebut, mengajak Wonwoo yang sedang memegang batang hidung menahan sakit kepala untuk segera masuk. Wonwoo pun mengikutinya.

Dia duduk di pinggir ranjang, dan Mingyu ikut duduk di sebelahnya, ingin memastikan bahwa pria ini akan berbaring. Wonwoo melihat ke arah Mingyu, sakit kepalanya mulai mereda, dan merekapun saling menatap obsidian masing-masing, Pria yang berkulit lebih gelap itu membuka kacamata pria dihadapannya lalu menarik badan Wonwoo lebih mendekat, pria manis itu teruhuyung ke depannya, kaget, namun tidak melakukan perlawanan.

Dari dekat sini, Mingyu menatap obsidian Wonwoo dalam-dalam, tangan kanan Wonwo mulai membelai paha Mingyu dengan jari lentiknya, dari atas paha hingga ke dalam pahamnya pria tinggi itu, awalnya, dia sedikit kaget dengan apa yang dilakukan pria manis di depannya. “Lo mabok?” tanya Mingyu. Wonwoo hanya mendekatkan wajahnya ke daun telinga Mingyu dan berkata, “Gue horny!” katanya sambil kembali melihat manik mata Mingyu dan melingkarkan kedua tangannya ke leher pria dengan dada bidang yang dibalut kemeja bahan silk berwarna hitam dengan motif polkadot itu. Mingyu melihat ranum merah bibir Wonwoo, dan mengikis jarak antara mereka berdua, menciumnya perlahan, melumat bibir bawah milik pria di depannya, dan Wonwoo membelai halus surai belakang Mingyu. Sepupu dari host party ini mulai melumat penuh nafsu dan dibalas oleh Wonwoo, mulut mereka berpagut, menyatu. Lidah Mingyu mulai menjelajahi rongga mulut Wonwoo, mengabsen semua yang ada di dalam sana, menyatukan lidahnya dan lidah Wonwoo, memainkannya hingga mereka berdua merasakan kehabisan oksigen dan perlahan melepaskannya. Setelah mengambil nafas secukupnya, Wonwoo mengemut lagi bibir atas Mingyu, Mingyu pun membalas dengan mencium dengan sedikit gigitan kecil di bibir bawah pria yang entah sejak kapan sudah naik kepangkuannya, melingkarkan kakinya di pinggang Mingyu, Mingyu pun mulai memasukkan tangannya ke dalam kemeja biru Wonwoo, dan mulai menggerayanginya, dari pinggang, kemudian ke punggung Wonwoo, mengelusnya di sana. Bibir mereka masih berpagut penuh nafsu. Wonwoo mulai menggesekkam kepunyaannya di depan perut Mingyu, Wonwoo mulai mendesah di dalam ciumannya.

Bibir mereka terlepas, masih ada benang saliva di antara keduanya. Mingyu memutuskan benang itu dan mengelus bibir ranum milik Wonwoo sambil tersenyum. Wonwoo membalas senyumannya, dengan perlahan tangannya menggerayangi dada Mingyu yang masih berbalut kemeja dan membuka kancing tersebut satu persatu, dijilatinya daun telinga Mingyu hingga pria itu sedikit mendesah. Wonwoo turun ke leher Mingyu, menyesapnya pelan, menjilatinya, sedangkan Mingyu sudah mulai melepas kemeja Wonwoo, sambil sesekali mencium telinganya yang ada di bahunya ketika pria dipangkuannya ini sedang menghisap area bahunya. Baju Wonwoo dan Mingyu pun sudah ditanggalkan, kini giliran pria yang memiliki gigi taring itu untuk menyesap leher jenjang milik Wonwoo, Wonwoo pun menengadahkan kepalanya dan memberi ruang kepada sang dominan untuk mengakses leher jenjangnya. Mingyu memberinya bercak-bercak merah sedikit keunguan di leher, ceruk leher, bahu, collarbone dan dada milik Wonwoo sambil memilin dua buah tonjolan di dada Wonwoo secara bergantian. Wonwoo hanya mendesah, desahan pria di hadapannya ini bagaikan alunan yang mengajak Mingyu untuk berbuat lebih, kini, bibir Mingyu sudah ada di tonjolan dada sebelah kanan milik Wonwoo.

“Ngghhh...” desahnya, sambil memegang kepunyaan Mingyu di bawah sana, pria itu mendesah lirih, “Nghh..” desahnya. Desahan demi desahan mereka mengisi kamar itu saling bersahutan.

Kini Wonwoo dan Mingyu sudah ada di kasur tanpa sehelai benangpun di badan mereka, mereka sudah berganti posisi dengan Mingyu yang masih menjilati bagian perut dan pusar pria berkulit pale itu sambil mengurut kejantanan Wonwoo secara perlahan.

“Nghhhhh..” tanpa perlawanan, Wonwoo hanya mendesah. Kini 2 jari, jari telunjuk dan tengah Mingyu sudah ada di depan mulut Wonwoo.

“Emut, Won!” perintah Mingyu yang dituruti oleh pria yang ada dibawahnya. Wonwoo mengulum, menjilati dan mengemut jari-jari Mingyu penuh nafsu sambil sedikit desahan keluar dari mulutnya. “hhhh..” sambil memilin kedua putingnya sendiri. Mingyu yang melihat itu semakin merasakan kejantannya ikut tambah mengeras. 'Oh, shit! Sexy banget orang ini.' gumamnya dalam hati, hormonnya sudah sampai dipuncak saat ini. Semakin panas udara di ruangan ini, padahal Mingyu sudah menyalakan ACnya tadi sore.

Mingyu menarik jari-jarinya, terlihat semburat rasa kecewa di wajah Wonwoo. Kemudian, dia mengolesi pinggir lubang milik Wonwoo yang tampaknya kini sedikit berkedut. Dia masukkan jari tengahnya terlebih dahulu, memasuk-keluarkan perlahan, Wonwoo masih memilin putingnya sambil mendesah kencang, terus mendesah, kemudian Mingyu nemambah dengan jari telunjuknya, kini sudah ada 2 jari di lubang itu, Wonwoo semakin merasa dia akan menjadi gila karena sudah mulai meracau dan mendesah sejadi-jadinya. Dan sekarang Mingyu memasukkan jari manisnya, masih melakukan hal yang sama, memasuk-keluarkan jarinya, menekan sweet spot milik Wonwoo yang sudah dia lakukan berkali-kali.

“Ohhhh... Minghhhh.. Ahhh.. Iyahhhh.. disituuuhhh.. Nghhh...” desah pria bermata rubah itu, Mingyu mulai mempercepat ketiga jarinya, “Ngghhhhh.. I come..” hingga Wonwoo merasakan pelepasannya malam ini, dan cairan putih itu menyembur ke perut Mingyu.

“Baby, you came before I even touch it..” kata Mingyu tersenyum jahil, Wonwoo melingkarkan tangannya ke tengkuk leher Mingyu, “Yes, and it's not over yet, Daddy.” kata Wonwoo berbisik menggoda Mingyu yang ada di atasnya.

Sekarang Wonwoo sudah berdiri dengan bertopang lutut di depan Mingyu, Mingyu memperbaiki posisi untuk Wonwoo dapat langsung melihat kearah alat kelaminnya yang semakin mengeras. Pria yang ada dibawah itu mulai menggenggam kejantanan Mingyu dan memasukkannya ke dalam mulutnya, memainkannya dari mulai mengocok pangkalnya.

“Nghhhhhh... Wonhhhhh... Oh My God, babyyhhh..” desah pria yang sedang berdiri itu ketika lidah Wonwoo mulai mengulum miliknya seperti sedang mengemut lolipop dan menghisapnya. Mingyu menahan nafsunya untuk tidak mendorong kepala Wonwoo untuk lebih dalam lagi.

“Sayanghhhh... Nghhh.. muluthh kamuuhhh angethhh...” desahnya ketika Wonwoo masih memasuk dan mengeluarkannya. Last touch, Wonwoo memberikan deep throat untuk pria tampan itu. Sekali, “Ngghhhh... shit...” erang Mingyu. Yang kedua, “Owhhhh... Wonwoohhhh... fuck!” dan yang ketiga, “Nggghhhhhhhhh...” erangan Mingyu tanda pelepasan cairan putih miliknya kini ada dirongga mulut Wonwoo. Setelah selesai, Wonwoo melepaskan penis milik Mingyu dan menelan cairan itu.

Wonwoo berdiri dan langsung digendong koala style oleh Mingyu, dia sedikit memutari ranjang yang lumayan besar itu untuk meletakkan pria dipelukannya ke atas ranjang. Saat itu juga kejantanan Wonwoo yang mulai mengeras lagi bergesekkan dengan perut Mingyu, Wonwoo mendesah, “Ahh..”

Pria yang lebih tinggi dari Wonwoo itu menurunkan Wonwoo di atas ranjang miliknya, “Nungging sedikit ya, Won.” pintanya lembut, Wonwoo pun menurutinya, dijilatnya lubang basah milik pria dengan pantat sintal itu, sambil memasukkan dua jarinya beserta dengan lidahnya, keluar masuk lubang itu. Wonwoo mengerang, mendesah keenakan. Mencengkeram seprai yang berada di sampingnya, semakin lama semakin cepat gerakan Mingyu di bawah sana, semakin gila Wonwoo dibuatnya. Wonwoo mulai meracau sambil mendesah. Pelepasan kedua Wonwoo pun keluar, cairan kental itu membasahi bagian seprai dan perutnya. Mingyupun membalikkan tubuh Wonwoo yang mulai kelelahan, dia naik ke atas ranjang dan mengambil tempat di samping Wonwoo, mengelap peluh keringat bagian leher Wonwoo.

Wonwoo menghadap ke samping, ke arah Mingyu dan mengurut penis pria yang memiliki harum citrus dengan campuran keringat yang membuat Wonwoo ingin menghirupnya lagi dan lagi, saat yang bersamaan Wonwoo menciumi dada bidang pria itu, ototnya sangat pas ditubuh Mingyu sehingga terlihat sangat sexy di mata Wonwoo, darah Wonwoo mulai berdesir, menginginkan pria ini untuk bermain bersamanya lebih lama lagi. Sedangkan Mingyu mendesah merasakan nikmatnya tangan Wonwoo sambil menyisir surai pria dipelukannya itu dan sesekali mengecup kening Wonwoo.

Dikecupinya dada Mingyu dan masih mengurut kejantanannya lembut, “I want this inside my hole, Daddy!” ucapnya berbisik sambil mengulum bibir Mingyu berantakan dan penuh nafsu. Mingyu membalas ciuman itu, kini tangan yang tadi menyisir halus rambut Wonwoo kini turun, membuat lingkaran di pinggil lubang itu, kemudian memasukkannya lagi untuk mempersiapkan lubang itu agar bisa dia masukkan dengan kejantanannya yang cukup dibilang lebih dari kata standard. Wonwoo mendesah lagi, Mingyu membuat gaya scissor di dalam sana, dan mulai memposisikan diri di antara selangkangan kaki Wonwoo. Mengambil bantal, menaruhnya dipinggul di hadapannya ini agar lebih nyaman dan memasukkan kejantanannya secara perlahan.

Wonwoo mengerang, “Tell me if you're ready, Baby.” pinta Mingyu, kini kepala penisnya sudah masuk, tapi Wonwoo tampak kesakitan, jadi dia biarkan di sana, sampai Wonwoo siap untuk ditambah lagi.

“Yes, Daddy. Please!” rengeknya, Mingyupun mulai memasukkannya perlahan, kini sudah setengah, “Hold on Baby, it will be good!” kata Mingyu mendorong semua alat kelaminnya memenuhi tubuh bawah Wonwoo.

“Babe, Tell me if I can move.” kata Mingyu lagi, penuh consent. Sebenarnya Mingyu ingin sekali mengocoknya, tapi melihat Wonwoo yang merintih dia jadi ngga tega.

“Please move now, Daddy- Ahhh.. Nghhhh... Mingyuuuhh.. ini enakhhh..” belum selesai Wonwoo mengatakan dia siap, Mingyu sudah menggempurnya, memasuk keluarkan kejantanannya, menumbuk di sana.

“Aaahhh.. iyaa disituuhhh.. Ooohhh my God, Daddyyhhh.. punya kamuuhhh gedeeh bangethhh..” desahnya sambil meracau dirty talk yang sebenarnya sangat disukai Mingyu.

“Your asshh.. so tight, Baby.” kata Mingyu semakin menumbuk sweet spot Wonwoo, hingga pria yang di bawah ini keenakan seperti sedang pergi ke langit ke 7. Wonwoo menggapai tengkuk Mingyu, menariknya, dan menciumnya lumat-lumat, Mingyu membalasnya sambil tetap menggoyangkan pinggulnya di bawah sana.

Kini Mingyu mempercepat temponya “Won, your ass very clenchinghh..” Mingyu memegang pinggul Wonwoo possessive.

Wonwoo dibawah itu memilin putingnya sendiri, merasakan nikmat yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan, “Daddy, akuhhh ngga kuatthhh!” katanya, satu tangannya mulai mengurut kejantanannya.

“Bentar lagi, Sayang.. Ini aku..” Mingyu semakin mengencangkan goyangannya.

“Minghh.. akuuhhh.. aaahhhhhhh....” cairan putih yang ketiga keluar lagi dari kejantanan Wonwoo yang menyembur ke perutnya dan Mingyu, kakinya bergetar. Mingyu masih bekerja di bawah sana. Hingga dia mendapatkan pelepasannya yang kedua di dalam lubang milik Wonwoo. Perut pria itu terasa sangat penuh, hingga cairan-cairan itu menetes keluar dan Mingyu dengan perlahan menarik kamaluannya, lalu mengistirahatkan tubuhnya di samping Wonwoo.

“Kamu sexy banget, Won.” ucap Mingyu sambil mengecup bibir Wonwoo, Wonwoo membalas kecupannya.

Pria di sisi kanannya itu tampak sangat mengantuk, diambilnya selimut yang tadi terjatuh, dipeluknya pria ramping di sebelahnya. Dikecupinya kening pria tersebut dan diapun ikut terlelap.

‐———————-‐-‐———————

Paginya, Wonwoo terbangun di tempat yang asing baginya, kepalanya tidak terlalu pusing, sangat berat sedikit akibat beer yang ia konsumsi tadi malam. Dia mimpi aneh, making love dengan seseorang yang berbadan bagus, tampan dan wangi, kini dia merasakan kini penisnya menegang kembali 'Should I go to Solo?' rutuknya dalam hati. Dan seketika ia terkejut melihat ke dadanya, penuh tanda kemerahan dan pinggulnya terasa sakit, ketika dia ingin duduk, pantatnya terasa panas. 'What did I do last night?' gumamnya dalam hati. Yang dia tau dia mabuk setengah tidak sadarkan diri. Di nakas ada ponselnya dan sepucuk notes.

“Kalau udah bangun, turun ya.. Let's grab some breakfast.” tulisan tangan di post-it itu rapih.

Ponselnya pun berdering, unknown number, dia masih melihat ke layar kaca itu. Kemudian tak lama, ia pencet tombol hijau, dan

“Halo..” sapa Wonwoo

“Hai, are you awake?” tanya pria di seberang sana, suaranya seperti yang dia kenal, 'tapi di mana?'

“Yes, and to whom I'm speaking?” tanya Wonwoo sedikit bingung.

“Mingyu, Kim Mingyu. Haha.” jawab pria itu sambil tertawa karena dia tau Wonwoo sedang bingung sekarang.

“Are you drunk last night?” tanya Mingyu, karena sejujurnya Mingyu juga bingung, apakah semalam Wonwoo mabuk atau tidak, karena pria manis itu tidak tampak mabuk berat, selain semburat merah yang muncul di kedua pipinya ketika di balkon.

“Maybe a little bit? Gue cuma minum 2 gelas beer, if I'm not mistaken?” jawab Wonwoo.

“Do you remember what happened after you ask me to stay?” tanya Mingyu lagi, Wonwoo sedikit bingung.

“Am I asked you to stay?” tanya Wonwoo balik.

“Yes, you told me that you didn't like the party, jadi lo minta gue nemenin lo?” jawab Mingyu santai, terdengar suara orang sedang menyeruput minum di seberang sana.

“I think i have drunk before that.” kata Wonwoo.

“Ah, I see.” ada suara kekecewaan di sana. “Hmm.. You can go downstairs for breakfast anyway. Gue mau pergi dulu.” sambung Mingyu.

“See you when I see you, Wonwoo.” kata Mingyu menutup teleponnya. Wonwoo masih bertanya-tanya, ada di manakah dia sekarang?

BBQ Party WherzKim Photography + Wonu Uwu


Part of Reunited Universe

Kehidupan gue sebagai Jeon Wonwoo akhir-akhir ini diambang krisis. Bukan quarter life crisis, tapi lagi krisis aja, kaya gue ketemu Mingyu lagi setelah 2 tahun, gue pelan-pelan untuk 'jalan' ke 'arah' dia lagi, walaupun gue tau ini ga gampang. Gue masih belajar, tapi yang gue tau gue sayang banget banget sama pria itu. Terus juga kerjaan gue lagi banyak-banyaknya, bikin gue ngga nafsu makan, ga pengen ngapa-ngapain, tapi pengen manja-manjaan. Sama siapaaa??? Okay, lupakan hormon gue yang kayaknya lagi ngawur karena stress belakangan ini.

Jadi, setelah mumet banget seharian mikirin kerjaan yang sempet tersendat gara-gara miscommunication dari Senin, kayaknya ngga dosa ya kalau gue mau nikmatin Friday Night juga dengan pria tinggi, berwajah tampan yang tadi chat ngajak gue ketemu malam ini dan iya setelah mikir bisa ngga ya gue ninggalin kerjaan, akhirnya gue memutuskan untuk menerima offeringnya. Chat terakhir adalah dia minta ditemenin beli daging lima kilo, kenapa ngga sekalian dia beli hewannya satu potong, terus, disembeleh di tempat? Ya kan?

Kayaknya, gue tau deh mau dibawa kemana gue malem ini, it's not like we will scrolling Jakarta until dawn, tapi, mau pesta daging sama team di studionya, tadi dia nyebut 9 orang if I'm not mistaken. Emang segitukan ya teamnya?

“Ka, bengong aja lu! Udah kelar kan urusan Bu Eti?” tanya cewe yang pake celana robek-robek di paha, sepatu kets, rambut dikepang dan kaos metal di depan, membuyarkan lamunan gue, eh, tapi gue baru ngeuh deh, ini anak grunge banget gayanya hari ini.

“Gue tanya! Bengong lagi?” tanyanya lagi sambil melambai-lambaikan tangannya di depan muka gue. Gue ga bengong, bagong! huft!

“Ngga, gue baru ngeuh hari ini lo grunge banget, mau nontonin band metal? Sehun manggung?” tanya gue ketawa kecil, diapun menjawab sambil menyunggingkan senyumnya.

“Iya dong! Friday night. Abis Sehun manggung di m-bloc kita mau jalan-jalan naik motor! Biar kaya AL anak jalanan!” katanya riang. Perempuan ini namanya Sejeong, yang dia sebut Sehun itu ya pacarnya. Gue pernah sekali lihat Sehun manggung dan besoknya gue migrain. Gak cocok sih gue sama alirannya yang kaya gitu, ya apalah gue yang lagu patah hatinya aja Marcell atau Kahitna. Huft.

“Lo? Mau langsung balik, Ka?” tanyanya lagi, iya, Sejeong ini emang bawelnya bukan main. Gue ga paham lagi aslinya kenapa dikasih team kaya dia, tapi, karena team gue type-nya cewe-cewe bawel kaya Sejeong, team gue jadi lebih hidup, ngga yang kerja doang, tapi, ngejulidin klien sampe curhat masalah pribadipun mereka open banget, ini emang guenya aja yang tertutup sih jadi pendengar aja kaya Taurus, padahal jelas gue Cancer!

“Bawel deh!” jawab gue sambil merapihkan leptop gue, karena sekarang udah jam 6.30 dimana gue janjian sama Mingyu jam 7 di lobby. “Mau jalan juga atuh! Emang lo doang!” kata gue santai sembari memasukkan leptop gue ke tas gendong yang biasa gue bawa, bentuknya kotak gitu, emang isinya buat leptop dan buku aja sih, jadi keliatannya pipih.

“Sumpaaaahh??????? Guys! Guys! Ka Wonwoo udah punya pacar, anjir!” teriaknya heboh. Ruangan kantor gue emang perdivisi gitu, jadi meja gue sama Jun kepisah sama kaca yang cukup besar, besar banget malah kaya aquarium, untung aja Jun ga denger, kalau denger tambah deh yang resek, dia pasti nyamperin ke divisi gue terus bantu ngehina yang jadi korban, ga cuma dia tapi bareng anak divisi dia juga, Eunwoo dan Jihyo. Kebetulan team gue dan Jun emang saling membutuhkan untuk hal kerjaan, jadi lebih sering main bareng.

“Ga perlu diannounce juga, tolong!” kata gue lirih, pipi gue anget, gue yakin banget nih pipi gue udah kaya tomat.

“Oemji!!! Ka Wonu, kalau lagi seneng ga bagi-bagi, giliran campaign ada angin ribut, berisik!” kata Mina, dia planner gue juga, cuma megang brand yang berbeda dari Sejeong, dan emang mulutnya sekampret itu, kalau di group Remehan Serbuk Jasjus, dia mirip Jihoon waktu jomblo. Jadi yaudahlah, kadang mulut gue sama cetusnya. Haha.

“Campaign ada angin ribut ya lo harus tau lah, kan brand lo! Gimana? Kalau ini kan masalah hati.” kata gue santai, duduk lagi, menghabiskan air putih gue dan beranjak dari meja gue.

“Lagian ini bukan pacar gue, belum lebih tepatnya! Jadi, diem-diem aja!” klarifikasi gue yang berjalan ngambil permen di meja Mina.

“Yaelah, pake klarifikasi!” Kata Tzuyu sambil melempar pandang ke Sejeong dan Mina, kebetulan di ruangan itu emang cuma sisa kita berempat sih. Jadi, atmosfernya santai gitu.

“Ini daripada kalian nyebelin banget, gue balik yaaa. Kalian jangan rajin-rajin. Happy weekend!” Kata gue sedikit berteriak ke team gue dan meninggalkan ruangan tersekat kaca itu, ruangan Jun tuh persis di samping, tapi kayaknya cuma tinggal dia dan orangnya lagi serius banget sampe ga ngeliat ke depan kalau team gue lagi berisik. Coba ah gue gangguin.

“Halo anjing! Jangan ganggu gue, gue lagi set up campaign klien biadap lo! anak buah gue pada pacaran!” sambutnya dari sana, sekarang udah liat muka gue, gue cuma senyum terus bilang, “Ga usah rajin-rajin banget, klien gue juga lagi friday night kali di pawpaw!” kata gue ngarang, sebelum Jun matiin telponnya, “Jun..” yang di sana cuma jawab “hmm?”

“Gue mau mulai lagi sama Kak Mingyu.” cicit gue.

“Bagus dong, anjir!! Perkapan?” tanyanya.

“Entahlah, mending lo beresin campaign gue, terus lo balik. Ini gue juga mau jalan sama Ka Mingyu.” nasehat gue, sambil nyisipin kalimat izin, supaya update aja.

“Iyaa, bentar lagi. Lo jalan deh, ntar ditungguin si Bapak! Have fun ya!” katanya sambil mematikan sambungan telpon dan dadah-dadah ke gue lewat kaca, kemudian guepun berlalu.

Seperti biasa, gue harus teken tombol 1 supaya sampe ke lobby, ga taunya lift ke buka di lantai 32. Tumben banget ini. Lah, Kim Mingyu masuk lift.

Sekarang ini, di lift cuma ada gue sama dia doang, dengan tampang jailnya, dia langsung menghadap ke gue, dan gue bales dengan tatapan kaget, wah, ada apa ni? Dia langsung berjalan ke arah gue dan seolah menekan mundur badan gue ke sisi lift. Oh shit! Moment of truth, gue deg-degan banget sekarang, gue yakin muka gue juga merah merona deh, kaget! Deket banget ini tuh bawaannya pengen peluk dan mencium dalam-dalam aroma citrus di tubuhnya yang udah kecampur keringet. Ihs, itu CCTV idup ga sih?

Muka kita udah berjarak tipis bgt, tiba-tiba lift kebuka. WOW, pas banget momentnya aku ingin berkata kasar, tapi ngga jadi, karena tiba-tiba dia nyium bibir gue singkat dan keluar dari lift duluan.

“Ayo, kamu mau sampe kapan di situ?” tanyanya sambil menjulurkan tangan kanannya untuk gue gapai. Gue langsung menggapainya dan berjalan di sebelahnya.

“Aku lupa, atau kamu yang ngga pernah cerita kalau lantai kamu di high level?” tanyanya sambil jalan dan ngetap keluar untuk naik lift khusus parkiran.

“Hmm.. lupa deh aku.” jawab gue sambil tersenyum.

“Kita ke transmart dulu ya ini,” kata dia menekan tombol lift untuk ke tempat mobilnya terparkir.

“Itu di depan transmart?” jawabku, gimana ya, nadanya setengah bertanya sih. Mau ke transmart mana coba?

“KKO Cilandak aja ya, kayaknya lebih lengkap.” katanya, lift terbuka dan guepun membuntutinya.

“Bentar, emang studio kamu di mana sih? Bukannya di SCBD ya? Kok ke Cilandak sih?” tanya gue bingung setelah kita berdua masuk ke dalam mobilnya, bahkan mobilnya aja wangi dia. Ini bukan yang pertama kalinya gue duduk di Pajero Sport abu-abu gelap miliknya sih, tapi ini pertama kalinya gue menyisihkan waktu gue untuk konsentrasi ke beberapa detail kecil dari Mingyu dan kepunyaannya. Tahan ya, Won. Perbanyak istighfar. Hormon gue tuh aaahhh!! Padahal cuma nyium wanginya doang. Tuhaaaannn!!!

“Itu namanya aku mau jalan-jalan lebih lama sama kamu, sayang.. Siapa tau sampe WherzKim nanti kamu udah dijajah sama anak-anak di sana terus ditanyain ini itu, buat akunya kapan?” katanya.

Eh eh eh, Kim Mingyu! Siapa yang nyuruh sayang-sayangan? Duh, jantung jangan jatoh dulu ya ke perut, aku belum nikah nih.

Gue cuma diem nanggepin omongan dia, salting sih, jadi gue sambil ngidupin lagu dari ponsel Mingyu yang udah disambungin sama spotifynya. Waw, apa ini playlist lagunya? Taylor Swift Back to December, Marcell Takkan Terganti, Kahitna Andai Dia Tahu, Raisa Mantan Terindah, Raisa Kali Kedua, Payung Teduh untuk Wanita yang Ada dipelukan, Stephanie Putri I Love You 3000? Lagumu kenapa seperti eh beneran playlist gue anjir, ternyata dia follow playlist gue. Okay, make sense lagunya lagu gue semua. HAH? DIA FOLLOW PLAYLIST SPOTIFY GUE??????

“Aku kayaknya tau deh ini siapa yang bikin playlistnya.” kata gue mulai memecah keheningan, dia cuma senyum menatap ke arah jalan, sambil ngelus pipi kanan gue pake jempol tangan kirinya. Karena dia kidal kali ya? Lancar bener ngelusnya!?

“Dengerin aja yang lain, aku dengerin playlist yang itu doang soalnya.” kata dia lagi. Aw, aku tersanjung. Tapikan lagunya lagu galau!!


Sesampainya kita di WherzKim Studio Photography, bener aja kata Mingyu, gue langsung disambut hangat sama Minghao dan Dikey yang udah lama banget ga ketemu, 2tahun lebih kali ya.

“Oh My God, Wonwoo, you look soooo... Kenapa lo makin cantik sih?” tanya Minghao ke gue, panggilannya Hao by the way, Minghao ini jomblo juga deh kayaknya, apa gue jodohin sama si Jun bangsat ya? Seharusnya, mereka udah kenalan sih. Mungkin sekilas kali ya, nanti deh kita agendakan lagi. Hehe.

“Masa cantik sih? Kayaknya gini aja deh!” jawab gue, ya emang gini aja, belum aja nih gue pasang susuk.

“Ya kalau gini sih, pantes aja Mingyu ngebet.” kata Hao lagi santai. Gue juga ngebet sih aslinya. Tapi, gue cuma senyum aja, gue yakin nih muka gue kembali merah, agak nyesel ya punya kulit putih, malu dikit daun telinga sama pipi berubah jadi merahnya sampe gue ga paham lagi.

“Ya ampun, Won. Long time no see. Lo sehat?” Sapa Dikey sambil memberikan senyumnya dan memamerkan deretan gigi putihnya membuyarkan lamunan gue.

“Sehat kok, alhamdulillah. By the way, ini aesthetic banget deh gedungnya, homey.” kata gue sambil jalan masuk lebih dalam, dibuntutin sama mereka berdua.

“Iya, ini punya Kiming kebetulan, tadinya mau dipake buat cabang KimCorp yang sekarang di Sentraya, tapi ga cocok katanya, soalnya ga serius tampilannya, akhirnya kita jadiin hak milik WherzKim aja, toh sama-sama Kim.” jawab pria kurus dengan potongan rambut mullet itu, iya itu Hao, sambil nunjukin gue jalan ke ruangan kantor Mingyu.

“Oh, biar bisa pake gedung ini nama Wherz dipakein Kim ya? Padahal Wherz aja keren.” Kata gue jail, Hao dan Dikey ketawa corporate, kaya yang omongan gue bener. Narsis juga sih KimCorp kalau emang kenyataannya gitu. Haha.

“Lo masuk aja ke ruangan Mingyu, anak-anak yang angkut belanjaan kalian juga kayaknya udah di rooftop, jadi gue mau komandoin dulu. Nanti nyusul aja ya kalau preparation nya udah beres.” kata Hao lagi yang diikuti oleh Dikey naik ke lift, menuju rooftop.

Gue masuk ke ruang Mingyu, pas banget dia lagi nurunin kaosnya yang kelipet pas mau dipasang ke badan. Hey Wonwoo, liat apa? Abs punggungnya Mingyu bagus ya? Iya, bagus banget udah kebentuk gitu. Huhu. Pengen pegang Mamaaaak!!!

“Masuk aja sini, ngapain kamu di pintu gitu?” ajak Mingyu yang membuyarkan lamunan gue. Gue ngelamun terus ya sepanjang malem ini. Banyak juga pikiran gue. Pikiran kotor 80% dan sisanya karena gue laper. Jadi, otak gue ngawang. Abis ditegur gitu guepun masuk ke ruangannya, ga kalah aesthetic, ada rak yang isinya kamera dari kamera model lama banget sampe versi terbaru, plus, lensa-lensanya tertata rapih, ini sih Kim Mingyu banget, dari jaman awal kenal dia juga passionnya di photography ngga pernah main-main sih.

“Kayaknya, aku tau tuh kamera analog yang itu.” Tunjuk gue. “Bentar, aku lupa serinya, Nikon-” suara gue ngegantung, gue lagi inget-inget.

“Nikon FM2 tahun 1982, kan aku ngewarnya sama kamu.” kata dia, sambil memegang kamera itu. Dia simpen lagi dengan hati-hati kamera itu kaya anaknya sendiri.

“Hahaha di Glodok ya waktu itu, sampe hampir dimarahin engkohnya,” kataku tertawa tipis sambil mengingat-ingat kejadian masa lalu. Kita pernah sedekat nadi ya, Kak Igyoo. Aku baru sadar banget sekarang.

Mingyu melangkahkan kakinya ke arah tempat gue duduk, bean bag besar warna abu-abu. Bean bag ini masih cukup banget kalau dia mau duduk di sebelah gue, tapi, kayaknya dia lebih memilih berdiri dengan badan yang ditopang oleh kedua lututnya, mensejajarkan tatapan kita berdua. Manik gue dan manik dia ketemu, dia senyum ke gue, memainkan surai di belakang kuping kiri gue dengan tangan kanannya, dan mengelus lembut tangan kiri gue.

“Gimana? Udah siap buat jalan ke aku sekarang?” tanyanya. Gue makin dalem ngeliat matanya, tenggelem di sana gue rasa ga salah. Ya kan, Bang Cheol? Bolehkan gue jadiin Mingyu rumah? Ikhlaskan, Bang? Please jawab gue.

Sekarang yang gue rasain dada gue ga sakit, tapi jantung gue degupannya juga ngga santai. Ditambah cacing di perut gue lagi main sama kupu-kupu kayaknya, perut gue penuh. Geli. Rasanya tuh seneng.

“Pelan-pelan ya, langkahku pasti ke kamu kok, aku ngga ragu.” jawab gue dengan cicitan. Ini ngga nolak sama sekali, gue mau jawab iya tadinya, tapi, gue masih bingung. Bukan karena ragu, gue ga ragu sama sekali, bahkan sekarang lari pun, kaki gue akan berlari buat merengkuh tubuh athletis gemes punya Mingyu. Mungkin, guenya sekarang yang belum punya persiapan mateng aja untuk jawab iya.

“Iya, pelan-pelan aja ya, Sayang.” katanya tersenyum ke arah gue, tangan kanan yang tadi ada di surai daun telinga gue, sekarang udah turun ke tengkuk gue, kali ini dia ga boleh duluan, biar gue yang maju duluan. Gue lingkarin kedua tangan gue di lehernya, gue majuin kepala dia pelan ke arah gue, mata kita udah saling memandang bibir masing-masing, gue majuin juga kepala gue. Jarak udah hampir terkikis, dikit lagi belah bibir gue udah hampir ketemu tuannya.. sampai...

“Bang Mingyu! Kita udah-” Ada orang di depan pintu Mingyu, perawakannya lebih pendek dari gue, pipinya chubby, rambutnya coklat keemasan, bagus banget berkilau kaya di manga-manga, matanya sedikit bundar, yang akhirnya gue ketahui namanya Kwannie. Gue sama Mingyu otomatis kaget, hampir aja pria dengan tinggi 187 cm di depan itu gue lempar saking terkejutnya.

“Yah, maafin. Cuma mau bilang, kita udah selesai sama preparationnya, kalian boleh naik, tinggal bakar daging sambil nyemilin ramen.” kata pria gemes itu menurunkan nada suaranya. Gue senyum saat liat Mingyu memicingkan tatapan sinisnya ke pria yang masih berdiri di pintu ruangan.

“Iya, Kwannie. Terima kasih, ini kita berdua naik ya.” kata gue memecah keheningan sambil tersenyum, sedangkan Mingyu masih memancarkan sinar lasernya ke arah Kwannie yang akhirnya memutar balik badannya kabur, takut kayaknya, takut bolong kepalanya. Hahaha.

“Yuk! Naik!” ajak gue sambil berdiri dari bean bag tempat gue duduk dan mengulurkan tangan kiri gue untuk dia raih supaya berdiri.

“Padahal udah mau kena. Huft! Seungkwan emang momentnya ngehek!” dumelnya, gue cuma nyengir aja. Gemes banget ya Tuhan mau gue bawa balik ga gue balikin ke bapak-ibuknya.

Padahal, untuk kissing scene gue sama dia bisa lain waktu ngga sih? Tapi memang, kalau dipikir-pikir lagi setelah kejadian di apart gue itu, kita ga pernah ciuman intens lagi sih, cuma cium bibir singkat, seperti tadi di lift contohnya. Kenapa juga gue ga tau, belum ada moment yang pas kali ya.

Kita berdua memasuki rooftop yang ada di bangunan 3 lantai ini, pendek sih pemandangannya, tapi bagus bangeeeeetttttt... Rooftopnya juga dihias-hias lampu kaya di pinterest gitu, gemes banget. Bahkan rooftop aja dibikin se-aesthetic mungkin, ini team Wherz ngga cuma jago motret sih, tapi, jago design interior juga. Tastenya oke bgt, gue salut.

“Ini tuh, kalian yang ngehias?” tanya gue kepada siapapun yang ada di sini, please jawab!

“Iya, idenya Bang Hao sih, tapi kita bareng-bareng yang ngerealisasiinnya. Bang Mingyu juga.” kata pria yang berbadan literally cungkring banget itu yang akhirnya tadi kenalan namanya Bambam, dipanggil Bambang sama anak-anak WherzKim.

“Keren banget! Pantesan pada betah di studio ya.” kata gue masih mengagumi pemandangan di depan mata gue. Mingyu akhirnya jalan mendahului gue, ke arah tempat bakar daging, gue ditarik oleh pria gemes yang tadi menggagalkan sesi ciuman gue, siapa lagi kalau bukan Kwannie.

“Sini aja, Kak. Kenalin ini Bonon, pacarku. Terus, yang ini Jaehyun, itu yang pake jaket kulit item Yugi, kl Bang Mingyu manggil dia Yugi Oh.” kata cowo yang bernama lengkap Boo Seungkwan itu menarik nafas, lalu melanjutkan sesi perkenalannya, “Yang di sebelah Bang Mingyu namanya Bangchan, Bang Hao manggilnya Bangchat karena ngeyel, terus, hmmmmm..” matanya mulai mengitari rooftop, kaya lagi absen siapa yang belum dia kenalin ke gue. “Oh sama itu, yang lagi bikin ramen, namanya Ten. Sisanya, Bang Mingyu, Bang Dikey sama Bang Hao mah udah kenal lah ya.” kata dia yang akhirnya kehausan dan menenggak minum karena ngomong terus ga pake jeda. Asli, lucu banget anak ini.

“Kamu paling kecil di sini ya, Kwan?” tanyaku penasaran.

“Iya kak, aku freshgrad, dari awal magang emang udah di sini, soalnya, Bonon udah kerja di sini duluan.” jelasnya.

“Udah lama sama Bonon?” tanyaku, kali ini cowoknya yang ambil alih pembicaraan, “Hampir 4tahun lah ya, Yang?” tanya dia ke Seungkwan minta persetujuan, Seungkwan pun mengangguk-anggukan kepalanya.

“Wah, yang awet ya. Temenku juga ada yang kaya kalian gitu, pacaran dari jaman maba, sekarang udah nikah.” kataku tersenyum, ikhlas banget ngedoain mereka, soalnya, lucu banget kaya liat teenage love story gitu. Gemes!

“Kalau Kakak udah berapa lama sama Bang Ming?” tanya Jaehyun, nimbrung. Wah, kalau ditanya gini sih bingung.

“Hmm.. tadinya sih mau hari ini, tapi ga jadi, karena Kwan dateng dobrak pintu.” kataku jail, muka Kwan langsung berubah merah, mungkin dia inget tadi dia sempet menggagalkan ciuman gue.

“Ih, maaf. Ga sengaja.” kata Kwan mencicit, lucu banget.

“Ngga apa, aku sih santai, tapi kamu harus baik-baikin Bang Mingyu kayaknya.” Senyumku jahil. Kwan langsung ngumpet di belakang punggung Bonon tiap kali sesekali Mingyu ngeliat ke arah gue berada. Jaehyun kayaknya tau gue lagi ngusilin Kwan, dia jadi ikut-ikutan bikin Kwan jadi mental breadtalk bareng beberapa anak yang lainnya. Siapa suruh paling kecil? Hehe.

Akhirnya, gue ngobrol nih sama semua team WherzKim, otaknya pada buyar semua kayaknya, lucu-lucu sih, terus, mereka tuh kaya nganggep gue bukan orang asing, friendly yang pasti ga bisa biarin gue diem sendiri, bener sih kata Mingyu tadi di mobil, kalau gue jadi ga bisa berduaan banget sama dia, soalnya, yang lain pasti ngajak ngobrol. Jadi, kita cuma bisa menautkan tangan satu sama lain, sambil sesekali gue nyender di bahunya, dan dia mengecup atas kepala gue sambil nduselin pipinya di sana. Ini tuh nyaman banget, pengen waktu berhenti aja.

How About Us? 💫


part of Reunited Universe

Wonwoo lagi merapihkan meja makan saat dia menerima pesan bahwa pria yang dia tunggu mengetik 'Okay, sebelum beneran imoji hugs see you!'. Senyuman terpatri diwajahnya, dan dia mulai menata hidangan di atas meja itu.

Tingtong! Bel apartementnya berbunyi, pria dengan surai cokelat gelap itu berjalan menuju arah intercom dan memastikan bahwa orang di balik daun pintu adalah pria yang daritadi ia tunggu. Senyumnya mengembang sambil membukakan pintu apartmentnya.

“Tara!!! Pringles 5 rasa!” masih pringles lho yang pria itu bahas. Wonwoo terkekeh dan mengambil tas belanjaan yang dibawa Mingyu. “Iya deh, Pringles 5 rasa. Makasih ya, Ka.” kata sang pemilik apartement sambil berjalan menuju dapur dan menyimpan jajanan yang terdapat di tas belanja ke dalam lemari stok snacks-nya.

“Ini kamu iseng banget sih beli bubur Kwang Tung.” celoteh Mingyu sambil tersenyum sambil mengambil gelas dan minumnya sendiri di dapur. Lihatkan? Bagaimana dia mengimpretasikan kalimat 'anggep aja di rumah sendiri', padahal Wonwoo ga bilang.

“Duduk minumnya, Ka. Jangan sambil berdiri.” pinta Wonwoo yang kini sudah duduk di meja makan, pria yang menggunakan kemeja berbahan flannel itupun menurut dan uduk di hadapan Wonwoo. Pikiran Mingyu kali ini tidak sedang ada di sana, dia berfikir gimana caranya untuk mulai menyatakan perasaannya pada Wonwoo, 'Nanti aja? Apa sekarang? Dia udah baik-baik belum ya? Gue tuh udah bisa masuk belum ya? Gemes pengen peluk. Hah! Pengen cium, kenapa bibirnya pink bgt hari ini? Atau emang dari dulu? Cangtip banget sih Ya Allah, jadi milikku dong kamu!' dumelnya dalam hati sambil melihat ke arah Wonwoo yang matanya masih sedikit bengkak.

“Kenapa?” tanya Wonwoo tiba-tiba membuyarkan lamunan Mingyu.

“Apa Dek yang kenapa?” tanya Mingyu balik, mulai mengatur detak jantungnya.

“Aku nanya kok ditanya balik?” senyum pria itu hingga mata rubahnya menghilang, 'masih lucu aja' ucap Mingyu dalam hati, dilanjutkan lagi dengan pertanyaan Wonwoo, “Kenapa kamu bengong?”

“Hah? Oh.. itu mata kamu udah agak kempes, sempet kamu kompres?” tanya Mingyu, mengalihkan topik.

“Udah, tapi sendoknya aku balikin ke kulkas, biar nanti sebelum tidur aku bisa kompres lagi.” jawabnya.

“Pinter.” kata Mingyu sambil mengacak surai Wonwoo. Pria yang lebih muda itu sedikit kaget, belum siap. Tapi, mencoba menenangkan hati, 'biasain lagi, Nu. Biasain lagi.' ucapnya dalam hati seperti mantra.

“Ini kamu sakit? Kok kita makan bubur?” tanya Mingyu lagi sambil menyendoki bubur ke dalam mangkoknya.

“Kan kamu ga mungkin makan nasi atau lauk-lauk yang berat lagi, tadi udah makan kan?” lontar Wonwoo memberikan alasan.

“Buburkan sama aja nasi.” ucap Mingyu setelah menelan makanannya.

“Tapikan banyak airnya, paling kamu kembung.” jawab Wonwoo sambil tertawa renyah yang ditemani oleh tawa Mingyu. Mereka berduapun menikmati makan malam bersama sambil berbincang hangat sambil bertanya ini itu. Hari ini hati mereka terasa hangat kembali.


Setelah makan malam, Mingyu duduk di sofa yang berhadapan dengan TV, menyalakan TV dan mencari channel yang bisa ditonton di jam setengah 9 malam.

“Kamu besok ga kerja, Ka?” Tanya Wonwoo yang duduk di sebelahnya sambil memberikan teh hangat kepada si Kakak yang sedang sibuk sendiri mencari program TV.

“Kerja kok. Nanti aku pulang pas kamu tidur.” Jawabnya santai sambil sesekali menenggak teh hangat tadi.

“Dek/Ka” ucap mereka berbarengan.

“Lah bareng, aku duluan aja!” kata Mingyu, Wonwoo terdiam mendengar ucapan dari kaka kelasnya itu, Mingyu itu ngga seperti pria lain yang bakal membiarkan orang ngomong duluan, kalau kejadian manggil barengan kaya tadi, kalau orang normal pasti ada salah satu yang bilang 'Kamu duluan aja' tapi tidak dengan Kim Mingyu.

“Hati kamu gimana sekarang?” tanyanya pelan, “Udah bisa maafin diri kamu sendiri?” lanjutnya, sambil mematikan TV yang dari tadi ia utak atik. Hawanya jadi serius.

Wonwoo terdiam, kemudian menatap Mingyu, “Memang kamu ngga nyesel, Kak dengan apa yang udah terjadi?”

“Nyesel bagian yang mana?” jawab Mingyu, “Part aku ngabisin 2 tahun sama kamu, ngabisin waktu sama kamu, jadi punya kamu, jadi yang pertama untuk segalanya buat kamu atau nyesel belum pernah jadi pacar pertama kamu?” tanya Mingyu, dibalas dengan anggukan pria di sebelahnya.

“Sayangnya aku ga pernah nyesel ambil keputusan itu, yang aku seselin cuma terlambat jadiin kamu pacar aku dan terlambat bilang jujur sama abang, sisanya, aku beneran ga pernah nyesel.” jawab Mingyu yakin. “Karena, Dek.. Cinta ngga pernah salah kan? Cuma waktunya aja yang ngga tepat saat itu, aku egois bgt ga bisa nunggu kamu. Ya emang udah ngga bisa nunggu kamu lagi, kalau aku nunggu kayaknya aku ga akan punya kesempatan ngasih tau kamu kalau aku beneran sayang sama kamu.” ucap Mingyu dengan menatap ke arah Wonwoo yang sekarang sedang memilin ujung kaos putih kebesarannya sambil menunduk.

“Aku yakin seratus persen kalau abang denger ucapan maaf aku, ucapan maaf kamu, dia tau banget betapa nyeselnya kita. Aku nyesel, kamu nyesel. Aku yakin banget abang pasti maafin kita karena kita udah jujur sama dia dan diri kita sendiri. Aku kenal abang banget.” kata Mingyu, mencoba meyakinkan.

Air mata mulai jatuh dari mata Wonwoo, “Tapi, ka-ya be-lum af-dol ka-lau a-ku ga de-nger sen-di-ri.” jawab Wonwoo, terpata-patah, nangis lagi sambil sesenggukan kali ini. Mingyu langsung menggeser duduknya dan memeluk pria yang dia sayang itu. 'Hh.. Gimana caranya, Nu?' tanya Mingyu dalam hati, mengelus pelan punggung Wonwoo.

“Udah ya.. Udah dong, kamu seharian ini nangis terus.” kata Mingyu. “Apa ngga capek? Nanti abis air matanya.” Lanjut Mingyu lagi, masih memeluknya.

“A-ku.. ma-sih sa-ya-ng ka-ka, ta-pi a-ku ga pan-tes.” Jawab Wonwoo masih terpata-patah.

“Siapa yang nilai pantes atau ngga pantes?” tanya Mingyu memutar badan Wonwoo ke arahnya.

“A-ku.” jawabnya.

“Kamu mau memantaskan diri lagi buat aku disaat kamu udah pantes buat bahagia?” tanya Mingyu.

“Dua tahun tuh cukup lama lho, kamu mau sampe kapan? Aku ga mau terlambat lagi, Wonwoo. Cukup sekali waktu itu, aku ga mau terlambat lagi.” jujur Mingyu, yang kemudian mengambil badan pria yang lebih kecil darinya itu ke dalam pelukannya. Erat, dia memeluknya erat seakan tidak ingin kehilangan lagi. Wonwoo masih terdiam.

“Ya udah, kalau kamu maunya begitu, belum bisa balik ke aku karena masih ga enak sama abang. Aku tungguin kamu sampe kamu yang dateng sendiri ke aku saat udah siap, gimana?” tawar Mingyu. Mungkin ini pilihan yang tepat untuk mereka, pikir Mingyu. Mingyu menyadari Wonwoo mengeratkan pelukannya, dan mengangguk pelan dan berkata, “Iya, kak.”

Kalau ditanya perasaan Mingyu setelah kejadian na'as dulu, dia bukannya tidak menyesal atas kejadian itu, tapi, dia mencoba berdamai dengan hatinya, dengan keadaan, dia meminta maaf setiap hari dalam doanya, dia mencoba untuk mengikhlaskan. 'Yang hidup harus tetap menjalani hidupnya kan? Yang hidup harus tetap merasakan kebahagiaan untuk tetap hidup kan?' gumamnya setiap hari, seperti mantra dan dia yakin, Seungcheol pun akan setuju dengannya.

Sincerely..


Wonwoo berjalan perlahan dengan memegang bucket bunga tulip putih yang kata orang dapat diartikan bunga permohonan maaf. Dua tahun belakangan ini, dia selalu menyempatkan diri menginjakkan kaki di komplek pemakaman mewah daerah Karawaci ini, San Diego Hills Memorial Park untuk sekedar datang mengunjungi mantan kekasihnya sambil bercerita kegiatannya atau hanya menaruh bunga untuk mempercantik makamnya. Kini dia mengambil posisi duduk di samping nisan yang bertuliskan Kim Seungcheol dan mengelus nisannya lembut.

“Hai, Bang..” Sapanya kepada gundukan daun yang rata di sampingnya, mengelus gundukan itu pelan.

“Ini.. Aku bawain tulip putih lagi.” katanya sambil tersenyum.

“Bang, aku akan terus minta maaf sampe kamu mau maafin aku. Dan aku akan terus melakukan itu, kamu taukan?” katanya sambil mulai menitikkan air mata.

“Aku akan minta maaf seumur hidup aku.” Suara Wonwoo semakin lirih.

“Aku akan minta maaf untuk waktu kamu yang singkat, aku juga minta maaf karena ternyata setelah bangun tembok tinggi, aku tetep ga bisa ngilangin perasaan aku buat Mingyu. Dan aku minta maaf karena aku jahat sama kamu. Aku minta maaf karena aku ga pantes ada di antara kalian berdua. Aku minta maaf karena aku egois, aku minta maaf karena aku rakus.” tangisnya pecah, air mata mengalir dengan deras ke pipi pucatnya. Di jarak 5 meter, ada teman-temannya melihat dari jauh, takut terjadi suatu hal. Karena Wonwoo beberapa kali tertidur di makan Seungcheol setelah menangis dalam waktu yang cukup lama dan kelelahan, jadi sejak saat itu teman-temannya selalu berkunjung untuk menemaninya.

“Kemarin, aku ketemu Mingyu di lobby gedung kantorku. Setelah waktu itu aku cerita ke kamu kalau aku ketemu dia di Bali setelah 2 tahun, sekarang di lobby gedung kantor. Tanpa sengaja lagi, skenario semesta lucu ya? Aku sampe bingung ngikutin alurnya.” tawa kecil nya diselingi air mata yang masih menetes, sudah sedikit mereda.

“Bahkan dia mengambil ciuman pertamaku lagi setelah dua tahun, Bang. Selalu dia yang pertama.” cicit Wonwoo, senyumnya menghilang diganti tangis lagi dan lagi, tidak sederas tadi, tapi kali ini dia sesenggukan.

“Maaf, Bang. Aku mohon maafin aku dan usahaku yang ternyata ga sekuat niatku, sampe aku harus selalu kembali lagi ke Mingyu. Dari semua manusia.” katanya lagi, tangisnya kini meledak, lagi.

“Setelah kemarin ketemu aku harap hanya ada perasaan pedih dan tusukan-tusukan di hati aku kalau ngeliat atau ngebayangin dia seperti pas pertama kali ketemu di Bali, jadi aku punya alesan untuk ninggalin dia lagi. Tapi ternyata ngga, malah diganti sama deg-deg-an, kayak ada sengatan listrik dan kupu-kupu terbang di perut yang aku rasain lagi, ketika kita ngobrol, ketika kita hanya terdiam dan bahkan pas dia nyium aku lagi. Seperti kejadian 4 tahun lalu direwind dalam bentukan yang sedikit diretouch. Karena itu, maafin aku.” Tangisnya kenceng, belum mereda.

“Aku jahat ya?” tanya pria yang berbusana hitam-hitam itu sambil mengelap air mata dengan tissue yang sempat diberikan oleh Jihoon.

“Bang, bilang aku jahat lewat apapun supaya aku tau diri untuk mulai pergi menjauh dari Mingyu lagi. Ga usah peduliin perasaan aku kalau emang menurut kamu aku jahat.” sambungnya.

“Maafin aku, bang. Aku masih sayang Mingyu. Sayang banget sampe aku ga tau lagi harus ngapain kalau orang itu bukan Mingyu.” katanya nangis.

Tanpa Wonwoo sadari, ada seseorang di sana yang namanya selalu dia ucap hari ini, mendengarnya dan memperhatikannya dari tempat dia berdiri. Soonyoung dan Jun menutup mulutnya, kaget, hampir berteriak, tapi, mereka ingat kalau sekarang mereka ada di taman pemakaman.

Mingyu berjalan ke makan abangnya, melewati teman-teman dari orang yang dia sayangi, dan merengkuh tubuh Wonwoo dari belakang, ikut menangis dalam diam hanya meneteskan air matanya. Wonwoo membeku, terkejut tidak karuan, belum siap untuk menghadapi bila kejadian seperti ini terjadi dia itu. Dia merasakan bahunya basah, pria manis itu pun menyadari Kak Mingyunya pun sebenarnya sedang menangis. Dielus pelan surai pria yang lebih tua di belakangnya, tanpa ia sadari mereka sama-sama menangis dalam diam. Sudah 30 menit, posisi mereka tetap seperti itu.

“Apa ga pegel?” tanya Jun membuka mulutnya sambil berbisik ke teman-temannya sambil menunjuk dengan bibir dua insan yang sedang berpelukan itu.

“Pegel sih pasti.” jawab Soonyoung tak kalah berbisik.

“Gue lebih pegel denger kalian ngeluh mulu sih! Kita balik ke mobil aja deh, udah ada Mingyu!” kata Jihoon yang terdengar seperti perintah. Mereka bertiga pun melangkahkan kakinya, menuju tempat parkiran.


Butuh waktu 1 jam untuk mereka tenang dan meninggalkan makam Seungcheol, dua insan itupun jalan beriringan, mata Wonwoo masih bengkak dan merah memandang lurus ke depan.

“Nangisnya dari tadi?” tanya Mingyu, sambil sesekali mengelap air mata sisa yang masih menetes ke pipi Wonwoo, pria itu hanya menjawab dengan anggukan yakin.

“Hahaha. Jangan ditangisin lagi ya?” pinta Mingyu dengan nada pelan. Wonwoo langsung memalingkan wajahnya ke samping, dengan tatapan bertanya 'kenapa?' ke arah Mingyu, pria yang merasa ditatap tiba-tiba dengan terkejut itu langsung menjawab, “Soalnya, abang udah tenang di sana. Kamu jangan nangisin lagi, kasian abang kalau kepikiran kamu.” Wonwoo pun mengangguk pelan, berusaha memahami karena tidak mungkinkan dia tidak menangis mengingat Seungcheol meninggal karena ulahnya. Sampai saat ini pun dia masih merutuki dirinya sendiri.

“Kamu biar aku aja yang mikirin. Biar abang tenang di sana.” kata pria tinggi itu sambil melihat ke langit, menganggap seolah kakaknya itu melihat mereka dari atas sana.

Wonwoo pun melihat langit, dan berucap dalam hati, 'Apa iya, bang?'

The Doomsday


TW: cheating, minor character death

Meanwhile, malam itu ada pria kalap yang mencari kekasihnya karena tidak dapat dihubungi, Kim Seungcheol tidak dapat menghubungi pacarnya hari itu, padahal dia sengaja mempercepat jadwal kepulangannya karena rindu ingin bertemu.

Di sinilah dia sekarang, dengan memegang key card yang sempat diberikan kekasihnya itu masuk ke dalam apartement yang terlihat cukup berantakan karena sepatu, baju, celana, semua berantakan berceceran di sofa ruang tengah.

“Won! Wonwoo!!” Teriak seseorang dari sambil mencari pujaan hatinya.

Dibukalah pintu kamar pria itu dan dia menemukan kekasihnya sedang tidur bertelanjang dada dengan adik semata wayangnya dan yang di tempat tidur sudah pasti lebih terkejut lagi.

“Bang!!!!!!” Mingyu buka suara kaget.

“Bang cheol?” tanya Wonwoo kaget tapi berusaha mengendalikan dirinya.

“KALIAN NGAPAIN...” tanya Seungcheol menggantung dan melihat celana adiknya di bawah kasur pacarnya dan menjelajahi kamar Wonwoo yang juga tidak lebih rapih. Dan yang kepergok pun tidak bisa berkata apa-apa.

“OH SHIT! LO BERDUA!!!” Seungcheol membalikan badannya berjalan, Mingyu langsung melimpat dari kasur dan mengejarnya, sedangkan Wonwoo masih diam membatu di atas kamarnya. Ini bukanlah adegan yang ia harapkan.

“Bang, bentar! Tunggu dulu!!!!” Bentak Mingyu menahan tangan abangnya, Seungcheol berhenti melihat adiknya dari ujung kaki hingga kepala.

“Gue tau, gue salah! Gue minta maaf! Tapi, jangan pergi lo lagi kalap!” kata Mingyu dengan nada memohon.

“TERUS NGAPAIN GUE DI SINI? LIAT LO BERDUA LAGI NGEWE?” amuknya sambil menghempaskan tangannya dari genggaman adiknya itu.

“Bang Cheol..” panggil Wonwoo lirih, kini Wonwoo sudah ada di samping Mingyu, menjatuhkan lututnya di depan Seungcheol. Jelas Seungcheol dan Mingyu kaget, membelalakkan matanya.

“NGAPAIN LO? SELINGKUH SAMA ADEK GUE TERUS LO BERLUTUT?” Walaupun kaget amarahnya tidak mereda sama sekali, emosi Seungcheol meledak-ledak semakin tidak tertahankan. Tidak pernah seperti ini sebelumnya. Walau Mingyu tak sengaja membaret mobilnya dengan sepeda Fixy nya, walaupun Mingyu tak sengaja merusakkan stick PS miliknya, walaupun Mingyu memberikan surat edaran sekolah kalau Mamanya dipanggil karena Mingyu terlibat tawuran. Kali ini, abangnya benar-benar marah. Mingyu yang badannya besarpun menciut.

“Aku minta maaf, Bang. Kamu boleh maki-maki aku sesukamu. Ini semua aku yang salah.” cicitnya sambil menunduk, malu melihat wajah Seungcheol yang ada di depannya. Mingyupun ikut berlutut.

“GA USAH, GA AKAN BISA AKU MAKI-MAKI KALIAN!” Seungcheol berjalan keluar, sejenak dia terhenti, membuang kartu kecil yang membuka pintu gerbang neraka untuknya itu, “AKU GA BUTUH KEYCARD INI. AKU JUGA GA AKAN BALIK LAGI!”

Hilang. Punggung Seongcheol menghilang setelah daun pintu apartement Wonwoo tertutup, Wonwoo hanya bisa menangis sekeras-kerasnya, menyesal karena terlambat menyadari perasaannya srlama ini bahwa dia hanya menganggap Seungcheol sebagai kakaknya, bahwa benar yang ia cintai hanya Kak Mingyu-nya, dia terlambat menyadari bahwa dia menyakiti hati pria baik yang selama ini menyayanginya, terlambat menyadari untuk memilih salah satu hati, bukan keduanya.


Dan di sinilah mereka sekarang, San Diego Hills Memorial Park mengantar jenazah Seungcheol untuk dimakamkan siang ini, 15 Agustus 2020 tepat sehari sebelum Seungcheol berulang tahun yang ke 28.

Wonwoo tidak henti-hentinya menangis yang selalu direngkuh oleh Mingyu, sama halnya dengan Wonwoo, pria yang sekarang memegang payung di tangan kanan dan merengkuh tubuhnya di tangan kiri itupun merasakan hal yang sama, kehilangan, kesedihan dan penyesalan.

Di sana ada teman-teman Mingyu dan Wonwoo memberikan dukungan moral untuk keduanya.

Setelah pulang dengan keadaan marah, sakit hati dan kacau balau semalam, Seungcheol pergi ke sebuah Bar hingga setengah mabuk dan memaksakan diri untuk menyetir, menerobos jalan yang berlawanan arah dan langsung ditabrak oleh mobil tronton besar hingga nyawa Seungcheol terenggut di tempat.


Malam semakin larut di rumah duka, Mama Mingyu masih menangis memarahi perbuatan anaknya yang menyetir sambil mabuk di depan foto almarhum.

“Abang, siapa yang nyuruh kamu pergi, nak? Kenapa kok kamu bodoh sekali.” tangis Mama, terdengar lirih menyayat hati. Mingyu masih di samping wanita cantik itu sambil menenangkannya, memeluknya, merengkuhnya dan terus menerus meminta maaf.

Malam itu Wonwoo menginap di rumah Mingyu karena terlalu larut untuk pulang. Dia masih menyesal, dia masih masih merutuki perbuatannya, dia masih memukuli dadanya, dan masih terus berucap maaf.

Dan setelah itu Wonwoo menghilang dari Mingyu, Mingyu tidak pernah menemukannya.