mnwninlove

Agreement 2.0

Nisaka sudah melangkahkan kakinya di salah satu lobby hotel bintang 5 yang sangat terkenal di Kota Jakarta, kali ini bukan di Avays Hotel miliknya. Dyah berada di depannya menunjukkan jalan menuju tempat pertemuan yang disebutkan personal assistant-nya itu.

“Kamu yakin, Yah jalannya ke sini?” tanya Nisaka kepada wanita yang berada di depannya.

“Yakin, Pak. Sabar coba.” kata asisten pribadinya yang bernama Dyah itu.

“Saya cuma takut kita kesasar aja, daritadi ngga sampe-sampe.” keluh sang CEO Avays Hotel itu.

“Nah, ini lho ruangannya. Silahkan masuk, Pak.” pinta Dyah ketika membuka pintu geser yang sudah ditempati oleh dua pria paruh baya yang sangat ia kenali.

Sesaat ia ingin memasuki ruangan VVIP dengan tatami di hadapannya sudah ada sang Aditya Bumi Putradinata, ayahnya serta pria paruh baya lainnya memunggungi pintu geser yang terbuka dan langsung menengokkan kepalanya pada saat Saka memasuki ruangan itu, tak lain adalah ayah dari pria yang dia cintai, Jeonny atau biasa dia panggil Om Jeonny.

Ruangan itu hening, Saka melepas sepatunya dan mengambil duduk di sebelah Jeonny setelah melihat tanda dari gerakan tangan asisten pribadi papanya itu.

Bumi membersihkan tenggorokannya, meminum segelas air yang sudah tersedia di meja dan mulai membuka suaranya. “Kamu apa kabar, Saka?” nada suara pria paruh baya itu berwibawa seperti biasanya.

“Gini aja, sesuai dengan keinginan papa.” jawab pria muda tinggi itu dengan nada sinis yang cukup biasa didengar oleh Bumi.

“Apa hal penting yang mau papa bicarain, sampai harus menyewa private room kaya gini?” tanya Saka, terkesan terburu-buru.

“Makan dulu, papa tahu kamu belum makan, Om Jeonny juga belum makan menunggu kamu.” jawab sang ayah santai, Saka melihat ke arah pria di sebelahnya, dan Jeonny memberikan senyumnya yang menenangkan sembari mengangguk serta memukul pelan punggung Saka, meminta pria muda itu untuk lebih bersabar.

Ruangan itu kembali sunyi senyap, dan hanya dentingan sumpit serta sendok yang terdengar memenuhi ruangan dengan dinding kedap suara. Membutuhkan waktu yang cukup lama hingga ketiga pria itu benar-benar menyudahi makan malam mereka.

To the point aja, papa mau bahas tentang apa? Aku sibuk, ngga punya banyak waktu untuk berbasa-basi.” kata Saka setelah mengelap mulutnya dengan tissue basah yang sudah tersedia di sebelah sumpitnya.

“Sabar sedikit, Saka, kita baru selesai makan.” kata Bumi kepada anak semata wayangnya itu. “Papa tahu kamu sibuk, kita sama-sama sibuk, Saka.” lanjutnya sembari tersenyum. Ruangan itu kembali hening berbelas menit setelahnya.

Stop wasting my time, Pa.” tegur Saka, masih menunggu papanya menyampaikan apa yang ingin beliau sampaikan.

“Mama kamu selingkuh.” 3 kata yang membuat Saka membelalakkan matanya.

“Selain membuang waktu orang sibuk, papa sekarang juga jago membuat lelucon aneh ya?” tanya Saka sinis, tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Dia jelas harus mencerna kata perkata.

Bumi memberikan kode kepada asisten pribadinya, tak lama Jeonny memeberikan amplop cokelat kecil dan meletakkannya di hadapan Saka. Saka masih acuh, seakan tidak perduli dengan apa isi yang ada di dalam amplop cokelat itu.

“Buka amplopnya!” pinta Bumi.

“Apaan? Uang?” tanya Saka hanya membulak-balikkan amplop yang cukup tampak tebal.

“Coba aja buka amplopnya.” kata Bumi dengan nada tegas sembari menyilangkan tangannya di dada, menunggu anak tunggalnya membuka benda yang diberikan Jeonny.

Saka segera membuka amplop misterius itu dan segera melihat banyak kumpulan foto-foto seorang wanita paruh baya yang sangat ia kenali dengan pria tinggi yang tak kalah tampan dari ayahnya sedang berpelukan, bahkan beberapa foto menunjukkan mereka sedang berciuman.

“Ini— mama?” tanyanya, menatap papanya tak percaya. “Dengan Om Bintoro Soemarto?” lanjutnya. Saka masih tidak percaya. Sebentar, mamanya tidak mungkin berselingkuh kan? Untuk apa? Apa papanya selama ini masih kurang?

Saka meminta jawaban dari papanya dan Bumi hanya terdiam, dia tidak menemukan jawaban hingga pria tampan itu menoleh ke arah sampingnya, Jeonny seakan sudah siap bila Saka bertanya padanya.

“Papa ngga mau jelasin? Om Jeon, please explain this.” pinta Saka, memegang erat foto ditangan dan merematnya.

“Foto-foto itu asli dari orang terpercaya.” kata Jeonny melonggarkan dasi yang ia gunakan karena sedikit gugup. “Dan iya betul, itu adalah Nyonya Besar dan Pak Bintoro Soemarto, ayah Bian.” lanjutnya.

How long? Berapa lama kalian umpetin ini?” tanya Saka, meminta penjelasan lebih.

“Sudah berjalan 3 tahun, Tuan Muda.” jawab Jeonny.

“3 tahun? Ini sebelum aku lamaran sama Bian lho!” suara Saka semakin meninggi. Kepalanya terasa berat dan dadanya mulai sakit, dia tidak percaya dengan apa yang ibunya lakukan. “Dan papa diem aja?” tanyanya lagi kepada sang ayah.

“Ini tuh gila! Buat apa Mama maksa Saka buat nikahin Bian kalau mama sendiri punya affair sama Om Bintoro?” tanya Saka lagi. Bingung.

“Papa bukannya diam saja, papa sudah tahu sebenarnya, tapi tidak ada bukti konkret sehingga papa juga tidak bercerita kepada kamu.” jawab Bumi.

“Om tau?” tanya Saka, melihat ke arah Jeonny dan dibalas anggukan yakin oleh personal assistant sang ayah.

“Wow!” Saka menepuk kedua telapak tangannya ramai. “Jadi, cuma aku yang ngga tau apa-apa di sini?” lanjutnya.

“Hebat, jadi boneka Ibu Ratu dan Papa buat nikah sama orang yang sama sekali ngga aku inginkan, taunya Mama selingkuh sama calon besannya sendiri. Acting kalian semua jago sih!” nada kecewa muncul dari bibir Saka. Jelas dia kecewa, bagaimana tidak bila dia dipaksa menikah dengan pria yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ibunya berselingkuh dengan ayah dari tunangannya? Ini semua gila menurut Saka, sulit untuk dia cerna.

“Tenang, Saka. Kita melakukan ini untuk memberi kamu bukti yang jelas, dan Pak Bumi tidak ada maksud untuk menutupinya dari kamu.” jelas Jeonny pada Saka sembari menepuk bahu Saka, mencoba menenangkan pria di 30 tahunan itu, memintanya untuk sabar dan menerima kenyataan.

“Papa mau kamu beresin ini semua.” kata Bumi, menatap mata anaknya yang sedang menatapnya tajam.

“Kenapa harus?” tanya Saka.

“Karena kita harus menyelesaikan ini semua bukan?” tanya Bumi.

“Apa untungnya buat Saka?” tanya Saka balik, menantang papanya. Bumi tertawa mendengar pertanyaan dari anaknya.

“Haha, CEO sekali gaya kamu sekarang?” ejek Bumi.

Sure, namanya belajar dari pengalaman.” jawab Saka tak kalah nyinyir.

“Jadi, apa yang aku dapet kalau bisa beresin ini?” tanyanya.

“Hm.. apa yang kamu dapatkan?” tanya Bumi mengulangi pertanyaan anaknya, memegang dagunya seperti berfikir dan kembali menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Arka!” jawab Bumi yakin, Saka menatap tak percaya papanya, mengganti pandangannya menatap kepada Jeonny yang notabene adalah ayah dari nama pria yang papanya sebutkan, sama, Om Jeonny-nya masih tersenyum. Kedua pria paruh baya itu tidak bergeming, dan tetap serius menatapnya.

“Ok! Aku harus apa?” tanya Saka tanpa berpikir panjang untuk menyetujui apapun resikonya. Taruhannya adalah pria yang sangat ia rindukan, tentu dia tidak akan mengabaikan kesempatan ini.

Jeonny tertawa renyah ketika mendengar Saka langsung menyetujuinya. “Mudah sekali ternyata meluluhkan Tuan Muda.” kata ayah dari 2 anak itu.

“Pasti Om, ini Arka taruhannya.” jawabnya. “I’ll do anything for him. Anything. Now is your turn, Pa. Apa yang harus Saka lakukan?” lanjutnya antusias.

Then, siapkan press conference untuk memutuskan pertunangan kamu.” kata Bumi tenang.

Saka terkejut mendengarnya, perasaannya malam ini campur aduk. Senang karena akhirnya dia memiliki alasan untuk memiliki Arka tanpa adanya Bian, namun disamping itu ia juga sangat kecewa dengan apa yang sudah mamanya lakukan selama 3 tahun belakangan ini.

’Anything for Arka. Tunggu, Ka, sebentar lagi.’

Letting Yo Go, Again

Sesuai dengan saran dari Mas dan Ayahnya, Arka kini sudah berjalan melangkahkan kakinya ke dalam rumah megah milik keluarga Bumi Putradinata. Jika ditanya apa yang dia lakukan? Jawabannya, tidak tahu, karena sang pemilik rumah tidak memberitahukan maksud dan tujuan beliau ingin menemuinya.

Nuwun sewu, Tuan. Mas Arka sudah sampai.” kata wanita paruh baya yang sudah lama bekerja di sana itu tepat di depan pintu besar ruang kerja milik Bumi.

Masuk saja ya!” pinta suara pria tegas dari dalam ruangan.

“Silahkan, Mas.” kata pemilik panggilan Bi Iyem itu. Arka menundukkan kepala sembari mengucapkan terima kasih dan membuka pintu ruang kerja di hadapannya.

Arka melangkahkan kakinya memasuki ruangan kerja dengan interior khas Eropa modern itu dan berdiri tepat di depan meja kerja pria paruh baya yang masih segar dan tampan. Masih menundukkan kepalanya.

“Duduk, Nak Arka.” kata beliau kepada Arka yang masih diam dan membisu. Keheningan menjalar di ruangan itu, Arka masih enggan membuka suaranya.

Tak lama pria itu — Bumi — bangun dari singgasananya, menghampiri Arka dan meletakkan kedua tangannya dibahu pria manis yang adalah anak dari personal assistant-nya dan menuntun pemuda itu untuk duduk. Arka terkejut dengan sikap Bumi terhadapnya. ’Terlalu baik’.

“Terima kasih sudah datang, Nak Arka.” kata Bumi membuka suaranya, Arka masih menunduk, tidak berani menatap Bumi yang kini sudah duduk di seberang sofa yang berada di tengah ruangan.

“Saya meminta kamu ke sini karena saya ingin meminta bantuan Nak Arka.” lanjutnya dengan nada yang berwibawa, Arka mendongakkan kepalanya, bingung.

“Saya sudah membicarakan ini dengan Jeonny secara matang-matang, dan saya harap kamu memahami maksud serta tujuan saya.” lanjut Bumi. “Untuk saat ini, tolong jauhi Nisaka dan fokus ke study gelar doctor kamu terlebih dahulu.” Bumi melanjutkan kalimatnya dan menatap ke arah Arka yang kini sedang menatapnya. Tatapan mereka bertemu dan entah keberanian darimana Arka menatap kembali wajah Bumi dengan tajam.

“Saya tidak mengerti maksud Pak Bumi.” Arka bingung dengan kalimat dari sang pria berkuasa di hadapannya.

“Saya melihat kamu dengan Saka malam itu, Arka.” kata Bima. “Malam pernikahan Dhika, di area swimmingpool.” Arka sontak terkejut, telapak tangannya tiba-tiba basah oleh keringat. Panik, itu yang dirasakan Arka, degup jantungnya bekerja lebih cepat. Dia sempat lupa apa yang terjadi malam itu dan bahkan tidak terpikirkan olehnya bila ada orang yang melihat mereka, terlebih lagi pria menakutkan ini yang menjadi saksinya.

Arka ingin rasanya menenggelamkan dirinya saat ini juga. Kemudian tak lama ia tersadar dan kembali bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Pak Bumi melihat semua kejadiannya? Apakah Pak Bumi akan menghilangkannya dari kehidupan Saka? Apa tindakan Pak Bumi kepadanya nanti? Semua itu membuatnya semakin was-was.

“Tidak, tentu saya tidak akan mengatakannya pada siapa-siapa. Tidak ada yang tahu akan kejadian itu, Nak Arka.” Lanjutnya lagi. “Saya sudah tahu Saka tidak menyukai Bian, saya sudah tahu kepada siapa hatinya berlabuh, walaupun anak itu terus-menerus menghindar dari saya. Tapi—” Bumi menggantung kalimatnya, Arka kembali menatapnya tajam dengan manik rubahnya, menanti dengan cemas kalimat yang akan keluar dari mulut pria dengan bawaan tegas itu selanjutnya. Bumi sendiri masih tenang dengan menyilangkan sebelah kaki sembari menyesap morning coffee miliknya.

“Bukan sekarang, bukan saat ini. Kalian belum bisa—” kalimatnya terpotong.

“Maaf sebelumnya, Pak Bumi. Saya tahu saya salah malam itu, sayapun sangat menyesali tindakan impulsive itu—” potong Arka. “Saya tahu saya tidak pantas menjadi seseorang yang berada di samping Pak Saka, saya sangat mengerti, saya tahu diri dan saya juga tahu bila saya tidak akan bisa dengan Pak Saka.” lanjutnya.

“Tolong, jangan lakukan apapun kepada keluarga saya. Bahkan ayah dan kakak saya rela mengabdikan diri mereka kepada Bapak, saya mohon biarkan kami hidup tenang. Saya bisa menjanjikan agar hal itu tidak akan terjadi lagi.” jelas Arka, tubuhnya bergetar, ketakutan jelas muncul di sana. Takut apa yang dibicarakan oleh orang di luar sana ternyata benar, bagaimana bila terjadi sesuatu kepada ayah dan kakak-kakaknya? Dia tidak bisa membayangkan orang-orang yang dia sayangi akan tersiksa akibat dari ulahnya.

Bumi kaget mendengar kalimat Arka, kemudian ia tersenyum kecil, “Memang menurut kamu apa yang akan saya lakukan kepada keluarga kamu?” nada suaranya tersengar sangat santai dan Bumi terlihat tenang. Arka terdiam, tidak bisa menjawab. Apakah dia terlalu berlebihan? Hanya itu yang ada dipikirannya.

“Kakak-kakak saya memang pebisnis kejam ya? Bahkan semua orang tahu, kamu yang baru tinggal di Indonesia saja bisa mengetahuinya.” lanjutnya. “Saya tidak akan berkhianat dengan orang terbaik saya, Arka. Ayah kamu adalah pria yang paling jujur dan teman yang menyenangkan untuk saya, bagaimana bisa saya bertindak jahat kepada Jeonny dan keluarganya? Bahkan, saya dengan senang hati menganggap kamu dan Dhika adalah anak saya sendiri.” jelasnya, bahu Arka yang tadi terasa tegang kini mulai perlahan lebih santai, setidaknya dia yakin pria di hadapannya ini tidak mungkin memutar-balikkan omongannya.

“Namun perihal Saka—” bahasan yang dibicarakan selalu kembali pada pria yang sudah memporak-porandakan hati Arka setahun belakangan ini.

“Tidak usah khawatir, Pak Bumi. Saya dan Pak Saka tidak ada apa-apa.” jawab Arka, tanpa ragu, dan sangat yakin. “Terakhir, itu yang terakhir.” jawab Arka.

“Baiklah, itu yang terakhir. Dan saya akan pegang omongan Nak Arka.” kata Bumi. “Jadi keputusannya sudah sangat bulat, kamu harus segera kembali ke Inggris agar Saka tidak mengacaukan pertunangannya, dan tugas Nak Arka adalah melanjutkan study doctor di Inggris hingga tuntas. Kita akan sering bertemu saat saya berkunjung bersama Jeonny ke sana, nanti.” katanya, nadanya kembali berwibawa membuat Arka kembali termangu dan memproses setiap kalimatnya.

Benar saja firasatnya tadi pagi, dia harus segera meninggalkan negara ini lagi untuk menjauhi Saka yang selalu tanpa sengaja hadir akibat becandaan Semesta.

“Saya tidak berniat jahat. Pegang omongan saya, Arka. Ini semua untuk kamu dan Saka, bukan untuk saya.” lanjutnya.

“Jeonny sudah menyiapkan tanggal kepulangan kamu ke Inggris, dan saya harap kamu menikmati sisa waktu kamu selama di sini bersama dengan teman-teman serta keluargamu. Mereka sangat baik dan sangat menyayangimu, Nak Arka.” katanya lagi. “Saya juga memberikan amplop kepada Jeonny untuk kamu, jangan dibuang walaupun isinya adalah uang.” kata Bumi lagi, Arka hanya mampu mengangguk, memang dia bisa menolak saat ini? Tentu saja tidak.

“Mau sarapan bersama saya, Yuna dan Saka?” tanya Bumi.

“Tidak, Pak. Terima kasih. Saya harus merapihkan barang dan perasaan saya. Bertemu Saka tentu bukan pilihan yang baik saat ini.” tolak Arka dengan halus, Bumi mengangguk, kemudian berdiri dan menepuk punggung Arka perlahan.

“Kalau begitu, saya permisi.” kata Arka berdiri dari tempatnya duduk dan meninggalkan rumah itu.

Saat Arka melangkahkan kakinya keluar, tanpa ia sadari Saka melihatnya dalam diam dan membiarkan matanya yang hanya mampu melihat punggung tegap pria yang tak mungkin dapat ia rengkuh itu.

Announcement


tw: drama

Pria tinggi nan tampan dengan sepasang kemeja berbahan velvet berwarna hitam yang melapisi kemeja putih dan dasi hitam yang senada dengan suit-nya itu menuruni tangga yang melingkar di dalam rumah megah, Arka sedang menatap ponsel-nya ketika pria itu sudah berada di hadapannya.

“Hai!” sapa pria tinggi itu, seketika Arka segera mengangkat kepalanya dengan sedikit terkejut, dan segera menyimpan ponselnya.

“Sudah siap, Tuan Muda?” tanya Arka segera berbalik badan.

Hey!” kata Tuan Muda itu menarik tangan Arka untuk kembali menghadapnya dan segera merengkuh tubuhnya.

“Saka, please jangan kaya gini.” kata Arka dengan berbisik.

Saka segera menarik pria manis itu ke salah satu ruangan yang terdapat di lantai bawah rumah milik keluarga Aditya Bumi Putradinata dan segera memeluk tubuh ramping Arka ketika sudah yakin menutup pintunya dengan rapat. Pria bermanik rubah itu berusaha berontak namun Saka jauh lebih kuat darinya dan tetap memeluk tubuh Arka dengan posesif.

“Saka, I can't breathe!” omel Arka memukul pelan punggung kokoh milik Saka.

“Ngga mau, I wont let you go.” kata Saka.

“Ngga gini caranya, ini di rumah kamu.” kata Arka masih dengan suaranya yang berbisik karena takut didengar oleh orang yang berada di dalam rumah.

Saka meregangkan pelukannya dan menatap lekat pria yang ada di hadapannya. “Kaya mimpi.” kata Saka.

Pretend you're dreaming, I'm on duty now.” kata Arka dengan nada yang dia buat sedemikian hingga agar tak goyah lagi dan lagi. “Tuan Muda, please jangan bikin yang sudah rumit ini semakin rumit.” lanjutnya.

“Aku bilang, aku bisa tinggalin Bian untuk kamu.” kata Saka.

“Tapi, aku ngga bisa merelakan apapun untuk kamu saat ini.” kata Arka. “Dan yang aku tahu, aku harus antar kamu ke headquarter Adi-Bumi Corp sekarang.” lanjutnya.

“Arka, please aku ngga bisa kalau ngga ada kamu, serius.” kata Saka dengan nada sedikit merengek.

“Inget ucapan aku terakhir kita ketemu?” tanya Arka. “Kalau perasaan kamu masih sama, aku yang akan menghampiri kamu Saka. Ini yang terbaik, yang sakit bukan cuma kamu.” cicitnya.

Saka jelas mendengarnya, kalimat itu lagi, “Aku ngga suka kalimat 'ini yang terbaik' atau 'semuanya untuk kita'.” omel Saka.

But that's the right sentences for our situation, Pak Saka.” jawab Arka sembari memberikan senyum terbaiknya, membuka pintu ruang yang penuh dengan buku seperti library dan meninggalkan Saka yang masih terdiam di balik daun pintu itu. Saat ini yang Arka rasakan adalah dada yang sangat sakit terasa seperti ditusuk-tusuk. Selalu seperti ini setelah bertemu dengan Saka.

'Kenapa Semesta, kok lagi jahat banget sama Arka?' gumamnya dalam hati sembari memegang dadanya, berjalan lunglai ke luar rumah megah itu dan masuk ke dalam mobil mewah milik keluarga Putradinata untuk mengantarkan Tuan Muda yang selalu mengisi pikirannya. Menenangkan perasaannya.

Tak lama Saka membuka pintu penumpang dan duduk dengan tenang, tanpa bersuara. Arka yang hanya melihat pria tampan itu melalui kaca spionnya tanpa bertanya apapun segera menghidupkan mesin mobil tersebut dan segera membawa kuda besi itu melintasi kota Jakarta, dengan tenang. Tanpa suara. Tanpa racauan. Hening.


Benar kata para sepupu Arka bahwa malam ini semua orang penting yang berpengaruh untuk perkembangan dan pertumbuhan business Adi-Bumi Corporation sudah berkumpul di sini, di aula besar milik perusahaan ayahnya yang berada di lantai 16 sebuah gedung pencakar langit di Jakarta.

“Sudah sampai?” tanya Bumi ketika melihat anak satu-satunya yang tampak lebih tampan malam ini, Saka hanya menganggukkan kepalanya.

“Arkanya?” tanya Bumi ketika melihat ke belakang namun anaknya hanya datang sendirian, Saka mengendikkan bahunya, dan meninggalkan sang ayah untuk menghampiri pria berumur yang sudah ia panggil grandpa seumur hidupnya.

“Si Bungsu, sudah sampai?” tanya kakeknya sembari memeluk sayang sang cucu terakhir. Lagi-lagi Saka hanya menganggukkan kepalanya, di dalam pikirannya dia hanya ingin acara pokerface bodoh ini cepat selesai karena dia ingin kembali ke rumah, mengunci kamarnya, mendengarkan playlist lagu galaunya untuk Arka hingga tertidur.

“Eh, ganteng sudah sampai? Itu lho Bian lagi ngobrol sama sepupu kamu, samperin gih!” kata wanita dengan gaun cantik berwarna dark purple berbahan velvet dan rambut yang bergelombang, sangat cantik, sangat elegan Ibu Ratu — Yuna.

“Ya.” jawabnya singkat dan pergi meninggalkan Yuna dengan kakeknya yang sedang berbicara entah tentang apa.

Saka hanya berdiri di ujung ruangan ballroom besar itu sembari memegang gelas champagne-nya yang sedari tadi tidak tersentuh.

“Hai, ganteng.” sapa pria yang sudah melingkarkan tangannya dipinggang Saka, Saka hanya tersenyum dan membiarkan pria yang lebih muda itu memeluknya dari belakang.

“Mikirin apa?” tanya pria itu.

“Pemandangannya bagus, bebas.” jawab Saka, kemudian pria tampan itu membalikkan badan dan meletakkan gelasnya yang masih utuh di meja bundar yang sedari tadi sudah ada di sana.

“Hmm?” tanya pria itu, seakan bertanya ‘ada apa?’ dengan nada suaranya sembari mendongak.

“Ngga apa-apa, cuma lagi mikir.” kata Saka.

“Mikirin apa?” tanya pria manis itu.

“Sejak kapan kamu ngga pernah ada dipikiran dan di hati aku?” tanya Saka. “Maafin kakak ya, Bian.” lanjutnya, pria di hadapannya sedikit terkejut dan segera tersenyum, mencoba untuk tidak mengindahkan kalimat yang mampu meremukkan hatinya.

“Sejak ada dia, yang aku bahkan ngga tau siapa.” jawab Bian, sedikit bergetar. “But, I feel sorry for him karena dia ngga ada di sini sama kamu untuk di show off ke keluarga besar kamu.” lanjutnya dengan nada menang yang angkuh.

“Iya, kasian juga akunya harus pura-pura terus.” kata Saka dengan nada sarkastik-nya. “Aku jadi suka mikir, aku kasian sama diri aku sendiri yang emang ngga bisa ngap-ngapain, kasian ke kamu yang berusaha sendiri untuk aku.” kata Saka mengeluarkan senyum smirk-nya untuk calon tunangannya.

It's okay, Ka, aku yakin kok, ada waktunya untuk kamu balik lagi ke aku. Kamu ngga akan kemana-mana walaupun pikiran kamu entah ada di mana.” kata Bian, masih terlihat tenang.

“Raga aku cukup buat kamu?” tanya Saka sinis.

“Ya satu-satu, yang pergi akan pulang satu persatu.” jawab Bian dengan tenang. Pria muda yang menggemaskan itu melihat ke arah jam tangan yang ia gunakan, mengaitkan tangannya dengan jemari Saka, dan mengajaknya masuk lagi ke dalam keramaian.

Saka menemukan sepupu-sepupunya sedang berkumpul, mata mereka tertuju pada salah satu sudut di panggung, di sana sudah ada Pakde Dylan, Kakek dan ayahnya.

“Joy.” sapa Saka.

“Hey, gue baru liat lo. Dari tadi?” tanya Joya, adik kandung dari Andrian yang hobby-nya travelling ke luar negri sembari membawa brondong-brondong kesayangannya.

“Dari tadi kok. Ada apa? Kok fokus banget ke stage?” tanya Saka, ini acara pertamanya, wajar bila dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di ballroom itu.

“Liat aja! Gue sih ngga heran kalau ada pengumuman aneh.” celetuk Karina, adik kandung dari Dimas yang hobby-nya membeli barang limited edition dari brand-brand mahal. Tak usah heran bila dia berpacaran dengan salah satu cucu dari mantan presiden negara ini.

“Kaget gue.” kata Saka ketika mendengar suara Karina, wanita cantik itu seketika melihat ke arah tangan Saka yang masih berpengan dengan Bian.

“Harus banget pegangan? Kaya lagi nyebrang!” goda Karina.

“Biar ngga ilang.” jawab Bian sembari membalas godaan Karina, sepupu Saka itu hanya tersenyum menggoda Saka.

Semua sepupu Saka tahu siapa yang Saka sukai, tentu saja senyum penuh dengan cibiran terpancar jelas dari wajah Joya dan Karina melihat Bian memegang Saka posesif.

Good evening, ladies and gentleman. Thank you to each every one of you for being here today at this wonderful day. Perkenalkan, saya Adi Putradinata. It's such a honor for me to speak on behalf my sons. Haha, serius sekali ya saya?” kata pria tertua di antara 2 pria paruh baya lainnya, pria itu masih terlihat tampan walaupun umurnya sudah sangat tua. Pria yang biasa dipanggil grandpa itu masih terlihat sangat sehat, bahkan sesekali masih sering bertanya bagaimana keadaan unit bisnis yang dia dan ketiga putranya bangun.

“Sangat senang akhirnya saya bisa mengumumkan ini di umur tua saya setelah menikahkan cucu ke dua beberapa bulan lalu.” lanjutnya, sembari menatap deretan cucunya. “Sama dengan hari ini, saya juga akan mengumumkan pernikahan dan pertunangan cucu-cucu saya, si sulung dan si bungsu.” katanya lagi dengan wajah yang sangat bahagia.

“Andrian Seungcheol yang akan menikahi cucu dari Salim Group pada bulan Maret dan Nisaka Mingyu yang akan bertunangan dengan keluarga Soemarto pada bulan April nanti. Semoga kerja sama kita semakin lancar dengan adanya hubungan keluarga di antara kita. Haha.” katanya lagi.

Saka hanya dapat membuka mulutnya lebar-lebar, dia tidak menyangka akan seperti ini jadinya, pertunangannya sudah diumumkan, tidak hanya kolega sang ayah dan kakek, bahkan di ruangan ini sudah ada banyak media yang sedari tadi meliput acara besar keluarga Putradinata ini.

“Lo ngga pingsan aja gue syukur.” kata Andrian yang seakan sudah siap menerima takdirnya yang akan menikahi cucu dari Salim Group. “Yuk, Sak! Naik ke stage.” ajak Andrian, Bian sudah berjalan mengikuti Andrian dengan senyuman yang lebar, sedangkan Saka masih memproses apa yang tadi diucapkan oleh kakeknya di atas panggung.

I JUST WANT YOU


tw: drama, kissing

Ballroom hotel berbintang 5 di Bali milik Adi-Bumi Corporation adalah salah satu tempat yang akan menjadi saksi bisu untuk janji suci yang diucapkan Jisoo Michael dan Dhika Seokmin Rahamardja, sebentar lagi. Sementara pengantinnya masih mempersiapkan diri mereka.

Arka menjadi salah satu best man yang dipilih oleh Jisoo, selain karena mereka berteman sejak bersekolah di SMA yang sama dengan Jisoo sebagai teman organisasinya, Arka juga adalah adik kandung satu-satunya pria yang akan dia nikahi itu, Dhika.

“Deg-degan, Kak?” tanya calon adik iparnya itu.

“Sedikit, nanti lo di belakang gue kan?” tanya Jisoo. Dia sejujurnya tidak tahu mengapa dan sejak kapan, namun memiliki Arka di sampingnya seakan dapat menenangkannya didalam kegugupan, apalagi di saat seperti ini.

“Iya, tenang aja.” jawab pria yang lebih muda dua tahun darinya yang sedang asik berkirim pesan pada housemate-nya.

“Apa kata Arya?” tanya Jisoo seakan tahu siapa yang membuat adik kecilnya itu tertawa.

“Dia bilang si Mas keringetan terus dimarahin sama periasnya, soalnya make-up-nya luntur.” jawab Arka tertawa membayangkan saat ini kakaknya gugup hingga mengeluarkan bulir keringat di dahinya, sang kakak ipar pun hanya tertawa mendengarnya karena mereka tahu Dhika terkadang memang sangat konyol.

“Mas Jisoo, 10 menit lagi Pak Rahamardja akan menjemput ya.” kata salah satu staff wedding orginazer hotel, Jisoo mengangguk tanda paham.

“Yuk, Mas Arka ikut saya!” ajak staff tersebut. Arka sebentar lagi akan berjalan di altar terlebih dahulu sebelum kakak ipar dan ayahnya menginjakkan jalan panjang itu untuk menebarkan bunga, sehingga pria tinggi ramping, manis, dan bermanik rubah itu kini membawa keranjang berisi kelopak bunga serta dengan serius mengikuti arahan staff WO sebelum akhirnya pintu ballroom yang kini di hadapannya itu terbuka.

“Oke, sekarang ya Mas Arka.” Arka menganggukkan kepalanya tanda siap, dan pintu putih besar milik ballroom hotel tersebut terbuka lebar, pria cantik yang menggunakan black suit dengan kemeja putih itu berjalan menebarkan bunga dengan perasaan haru serta bahagia, melihat kakak satu-satunya di ujung sana berbalik menghadapnya sembari tersenyum, dan diikuti oleh suara langkah dari Jeonny dan Jisoo. Tak ingin kalah, sepasang mata pria menatapnya terus menerus seakan Arka bisa hilang bila dia mengalihkan pandangannya.

Kini Arka sudah berdiri di belakang Jisoo, sedangkan pria yang sangat ia rindukan kini sedang berdiri di belakang kakaknya sebagai best man-nya, tidak dapat dipungkiri untuk mereka tidak bertemu hari ini.

Pria tinggi berkulit sawo matang yang berdiri di seberang sana sedang menatap Arka dengan manik elangnya yang sendu, dan tatapan yang sangat merindu, membayangkan seandainya suatu hari nanti mereka — dia dan Arka — yang berdiri berhadapan saling mengucapkan janji di sana.

Sama halnya dengan manik sendu yang itu, manik rubah milik Arka pun sedang menatapnya, mereka saling bertukar pandang cukup lama. Seperti perasaan pria di seberang sana, Arka pun sangat merindukannya, ingin memeluknya erat untuk melepaskan segala rindu yang menggunung selama berbulan-bulan, membayangkan mungkin mereka tidak akan pernah ada di sana untuk bertukar janji, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, dan segera ia hapus perlahan.

Acara pemberkatan sudah selesai dan dilanjutkan dengan acara resepsi, para tamu sedang bertukar sapa sembari menyicipi hidangan yang disediakan, sedangkan beberapa lainnya sedang memberikan selamat kepada kedua pengantin. Sedangkan pria manis itu sedang mengedarkan pandangannya, mencari pria tinggi berbadan tegap yang tak melepaskan pandangannya dan terus-menerus menatapnya saat di altar tadi.

Arka melangkahkan kakinya menuju kolam renang besar outdoor yang letaknya tak jauh dari tempat resepsi acara penikahan Dhika, untuk mencari udara segar awalnya, namun saat ia membuka pintu kaca besar itu, Arka langsung menemukan pria yang ia cari, Saka.

Ia langkahkan kakinya masuk ke area kolam renang yang sepi, dengan segan serta perlahan Arka mendekati pria itu, dan duduk di sebelah bench yang sudah sedari tadi diduduki oleh pria itu.

“Hai.” sapa Arka.

Manik elang dengan tatapan kosong yang sedang menatap lurus ke air tenang di hadapannya buyar karena mendengar suara pria yang sudah lama sangat ia rindukan. Nisaka atau pria yang biasa dipanggil Saka itu segera menolehkan wajahnya, memastikan bahwa suara yang ia dengar bukanlah suara halusinasi yang beberapa bulan ini selalu memenuhi pikirannya.

’Arka, ini Arka dan bukan halusinasi.’ gumamnya dalam hati.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Arka dengan senyumnya. “Ditungguin di dalem, Pak. Sebentar lagi Wedding Toast.” kata Arka, berdiri dari tempat duduknya.

“Dan saya belum mengucapkan ini, sebelum pergi kemarin.” kata Arka, Saka mendongakkan kepalanya untuk dapat melihat pria yang sedang berada di sampingnya “Good luck untuk pertunangannya, Pak Saka. Semoga kamu selalu bahagia.” lanjutnya, air mata Arka sudah tak mampu terbendung lagi, rasa sakit, rasa sesak berkumpul di sana. Dengan sisa kekuatan yang ada Arka berjalan perlahan untuk meninggalkan tempat itu, namun, langkahnya terhenti ketika tangan Saka menahan pergelangan tangannya. Saka tak menghiraukan apapun kali ini, dia memberanikan diri untuk menarik tangan lentik itu ke salah satu sudut kolam renang dengan taman yang remang cahaya.

Saka tanpa ragu segera memeluk tubuh pria yang sangat ia rindukan, Arka masih menahan isakannya dengan air mata yang terus mengalir dari manik cantiknya dan dengan ragu membalas pelukan pria itu, mengeratkan pelukan mereka.

“Ngga bisa kalau bukan kamu, Arka.” bisik Saka. “Aku ngga mau kalau itu bukan kamu.” lanjutnya. Dada Arka semakin sesak, pria manis itu semakin mengeratkan pelukannya.

“Jangan lepasin aku, Arka. Tolong, aku ngga sanggup tanpa kamu.” kata Saka, air mata mulai membasahi pipinya.

Saka merenggangkan pelukannya, menatap wajah Arka dalam di antara cahaya yang seadanya, menghapus air mata yang jatuh dipipi mulus pria kesayangannya, mencium dalam kening pria itu, lalu kedua kelopak mata Arka, kemudian kedua pipinya, mengecup hidungnya. Arka sedari tadi memejamkan matanya, merasakan hangat nafas dan sentuhan lembut bibir Saka diseluruh wajahnya. Saka mengelus rahang Arka dengan tangannya dan menarik dagu pria itu, dengan tanpa ragu menyatukan bilah bibir mereka, bibir ranum pria di hadapannya yang sangat ia rindukan, melumatnya lembut dengan Arka yang tanpa ragu mulai membalas ciuman tersebut dan memeluk pinggang Saka.

’Dear God, Let me be selfish just this once. I want him, I want him.’ gumam Arka dalam hatinya, sembari menikmati bibir Saka yang mulai menjelajahi rahangnya, dan mengecupi lehernya.

“I love you.” kata Saka tepat dikuping Arka.

“Tungguin aku ya? Jangan kemana-mana, jangan sama Arya.” kata Saka secara tiba-tiba menatap tajam mata Arka dengan manik elangnya. Arka tersenyum.

“Kalau aku minta kamu lepasin Bian?” tanya Arka berbisik.

“Aku pasti lepasin Bian, Arka. Aku cuma mau kamu.” kata Saka.

“Tapi, kita tahu ini salah, Pak Saka.” bantah Arka. “Kita ngga akan bisa. Aku ngga akan tega, tolong jaga hati Bian ya, cuma dia yang pantes di samping kamu.” lanjutnya.

I will fix this. Tunggu aku, tolong, jangan lari lagi. Aku ngga tau aku harus gimana kalau kamu hilang lagi.” kata Saka memohon.

“Pak Saka, we can’t.” kata Arka, air matanya kembali jatuh. Saka segera mengelap air mata dan mengelus kembali pipi mulus pria di hadapannya, menciumi pipi itu.

“Aku akan buat semua jadi mungkin, Arka. Please, aku butuh kamu.” kata Saka membawa kembali tubuh Arka kedalam pelukannya. Memeluknya erat. “Aku akan beresin semuanya Arka, tolong jangan pergi lagi.” lanjutnya.

“Pak Saka—“ panggil Arka. “Bila suatu hari kita dipertemukan lagi, aku harap perasaan kita masih sama.” lanjutnya.

“Aku harap, aku yang akan datang ke kamu dan disambut oleh tangan bapak yang suatu saat bisa aku raih.” kata Arka yang sedang berusaha untuk tegar. “Untuk saat ini, kita harus saling melepas ya, Pak Saka. Semuanya untuk kita.” kata Arka sembari mengelus surai Saka dengan tangan lentiknya.

“Aku sayang kamu, Saka. Selalu.” jawab Arka, melepaskan pelukannya, dan meninggalkan Saka sendirian di taman itu.

Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikan mereka.

Daddy’s Talk

Malam ini jalanan cukup sunyi, tidak seperti Jakarta biasanya, mungkin semua orang lelah sama halnya dengan 3 pria paruh baya yang sedang duduk di mobil sedan mewah serta limited edition itu.

Pria tampan berumur 55 tahun yang duduk manis di samping supir sedang tersenyum melihat layar ponselnya yang sedari tadi berbunyi karena anaknya yang jauh di seberang benua sana sedang mengiriminya banyak foto anak anjing jenis Bichon Frise dan tidak lupa memberikan selca-nya kepada sang ayah.

Pria di jok belakang yang sedari tadi memperhatikan akhirnya membuka suara. “Apakah itu Arka, Jeon?” tanyanya, membuyarkan perhatian pria yang dipanggil itu, tak lama pria dengan nama panggilan Jeonny itu mengangguk sembari tersenyum.

“Bagaimana? Apakah sudah sehat?” tanya pria paruh baya itu lagi.

“Sudah, Pak. Terima kasih untuk obat yang sudah Anda berikan. Sekarang bahkan anak nakal itu sedang di Barcelona bersama temannya. Apakah Anda mau lihat?” tanya pria yang dipanggil Jeon itu.

Pria yang dipanggil Pak itu mengambil benda pipih yang ditawarkan, mengamati serta melihat beberapa hasil foto dari lensa yang Arka bidik dan tentu saja Arka-nya.

“Dia tampak sangat bahagia.” katanya sembari memberikan ponsel itu kembali pada pemiliknya.

“Iya, sangat bahagia.” jawab Jeon yang memiliki nama panjang Jeonny Rahamardja itu. “Dia pergi berlibur setelah mendapatkan pengumuman karena diterima untuk full tuition dari universitasnya terdahulu.” lanjutnya.

“Arka memang anak yang cerdas ya, saya tidak pernah salah menilai orang, Jeon. Sayang sekali kemarin dia harus resign.” kata Aditya Bumi Putradinata, pria yang duduk gagah di kursi penumpang belakang.

“Iya, karena suatu serta lainnya, dan memang anak itu sedikit keras kepala.” kata Jeonny, asisten pribadi Aditya Bumi.

“Justru anak seperti itu yang dibutuhkan di Adi-Bumi Corporation untuk menemani Saka, seharusnya.” dibalas senyum manis oleh ayah dari 2 anak itu. Senyum manis banyak arti, dapat berarti ’Iya, betul sekali.’ atau senyum kekhawatiran ’Bagaimana bila Pak Bumi tahu bahwa Saka dan Arka saling menyukai? Apa yang akan beliau lakukan pada anaknya?’ Pilihan kedua sangat menakutkan dan Jeonny tidak ingin membayangkannya.

“Bagaimana dengan pernikahan Dhika, Jeon?” tanyanya lagi.

“Semua persiapan lancar, Pak. Semoga akan sesuai hingga hari H.” jawab Jeonny. Bumi hanya mengangguk, suasana di dalam mobil kembali hening.

Tak lama Bumi mulai membuka suaranya lagi, “Jeon?” panggilnya.

Pria yang duduk di sebelah kursi supir segera membalikkan tubuhnya ke belakang, memastikan pria paruh baya di bangku penumpang nyaman dan tidak terjadi apa-apa saat dia sedang berbincang dengan kedua putra dan satu calon mantunya di group chat.

“Jisoo?” tanya Bumi. “Nama calon menantumu, Jisoo betul?” tanyanya lagi, sembari membulak balikkan kertas tebal yang tidak dapat dia lihat dengan jelas karena mereka masih di mobil dan di luar sudah gelap.

“Betul, Pak.” jawab Jeonny sedikit ragu.

“Bagaimana kamu tahu kalau dia layak menjadi menantumu, Jeon?” tanya Bumi.

“Sebenarnya, menurut saya tidak ada seorangpun yang tidak layak untuk putra saya, semua layak.” jawabnya. “Namun, kebahagiaan anak saya nomor satu diantara semua-semuanya. Bila Dhika bahagia dengan pasangan yang ia pilih, maka saya akan ikut merasakan bahagia yang sama.” lanjutnya.

“Karena pernikahan tidak hanya melibatkan 2 insan yang sedang jatuh cinta bukan?” kata Jeonny sembari tersenyum. “Kita akan menikahkan keluarganya juga, dua keluarga menjadi satu, walau keluarga Jisoo berada jauh di Solo.” ungkap Jeonny.

“Dan ini adalah hal yang selalu saya ingat, Pak Bumi.” lanjut Jeonny, pria yang sedang duduk rapih itu melanjutkan bicaranya. “Menerima dan menikahkan anak itu artinya kita menambah satu personil baru di dalam keluarga, bukankah lebih baik bila orang itu adalah orang yang anak kita pilih dan kita juga belajar untuk menyayanginya?” tanyanya.

“Lalu bagaimana menurutmu dengan Saka dan Bian?” tanyanya. “Saya mulai khawatir dengan Saka, belakangan ini dia selalu menurut.” lanjutnya.

“Bukankah menjadi penurut adalah hal yang baik?” tanya Jeonny, raut wajahnya terlihat bingung.

“Kamu kenal dia sedari dia masih kecil Jeonny, dia tidak mungkin sepenurut ini.” kata Bumi mengelus dagunya yang bersih.

“Ada apa dengan Saka, Pak?” tanya Jeonny, anggap saja dia tidak tahu apapun. Anggap saja dia tidak pernah mendengar cerita anak sulungnya betapa Saka sangat merindukan anak bungsunya dan beberapa kali nekat mencarinya entah kemana. Bahkan sore ini Dhika sudah heboh memberikan pesan bertubi kepada dirinya saat diceritakan oleh Saka yang melihat Arka dengan seorang pria di bandara sore tadi.

“Tampaknya Saka tidak menyukai perjodohan ini ditambah lagi dengan Yuna yang selalu mengikutsertakan Bian di setiap waktu kosong Saka sejak anak itu tiba di Indonesia.” kata Bumi.

“Mungkin Anda harus bicara heart to heart dengan Tuan Muda, Pak.” Jeonny memberi saran. “Apa yang diinginkan oleh Tuan Muda, selama ini Tuan Muda sudah menjadi sangat penurut dengan jodohnya yang sudah ditentukan, tapi apakah dia bahagia? Itu yang harus kita pikirkan sebagai orang tua, Pak Bumi.” lanjut Jeonny.

“Karena menurut saya menikah hanya satu kali, mengapa tidak kita berikan kesempatan untuk Tuan Muda memilih cinta dalam hidupnya untuk menjadi pendampingnya kelak? Tuan Muda mirip seperti Anda, Pak Bumi. Dia pasti bisa menilai orang yang terbaik untuknya.” lanjut Jeonny.

“Semua omongan saya, harap dipertimbangkan kembali, bagaimanapun Nisaka adalah manusia yang memiliki hati dan perasaan, mungkin juga rapuh namun terlihat tegar.” kata Jeonnya.

Mobil sedan mewah itu sudah berhenti di salah satu rumah besar dengan arsitektur Eropa Modern, Jeonny segera turun dan membukakan pintu untuk Bumi dan membiarkan Bumi turun, masuk ke dalam rumah dengan pikirannya yang entah kemana dan Jeonny yang masih setia mengikuti langkah boss-nya itu.

Last Call

“Aryaaaaa!!!! Kalau gini ceritanya, we can be late to Heathrow!!” Teriak pria manis yang menggunakan kacamata bundar kepada housemate-nya.

Ini karena semalam Arya salah men-setting alarm-nya, seharusnya jam 10 AM, dia malah menghidupkan alarm untuk jam 10 PM, tidak hanya Arya, Arka malah dengan santai me-snooze semua bunyi alarm di ponsel-nya berkali-kali, dan hasilnya adalah mereka yang terburu-buru untuk bersiap berangkat ke Bandara Internasional Heathrow untuk berangkat ke Barcelona – Spanyol hari ini.

Taksi yang mereka pesan sudah sampai, mereka terburu-buru memasuki barang bawaan dan meminta sang supir untuk membawa mereka dengan kecepatan tinggi agar tidak terlambat naik pesawat, mereka harus naik pesawat jam 2.40 sedangkan di perjalanan membutuhkan waktu 1 jam setengah, demgan syarat kalau saja jalanannya lancar. Kini jam sudah menunjukkan pukul 12.30 siang, rencana mereka semalam meleset 30 menit. Arka dan Arya saling merutuki dirinya sendiri sembari memarahi satu sama lain dengan Bahasa Indonesia seperti kucing garong yang sedang merebutkan hak milik mereka, hingga driver yang melihat dari kaca spion itu hanya menggelengkan kepalanya.

“Coba lo ngga pake mandi!” Omel Arka.

“Coba kalau lo ngga ngecek lagi barang bawaan lo!” Rutuk Arya.

“Kalau lensa gue ketinggalan gimana?” Tanya Arka mencari pembenaran.

“Foto pake handphone kan bisa!” Omel Arya.

“Terus elo ngapain mandi?” Tanya Arka.

“Lo mau gue dilalerin?” Omel Arya. Hingga mereka diam dan menyadari apa yang mereka lakukan. Mereka adalah kedua pihak yang bersalah dan tak pantas untuk saling menyalahkan.

Sorry, kitakan mau liburan.” Kata Arka meminta maaf terlebih dahulu.

“Iya, yaudah deh, kalau telat kita jalan-jalan di Oxford aja, ke Museum Harry Potter.” Kata Arya pasrah.

Tepat jam 2 lewat 5 menit, mereka sudah sampai di Bandara International Heathrow, setelah membayar taksi kedua pemuda itu segera berlari karena benar-benar tidak ingin terlambat untuk naik pesawat yang akan membawanya ke Spanyol.

“Your attention please, passengers of British Airways on flight number Boeing 747-400 to Barcelona please boarding from door C17, Thank you. Your attention please, passengers of British Airways on flight number Boeing 747-400 to Barcelona please boarding from door C17, Thank you.” Suara seorang wanita yang sedang mengumumkan keberangkatan. Panggilan itu untuk pesawat Arka dan Arya yang sudah siap berangkat, sedangkan mereka masih 'asyik' mengantri untuk check in dan celingak-celinguk mencari gate yang disebutkan.

Saat mereka berlari mengejar waktu ke gate C17, pengumuman itu terdengar lagi dengan kali ini memanggil nama mereka, “Attention please, this is the announcement of final boarding call especially for passengers Mr. Rahamardja Arkadia Wonwoo and Mr. Langitan Arya Dooyoung, booked on flight Boeing 747-400 to Barcelona. Please go to gate C17 immediately. The final checks are going to be completed soon and the captain will then order the doors of the aircraft to close in five minutes time. I will repeat again. This is the final boarding call Mr. Rahamardja Arkadia Wonwoo and Mr. Langitan Arya Dooyoung. Thank you.”

Arka dan Arya terhuyung-huyung mendapati kakinya serta barang bawaannya yang cukup merepotkan bila dibawa berlari sudah berada di depan gate C17 terlambat namun tidak tertinggal pesawat. Arya merangkul bahu Arka dan mereka tersenyum mengingat kejadian bodoh yang mereka alami siang ini. Tanpa mereka sadari ada 2 pasang mata dibalk kacamata hitam bermerk yang harganya selangit sedang memandang mereka dari kejauhan, dengan tatapan sedih dan cemburu.


Sesuai dengan jadwalnya dari minggu lalu, Saka sudah sampai di Bandara International Heathrow tepat jam 2.25 siang waktu London. Pesawat yang dia gunakan sempat transit sehingga membuatnya tiba di London siang hari.

Pria tampan yang hari ini menggunakan black t-shirt yang ditutupi blazer abu-abunya, dan kacamat hitam itu berjalan bersama dengan Bian — calon tunangannya — dan Personal Asistennya, Dyah. Bian sedang mengomentari pemandangan dan cuaca London yang cerah hari ini, Bian cukup berisik menurut Saka hingga ia berkali-kali membersihkan telinganya, memberi kode bahwa ia sangat terganggu, namun tidak dihiraukan oleh pria manis di sebelahnya itu. Bian masih mengoceh sembari bergelayut mesra dengan Saka yang masih mengacuhkannya, dan Dyah yang tampaknya hanya mampu memandang boss-nya kasihan sembari mengelus dadanya sesekali ketika melihat tingkah laku calin tunangan atasannya itu.

Saka samar-samar mendengarkan announcement last call yang sedang berkumandang dan menghentikan langkahnya, “Attention please, this is the announcement of final boarding call especially for passengers Mr. Rahamardja Arkadia Wonwoo and Mr. Langitan Arya Dooyoung booked on flight Boeing 747-400 to Barcelona. Please go to gate C17 immediately. The final checks are going to be completed soon and the captain will then order the doors of the aircraft to close in five minutes time. I will repeat again. This is the final boarding call Mr. Rahamardja Arkadia Wonwoo and Mr. Langitan Arya Dooyoung. Thank you.” Suara itu jelas berkumandang keras membuat Saka menghentikan langkahnya, mencari-cari wujud dari nama orang yang dipanggil tersebut.

Dua pria berlari membawa barang yang tidak sedikit, salah satu wajah pria itu dapat sangat Saka kenali, pria manis berhidung bangir yang selama ini Saka rindukan, Arka. Arka yang meninggalkannya, Arka yang menghilang, kini sedang terengah-engah dan tertawa dengan pria lain.

'That should be me, Arka the one who should put their arm around your shoulder. That should be me, the man who always makes you laugh. That should be me, Arka.' gumamnya dalam hati. Melihat punggung lebar pria yang masih ia sayangi menghilang dengan tangan pria lain yang masih dibahunya.

Last Call

“Aryaaaaa!!!! Kalau gini ceritanya, we can be late to Heathrow!!” Teriak pria manis yang sedang menggunakan kacamata bunda kepada housemate-nya.

Ini karena semalam Arya salah men-setting alarm-nya, seharusnya jam 10 AM, dia malah menghidupkan alarm untuk jam 10 PM, tidak hanya Arya, Arka malah dengan enaknya snooze bunyi alarm di ponsel-nya berkali-kali, dan hasilnya adalah mereka yang terburu-buru untuk bersiap berangkat ke Bandara Internasional Heathrow untuk berangkat ke Barcelona – Spanyol hari ini.

Taksi yang mereka pesan sudah sampai, mereka terburu-buru memasuki barang bawaan dan meminta sang supir untuk membawa mereka dengan kecepatan tinggi agar tidak terlambat naik pesawat. Mereka harus naik pesawat jam 2.40 sedangkan mereka membutuhkan waktu 1 jam setengah di jalan, kalau saja jalanannya lancar. Kini jam sudah menunjukkan pukul 12.30 siang, rencana mereka meleset 30 menit. Arka dan Arya saling merutuki dirinya sendiri sembari memarahi satu sama lain dengan Bahasa Indonesia seperti kucing garong, hingga driver mereka hanya menggelengkan kepalanya.

“Coba lo ngga pake mandi!” Omel Arka.

“Coba kalau lo ngga ngecek lagi barang bawaan lo!” Rutuk Arya.

“Kalau lensa gue ketinggalan gimana?” Tanya Arka mencari pembenaran.

“Foto pake handphone kan bisa!” Omel Arka. “Terus elo ngapain mandi?” Tanya Arka.

“Lo mau gue dilalerin?” Omel Arya. Hingga mereka diam dan menyadari apa yang mereka lakukan. Mereka adalah pihak yang salah dan tak pantas untuk saling menyalahkan.

“Sorry, kitakan mau liburan.” Kata Arka meminta maaf terlebih dahulu.

“Iya, yaudah deh, kalau telat kita jalan-jalan di Oxforx aja, ke Museum Harry Potter.” Kata Arya pasrah.

Tepat jam 2 lewat 5 menit, mereka sudah sampai di Bandara International Heathrow, setelah membayar taksi kedua pemuda itu segera berlari karena benar-benar tidak ingin terlambat untuk naik pesawat yang akan membawanya ke Spanyol.

*“Your attention please, passengers of British Airways on flight number Boeing 747-400 to Spain Barcelona please boarding from door C17, Thank you. Your attention please, passengers of British Airways on flight number Boeing 747-400 to Spain Barcelona please boarding from door C17, Thank you.” * Suara seorang yang sedang mengumumkan keberangkatan. Pesawat Arka dan Arya sudah siap berangkat, sedangkan mereka masih asik mengantri untuk *check in” dan mencari gate yang disebutkan.

Saat mereka berlari mengejar waktu, pengumuman itu terdengar lagi kali ini, memanggil nama mereka, “Attention please, this is the announcement of final boarding call especially for passengers Mr. Rahamardja Arkadia Wonwoo and Mr. Langitan Arya Dooyoung, booked on flight Boeing 747-400 to Barcelona. Please go to gate C17 immediately. The final checks are going to be completed soon and the captain will then order the doors of the aircraft to close in ten minutes time. I will repeat again. This is the final boarding call Mr. Rahamardja Arkadia Wonwoo and Mr. Langitan Arya Dooyoung. Thank you.”

Arka dan Arya terhuyung-huyung mendapati kakinya serta barang bawaannya yang cukup merepotkan bila dibawa berlari sudah berada di depan gate C17 terlambat namun tidak tertinggal pesawat. Arya merangkul bahu Arka dan mereka tersenyum mengingat kejadian bodoh yang mereka alami siang ini. Tanpa mereka sadari ada 2 pasang dibalim kacamata hitam sedang memandang mereka, sedih dan cemburu.


Sesuai dengan jadwalnya dari kemarin, Saka sudah sampai di Bandara International Heathrow tepat jam 2.25 siang waktu London. Pesawat yang dia gunakan sempat transit sehingga membuatnya tiba di London siang hari.

Pria tampan yang hari ini menggunakan black t-shirt yang ditutupi blazer abu-abunya, dan kacamat hitam itu berjalan bersama dengan Bian dan Personal Asistennya, Dyah. Bian sedang mengomentari pemandangan dan cuaca London yang cukup cerah hari ini. Dengan Bian yang cukup berisik sembari bergelayut mesra dan Saka yang mengacuhkannya mereka berjalan beriringan.

Saka samar-samar mendengarkan announcement last call, “Attention please, this is the announcement of final boarding call especially for passengers Mr. Rahamardja Arkadia Wonwoo and Mr. Langitan Arya Dooyoung, booked on flight Boeing 747-400 to Barcelona. Please go to gate C17 immediately. The final checks are going to be completed soon and the captain will then order the doors of the aircraft to close in ten minutes time. I will repeat again. This is the final boarding call Mr. Rahamardja Arkadia Wonwoo and Mr. Langitan Arya Dooyoung. Thank you.” Suara itu jelas berkumandang keras membuat Saka menghentikan langkahnya, mencari-cari wujud dari nama orang yang dipanggil.

Dua pria berlari membawa barang yang tidak sedikit, salah satu wajah pria itu dapat sangat Saka kenali, pria manis berhidung bangir yang selama ini Saka rindukan, Arka. Arka yang meninggalkannya, Arka yang menghilang, kini sedang terengah-engah dan tertawa dengan pria lain.

'That should be me, Arka the one who should put their arm around your shoulder. That should be me, the man who always makes you laugh. That should be me, Arka.' gumamnya dalam hati. Melihat punggung lebar pria yang masih ia sayangi menghilang dengan tangan pria lain yang masih dibahunya.

YOU LOVE ME, BUT I'M SORRY


tw: Saka – Bian centric, domestic dating, kissing

Kini Saka dan Bian sudah berada di Studio CGV Velvet yang kosong, benar saja si Dyah — Personal Asisten Saka yang baru — memesankan 1 whole studio untuknya dan pria manis namun manja di sampingnya itu. Bian sedang asik mengoceh sendiri sembari memilih tempat mereka akan duduk, Saka dengan malas mengikutinya. Petugas CGV juga ternyata sudah menyiapkan kentang, cola, bahkan terdapat salted popocorn dan juga caramel di sana, dua rasa popcorn kesukaan Bian. Bian sangat senang sekarang, pria manis itu merasakan sangat spesial diperlakukan oleh Saka hari ini. Tidak hanya itu, Saka juga memberikannya sebuket Bunga Mawar merah muda yang cantik, sama dengan kebiasaan yang selalu Saka lakukan dari dulu. Saka-nya perlahan kembali.

Saka masih berdiri, bingung harus duduk di mana, di sebelah kursi yang nyaris seperti tempat tidur yang sudah Bian duduki atau duduk yang jauh sekalian, namun, belum juga Saka melangkahkan kakinya, tangan Bian sudah menahannya.

“Duduk di sini aja, Kak. Mau kemana?” Tanya Bian, mengerucutkan wajahnya lucu.

“Di situ sih.” Jawab Saka dengan dinginnya menunjuk ke arah tempat duduk yang sangat lebar di sebelah tempat Bian.

No, no. Sit down here, with me. Lagian ini gede banget buat sendiri. Pwease?” Mohon Bian dengan gaya imut dan lucunya, membuat Nisaka tidak mungkin menolak, karena khawatir bila Bian kecewa dan Ibu Ratu mengetahuinya, maka habislah Saka.

Saka menyerah, pria tinggi nan tampan itu duduk di sebelah Bian dengan menyenderkan tubuhnya pada senderan kursi dan membiarkan Bian meletakkan kepala mungil itu di dadanya. Tak lama film drama romantis “The Vow” yang dipilihkan oleh Dyah mulai terputar di layar raksasa di hadapan mereka.

Saka menontonnya dengan serius, mencoba mencari maksud Dyah dengan mengambil hikmah dari alur cerita seorang wanita yang hilang ingatan dan suami wanita itu yang berusaha memilikinya kembali. Film itu sudah berjalan 1 jam lebih 9 menit, saat Saka merasakan Bian mulai mengecupi punggung tangan kirinya yang sedari tadi melingkar malas di pinggang pria yang lebih muda itu. Tubuh Saka terkejut menerima afeksi Bian yang tiba-tiba di ruangan gelap yang hanya ada mereka berdua, pria yang hari ini menggunakan orange t-shirt polos itu masih berusaha santai dengan pikiran yang berjalan membayangkan bila saja Arka yang berada di sampingnya, merapalkan nama Arka saat bibir Bian mulai menjelajahi lehernya, mengingat senyum Arka saat ranum Bian menciumi rahang kokohnya dan mengingat ciuman manis serta bibir plum Arka yang tak pernah terbalas saat itu ketika Bian menyatukan bibir mereka.

And I'm sick of kissing you in my head Oh baby, tell me, when can it be real instead? 'Cause I would do anything to be close to you again And it's hard being here half empty When somewhere different is my favorite part of me

Kedua tangan Saka memegang kedua pipi Bian yang berada di hadapannya, membayangkan wajah Arka yang selalu dia rindukan. Semakin pria tampan itu membayangkan wajah Arka-nya yang kini jauh dari jangkauannya, Arka yang setiap hari ia rindukan, semakin dalam Saka menyatukan bilah bibir mereka dan semakin sakit pula dadanya. Air mata jatuh di kedua pipi Saka, butiran sesak di dada dan jeritan rasa rindu yang selama ini tidak pernah bisa dia lampiaskan. Kini, Saka semakin merindukan pria bermanik rubah cantik itu, senyuman ramah yang selalu menenangkan hari Saka yang melelahkan.

If I could just hold you for real That's the only thing I'll need Baby, that's all I need

Sementara itu, Bian membalas penyatuan bibir mereka serta kecupan yang Saka berikan, ciuman hangat dari pria yang sangat ia cintai itu. Bian merasakan jantungnya yang berdetak kencang seperti ingin meledak, dan tanpa berfikir panjang, pria mungil itu melingkarkan tangannya di pinggang Saka dan sesekali meremat t-shirt yang pria itu gunakan. Menikmati bibir ranum pria yang selama ini ada di sisinya namun entah mengapa selalu ia rindukan, Kak Saka-nya.

Saka's Confession


tw: blood, fight, friendship

Setelah mematikan telepon dari Andrian, Dhika segera mempersiapkan dirinya untuk benar-benar menghajar sahabat kecilnya itu. Dia sangat membenci Saka saat ini, ingin sekali menghabisi pria tinggi itu hingga tak mampu berjalan, rasanya. Walaupun, akhirnya dia akan diomeli habis-habisan oleh Pak Jeonny atau mungkin Arka bila dia tahu apa yang mas-nya lakukan kepada pria yang dia sayangi namun harus dia lupakan.

Kini Dhika Rahamardja sudah berada di depan pintu apartemen modern dan minimalis yang harganya, tentu saja tidak murah. Mungkin, satu unitnya lebih mahal dari 5 tahun gajinya sebagai Director HR di Avays Hotel. Pria berhidung mancung yang sudah membawa kotak P3K itu sudah menekan bell yang ada di sana. Tak membutuhkan waktu yang lama, seorang pria yang tingginya sama dengan Dhika, berwajah blasteran membukakan pintu, mengambil kotak P3K dan mempersilahkan anak sulung Rahamardja untuk masuk.

“Gue ngga tau dia jetlag atau ngga, kalau mau lo gebukin sekarang aja, mumpung orangnya ngga ada niat buat bales.” bisik David, pemilik apartemen.

“Badan doang kaya paspampres, giliran perasaan ngga bisa nentuin mau kemana. Bikin adek gue sedih aja.” decihnya, membuka sepatu dan masuk, mencari pria yang sangat ingin dia pukul sore ini.

“Dhik!” panggil Diaz yang ternyata sudah sampai di sana, dan sudah lebih dulu mendengarkan kisah romansa Saka yang lebih rumit dari Romeo and Juliet. “Gue udah denger semuanya, dari Bule, Andrian sama Saka. Gue vote kalau lo gebukin Saka sekarang.” lanjutnya.

“Gue udah siapin mobil, kalau sekarat kita tinggal bawa aja. MMC deket kok.” kata Andrian santai.

Tidak ada yang tegang di dalam ruangan ini selain rahang Dhika yang mengeras dan Saka yang masih menundukkan kepalanya, seakan enggan melihat Dhika karena malu.

“Malu lo liat gue?” tanya Dhika dengan nada dinginnya. “Giliran lo ngejer adek gue ngga ada malunya ya?” lanjutnya.

Dhika mendekatinya, menarik kerah black t-shirt Saka dan segera memberinya satu pukulan dengan kekuatan standard yang dimilikinya. Jangan lupakan bahwa Dhika Rahamardja salah satu mahasiswa lulusan kumlaud Fakultas Psikologi angkatan 2015 universitas bergengsi di Depok adalah salah satu orang yang membawa pulang medali perak di ajang bergengsi World Karate Championships di Bremen, Jerman.

“Ngomong deh, sebelum lo gue bikin ngga bisa ngomong!” Bugh! kepalan tangan Dhika sudah menghajar rahang pria tinggi di hadapannya yang masih tidak melawan juga. Ketiga kawannya yang lain hanya melihat tanpa ada keinginan untuk membantu, sama seperti yang sudah mereka ucapkan sebelumnya. Mereka menepatinya.

“Siapa yang ngebolehin lo godain adek gue? Lo cuma atasannya, Nisaka Mingyu!” Bugh! satu pukulan lagi di pelipis kanan Saka. Tangan kiri Dhika masih menggenggam erat kerah t-shirt sahabatnya, belum saatnya pria itu terjatuh.

“Gue — sayang — Arka, — Dhik!” kata Saka terbata-bata, kali ini Dhika memberikan bogeman-nya dengan penuh tenaga hingga badan bongsor Saka terjatuh.

“Lo — ngga boleh — sama sekali — punya rasa sama — Arka — karena gue — ngga — akan pernah rela — adek gue — jadi korban bengis — keluarga besar lo!” kata Dhika terbata-bata, ia menduduki tubuh paspampres itu dan terus-menerus memukulinya seiring dengan kalimatnya.

Diaz menghampiri Dhika, mencoba menghentikannya, namun kekuatan pria itu lebih besar hingga dia terdorong ke belakang dan menimpa tubuh Andrian yang sedang asyik menonton adik sepupunya di siksa.

“Anjing lu! Sakit banget pantat lu kena paha gue.” bisik Andrian kepada Diaz yang tubuhnya ada dipangkuannya.

Sorry, oleng gue. Gue baru tau kalau Dhika masih banyak tenaganya.” balas Diaz sembari berbisik pula dan memperbaiki posisi duduknya di sebelah Andrian.

Tak lama, Dhika menjatuhkan tubuhnya di samping tubuh Saka yang wajahnya sudah habis babak belur ia pukuli.

“Gue — ngga bisa — Dhik, gue — sayang — Arka.” Saka masih terengah-engah setelah menerima pukulan yang bertubi-tubi dan cukup keras itu.

“Nih, minum dulu.” kata David, memberikan segelas air mineral untuk kedua temannya itu dan membantu Saka untuk duduk.

“Udah belum?” tanya David. “Kalau belum gue prepare lagi Saka-nya. Mau bikin sampe kaya gimana babak belurnya?” tanyanya lagi.

“Udahlah, udahan aja, capek kan lo?” tanya Andrian mengambil tangan Dhika dan membantu temannya itu untuk duduk.

“Gue ngga tau tenaga lo masih segede itu, Dhik. Standing applause.” kata Diaz, berdiri dan bertepuk tangan diikuti oleh Andrian.

“Lo semua tuh nganggep ini bercandaan?” tanya Dhika, masih dengan nada tingginya karena emosi.

“Ngga, Saka harus dapet hukuman dari lo, gue sebagai sahabat lo dari SMA dukung banget. Tapi, lo juga harus tau apa yang terjadi sama Saka dan perasaannya, lo ngga boleh ngelarang orang untuk ngerasain sesuatu, itu terlalu egois.” jawab David.

“Sekarang lo dengerin dari sisi Saka, setelah itu, terserah lo mau nanya ke Arka atau ngga, tapi ada baiknya lo dengerin Arka juga. Karena dari yang gue liat, perasaan Saka juga ngga unrequited love, adek lo juga suka Saka, Dhika.” lanjut David.

“Abis ini lo mau gebukin Saka sampe masuk IGD atau operasi plastik, gue yang tanggung. Dengerin dulu.” Pinta Andrian.

Dhika meminum airnya dengan sekali teguk, meletakkan gelasnya, siap mendengarkan apa yang ingin dijelaskan Saka, tatapan Dhika yang tajam, sangat bisa menusuk jantung dan menyayatnya.

Perlahan Saka mengelap darah yang keluar dari gusi dan bibirnya yang sobek, berusaha keras menahan sakitnya dan menceritakan semuanya kepada Dhika. Dhika berusaha mendengarkan suara Saka yang terdengar semakin lama semakin lirih, dan terdengar suara isakan tangis di sana. Saka menangis, air matanya jatuh dari kelopak mata yang sudah berwarna biru keunguan karena pukulannya tadi.

“Gue — emang belum bisa — apa-apa sekarang, tapi — satu hal yang — akan gue perjuangkan — adalah Arka, Dhik.” kata Saka berusaha mengucapkan semua kalimatnya, antara ringisan sakit dan rintihan hati, cukup membuat Dhika sedikit tidak tega.

“Lo tau, satu dunia tau kalau itu ngga bisa Nisaka. Nyokap dan bokap lo ngga akan memperlakukan Arka seperti mereka memperlakukan Bian.” kata Dhika, amarahnya sudah menyurut. “Gue ngga mau adek gue yang selalu gue embrace jatuh ke tangan keluarga lo yang mungkin nyakitin dia.” lanjutnya.

If you love him, please let him free. Ikhlasin keinginan lo yang ngga mungkin terwujud.” kata Dhika, berdiri. “Cinta ngga harus memiliki, Sak. Wake up dan balik ke reality.” Dhika menepuk bahu Saka yang masih meringis.

“Semoga setelah gue gebukin, lo kembali lagi jadi Nisaka Mingyu Putradinata yang tau tempatnya ada di mana.” lanjutnya. “Biarin adek gue dengan hidupnya, jangan coba-coba buat ganggu dia.”

“Gue tau kalian akan sakit banget untuk saling melupakan, tapi ini bener-bener jalan yang paling baik untuk kalian berdua.” kata Dhika. “Gue berharap, lo bisa lupain Arka, gue ngga akan pernah restuin hubungan kalian.” lanjutnya, melangkah menjauh dan meninggalkan apartemen itu, hingga pintu di belakangnya berbunyi tanda terkunci. Dhika segera membuka kotak pesan yang sedari tadi menunggu pesannya untuk di balas, ada pesan dari Love Of My Life yang menanyakan keberadaannya karena pria manis di ujung sana sedang menunggunya dan satu pesan dari unknown yang membuat senyumnya melebar.

Dhika melangkah ke parkiran dan membawa kembali mobilnya untuk menjemput kekasihnya. Mengistirahatkan fikirannya dengan lagu-lagu yang menenangkan karena fikirannya yang penuh, hari ini sungguh di luar dugaannya, tenaganya terkuras habis karena amarah. Kalau Jisoo tau, dia sudah pasti dimarahi habis-habisan, apalagi bila Arka tahu, bahwa pria yang dia sayangi babak belur di tangan mas nya itu.

From: Andrian Buaya

Dja, gue bawa Saka ke UGD nih ya. Lo pikirin lagi kata David dan confess-nya Saka malem ini. Gue akan dukung kalau lo juga nanya ke adek lo tentang perasaan dia ke Saka. Gue ngga akan nanyain lagi Arka di mana. Hide well until Saka can solve this shit family problem. Lo tetep sahabat kita semua, part of anak sendok emas. Kita masih sayang sama lo kok.

Abian untuk Nisaka


TW: Bian & Nisaka centric, slightly mature content

Saka dan Bian sudah berada di restaurant and bar yang berada di hotel bintang 5 tempat yang sudah Andrian booking untuk adik sepupunya itu, tempat itu terletak di rooftop. Mereka menempati meja ujung yang terdapat di restaurant dengan pemandangan langit yang Indah.

‘Kalau Arka di sini, dia pasti sangat menyukai pemandangan kota kaya gini.’ Ungkap Saka dalam hati.

“Kak, bengong terus sih?” tanya Bian, pria manis di hadapannya yang lebih muda 6 tahun itu.

“Ngga, kenapa? Tadi kamu ngomong apa?” tanya Saka lagi.

“Aku nginep di hotel ya sama kamu, besok aku ngga ada kelas kok.” Kata Bian.

Next time boleh ngga, Yan? I mean aku tuh masih jet lag kan, baru sampe. Nemenin kamu makan, terus ini kena angin malem juga, cuma pengen tidur akunya.” Alasan Saka, tentu saja.

Seandainya bisa, ingin rasanya Saka mengakhiri ini semua dan kembali terbang ke Indonesia. Entah kenapa, hari ini saat berbicara dengan personal asisten-nya di chat rasanya seperti ada yang aneh, entah apa, tapi perasaannya tidak begitu enak.

“Ih, aku janji deh ngga akan ganggu. Kamu boleh tidur sebebasnya kamu.” Bian insist.

Not today ya, Bian. Kan aku masih seminggu di sini, kita bisa puas-puasin jalan.” Kata Saka, masih memainkan ponsel-nya. Bian mengerucutkan bibirnya tanda tak suka karena penolakan halus dari Saka.

“Sekarang, let me ask you something and please be honest with me. Udah ada orang yang ngegantiin aku di hati kamu kan?” Tanya pria muda itu dengan menodong pria yang selama ini dia anggap sebagai kekasihnya itu.

Bahkan Saka tidak terkejut dengan pertanyaan yang terlontar, Saka menatap wajah Bian dalam, dan Bian kembali menatapnya. Tatapan mereka bertemu, namun tak ada sipu, hanya Saka yang ingin jujur kepada pria di hadapannya, berniat untuk tidak menipu.

“Tapi kamu taukan, Kak, kalau kamu ngga bisa lepas dari aku?” tanya Bian lagi. “Karena akunya ngga akan lepasin kamu.” jelas Bian, Saka tidak pernah terkejut dengan kelakuan Bian yang masih kekanak-kanakan dan egois, sama halnya dengannya yang merasa sudah menggenggam Arka, karena itu merupakan salah satu tindakan egoisnya.

“Suatu saat kamu pasti akan mendapatkan yang lebih baik dari aku dibandingkan dengan pertunangan bisnis, Bian. Sadarkan?” tanya Saka, dengan suara yang memelan, khawatir karena akan menyakiti pria di hadapannya, bagaimanapun dia pernah mencintai pria ini sepenuh hati — dulu — yang lama kelamaan dia sadari bahwa rasa yang Saka miliki adalah rasa sayang seorang kakak kepada adiknya.

“Ngga ada yang pantas buat Abian selain Nisaka, dan begitu sebaliknya, Kak, dan akan seperti itu.” kata Bian. “Jadi, kalau kamu ke sini untuk minta aku lepasin kamu, kayaknya sia-sia, because I won't.” lanjutnya.

“Dan memang kamu akan baik-baik saja kalau hati aku sudah bukan untuk kamu?” tanya Saka, menyesap kopi espresso double shot-nya, mencoba untuk terlihat lebih santai. Saka khawatir Bian akan mengadu kepada Sang Ratu sebenarnya.

Your heart will lead you home, true home.” jawab Bian. “Dan aku yang akan jadi rumah kamu, tempat kamu selalu pulang.” lanjutnya dengan percaya diri.

'Jelas bukan kamu, Bian. Bukan kamu lagi.' gumam Saka dalam hatinya.

So, I'm insist, aku akan menginap di hotel sama kamu, karena aku tuh kangen banget sama kamu, kak. Ngertikan?” Tanya Bian. “So, please to miss me more.” Lanjutnya.


Saka dan Bian sudah berada di Executive Suite Room di Palace Hotel Tokyo, Saka langsung membuka blazer-nya, meletakkannya sembarangan dan mengistirahatkan tubuhnya di tempat tidur yang berukuran king size karena tubuhnya terasa sangat lelah setelah perjalanan panjang. Bian mengukuti langkah Saka dan duduk di pinggir tempat tidur itu. Melihat tubuh atletis Saka, memujanya, ingin direngkuh olehnya. Bian merindukannya.

“Kak, mandi dulu.” Kata Bian menggoyangkan tubuh pria tinggi yang sudah tertelungkup.

“Hmm” mood Saka sudah turun drastis sejak pernyataan Bian di restaurant tadi, ditambah dengan Bian yang memaksa untuk tetap tinggal bersamanya, dia merindukan Arka, dia ingin menghubungi pria manis itu tanpa tatapan curiga dari Bian.

“Mau aku mandiin?” Tanya Bian berbisik dengan nadanya yang menggoda sembari mengelus punggung tegap Nisaka dan pria itu membalikkan tubuhnya, menatap Bian tajam.

Bian tersenyum manis, tatapan Saka terasa menggodanya saat ini, pria manis itu mendekatkan tubuhnya dengan tubuh Nisaka, mengelus dada Saka dengan pola acak seakan mengajak pria yang lebih tua itu untuk bermain, Bian mendekatkan wajahnya dan berniat untuk menyatukan belah bibir mereka, namun wajah Saka menghindarinya. Pria berkulit sedikit lebih gelap itu terduduk, berjalan ke arah kamar mandi, dan meninggalkan Bian terdiam mematung di sana.

Tak membutuhkan waktu yang lama, Saka sudah keluar dari kamar mandi dengan menggunakan bathrobe-nya dan menemukan Bian yang sudah totally naked di atas tempat tidur, posisinya masih sama dari terakhir Saka meninggalkannya untuk mandi, namun kini Bian tidak menggunakan sehelai kainpun di sana.

“Bian, please can you understand? Aku capek banget, ngga mau ngeladenin kamu. Apapun.” kata Saka, membuka kopernya dan menatap bawaannya yang tertata rapih karena sentuhan tangan lentik Arka.

Please, I miss you. I want yours.” kata Bian menghampiri Saka dan memeluknya dari belakang.

“Ngga hari ini.” kata Saka. 'Dan ngga akan ada lagi sampai kapanpun. Arka, please give me your strenght to resist.' ucap Saka dalam hatinya.

Saka sudah merasakan tangan Bian yang perlahan namun pasti sudah mulai memasuki kimono handuk yang masih menggantung di tubuhnya dan menyentuh dada bidangnya yang bebas tanpa tertutup apapun.

I know you want me too, so today?” tanya Bian masih dengan nada menggodanya yang mulai menciumi tengkuk Saka, dia hafal letak kelemahan Saka, dimana Saka akan turn on oleh belaiannya karena memang ini bukan pertama kalinya mereka melihat masing-masing tanpa busana, dulu, sebelum Saka bertemu dengan Arka dan menyadari bahwa dia menyayngi Bian bukan sebagai seorang kekasih.

Satu tangan bebas Bian meraba sesuatu yang ada di antara selangkangan Saka, membuat Saka menutup matanya namun hanya dapat melihat Arka di sana, Saka segera sadar dan menepis tangan Bian, bukan, bukan tangan itu yang dia inginkan untuk memanjakannya. “Ngga lucu!” kata Saka, membalikkan tubuhnya, menggenggam erat bahu Bian, menggoyangkan tubuh mungil itu dan mendorongnya sedikit menjauh, dengan tangannya yang masih berada di kedua sisi lengan pria berambut blonde itu.

“Jangan kaya gini, tolong! Ada hati yang harus aku jaga.” jawab Saka dengan nada tegas, nada yang tak pernah Bian dengar selama mereka saling mengenal.

Who? Siapa hati yang seharusnya kamu jaga? Aku! Aku calon tunangan kamu!” Bian marah, nada suaranya meninggi.

“Maaf, tapi bukan kamu.” kata Saka jujur, meraih tubuh Bian dan berniat untuk merengkuhnya, pria itu mendorong Saka sekuat tenaganya.

“Aku ngga akan pernah lepasin kamu, untuk siapapun Nisaka Mingyu! Ngga akan!” kata Bian, menjauhi Saka dan menggunakan pakaiannya kembali, sembari menahan air matanya.

“Kita akan ngobrol lagi, waktu kamu sadar kalau cuma aku yang kamu butuhin! Bukan siapapun atau apapun bentuk orangnya!” kata Bian, meninggalkan tempat Saka stay selaman di Jepang dan membanting pintu itu cukup keras. Saka tidak menggubrisnya. Walaupun hatinya terasa was-was, disamping itu dia juga merasa lega karena sudah mengungkapkan apa yang ingin ia katakan. Mengesampingkan apa yang akan terjadi, nanti.

Saka melihat kearah koper yang ia bawa lekat-lekat setelah mengambil black t-shirt yang disiapkan Arka, ada kotak beludru hijau tosca kecil di sana. Saka segera mengambilnya dan membuka kotak tersebut, dia merasa tidak pernah membeli atau berniat membelikan apapun untuk Bian, karena sesungguhnya dia datang hanya sebagai kewajiban atau hal terburuknya adalah apa yang terjadi hari ini, mengatakan pada Bian untuk menyudahi hubungan mereka.

Pria dengan tinggi 187 sentimeter itu membuka kotak tersebut dan menemukan nackles Interlocking Circles Pendant dari salah satu merk accessories terkenal yang Saka sukai karena modelnya yang terkenal simple. Saka melihat pendant itu berkali-kali, membulak-balikkan 2 cincin yang dijadikan 1 itu dan menemukan inisial namanya NMP dan AWR dimasing-masing cincinnya.

“Arka?” Saka segera mengambil ponselnya dengan sangat excited dan men-dial nomor asisten pribadinya itu, namun tidak ada jawaban. 'Di Indonesia sudah pukul 11 malam, mungkin Arka sudah tertidur.' gumamnya, dan mengetik beberapa kalimat yang ingin dia tanyakan kepada anak bungsu keluarga Rahamardja itu di dalam chat room mereka, dengan senyum yang mengambang di wajahnya.