mnwninlove

I WILL FOLLOW YOU


TW: angst, major character death, hallucination, dreams, suicide, frustration, kissing scene, tears, self harm.

Wonwoo terbangun dari tidur malamnya setelah mengirim pesan panjang kepada pria yang selalu ia panggil “Bby Guyu” dengan mata yang sembab, tak dapat dipungkiri bahwa pria berkulit putih dan bersuarai hitam itu menangis sebelum tidur atau bahkan dalam tidurnya. Sama seperti hari-hari yang sudah ia lewati setiap malam sendiri selama 3 tahun belakangan ini, ia akan terduduk, menyenderkan tubuhnya di headboard tempat tidur dan termenung di dalam ruangan gelap, tidak tertarik untuk menyalakan lampu ruang tidurnya, walaupun hanya secercah cahaya dari lampu tidur di atas nakas sebelah tempatnya kini sedang terduduk dan mendongakkan wajahnya ke langit-langit kamar berwarna putih pucat, tanpa hiasan.

“Bby, besok 3 tahun kamu pergi ninggalin aku. Time flies, indeed.” Katanya tersenyum pilu. “Padahal, aku selalu kamu tinggal sendirian kalau kamu lagi nugas. Tapi, aku tahu kamu akan pulang ke rumah, coba kamu liat sekarang, rumah kosong, sayang, aku juga.” Lanjutnya sembari menatap tempat kosong yang biasa diisi oleh tubuh bongsor milik Bby Guyu-nya, dan menepuk bantalnya itu perlahan.

“Kamu liatkan, Bby, aku selemah itu tanpa ada kamu di samping aku? Aku bisa apa coba tanpa kamu? Nangis sepanjang malem, Bby. Ngga bisa tidur, aku ngga mau ketemu orang.” Katanya bermonolog, memeluk bantal yang biasa kekasihnya gunakan. “Cuma ada Eissa, Cimol dan Kwannie yang masih mau nemenin aku setiap hari secara bergantian.” Katanya lagi, semakin memeluk erat bantal itu dan menghirup sisa wanginya.

“Bahkan wangi tubuh kamu udah hilang ya, tinggal parfum kamu yang selalu aku beli setiap habis, supaya aku ngga pernah lupa kamu.” Katanya setelah menghirup benda empuk persegi panjang berisi kapuk itu dan kembali menangisi kekasihnya.

“Aku harus apa, Bby? What should I do for tomorrow, pas bangun aku masih ngga bisa denger suara kamu? Aku sama sekali ngga bisa liat wajah kamu.” isaknya, pertanyaan yang selalu ia ucapkan setiap hari tanpa absen sejak saat itu kepada angin dengan harapan Mingyu yang sudah tiada masih mampu mendengarnya. Wonwoo kembali menangis hingga kembali tertidur karena terlalu lelah.


“Breaking News, Pesawat Emirates Indonesia Boeing 777 – 417 ER dengan penerbangan dari Bandar Udara Internasional Brajas Madrid menuju Seokarno Hatta, hilang kontak —”

Wonwoo terbangun dari tidurnya, keringat dingin membasahi seluruh tubuh dan wajahnya. Mimpi itu lagi, mimpi yang selalu mengganggu tidurnya, suara berita yang memekakan telinganya, membisukan indera wicaranya dan nyaris menghentikan debaran jantungnya. Mimpi yang selalu terasa nyata, melihat dirinya di sana yang sedang menangis dan menunggu kabar terbaru dengan rasa was-was yang luar biasa, rasa takut yang tak pernah pergi, perasaan bersalah yang selalu mengantui. Tak terasa air mata sudah mengalir deras tanpa meminta izinnya lagi pagi ini dan lagi-lagi membasahi pipinya. Pria itu masih terdiam di atas tempat tidurnya, memeluk kedua lututnya yang terlipat di depan dada, menenggelamkan wajahnya di sana.

“Nunu, bangun sayang. Aku udah siapin sarapan lho! Yuk! Aku gendong yaaaa?” suara baritone pria yang selalu menjadi obat penenangnya. Pria yang dipanggil Nunu itu hanya tersenyum merentangkan tangannya, meminta pria yang membangunkannya untuk menggendongnya.

“Manjanya, calon suami siapa?” tanya pria itu, mengecup jidat pria yang semakin hari semakin kurus itu, kemudian, mencium kedua matanya yang bengkak karena menangis, lalu kecupan itu turun ke kedua pipinya, pria tampan itu menempelkan ujung hidung mereka. “I love you.” ucap pria itu menyunggingkan senyumnya. Wonwoo membalas senyuman itu, saat ia ingin membuka suara untuk memberitahukan pria itu perasaannya, cahaya matahari yang mengintip dari gorden jendela di kamarnya. Hari sudah kembali terang, menyadarkannya bahwa suara yang ia dengar hanyalah halusinasi. Suara yang tidak akan pernah ia dengar lagi.

Wonwoo bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan ke arah dapur, kerongkongan yang kering akibat menangis. Ia melihat sosok pria di mimpinya sedang berdiri di dapur dengan nuansa minimalis putih itu, sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka, sama dengan hal yang biasa Mingyu lakukan ketika libur bekerja, memperlakukan Wonwoo bak putra mahkota.

“Good Morning, Fiancé.” tanya pria di dapur yang kini terlihat hanya menggunakan t-shirt tanpa lengan berwarna hitam dan celana boxer briefs abu-abu tua yang pas di tubuh bagian bawah milik pilot itu, memamerkan otot pahanya.

Morning, Guyu. Kamu lagi bikin sarapan ya? Bikin apa?” tanya Wonwoo dengan suara seraknya berjalan ke arah dapur dan menghampiri pria itu, memeluk tubuh athletic berwarna cokelat tan, mengecup bahunya, lalu mengalihkan tubuhnya dan mengambil gelas, menuangkan air mineral, lalu menenggaknya habis.

“Minumnya pelan-pelan, sayang, nanti kamu keselek lho.” pinta Mingyu, pria itu memeluk pinggang Wonwoo dari belakang, mencium tengkuk dan bahu Wonwoo secara bergantian sembari membisikkan kata-kata cinta yang selalu ia lakukan. Menggoyangkan tubuh Wonwoo bersama dengan tubuh kekarnya.

“Yang, kalau aku pergi sekarang, kamu masih mau meluk aku kaya gini ngga?” tanya Wonwoo memecahkan keheningan di antara pelukan mereka berdua.

“Jangan ya?” jawab Mingyu membalikkan tubuh Wonwoo untuk menatapnya. “Liat aku!” pinta pria itu.

“Kenapa mata kamu sayu?” tanya Wonwoo.

“Aku sedih kamu kaya gini, sayang. Kamu kurus banget, kamu ngga ngapa-ngapain cuma di rumah, aku khawatir kamu kenapa-napa, aku ngga mau kamu kenapa-napa. Sadar ya, Nu. Keluar, sayang, di luar langitnya bagus.” pintanya. Wonwoo menggelengkan kepalanya ribut.

“Ngga ada kamu di luar, Guyu!” balas Wonwoo dengan suara cicitannya.

“Aku selalu ada, sayang, di sini sama kamu.” kata pria itu menyentuh dada kiri Wonwoo. “Di sini, jadi tato kamu.” lanjutnya.

“Di sini, di kepala kamu isinya aku semua. Aku ada di mana aja, Nu. Selalu nemenin kamu, kamu ngga pernah sendiri karena ada aku. Aku janji nemenin kamu selamanya, dan I'll do that. Aku akan berusaha menepati semua janji aku seperti biasa, aku Mingyu, sayang. Guyunya Nunu.” kata Mingyu lagi mengelus pipi mulus Wonwoo, air mata turun dari kedua manik elang pria itu, tak kalah pilu, air mata juga jatuh dari manik rubah milik Wonwoo. Mereka menangis bersama, Wonwoo terisak tak dapat menahan rasa sedih akan kehilangan sosok pria yang selama ini ia sayangi, yang kini ia lihat berada di hadapannya, terasa sangat nyata.

Pria yang lebih tinggi dari Wonwoo itu mendorong tengkuk Wonwoo, agar mendekati wajahnya, “I will always love you wherever I am, Nu, karena Mingyu hanya untuk Wonwoo.” bisiknya, kemudian menyatukan kedua bilah bibir mereka dan saling mencium, seakan melepas rasa rindu yang selama ini mereka pendam dan mendekap.

I love you too, Guyu, dan kamu tahu itu, sangat.” kata Wonwoo setelah melepas ciuman mereka. “Karena Wonwoo hanya diciptakan untuk Mingyu.” balasnya, Mingyu tersenyum dan mengecup seluruh wajah Wonwoo dengan penuh sayang, satu kecupan terakhir diberikan pria itu pada bibir ranum Wonwoo, lalu menghilang, semua itu hanya bayangannya.

Wonwoo menangis histeris di dapur pagi ini, sama dengan tangisan lainnya, namun, kali ini seperti seribu belati menghantam jantungnya, dadanya yang sakit seakan minta berhenti untuk berdetak, napasnya tersenggal seolah meminta untuk tak lagi berhembus, tubuhnya remuk seakan beban seratus kwintal menimpa dan memintanya seolah menerima saja karena ia pantas mendapatkan ini semua.


“Won?” pria tinggi berbadan ramping mengetuk pintu depan apartemen Wonwoo, sudah 30 menit ia berada di luar dan tak ada siapapun membukakan pintu, bahkan ponsel Wonwoo tak aktif. Apartemen yang terlihat seperti tak berpenghuni itu semakin sepi rasanya, tampak seperti tak ada orang di dalamnya. “Won? Ini Eissa, lo pergi?” masih usaha mengetuk pintunya.

“Kwan, lo yakin dia ngga pergi?” tanya Eissa di sambungan teleponnya saat nada dering 3 kali berbunyi, langsung di sambut dengan suara hangat Kwannie, sahabat Wonwoo dan dirinya.

“Harusnya di dalem, kenapa?” tanya Kwannie, nadanya mulai terdengar khawatir.

“Ngga ada yang bukain pintu, gue udah setengah jam di luar. Lo tau password apartnya kan?” tanya Eissa.

“Tau, tapi gue ngga boleh nyelonong masuk.” kata Kwannie.

“Lo inget tahun lalu, kita nemuin dia nyayat tangannya, nadinya hampir putus, untung lo sama Cimol langsung nyelonong masuk dan nyawa dia terselamatkan. Kebayang—” Eissa menghentikan kalimatnya. “Gue bahkan ngga mau bayanginnya.” lanjutnya.

“Sorry, soalnya abis itu dia sama sekali ngga mau ngomong sama gue sebulan. Gue takut.” jawab Kwannie membertahukan alasannya. “Dia butuh kita, Eissa.” lanjut pria dengan wajah sedikit bundar di seberang telepon itu.

“Justru itu, gue dateng ke sini, karena mau lunch sama dia. Come on! Pintu!” kata Eissa tak sabaran.

“06041707, jangan bilang gue yang ngasih tau.” Eissa segera membuka pintu tanpa menjawab kalimat Kwannie, ia langsung menerobos masuk, tidak mematikan sambungannya dan segera meneriaki nama Wonwoo berkali-kali.

“Nu? Nuuu! Nuuuu??” panggil Eissa.

“Kamar, lo coba cari di kamarnya!” kata Kwannie, semakin panik.

“Ngga ada!” jawabnya. “Balkon kosong, tapi kebuka. Di bawah ngga ada apa-apa.” Kwannie terdengar bernafas lega.

“Kamar mandi?” Kwannie bertanya.

“Dapur kosong! Kamar mandi kosong, apartnya kosong, anjing!” omel Eissa.

Tinu ninu ninu suara ambulans memekakan telinga.

“Suara berisik apa?” tanya Kwannie.

Ambulance? Weird. Siang-siang ada ambulance.” kata Eissa masih disambungan telepon dengan Kwannie dan melihat ke bawah dari balkon apartemen Wonwoo di lantai 17. “Bentar, gue keluar dulu, sekalian nyari Wonwoo.” lanjut Eissa, menggunakan sendal Wonwoo asal dan keluar rumah yang sudah Wonwoo tinggali bersama Mingyu bertahun-tahun itu.

“Ada yang bunuh diri?” tanya salah satu ibu-ibu di sebelah Eissa.

“Bunuh diri?” tanya Eissa kepada ibu itu, perasaannya sudah tidak enak.

“BUNUH DIRI?” perasaan Kwannie sama gelisahnya dari ujung telepon itu, nadanya meninggi.

“Katanya di rooftop.” tanpa berpikir panjang, Eissa segera berlari ke lift, dan menuju atap datar yang ada di gedung ini.

Pintu menuju rooftop dibatasi dengan police yellow line, tanda tidak boleh ada seorangpun yang masuk karena terdapat suatu kejadian yang tidak menyenangkan, seperti tindakan kriminal yang mengakibatkan korban, atau semacamnya.

“Saya mau liat!” kata Eissa kepada salah satu petugas polisi. “Temen saya ilang, Pak!” nada suara Eissa meninggi.

“Korban sedang dievakuasi, Mas.” kata salah satu polisi yang menghalanginya.

That's okay!” kata Eissa, berjalan memasuki atap datar itu di bawah sinar matahari yang terik.

Pria bernama asli Minghao yang sering dipanggil Eissa itu segera berjalan ke arah gundukan kain putih yang sudah menutupi seluruh tubuh seseorang di atas bankar ambulance berwarna oranye itu, dengan tangan yang gemetaran, ia membuka perlahan kain putih yang sudah berada di hadapannya, berharap orang itu bukanlah orang yang sedang ia cari.

Surai hitam berkulit putih pucat, potongan rambut yang ia kenal, karena ia sempat memotong rambut seseorang minggu lalu dengan hair cut yang sama. Hidung mancung yang ia hapal sudah tidak bernafas, manik rubah tak berkelopak yang tertutup rapat, bibir atas yang tipis dengan bibir bawah yang sedikit plum yang kini sudah berubah ungu kebiruan dan leher jenjang mulus dengan lingkaran ungu kebiruan yang melingkarinya. Ia kenal pria ini, sangat mengenalinya.

“WONWOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!!” teriakan dan tangisan tak mampu ia tahan lagi, Eissa terlalu mengenal pria yang terbujur kaku itu.

“Saaa!!! Eissa!!!! PLEASE SAAAA!!! JAWAB KENAPA WONWOO????” tanya pria di seberang telepon yang ternyata masih tersambung itu. Kwannie langsung mematikan ponselnya, segera menelepon Jihoon yang biasa dipanggil Cimol, memberikan kabar semampunya dan segera menghidupkan mesin besi beroda empat, membelah kota Jakarta di hari Minggu dengan kecepatan tinggi.

“Wonwoo, Won! Bangun, Nu! Bangun lo ngapain di sini, anjing! Lo harus lunch sama gue. Lo janjikan semalem?!” Eissa menampar pipi pria kaku di hadapannya berkali-kali.

“Apakah Mas adalah kerabatnya?” tanya pria di sampingnya, Eissa mengangguk lesu.

“Saya turut berduka cita, Mas. Kita akan bawa mayat ini ke rumah sakit dan melihat akibat kematiannya terlebih dahulu. Anda bisa ikut kami.” kata salah satu petugas ambulans kepadanya, Eissa hanya mengangguk pasrah.


“Wonwoo! Mana Wonwoo!” Jihoon berlarian ke arah Eissa di lorong ruang mayat.

“Nu!! Mana Nunu!!” begitupun dengan Kwannie yang datang dan segera menemukan Eissa.

“Di dalem.” Eissa masih tak mampu menahan air matanya ketika mereka bertiga sudah bertemu di depan pintu kamar mayat. Mereka berpelukan mengharapkan mendapat kekuatan, mereka bertiga tak sanggup menahan rasa sedih, pedih dan kehilangan seorang sahabat.

Mereka menangis, kemudian menangis lebih keras, berteriak, menyesali keterlambatan mereka yang tak menyadari temannya memberikan banyak pesan untuk segera ingin pergi menyusul kekasihnya.

Mungkin saat ini, Guyu ada di sini, menunggu Nunu segera datang untuk mereka berdua kembali bersama dan bersatu walau di alam yang lain.


“Mulai dari mana?” tanya Jihoon tak sanggup menahan air mata dan rasa sedihnya ketika sudah sampai di apartemen yang sudah benar-benar kosong, tanpa penghuni selama 7 hari ini.

Apartemen yang terasa hangat, biasa diisi dengan gelak tawa, tempat berkumpul dengan sang sahabat, kini hanya tersisa kenangan di setiap sudutnya, hanya hawa dingin yang tersisa. Lantai yang tak pernah lagi ditapaki, ruang tidur yang masih sama seperti terakhir Eissa lihat, gelas kosong yang terdapat di counter kitchen bekas pemiliknya, sofa hitam empuk yang selalu menjadi tempat pemiliknya untuk saling menghangatkan kini terasa sangat dingin. Kedua penghuninya sudah pergi dan tak akan pernah kembali.

Guys.” Kwannie membuka suara sembari memegang sepucuk surat ketika ia keluar dari kamar sahabat dan kakak kandungnya itu. “Last letter, Nunu.” kata Kwannie dengan suara menahan tangis. Mereka bertiga mulai membuka kertas itu perlahan dan membacanya bergantian.

Dear Eissa, Cimol dan Kwannie

Mungkin saat kalian baca pesan ini, gue udah sama Guyu sekarang, terima kasih untuk 3 tahun yang selalu ngga pernah capek untuk nemenin gue, maaf ya karena gue harus pergi ninggalin kalian dengan cara kaya gini. Saat kalian baca ini gue pasti udah dimarahin sama Guyu, dan kita berbaikan. Hehe.

Eissa cintaku, Makasih makan siangnya setiap hari, lo selalu masakin buat gue, dan selalu enak, gimana kalau lo buka restoran sama Mas Jun? Gue dukung banget. Lo tau gue selalu dukung lo kan? Dimanapun, gue selalu mendoakan yang terbaik buat lo. Baik-baik sama Mas Jun ya, Sa. Jangan lupa ceritain ke anak lo tentang gue nanti.

Cimol sayang, Terima kasih 20 tahun persahabatannya, lo taukan kalau gue ngga ada lo adalah gue yang cuma Nunu tanpa siapa-siapa di hidupnya. Bantuan lo banyak banget sampe gue bahkan ngga bisa nyebutinnya satu-satu, so I'm very thankful for that and sorry to leave you. Gue doain lancar yang sama Kak Nyongnya, semoga saat ngga ada gue, crush lo bisa menggantikan posisi gue. Gue selalu ada sama lo, jangan sedih sendirian ya, Cimol.

Last but not least, adek ipar aku yang ternyata adalah sahabatku, Kwannie, Finally, I can meet your brother, ngebayanginnya aja gue seneng banget, Kwan, kebayang kan? Gue akan menceritakan yang baik-baik tentang lo ke Mingyu, supaya Mingyu bisa kasih banyak duit jajan dan lo bisa puas-puasin makan sushi tei bareng Eissa sama Cimol :) Terima kasih sudah meyakinkan gue yang lemah ini kalau gue ngga salah atas kematian abang lo. Makasih udah setia menemani gue, makasih udah sabar jadi temen gue dan thank you for everything. Salam buat bunda panda di rumah, and tell them I'm okay now and already met your brother, so, don't worry about me anymore.

Untuk kalian bertiga, terima kasih banyak. Gue ngga akan pernah lupain semua kebaikan kalian. See you when I see you, guys. Bahagia selalu ya, sahabat-sahabatku. Maafin gue yang lemah ini dan ngga bisa menunggu waktu yang lebih tepat untuk nyusul Mingyu. Love you, guys. Love you so much <3.

Tangis mereka tak mampu lagi terbendung dan mereka hanya mampu mengucapkan selamat tinggal untuk sahabat terbaik mereka, Wonwoo.

Goodbye our best friends, The world will change day by day, month by month and year to year, but the love and memory of you, shall never pass away.

LET'S TALK


tw: sugar coating, kissing, family deep talk.

Arka yang sedang menyiapkan kebutuhan untuk weekly meeting hanya tersenyum ketika melihat bubble chat terakhir yang dikirimkan oleh atasannya itu. Pria berkacamata itu pun segera membersihkan mejanya yang berantakan, mematikan komputer kantornya, dan merapihkan barang bawaannya ke dalam tas gendong hitam berlogo GG yang selalu ia bawa.

Kegiatannya seketika terhenti, ia kembali terduduk dan membuka group chat iMessage-nya dengan sahabat-sahabatnya, setelah sedikit bertukar pesan. Lalu, saat ia ingin membuat status sambatan, tak lama ia melihat teman-temannya membuat status di akun sosial media burung biru itu. Arka tersenyum kecil, “Oh, ini efek bahas pernikahan sama dominant? Kalau bahas ke Mas Saka, pasti gini juga kali ya.” Monolognya, karena yang tak bergeming hanya Kenan, Kenzie dan Tara, pria-pria submissive seperti dirinya.

Setelah itu, Arka menyampirkan tas hitam kulitnya dan berjalan menuju ruangan paling ujung milik atasannya sembari memeluk beberapa berkas yang akan diperiksa Senin nanti.

“Hai!” Kata pria manis itu mengintip ketika sudah membuka sedikit pintu kantor CEO di Adi-Bumi Corporation, mengalihkan pandangan Pria tampan dengan rambut gelap yang masih menatap kertas-kertas di hadapannya.

“Hai!” Jawabnya. “Sekarang pasang mode apa?” Tanyanya sembari menatap ke arah si dia dan memperhatikan langkah demi langkah pria berpostur dada lebar, serta kaki jenjang yang sedang menuju ke arahnya.

Arka membuang sembarang tas hitamnya ke sofa sesaat memasuki ruangan itu, segera menghampiri pria yang masih berada di belakang meja bertuliskan 'Direktur Utama Nisaka Mingyu Putradinata', meletakkan berkas yang ia bawa dan memutar kursi singgasana milik kekasihnya itu agar mendapat perhatiannya.

Boyfriend mode, tadi katanya kamu mau pacaran?” Tanya Arka, Saka tersenyum, lalu segera menarik pinggang ramping personal assistant-nya dan menenggelamkan wajahnya diperut sixpack sang kekasih.

“Capek.” Keluhnya diperut Arka yang masih berbalutkan long-sleeved hitam yang ia gunakan sedari tadi pagi. Arka mengelus lembut surai pria yang memeluknya posesif dengan jari jemari lentik miliknya dan tersenyum hangat, Saka mendongakkan wajah dan memanyunkan bibirnya tanda minta untuk dicium dengan eyes puppy yang tidak mungkin Arka tolak.

Arka memegang kedua pipi prianya dengan kedua tangan, mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir pria di hadapannya, namun dengan jahilnya, Saka menahan tengkuk Arka untuk menyatukan bilah bibir mereka agar lebih lama terpaut. Kedua bibir itu saling berpagut sampai Arka tidak tahu bagaimana kini ia sudah berada dilahunan kekasihnya dengan tangan yang melingkar di leher Saka. Ciuman itu berlangsung cukup lama, dari lidah Saka yang mulai mengabsen rongga mulut Arka, begitupun dengan Arka, hingga kini lidah mereka sudah saling bertaut.

“Nghh—” Lenguh Arka sembari memukul bahu kekasihnya, meminta waktu untuk menarik nafas karena kekurangan oksigen akibat ciuman yang mereka lakukan.

Sorry, sorry aku keceplosan.” Kata Saka mengecup pipi Arka, kemdudian mengelap bibir si dia yang basah karena kelakuannya. Arka hanya tersenyum, menjitak pelan jidat pria yang kini sudah memangkunya, lalu memeluk tubuh bidang milik kekasihnya itu dan meletakkan wajahnya dibahu Saka.

I thought yang mau pacaran aku, tapi kok yang clingy malah kamu?” Tanya Saka, sembari mengusap punggung Arka dan mengelus surai gelapnya.

“Ngga boleh?” Tanya pria itu melepas pelukannya.

“Ya boleh dong. Sering-sering kaya gini, kamu kalau lagi boyfie mode tuh nagging terus, galak, untung aja aku sayang banget sama kamu.” Kata Saka jahil sembari mencubit hidung bangir Arka. “Terus, ini sekarang kenapa? Lagi mikirin apa?” Lanjut Saka, Arka hanya menggeleng dan kembali memeluk tubuh besar kekasihnya.

“Pasti lagi mikirin aneh-aneh, tweet temen-temen kamu juga aneh-aneh.” Lanjutnya.

“Kok kamu sempet-sempetnya buka Twitter sih, kan kerja?” Kata Arka masih diposisinya.

“Hiburan aku liat cuwitan temen-temen kamu, Andrian juga lagi nyambat, David juga lagi galau di first account, aku nontonin aja.” Kata Saka tersenyum lebar, kedua gigi taringnya mengintip dari bibir plum-nya. “Kenapa?” Arka masih terdiam.

“Cerita ya nanti kalau udah mau, jangan dipendem sendiri. Aku ngga mau kamu sakit gara-gara mikir yang aneh-aneh.” Saka membalas pelukan dan mengecup pucuk kepala kekasihnya itu, Arka hanya mengangguk menanggapinya.

“Lanjutin kerjanya Senin aja, Mas. Kerjaan kamu hari ini itu udah selesai, summary juga udah aku kirim ke e-mail kamu. Pulang yuk! Aku kangen Maura.” Kata Arka, mengecup pipi kekasihnya dan berdiri dari pangkuan Saka.

“Saya siapkan mobil untuk pulang ya.” Kata Arka, mengambil tasnya di atas sofa. “Saya tunggu di bawah ya, Pak Saka.” Lanjutnya ketika sudah sampai di depan pintu, dan meninggalkan Saka yang masih bingung dengan tingkah laku kekasihnya.

Masih terdiam di singgasananya, Saka meraih telepon genggamnya dan mengetik satu nama karyawan yang hampir 8 jam lebih bersama atau bahkan seruangan dengan Arka saat bekerja. Dia merasa mungkin orang itu tahu apa yang sedang difikirkan kekasihnya.

“Halo?” jawab suara wanita di seberang sana.

“Dyah.” panggil Saka.

“Ya, Pak?” tanya Dyah. “Bentar, Pak, saya matiin air dulu, nanti gosong.” lanjutnya, Saka tadinya ingin protes saat wanita itu berkata air gosong, namun tidak jadi karena sudah lelah, apalagi harus menanggapi kelakuan secretary-nya itu, sehingga ia hanya bergumam tanda setuju dan menunggu wanita di ujung saluran telepon itu kembali.

“Oke, let's go! Kenapa, Pak?” tanya wanita yang hampir 4 tahun menjadi asisten pribadinya menggantikan Arka, dulu.

“Arka, hari ini kenapa?” Tanya Saka.

“Lah, kenapa nanya saya? Coba tanya Mas Arkanya, dia kenapa?” Jawab Dyah cuek.

“Udah, tapi ngga dijawab. Ada omongannya yang ngelantur ngga hari ini, di luar kerjaan?” Tanya Saka menginterogasi Dyah, sembari memijat batang hidungnya.

“Hmmm, apa ya? Coba saya inget-inget dulu.” Kata Dyah, memegang dagunya tanda ia juga sedang mengingat-ingat pembicaraannya dengan pria yang selalu ia panggil Mas Arka itu. “Tapi masa gara-gara itu sih?” Monolognya yang tentu saja dapat didengar oleh Saka.

“Apa? Inget? Kamukan short-term memory.” Ejek Saka.

“Wah, ngga saya inget-ingetlah kalau gitu. Udah di luar jam kerja juga. Matiin aja ya ini teleponnya.” Jawab Dyah dengan cuek.

“Dih, pundung! Jangan dong, saya bingung ini anaknya tiba-tiba ngga bersemangat.” Jawab Saka. “Apa capek?” Lanjutnya.

“Saya ngga tau tapi ya, karena ini atau bukan, tapi setelah bahas ini emang raut mukanya agak berubah sih.” jelas Dyah.

“Iya udah, spill jangan banyak kata pengantar.” Kata Saka tak sabaran.

“Jadi gini —” Dyah memulai menceritakan apa yang ia dan kekasih direktur utama itu bicarakan seharian ini, Saka hanya mendengarkannya dengan serius, lalu mengangguk beberapa kali, tanda bahwa ia tampaknya sudah mengetahui apa yang kekasihnya pikirkan.

“Kalau salah, kamu saya potong gaji ya.” Kata Saka jahil.

“Kalau bener gaji bulan depan 1 koma 5 lipet ya?” tantang Dyah.

“Matre nih!” Kata Saka menjawab tantangan Dyah.

“Buat tabungan nikah, Pak. Masa nikah aja minta uang orang tua, mentang-mentang gaji saya buat cicilan yacht.” jawabnya.

“Cicilannya udah beres?” Tanya Saka.

“Maret tahun depan. Yacht saya aja udah mau lunas, Pak. Kapan ini undangannya?” ejek Dyah.

“Ngga nyambung undangan saya sama cicilan kamu. Kerja yang bener, biar bisa nanem anggur naik yacht.” Kata Saka.

“Dih, nyebelin! Ini saya ngga jadi manen anggur! Hadeuh.” dumel Dyah.

“Hahaha, maaf. Kita lagi ngejer new branch kan, Yah.” Jawab Saka.

“Deals the deal lagi Pak sama Big Boss?” tanya Dyah.

“Ngga, distraksi saya karena Om Jeonny belum bales chat sudah 2 bulan.” Kata Saka.

“Hahaha, jangan-jangan ngga dapet restu, Pak?” kata Dyah, kalimat yang sangat Saka khawatirkan 'tidak direstui'. “Cuma ngga mungkin sih ngga direstuin tapi anaknya boleh tinggal sama bapak every weekdays.” Kata Dyah dengan sembrononya.

“Oh, bapak ngga usah takut ngga direstuin, baru inget saya. Pak Jeonny emang lagi sibuk, soalnya Pak Bumi sekarang lagi sering ambil liburan.” lanjut Dyah.

“Kamu tau dari mana?” Tanya Saka.

“Bapak lupa, pacar saya tukang gossip? Akurat lagi. Hahaha.” kata wanita di ujung telepon sana, Saka ingat kelakuan Arya dan ikut tertawa bersama Dyah.

“Mas?” Saka terkejut mendengar suara itu tiba-tiba muncul dari daun pintu ruangan kantornya, suara Arka yang terdengar lelah dan tak sabar. “Aku chat dari tadi ngga di bales. Nungguin lho!” Lanjutnya dengan nada pelan setelah melihat kekasihnya sedang berada di sambungan telepon.

“Yaudah kalau gitu, thanks, bye!” Kata Saka datar yang seketika mematikan teleponnya dan segera berdiri, mengambil jasnya yang tergantung dan menghampiri kesayangannya.

“Seneng banget, teleponan sama siapa?” Tanya Arka yang berjalan duluan di depan Saka.

“Si Dyah lagi ceritain Arya.” Alasannya, tapi tidak berbohong juga.

“Aku baru tahu kalau kamu deket sama Dyah?” Tanya Arka, menatap curiga ke arah Saka yang santai.

“Hah? Kan udah kerja bareng hampir 4 tahun sama dia. Dulu, dia yang bantuin aku sampe ketemu kamu.” Jawab Saka, mengikuti Arka yang sudah memasuki lift utama ke lobby.

“Tapikan dia udah bukan asisten kamu lagi.” Kata Arka. “Kalau bahas kerjaan atau Arya kan bisa sama aku.” Lanjut Arka, cemburu.

“Ya Tuhan, pacar aku lagi cemburu. Gemes banget mau aku makan.” Kata Saka memojokkan tubuh Arka di pojokan ruangan tabung yang sedang bergerak turun itu, memeluk pinggang kekasihnya dan mengecup rahang Arka dan bibir merah muda-nya. Arka memebelalakkan matanya, masih terdiam.

“Cuma ngobrol sama Dyah, nanya kamu ada kesulitan kerja apa? Soalnya, kamu aneh.” Kata Saka, mengecup bibir pria itu lagi. “Aku sekhawatir itu sama kamu.” Lanjutnya, mengelus surai hitam Arka yang menutup keningnya dan mengecupnya sayang di sana, Arka masih membeku.

“Tapi, jawaban Dyah juga ngga membantu. So, I wish you can tell me, nanti aja kalau memang kamu cerita kalau udah siap, aku tungguin, mau denger dari kamu.” Jawab Saka, mengambil kunci mobil di saku belakang Arka. “Aku yang nyetir, pulang ke rumah kamu kan?” Tanya Saka, yang dijawab anggukan bingung. Arka masih membeku.

Saka menggenggam tangan Arka sembari berjalan dari lobby ke parkiran mobil tempat mereka memarkirkan mobil tadi pagi, lalu membukakan pintu untuk asisten pribadi kesayangannya, berlari kecil ke kursi pengemudi dan membantu Arka menggunakan seatbelt-nya, mengecup pipi kanan kekasihnya sembari tersenyum, menyalakan engine machine roda empat itu dan membelah kota Jakarta dengan tangan yang saling bertautan, Saka seakan tak ingin melepasnya.


“Wooooaaahh! Uncle Handsome halooo!!” Sapa Maura ketika melihat Saka berjalan di belakang Arka. “Daddy daddy, papi bought me new book! Nanti kita baca bersama ya!” Celoteh Maura yang kini sudah ada di gendongan Arka.

“Iyaa iyaa.” Jawab Arka santai sembari masuk ke dalam rumah.

Ayah, Dhika dan Jisoo yang sedang berbincang seketika berdiri ketika melihat Arka dan Saka berjalan ke arah mereka.

“Lho, sama Tuan Muda Saka toh.” Kata sang Ayah.

“Panggil Saka aja, Om Jeon, kan Saka udah bilang.” Kata Saka.

“Oh iya, maaf kebiasaan dari kamu kecil manggilnya itu.” Dalih Jeonny, Saka hanya tersenyum karena itu memang benar adanya.

“Mandi gih udah jam 10 malem.” Kata Jisoo kepada kedua pria yang baru datang itu.

Uncle Handsome” mau tidur sama Maura katanya. Bolehkan, Princess?” Tanya Arka kepada Maura yang dijawab anggukan antusias oleh anak 8 tahun itu. “Kalau gitu, daddy and uncle handsome take a bath first ya.” Kata Arka.

“Anterin gih Daddy ke kamar Maura untuk mandi. Biar uncle handsome jalan sendiri ke kamar Daddy.” Kata Dhika. Maura segera menggandeng Arka dan meninggalkan Saka untuk ke kamar atas, ruang tidur Arka.

Happy shower, uncle handsome!” kata anak 8 tahun itu.

Saka dan Arkapun berpisah untuk saling membersihkan diri masing-masing.

***

Benar kata Dhika, setelah jam 11 malam, rumah kediaman Rahamardja menjadi sangat sepi. Tidak terdengar suara tawa Maura, atau dumelan Arka kepada Dhika, maupun Jisoo dan Jeonny yang akan melerai keduanya.

Saka sudah mandi ketika ia turun ke bawah untuk mengambil air putih di dapur, namun ia hanya mendapati asisten pribadi milik papanya yang sekaligus adalah ayah dari kekasihnya. Pria berumur yang wajahnya masih terlihat tampan dengan tahi lalat di atas bibir itu menatap Saka yang berjalan ke arahnya, dan menepuk sofa kosong di sebelahnya, meminta pria tampan dan anak tunggal dari atasannya itu duduk di sampingnya.

“Maaf ya, Nak Saka. Om belum sempat balas pesan kamu, karena masih belum menemukan jadwal yang kosong, untuk kamu dan om.” Katanya membuka suara.

“Ngga apa-apa, Om. Saka ngerti kok. Dyah juga sudah cerita.” Kata Saka yang kali ini duduk sangat sopan. Ingin memberikan impresi yang bagus di hadapan calon mertua, mungkin.

“Mau bicara sekarang saja?” Tanya pria paruh baya itu. “Kalau takut terdengar Arka, anaknya sudah tidur di kamar Maura. Habis membaca buku dongen baru.” Lanjut Jeonny.

“Ngobrol hal itu sekarang? Di sini? Tapi, saya pakai baju tidur, Om.” Kata Saka sedikit terkejut.

“Ngga apa-apa, saya juga pakai piyama. Haha.” Kata Jeonny menatap ke arah pakaiannya, meyakinkan Saka kalau dia tidak sendirian.

'True sih, tapi masa iya?' kata Saka di dalam hati.

“Bagaimana?” Tanya Jeonny.

‘Now or never’ gumam Arka.

“Boleh, Om, kalau memang kata orang lebih cepat lebih baik.” Kata Saka, Jeonny menyunggingkan senyumnya seakan bangga pada pria di dahapannya ini. Jeonny meminta Saka untuk memulai dengan gerakan tangannya.

“Ehem.” Saka membersihkan kerongkongannya, tidak, sebenarnya ia sedang sangat gugup. Ia terdiam sebentar, “Saya mau minta Arka, Om.” Katanya, jujur telapak tangannya sedikit berkeringat saat ini.

“Meminta Arka untuk mendampingi saya seumur hidup.” Lanjut Saka, semakin yakin dengan kalimatnya.

“Kamu yakin?”

“Sangat yakin.” Jawab Saka tanpa berfikir saat pertanyaan itu terlontar dari mulut Jeonny.

“Arka tau?” Tanya Jeonny.

“Belum, om. Saya izin ke om dulu, jadi ke Arkanya juga enak.” Jawab Saka.

“Mempertimbangkan dia yang sayang banget sama kamu, dia ngga akan nolak sih.” Kata Jeonny, memegang dagunya.

“Pak Bumi?” Tanya Jeonny lagi.

“Papa sudah tahu, om. Dari sebelum saya keluar dari rumah sakitpun, papa sudah tahu.” Jelas Saka.

“Oh, pantas saja.” Kata Jeonny.

“Pantas apa, om?” Tanya Saka.

“Sudah membuat list para kolega diluar cocktail party dan sering menanyakan apakah saya sering bertemu dengan kamu.” Jelasnya, Saka hanya tertawa. Papanya memang sudah tahu, seharusnya papanya menemaninya saat ini, walaupun dengan menggunakan baju tidur juga.

“Kalau kalian sudah settle dengan perasaan kalian, silahkan untuk di proses ke jenjang lebih lanjut, Saka. Saya tidak akan melarang, tapi tolong anak saya dijaga. Walaupun, dia galak, aslinya sangat lemah dan sangat manja, persis seperti almarhum ibunya.” Lanjut Jeonny.

“Saya ngga akan melarang siapapun untuk pilihan anak-anak saya, asalkan mereka bahagia.” Kata Jeonny lagi.

“Kita harus ngobrol lagi, Om tentang ini di tempat yang lebih proper, dengan baju yang seharusnya saya berpakaian lebih sopan, sambil makan malam.” Kata Saka.

“Atur saja, kita akan atur waktunya lagi ya, Nak Saka.” Jawab Jeonny. “Sekarang, setidaknya kamu sudah lebih tenang kan?” Tanya Jeonny yang dijawab anggukan serta senyuman lega dari Saka.

“Arka mungkin sudah tidur di kamar Maura, kamu hampiri saja pelan-pelan.” Kata Jeonny. “Dan kamu bisa tidur di kamar Arka ya, Nak Saka.” Lanjutnya, berdiri dari sofa yang ada di ruang tengah dan menepuk bahu Saka. Saka mengangguk.

Saka menghampiri kamar yang dimaksud oleh Jeonny, saat dibuka bila dapat dideskripsikan, kamar Maura sudah seperti kamar Princess di Disney dengan segala atribut dan hiasan kamar yang sangat cocok untuk gadis 8 tahun itu. Ia melangkahkan kakinya ke tempat tidur berukuran queen size yang tertutupi kelambu dengan satu anak gadis dan satu pria dewasa yang berumur 28 tahun sedang tertidur pulas di sana.

Saka mengelus surai hitam pria itu yang menutup matanya dan mengecup seluruh bagian mukanya. “Good night, love.” katanya, ketika Saka berbalik ingin kembali ke kamar Arka, tangannya digenggam.

Good night.” kata pria itu dengan suara serak bangun tidurnya, memeluk tubuh Saka dari belakang.

“Aku bangunin ya? Maaf ya, tidur lagi gih!” Pinta Saka yang dibalas anggukan. Saka menangkup kedua pipi gemas itu, dan mencium bibir prianya.

Have a nice dream.” kata Saka. “Love you.” bisiknya.

Love you, too.” balas Arka yang kemudian kembali tertidur di samping Maura. Sedangkan Saka kembali ke kamar kekasihnya untuk menuju ke alam mimpi juga.

Arka’s Here, Nisaka

Arka sampai di rumah sakit bersama dengan ketiga sahabatnya, wajah pucat dan air mata yang akhirnya keluar terus menerus, membuat ketiga sahabatnya merasakan pilu yang ia rasakan. Sesuai dengan chat Kenzie kepada kakak kandung Arka yang sekaligus adalah sahabat Saka, mereka langsung naik ke lantai 5 rumah sakit tersebut.

Keluar lift, mereka dihadapkan oleh 1 lantai yang hanya ada tempat di mana dokter dan perawat berjaga, 2 pintu rawat inap, 1 pintu ruang obat, dan 1 pintu tangga darurat.

“Maaf, ingin menjenguk siapa?” tanya salah satu perawat yang ada di sana mencegat mereka, Arka dengan lunglai melepaskan lanyard yang sedari tadi ia kalungkan di lehernya, kemudian seperti tahu apa yang diserahkan Arka, perawat itu mempersilahkan keempat sahabat itu masuk dan menunjukkan tempat yang akan mereka tuju.

Tulisan 5A terpampang besar di sebelah pintu otomatis kaca yang terbuka akibat sensor saat mereka berempat ada di depan pintu itu, semua orang yang sedang duduk dan sibuk dengan ponsel masing-masing, bahkan ada yang bertelepon segera memandang ke arah pintu itu seakan menunggu seseorang datang. Dhika melihat sesosok pria yang sangat ia kenal, pria yang tadinya sedang bertukar pesan dengan suaminya itupun segera bergerak cepat ke arah pintu kaca, memeluk adiknya, air mata semakin terjatuh di pipi sang adik yang sangat ia sayangi.

Dhika hanya dapat merasakan kemejanya basah dengan Saka yang menangis tanpa suara. “Ngga apa-apa, dek. Sakanya ada di dalem nungguin kamu, masuk gih!” kata Dhika, mengelus punggung adiknya yang kini hanya menggunakan kemeja panjang dengan keadaan yang berantakan. Arka mengangguk, sebelum ia melangkahkan kakinya, pria paruh baya menghampirinya, ayah dari Saka.

“Sebelum kamu masuk, saya mau memberitahukan sesuatu ya, Arka.” kata pria itu, Arka menganggukkan kepalanya, mencoba siap dengan kabar yang akan ia terima.

“Saka saat ini masih di bawah pengaruh obat, luka yang dia alami tidak terlalu parah, cedera leher, namun, lehernya sudah menggunakan cervical collar, tulang rusuknya tidak ada yang patah, semua masih di cek oleh pihak dokter. Tolong segera beritahukan saya atau dokter bila Saka mengeluh sakit, agar dapat segera kita tangani.” jelas atasan ayahnya yang juga adalah papa dr kekasihnya, Arka hanya mampu mengangguk lemah.

“Tadi, dia sempat mengigau nama kamu, mungkin kamu harus segera masuk. Untuk pekerjaan, jangan khawatirkan ya, tolong jaga saja Saka hingga ia bisa ditinggal. Saya percayakan pada kamu.” kata Bumi, menepuk pelan pundak Arka. Lagi-lagi Arka hanya mengangguk.

“Untuk pelakunya, tidak sampai 24 jam, mereka akan merasakan akibatnya, kamu jangan khawatir. Fokus saja pada Saka saat ini.” Lanjut Bumi.

“Baik, Pak.” kata Arka dengan suara lirihnya, Bumi membukakannya pintu kamar rawat inap milik Saka yang membuat semua orang yang ada di ruangan tercengang saat melihat pemandangan itu. Mungkin, mereka berfikir, kapan lagi dibukakan pintu oleh seorang Aditya Bumi?


Arka bejalan gontai memasuki ruangan yang sangat mewah seperti kamar hotel itu, dengan seorang pria berbadan besar yang terkulai lesu di tempat tidur rumah sakit, berhiaskan selangan infus di tangan kirinya, dengan selang oksigen yang berada di kedua lubang hidungnya, kepalanya yang terbalut kasa putih, leher dengan penyangga, semua itu pasti sangat tidak nyaman bagi Saka. Pria manis itu memperhatikan semua selang yang ada ditubuh Saka, menggenggam tangan kanan pria-nya dengan erat dan kembali menangis, kali ini dengan isakan tangis yang tidak ditahan lagi, air matanya terus mengalir dengan sedikit rengekan meminta pria bermanik elang itu untuk membuka matanya.

“Mas, kamu — hiks — kok bisa — hiks — gini?” tanyanya, mengelus tangan Saka dan menciumi punggung tangannya.

Saka masih terdiam, dia bahkan tidak melakukan pergerakan apapun. Pria manis yang sudah duduk dengan setia di sampingnya itu hanya bisa menangis.

Malam semakin larut, satu persatu teman Saka dan Arka izin untuk pulang, sedangkan Arka masih setia di tempatnya duduk, beberapa kali tertidur karena lelah menangis, tapi tak lama terbangun dan tetap nihil, Saka masih tertidur.


Sudah 2 hari dan Arka masih sabar menunggu Saka sadar, sedangkan Bumi, Jeonny dan yang lain sedang mengatur strategy untuk membalaskan dendam karena apa yang sudah menimpa Saka.

Arka sedang berada di kamar mandi membasahi handuk kecil dengan air hangat saat pria yang berada di atas tempat tidur rumah sakit itu menggerakkan jari-jemarinya. Pria manis itu keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di sebelah tempat tidur Saka, dengan lembut ia membersihkan tangan dan jari-jemari Saka, hingga pria yang tertidur 2 hari itu menggerakkan jarinya lagi.

“Mas? Mas? Denger aku?” Arka terkejut, berdiri dari duduknya, menekan tombol merah di sebelah nakas Saka dan bertanya padanya.

Perlahan pria itu membuka matanya, disusul dengan beberapa dokter dan perawat yang segera masuk. Dokter segera memeriksa keadaannya, dan beberapa orang di luar yang menunggu ikut berhambur masuk, ada Andrian, Jeonny, Dyah, Arya, Joya, Karin dan ayah Saka, Bumi. Jeonny segera merengkuh tubuh anaknya yang kembali menangis dan Bumi berdiri di sebelahnya. Ketiga wanita yang dekat dengan Saka itu juga menangis.

Setelah Dokter utama itu memeriksa keadaan Saka, pria dengan snelli putih itu menghampiri Bumi, dan yang lainnya.

“Saat ini kondisi Tuan Muda masih dalam keadaan shock post kecelakaan, tapi, sudah bisa diajak berbicara walaupun suaranya masih sangat kecil, pupilnya normal, nafasnya perlahan membaik, namun, kami akan tetap menggunakan selang oksigen untuk beberapa hari ke depan. Untuk luka dalam yang kami khawatirkan, akan kita periksa secara berkala. Jadi, bila pasien merasakan perih atau nyeri segera beritahukan dokter atau perawat yang berjaga ya.” jelas sang dokter. Orang-orang yang berada di ruangan itu mengangguk tanda mengerti.

“Ka, Arka—” suara lirih yang datang dari tempat tidur memanggil nama kekasihnya, pria yang dipanggil namanya segera berlari menghampiri sumber suara.

“Di sini, Mas. Aku di sini.” Arka menggenggam erat tangan itu, dengan air mata yang masih mengalir, Saka mengembangkan senyumnya dengan bibir yang pucat, dengan luka di sudutnya dan membalas genggaman Arka.

“Kamu — sehat?” tanya pria itu. Bukan, bukan itu yang ingin Arka dengar, Arka semakin tak mampu menahan air matanya, ia menangis sesenggukan, menutup wajahnya di sela tangan dan tubuh Saka.

Pria yang sedang terbujur lemah itu tersenyum, mengelus lembut surai hitam pria yang menangis semakin menjadi itu.

“Hei, aku nanya.” kata pria itu, suaranya masih lirih, dan Arka hanya mampu menggelengkan kepalanya. “Mana coba aku mau liat muka kamu, kangen.” lanjutnya dengan tersenyum melihat tingkah laku sang kekasih, memegang rahang dan pipi Arka mengangkatnya perlahan, Arka menurutinya.

“Hehe, jelek ih nangis gini.” katanya tersenyum sembari menghapus air mata pria di hadapannya. Arka masih terdiam. “Jangan nangis lagi atuh, aku belum bisa bawa kamu jalan-jalan.” lanjutnya, mengelus lengan Arka lembut.

“Takut, mas.” masih sesenggukan, Arka akhirnya membuka suara.

“Takut apa?” tanya Saka pelan.

“Takut kamu ninggalin aku.” Arka menangis semakin menjadi, membayangkannya saja ia tak sanggup. Saka tersenyum dan membawa tubuh Arka ke dalam pelukannya pelan, membiarkan wajah itu tenggelam di dada bidangnya.

“Aku ngga akan ninggalin kamu.” kata Saka. “Dapetin kamu tuh susah, Arka. Masa aku tinggalin.” katanya lagi, mengelus punggung pria yang ada di pelukannya.

“Udah dong, sayang, jangan nangis. Akunya sedih.” kata Saka lirih sembari mengelus lengan Arka, tanpa disadari ia-pun menitikkan air mata dari ujung matanya. Sedih rasanya, melihat pria yang ia sayangi menangis seperti ini. Arka melepas pelukannya, dan melihat Saka menitikkan air mata, pria manis berkacamata dengan frame tipis itupun terkejut.

“Kamu kok ikutan nangis?” tanya Arka sembari mengelap asal wajahnya yang basah.

“Kamu nangis terus sih. Udah ya?” kata Saka, Arka segera mengelap air mata Saka dan mengangguk cepat. “Gitu dong, jangan nangis lagi. Jelek.” goda Saka. “Aku haus, yang.” kata Saka akhirnya. Arka segera beranjak dari duduknya.

“Pusing ngga kalau kasurnya aku bikin posisi duduk?” tanya Arka, sembari menekan tombol yang ada di tempat tidur rumah sakit itu, perlahan.

“Ngga kok.” kata Saka. Setelah memposisikan duduknya, Arka segera mengambil air untuk Saka.

“Perut kamu ada yang sakit? Ada yang sakit ngga di tempat lain? Di mana?” tanya Arka.

“Ngga sayang, cuma pusing aja sedikit.” kata Saka.

“Aku panggil dokter ya!” kata Arka.

“Tidur, aku cuma butuh tidur dinyanyiin kamu.” kata Saka, Arka tersenyum, duduk di sis ranjang Saka, mengelus jidat pria yang di baluk kain kain putih itu dan menyanyikan lagu tidur yang dulu sering ibunya nyanyikan saat Arka tak bisa tertidur.


Sedangkan di luar kamar Saka, Bumi, Jeonny, Andrian, Karina, Joya, Dyah dan Arya kembali membicarakan dan memasang strategy untuk menjatuhkan Bintoro dan Yuna.

“Dyah dan Jeonny, seperti biasa handling media. Joya, press release tolong share ke Dyah dan Jeonny.” kata Bumi.

“Om, tadi An dapet kabar kalau mereka bertiga mencoba buat pergi ke luar negeri.” kata Andrian setelah melihat layar pada ponselnya.

“Surat imigrasi mereka akan di decline di negara tujuan, nanti juga dibalikin lagi, ke US kan?” tanya Bumi tenang, Andrian mengangguk. “Gampang ke tebak!” lanjutnya. Bumi segera menghubungi teman kuliahnya yang merupakan kepala polisi di salah satu daerah di Amerika.

“Urusan mereka kabur, done.” kata Bumi.

“Lucky yang rusakin mobil Andrian gimana?” tanya Bumi.

“Tim David 2 sudah menangkapnya, sekarang sedang di introgasi di kantor polisi dan beberapa barang sudah disita.” jawab Jeonny. “Ternyata dia pacar Bian.” lanjutnya.

“Ha?” Joya, Karina, Dyah dan Arya tentu terbengong mendengar kabar ini, sedangkan Andrian yang sudah mengetahuinya hanya tersenyum kecut.

“Bapak sama anak sama-sama sakit jiwa!” kata Joya.

“Gue ngga tau Om kenapa lo jodohin mereka in the first place, cowo obsessive yang mengira bahwa dunia cuma muter buat dia doang.” Karina mengangkat suaranya.

“Bintoro itu teman kuliah Yuna, mungkin saya hanya termakan rayuan Yuna saat itu, setelah mengcek sebelum adanya kerja sama, perusahaan dia itu clear, yakan Jeon?” tanya Bumi, Jeonny, pria paruh baya yang ditanya hanya mengangguk.

“Kakek kalian yang minta adanya perjodohan, dan lihat kita semua gagal.” kata Bumi lagi, menunjuk dirinya dan Andrian yang gagal dalam pernikahan.

“Kecuali, Mas Dimas. He’s professional to maintain his relationship with his girlfriend and wife.” jawab Karina tenang, sedangkan Bumi, Dyah, Jeonny dan Arya bengong mendengar pernyataan wanita cantik itu. “Mmmm, never mind.” Karina tertawa hambar, meminta yang lainnya untuk tidak memperdulikan perkataannya.

“Oke, lanjut. Jadi gimana, Om?” kata Andrian memecah suasana.

“KPK akan mengadakan penggeledahan aset untuk Bintoro dan kantor pajak akan memeriksa pajak seluruh perusahaannya.” lanjut Jeonny setelah mendapatkan update dari e-mail.

“Dari sini, kita bisa beberkan semua ke media. Besok, ini harus heboh. Semua media tv, digital dan menyusul cetak, harus menjadikan ini sebagai headline mereka.” kata Bumi. “Dan Jeonny, foto Yuna dan Bintoro segera sebar, jangan sampai ada yang terlewat.” lanjutnya, pria yang dipanggil mengangguk dan membuka amplop cokelat. Ia menggabungkan semua bukti dan kebutuhan berkas untuk malam ini.

“Kalau gitu, semua beres untuk saat ini. Andrian, kamu urus Bian dan Lucky. Sisanya biar Jeonny serta Om yang urus.” kata Bumi. “Dyah dan Arya, saya tidak menyangka kalau kalian anak dari salah satu teman saya di DPR, hahaha. Mari kita berhubungan baik. Terima kasih selama ini sudah menjaga Saka dan Arka.” kata Bumi lagi, berdiri dan menepuk bahu kedua anak muda itu, meninggalkan ruang tunggu kamar VVIP di rumah sakit tersebut.

Pria berumur 60 tahun membuka pintu menemukan Saka yang sudah tertidur pulas dan Arka yang masih setia di sampingnya, pria manis yang tampak berantakan itu segera berdiri, menyapa ayah dari kekasihnya.

“Sudah, bersih-bersih dulu. Tadi, Jeonny membawakan kamu baju. Jangan khawatir, anak om kuat. Tampaknya tidak ada komplikasi, tapi tolong segera laporkan bila ada yang aneh.” ucap Bumi dengan nada berbisik. “Kamu tidak apa-apakan untuk menjaga Saka?” tanya Bumi, Arka menggeleng kuat.

“Biar saya yang jaga, Pak.” pinta Arka, Bumi mengangguk tanda setuju, menepuk lengan Arka, mencoba memberinya kekuatan.

Akhirnya, semua orang pulang kecuali Arya, yang bertugas menjaga Arka, seperti membelikannya makan, atau apapun yang kedua kekasih itu butuhkan, sebelum yang lainnya datang untuk berjaga, menggantikannya.

They're Here


tw: drama

Saka sedikit terkejut ketika menatap layar ponselnya saat Andrian bilang bahwa ibu ratu yang menghilang tiba-tiba muncul dan sudah berada di gedung kantornya. Dia segera menghubungi duda beranak satu itu.

“Ngga salah liat?” tanpa basa-basi Saka segera bertanya saat panggilannya terjawab oleh sang kakak sepupu.

“Ngga, gue sempet salim. Ada di depan lobby, kayaknya ngga boleh masuk ke dalem deh, karena langsung dijagain satpam.” kata Andrian dari seberang sana. “Gue di depan lift.” lanjutnya.

“Gue pinjem mobil, ketemu di depan lift, gue otw turun.” kata Saka tergesa-gesa, mematikan sambungannya dan segera mengambil ponsel dan atasan suit-nya lalu keluar ruangan. Arka sedang tidak berada di ruangannya, tadi izin ingin membuat kopi, namun, belum kembali.

Sesampai di depan lift, benar saja dia sudah menemukan kakak sepupunya itu tampak sedang bersender menunggu seseorang. Saka segera menghampirinya.

“Ini ticket valet-nya, gue bawa Tesla dongker gue. Bawanya ati-ati, Sak, brand new tuh!” kata Andrian segera memberikan sebuah kartu dengan bahan seperti kartu ATM yang berukuran setengahnya kepada Saka.

“Oke.” kata Saka, berjalan meninggalkan Andrian, namun, membalikkan tubuhnya lagi. “Lo ke ruangan gue aja, dari lift ke kiri paling ujung, ada nama gue sama Arka. Lo diskusiin aja dulu sama Arka soal agency yang Korea, nanti gue review.” lanjutnya.

“Gue jalan dulu, thanks.” kata Saka lagi, menepuk pundak sepupunya.

“Lo yakin mau ketemu nyokap lo?” tanya Andrian, menarik lengan Saka yang sudah hampir berbalik.

“Ya gimana juga dia nyokap gue, An. Kudu gue beresin juga urusan sama beliau. Ngeganjel aja guenya.” jawab Saka. “Nanti gue kabarin Arka, kalau dia panik, tolong tenangin dia ya, gue ngga kemana-mana kok, deket sini paling cuma makan sama nyokap.” lanjutnya dan Saka pun berlalu, sedangkan Andrian mengikuti arahan adik sepupunya itu.


Benar kata Andrian, mamanya sudah di luar lobby gedung perkantoran yang dulu selalu ia kunjungi bila sedang bosan, kini, melangkah masuk saja tidak boleh, hal itu terbukti dengan beberapa satpam yang menjaga sang ibunda.

Saka memberikan tiket valet kepada petugas yang ada di depan pintu lobby dan melangkahkan kakinya untuk menemui Yuna, ibunya. “Ma?” sapa Saka yang hari ini sangat berwibawa dengan menggunakan setelan jasnya berwarna hitam, dan kemeja putih dengan dasi hitam, dan rambut yang tadi pagi sudah ditata oleh Arka, menunjukkan kening mulusnya.

“Anak mama!” kata Yuna menerobos security dan berhamburan memeluk tubuh anak tunggalnya itu, menangis. Saka membalas pelukannya.

Mobil Tesla biru dongker dengan model terbaru milik Andrian sudah ada di hadapan mereka, Saka membuka pintu penumpang untuk mamanya dan mempersilahkan wanita paruh baya itu untuk masuk. Kini mereka sudah berada di kendaraan beroda 4 itu.

“Kita ngobrol di luar ya, mama udah sarapan?” tanya Saka, menatap wajah wanita yang melahirkannya itu sebentar dan kembali fokus ke jalanan.

“Belum, mama mau sarapan sama kamu.” jawab wanita itu.

“Boleh, kita cari tempat makan yang tenang ya.” kata Saka. Sang ibu mengangguk sembari memegang tangan kanan Saka yang menganggur.

“Mama kangen banget sama kamu.” kata Yuna dengan berderai air mata, Saka yang medengarnya juga merasakan rasa sedih yang sama, namun teringat akan foto-foto yang sempat dilihatnya, mamanya ini adalah orang yang sama yang telah mengkhianati papa dan dirinya, dia masih belum bisa memaafkan sang ibu seutuhnya.

Anak tunggal dari Aditya Bumi Putradinata dan sang ibu sudah berada di salah satu restoran mewah yang menyediakan breakfast dan brunch untuk pengunjungnya. Meja mereka duduk cukup dalam di sudut restoran untuk menghindari adanya orang yang akan mengenali mereka.

Setelah memesan makanan untuk mereka berdua, Saka memecahkan keheningan dengan membuka suaranya terlebih dahulu karena ingin mendengar langsung alasan kenapa mamanya sekarang ada di hadapannya.. “Ada apa, Ma?” tanya Saka to the point.

“Mama emang ngga pantes ngomng kaya gini, tapi mama mau minta bantuan kamu, karena cuma kamu yang bisa bantuin mama saat ini, Gu.” Migu adalah panggilan sayang sang Mama untuk dirinya, biasanya panggilan ini keluar kalau memang mamanya sedang menginginkan sesuatu dari pria tampan itu.

“Tentang apa?” tanya Saka. “Aku sibuk, Ma. Banyak yang harus aku urus belakangan ini.” lanjut pria itu.

“Mama ngga mau cerai sama papa kamu, Saka.” kata mamanya.

“Keputusannya sudah ketuk palu, ma. Udah ngga bisa diubah lagi.” kata Saka. “Kita ngga bisa mempermainkan pernikahan dan hukum seenaknya, ma. Mama tau itukan?” Saka menggelengkan kepalanya.

“Tapi, mama ngga mau cerai sama papa kamu! Kamu pasti sudah dengarkan di pengadilan kalau Mama marah-marah?” tanya Yuna.

“Tau, dan aku ngga nyangka mama bisa menurunkan derajat mama kaya gitu.” kata Saka. “Kalau mama ngga mau cerai sama papa, seharusnya mama ngga selingkuh in the first place. Mama yang paling tau kalau semua info ngga akan lepas dari pandangan papa.” jelas Saka.

“Dan Saka akan mendukung semua keputusan papa. Mama silahkan—” kalimatnya terpotong karena melihat mamanya yang kemudian menatap ke arah lain, Saka mengikuti pandangan sang Mama dan terkejut melihat kepada dua orang yang paling tak ingin ia temui di kehidupannya yang sudah mulai tenang ini.

“Om Bintoro? Bian?” tanyanya, Saka segera berdiri dari tempat duduknya, terkejut, kali ini Saka merasa sedang dijebak. “Kok bisa? Ma?” tanya Saka menatap sama ibu, tidak mungkin mereka berdua tau di mana Saka dan mamanya kalau bukan Ibu Ratu yang memberitahukan keberadaan mereka.

“Apa ini maksudnya? Mau minta izin ke aku kalau kalian mau menjadi keluarga? Silahkan! Ambil mama, never come back to me again kalau gitu.” kata Saka ingin pergi namun tangannya ditahan oleh Bintoro.

“Kita bicara dulu, boleh?” tanya pria paruh baya yang mungkin seumuran dengan mamanya, suaranya berwibawa.

“Ngga boleh, saya sibuk. Maaf, om kalau saya lancang.” kata Saka, baru 2 langkah dia berjalan, dengan jelas ia mendengar Bian meneriaki nama pria yang ia sayangi.

“Aku udah ketemu sama Arka, dan aku ngga segan buat ganggu dia kalau kamu ngga mau dengerin apa yang papa dan Tante Yuna mau bahas hari ini!” kata Bian, pria manis itu dengan tenangnya duduk di sebelah kursi Saka yang ditinggal oleh pemiliknya.

Saka berbalik, kembali duduk di meja yang hampir ia tinggalkan tadi, duduk tanpa melihat ke arah sampingnya, Bian. “Gampang ya ngancemnya cuma butuh satu nama.” kata Bian tersenyum miring sembari menggunakan serbet di pangkuannya.

“Mau bahas apa, sekarang sudah hampir makan siang, saya masih ada meeting yang lebih penting dari ini.” suara Saka terdengar sangat dingin.

“Pertama, maaf atas kelancangang Om—” kata Bintoro.

“Ngga usah minta maaf, kita bisa to the point aja.” paksa Saka. Dia hanya ingin kembali ke kantor dan memeluk Arka saat ini. “Apa yang mau dibahas?” tanya Saka.

“Baiklah kalau itu mau kamu, saya akan langsung saja.” kata Bintoro dengan nada yang tak kalah berwibawa. “Saya mau kita kembali bekerja sama, dan kamu tetap men—” kalimatnya terputus.

“Menikahi Bian? Maaf, saya sudah punya pilihan saya sendiri. Jawabannya, tidak, terima kasih.” kata Saka dengan nada yang semakin tegas. “Sama halnya dengan kerja sama, saya menolaknya.” jawab Saka tanpa berfikir.

“Dan untuk mama yang mau kembali dengan papa, ngga usah berharap, ma. Mama jalanin aja hidup mama dengan keluarga baru mama.” jawab Saka. “Terakhir, buat kamu Bian, jangan berani-beraninya kamu ganggu Arka atau kamu akan tau akibatnya. Ini bukan peringatan, tapi ancaman.” kata Saka, pergi meninggalkan meja restoran mewah itu dan memasuki mobil Tesla milik Andrian.

“Hah! Bahkan Bian bawa selingkuhannya ke sini dan tetep minta gue nikahin? Tolol! Keluarga tolol!” Monolog Saka ketika melihat pria dengan sweater hoodie hitam menjauh dari parkiran mobil.

Saka langsung menghidupkan kendaraannya dan keluar dari plataran parkiran restoran mewah itu.

Discussion

Setelah terkejut melihat siapa yang menelepon asisten pribadinya tadi, kini telepon sesungguhnya yang ia tunggu akhirnya datang juga.

Saka: “Halo, Om”

Jeonny: “Halo, Tuan Muda. Bagaimana Inggris?” Tanya personal assistant ayahnya itu.

Saka: “Haha, anget, Om. Udaranya hangat.” jawab pria berumur 30 tahun itu.

Jeonny: “Syukurlah, jangan betah-betah, Tuan Muda, di sini sudah mempersiapkan Anda untuk mulai di HQ.” kata pria di seberang sana.

Saka: “Liburannya ngga bisa diperpanjang aja apa, Om? Capek banget 2 tahun kemaren ngga istirahat.” keluh pria itu.

Jeonny: “Nanti saya yang pensiunnya dipercepat kalau begitu. Haha.” tawanya renyah.

Saka: “Terus, ada apa, Om? Tumben?”

Jeonny: “Saya mau basa-basi dulu, Saka. kata pria itu.

Saka: “Boleh, Om. Bilang dong hahaaha.”

Jeonny: “Arka, sudah pulang dari kampus?”

Saka: “Belum, tapi aku udah minta dia cepetan pulang, soalnya aku ngga mau makan masakan Dyah, takut diracun.” jawab Saka santai, sedangkan wanita yang namanya di sebut hanya mendengus kesal.

Jeonny: “Hahaha, Adi-Bumi Corp sudah akan mempersiapkan pengacara untuk menuntut Dyah, Tuan Muda, tenang saja.” Saka hanya tersenyum mendengarnya.

Jeonny: “Kalau Ibu Bumi sudah menghubungi, Tuan Muda?” lanjutnya. Tiba-tiba atmosphere menjadi lebih serius.

Saka: “Aku baru tau tadi, dan Dyah juga baru ngasih tau, pas banget tadi beliau nelpon.”

Jeonny: “Saat ini memang semua serba salah, Tuan Muda.”

Jeonny: “Kita sedang mencari jalan tengahnya, tapi tampaknya agak tersendat sedikit, ditambah lagi setelah mengamuk di pengadilan kemarin, Ibu Bumi menghilang.” lanjutnya.

Saka: “Ilang? Kemana?” tanya Saka, kadang Saka bingung dengan tingkah laku mamanya. Dia hanya menggelengkan kepala.

Jeonny: “Mungkin dikediaman Soemarto, Tuan Muda. Kita belum bisa memastikan. Tapi, so far masih di Indonesia, tapi, saya tidak bisa menjanjikan bila besok.”

Saka: “Berani ya ke sana? Terus, sebenarnya, keputusan terakhir kapan, Om?” tanya Saka. Dia baru di Inggris seminggu, tapi rasanya dia sudah banyak tertinggal berita. Mungkin ini rasanya jadi Arka. gumamnya.

Jeonny: “Besok. Dan Pak Bumi meminta kamu dan Arka untuk segera pulang. Pilihannya hanya ke rumah saya atau ke Hotel Avays.”

Jeonny: “Sepetinya akan lebih safe seperti itu, sebelum Ibu Bumi menghampiri lokasi kamu.” lanjutnya dengan nada serius.

Saka: “Kalau di Jakarta kan sama aja, Om? Lebih akan mudah ketemu sama mama.”

Jeonny: “Headquarter sudah dijaga ketat. Pak Bumi hanya tidak ingin kamu bertemu dengan mama kamu dalam keadaan yang seperti saat ini ya, Saka.” Jelas pria di sana, takut Saka salah paham atas tindakan Bumi.

Saka: “Ngerti, Om. Saka juga belum mau ketemu mama.” tutur anak tunggal itu.

Jeonny: “Jadi, menurut saya dan Pak Bumi, lebih baik kamu dan Arka segera pulang. Seenggaknya banyak yang akan melindungi kamu dan Arka.” katanya.

Jeonny: “Khawatirnya, mama kamu akan blame on Arka, Saka. Karena tidak mungkin Ibu Bumi tidak mencari tahu tentang kamu dan siapa orang yang sekarang bersama kamu.”* pria lanjut usia itu menjelaskan dengan tenang.

Jeonny: “As a father, saya juga khawatir.” lanjutnya. Ya, Saka sempat lupa bahwa Arka juga harus dilindungi dari serangan mamanya dan mantan tunangannya, karena bagaimanapun Saka melakukan ini semua untuk bersama dengan pria manis berkacamata itu.

Pria yang sedari tadi namanya disebut membuka pintu apartemennya, melangkahkan kakinya masuk, menemukan kekasihnya yang merengek untuk dirinya segera pulang sedang duduk dengan air muka yang sedikit tegang, menatap ke arahnya, dan menepuk paha, tanda meminta Arka yang baru saja datang itu segera duduk di pangkuannya. Sedangkan, Dyah hanya mengendikkan bahu saat Arka bertanya 'ada apa?'.

“Kenapa?” bisik Arka.

“Nanti ya.” jawab Saka hanya dengan isyarat dari bibirnya, dan mengecup pipi gembil milik Arka, lalu kembali fokus pada sambungan telepon yang dijawab dengan anggukan oleh Arka, kemudian ia membenamkan wajahnya di ceruk leher Saka.

Jeonny: “Saya juga lebih tenang dia ada di sini.” lanjut ayah dari kekasihnya itu.

Saka: “Sebentar ya, Om.” Saka menjauhkan ponselnya dan memanggil Dyah yang seding sibuk menonton Youtube.

“Dyah.” panggil Saka, wanita yang dipanggil itu menengok ke arahnya. “Siapin pesawat malam ini ya?” lanjutnya.

“Serius?” tanya wanita itu membelalakkan matanya.

“Kamu di sini aja dulu, puas-puasin pacaran, udah resign kan?” tanya Saka.

“Justru, harusnya saya ngga pesenin pesawat lagi, Mas Arka harusnya.” dumelnya.

Last day kamu pas saya di Jakarta, jadi mending cepet beresin urusan saya pulang biar kamu bisa cepet-cepet last day juga.” ancam Saka. Arka yang mendengarnya hanya tertawa di ceruk leher kekasihnya itu, sedangkan Saka masih memeluk pria yang dengan manjanya dilahunannya, mencium rambut Arka lalu melanjutkan obrolannya dengan ehem ayah mertua.

Saka: “Aku pulang malam ini aja, Om, sama Arka. Dyah nanti yang beresin urusan flight-nya.” kata Saka santai, padahal Dyah belum setuju untuk melakukannya.

Jeonny: “Baiklah, kalau sudah berangkat, kabari ya, nanti akan di jemput oleh orang di sini.”

Saka: “Biar lebih aman lagi, aku akan minta temen-temenku yang jemput. Takutnya, mama masih ada orang di HQ.f” kata Saka lagi dengan tenang.

Jeonny: “Untuk Bian bagaimana? Dyah bilang dia masih menghubungi kamu dengan nomor-nomor baru.”

Saka: “Kayaknya memang harus diselesaikan dengan ketemu sih, Om. Nanti coba aku cari waktu yang tepat. Mau fokus sama anaknya Om dulu.” jawab Saka iseng.

Jeonny: “Balikin tanpa lecet ya, Tuan Muda. Manusia kesayangan banyak orang dia.” tawa ayah dari kekasih Saka itu.

Arka: “Ayah tuh teleponnya Saka, aku ngga di telepon.” omel Arka kepada pria di ujung telepon.

Jeonny: “Udah pulang? Nanti sampai rumah, banyak yang mau ayah bicarakan. Sementara, ditemenin Pak Saka dulu ya, Dek.” kata Ayahnya. “Jangan nakal! Jangan aneh-aneh. Okay?”*

Arka: “Nakal sama aneh-aneh tuh yang kaya gimana sih?” tanyanya sembari mengerucutkan bibirnya, membuat Saka merasakan jantung yang berdebar kencang saking gemasnya dengan pria di hadapannya ini.

“Jangan gemes-gemes, nanti aku makan.” bisik Saka di telinga Arka. Arka hanya tersenyum dan memamerkan jejeran gigi putihnya.

Arka: “Udah ah, aku mau packing! Bye, Ayah! See you!” pamitnya.

Saka: “Sampai ketemu, Om.” kata Saka dengan suara wibawanya.

Jeonny: “Kabarin aja ya.” Lalu, mereka berbincang sedikit dan menyudahi teleponnya.

Arka masih dipangkuan Saka saat ini, dengan Dyah yang masih dengan tenang berada di samping mereka. “Pesawat udah siap, boarding at 10 pm.” kata Dyah.

“Masih ada yang mau nerbangin?” tanya Saka.

“Captain Sanders, aman. Dia malah lagi seneng jalan-jalan setelah tahu pramugari yang di gebet hamil sama penumpang. Ckckck.” kata Dyah menggelengkan kepala.

“Tau dari mana kamu?” tanya Saka.

“Gaul dong, Pak. Jangan Mas Arka aja yang digauli.” kata Dyah yang berakhir dengan ditimpuk bantal oleh Saka dan wajah kedua pria itu pun memerah.

“Diem! Atau kamu ngga boleh resign!” ancem Saka.

“Yah, jangan dong! Mau beli kebun anggur nih, pak.” jawabnya santai.

“Kalau kamu dan Arya menikah, saya dan Arka harus diundang ya. Best man.” kata Saka, tangannya masih mengelus punggung Arka dan pria manis itu hanya tertawa melihat kelakuan mereka yang seperti Tom & Jerry.

“Yaelah, saya duluan yang harusnya diundang.” dumel Dyah, dan meninggalkan Arka serta Saka di ruang tengah, menuju kamar Arya.

“Kok jadi kamu yang manja ini?” tanya Saka merapihkan surai hitam Arka, ketika sudah fokus pada kekasihnya.

“Hehe, maaf, tapikan aku peluk.” kata Arka sembari memberikan pelukan kepada kekasihnya.

“Iya, kaya gini yaaaaaaaaaaaaaaang lamaaaaaaaa banget.” kata Saka sembari membalas pelukan kekasihnya dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri.

“Maaf ya, kita pulangnya lebih cepet, padahal masih mau liburan.” kata Saka lagi.

“Ngga apa-apa, ngga tanpa alasan kan ayah sama papa kamu buat suruh cepet pulang.” kata Arka tersenyum manis.

“Mau sayang sama kamu terus.” kata Saka, mengecup sepintas bibir Arka.

“Sama.” jawab Arka, mencium bibir Saka pelan, pria yang berada di hadapannya kemudian membalas kecupan itu dengan lumatan-lumatan kecil, kemudian melepaskan ciuman itu dan menggendong Arka menuju ke kamarnya.

“Aku mau makan siang.” katanya berbisik ketika mereka sudah berada di tangga.

“Yaudah aku ganti baju dulu ya.” kata Arka.

“Makan kamu dulu boleh ya?” izin Saka, pipi Arka memerah.

Mereka sudah hampir seminggu bersama, dengan Saka yang selalu mengeluarkan kalimat-kalimat seductive-nya, sedangkan Arka masih merasakan debaran jantung yang selalu terpacu dengan setiap kalimat godaan dan afeksi-afeksi yang diberikan oleh Saka. Sebenarnya tidak berbeda dengan Arka, Sakapun sering lemes melihat kegemasan kekasihnya itu, bahkan, saking gemasnya ingin sekali rasanya Saka mengantongi Arka dan membawanya kemana-mana. Jantungnya pun seakan meledak ketika Arka berada dipelukannya setiap malam. Saka bahagia, sangat bahagia karena sumber kebahagiannya ada di sampingnya.

“Mas, ih! Maluuuu.” kata Arka menutup wajahnya.

“Hahahahaha.” tawa Saka memenuhi ruang kamar Arka siang itu.

Being in Your Arms


tw: fluff content, hugging, kissing.

Hari sudah siang, Saka terbangun dan menemukan dirinya sendirian di atas tempat tidur yang seharusnya ada dia dan kekasihnya.

“Ka?” tangan Saka meraba tempat tidur kosong di sebelahnya.

“Arka?” pria itu reflex duduk di atas tempat tidur.

“Yang?” panggilnya lagi sembari berjalan ke arah tumpukan baju di atas meja belajar yang terdapat di ruangan itu. Mencari baju yang semalam ia gunakan tapi nihil, dengan pasrah ia mengenakan baju kekasihnya yang pas di badannya serta celana boxer yang semalam ia gunakan dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan milik Arka.

“Sayangku?” Saka mulai mencari kekasihnya lagi hingga menjelajahi apartemen yang dihuni oleh Arka dan Arya itu. Masih tidak ada jawaban, yang membuat pria itu tersadar bahwa ia sendirian di tempat asing.

“Arka di mana? Kok gue sama sekali ngga ngerasa orangnya pergi?” katanya bermonolog.

Saka kembali melangkahkan kakinya ke kamar kekasihnya dan hendak membersihkan diri, namun benda pipih di atas nakas sisi tempat tidur Arka menyala dan getarannya mengalihkan perhatian pria tinggi itu. Ternyata, itu adalah pesan yang datang dari pria yang ia cari, setelah mendapat kabar dari si dia, pria dengan tinggi 187 sentimeter itupun kembali melangkahkan kakinya ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.


Saka kini sudah berada di sekitaran apartemen Wonwoo dengan menggunakan sweatshirt abu-abu, celana bahan santai hitam dan topi biru dongker, menanti sekitar 5 menit di pinggir trotoar, tak lama pria tinggi itu tersenyum sumringah, memamerkan deretan gigi atasnya dengan taring yang mengintip di sana saat melihat sesosok pria di seberang jalan sedang bermain smartphone-nya sembari tersenyum dan wajahnya yang memerah. Tak lama pria di seberang sana menatap wajah Saka dan tersenyum manis ke arah pria dengan topi berlogo ceklis putih.

‘He’s so beautiful, semoga pemandangan indah seperti ini bisa gue rasakan sampai gue tua.’ gumam Saka dalam hati, sembari berdoa ketika melihat Arka di ujung sana.

Pria itu mendekat, senyuman yang tak luntur dari wajahnya dan terasa menenangkan siapapun yang melihatnya. “Hai!” sapa pria itu ketika sudah tiba di depan Saka.

“Hai!” kata Saka membalas sapaan pria itu dan mengecup bibir kenyal berwarna pink milik si dia, lalu mengambil belanjaan pria di hadapannya.

Arka masih menebarkan senyumnya dan mendekap sebelah lengan Saka menariknya agar mereka berdua dapat berjalan beriringan untuk kembali ke dalam apartemen.

Sesampainya di apartemen, Saka segera meletakkan belanjaan kekasihnya di counter top table. “Mas, aku mandi dulu ya. Gerah banget ternyata.” izin Arka, dibalas dengan anggukan oleh Saka.

Sementara Saka membuka sweatshirt-nya, dan menyisakan white sleeveless shirt yang melapisi tubuh kekarnya. Pria tampan itu dengan sabar menunggu Arka dengan menonton TV di ruang tengah, memaikan ponselnya, browsing tempat di Inggris yang bisa ia dan kekasihnya jelajahi, berkirim pesan dengan sepupu, teman-teman dan juga ayahnya. Tak membutuhkan waktu lama, pria yang dia tunggu-tunggu sudah turun dengan black t-shirt dan celana boxer pendeknya.

“Aku masak dulu ya.” izinnya dan langsung melipir ke dapur untuk membuatkan makan siang yang diminta oleh Saka — nasi goreng. Arka segera cek ricecooker-nya, melihat sesuatu di kulkas yang dapat ia gunakan sebagai bahan, kemudian ke lemari bumbu, mengeluarkan yang ia butuhkan, lalu membuka belanjaannya, dan menata serta memasukkan beberapa bahan-bahan yang tak ingin pria itu gunakan ke refrigerator, lalu mendekatkan beberapa bahan seperti sosis dan bakso untuk topping nasi gorengnya.

Mendengar grasak-grusuk dari dapur, Saka bangun dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya ke tempat Arka berada, lalu memeluk tubuh pria yang kini sudah menggunakan apronnya itu dari belakang.

“Hmm, aku lagi mau masak?” tanya Arka, sedikit kaget jantungnya berdegup kencang seakan siap loncat ke luar, begitu juga yang dirasakan Saka.

“Lanjutin aja, aku cuma mau peluk.” kata Saka dengan nada yang sangat santai, sedangkan Arka merasakan ruang geraknya yang terbatas karena badan besar Saka kini sudah mengukungnya.

“Mas, jujur kamu berat.” kata Arka menghentikan kegiatannya. “Maaf ya Tuan Muda, ini aku mau gerak gimana caranya kalau kamu gelendotan gini?” tanya Arka, Saka dengan tidak sopannya hanya tersenyum dan mengecup perpotongan leher pria yang ada dipelukannya dengan perlahan, tak menghiraukan kalimat kekasihnya.

“Aku ngga usah masak ya?” ancam Arka ketika bibir Saka sudah mulai mengecup bagian bawah telinganya, bulu halus di tubuh Arka meremang, jantungnya masih berdegup tak karuan, ditambah lagi kini Saka malah menggigit daun telinga bawahnya pelan. “Saka, geli!” omel Arka, pria yang dipanggil hanya tersenyum jahil di sana.

“Kita makan di luar aja kalau gitu.” Arka mengerucutkan bibirnya, Saka masih tidak perduli dan menelusupkan tangannya ke dalam apron yang Arka gunakan, mengelus pelan perut berotot milik kekasihnya. Kini kupu-kupu seperti berterbangan di dalam perutnya. Geli, itu yang Arka rasakan.

“Saaynghh — Stop.” kata Arka, dia lagi-lagi merasakan ada yang aneh pada tubuhnya, darahnya mengalir hebat, karena sentuhan lembut Saka di sana. “Geli, Mas! Nanti ada yang tegak tapi bukan keadilan!” kata Arka, masih sempat bercanda untuk mengalihkan pikirannya yang sudah hampir berjalan-jalan ke tadi malam.

Saka tertawa mendengar kalimat terakhir kekasihnya, kemudian membalikkan tubuhnya. “Hehe, lucu banget sih. Kamu belajar dari siapa? Pasti Arya?” tanya Saka mengecup pipi putih mulus milik pria yang ada di hadapannya. “Kalau emang ada yang berdiri, aku bantuin buat tidur lagi, sayang.” goda Saka.

“Aku tanggung jawab.” bisik Saka genit.

Seriously? Nisaka, aku ngga bohong, dan ini masih siang!” dumel Arka kepada kekasihnya karena malu selalu digoda.

Make love ngga ada waktunya, Arkadia.” jawab Saka lantang.

No no no, aku belum terbiasa, dan please kurangin mesumnya.” kata Arka yang sudah membuka apronnya dan berniat untuk meninggalkan kekasihnya, namun, sia-sia karena lengan kekar pria itu sudah memeluk pinggangnya, kini wajah mereka berhadapan, Saka dapat jelas melihat bibir Arka yang plum dengan pipi merona.

“Aku ngga mesum, sayang.” jawab Saka, menyatukan kening mereka. “Cuma ngga bisa menyia-nyiakan kesempatan karena kamu sekarang ada dipelukan aku.” lanjutnya.

“Pengennya sama kamu terus.” katanya lagi.

Revenge?” tanya Arka.

“Hahaha, bukan revenge. Tapi, seneng aja, rasanya kaya setelah berlayar kemana-mana, akhirnya ketemu tempat berlabuh.” jawab Saka. “Mau menetap.” lanjutnya. Arka tersenyum manis mendengar analogi yang Saka berikan padanya.

Mereka bagaikan dua insan yang sedang mendayung berlawanan arah selama 3 tahun ini, namun mereka lupa bahwa bumi itu bundar dan sejauh apapun mereka mendayung, garis khatulistiwa pasti akan menemukan mereka kembali.

Saka dengan tubuh athletic-nya menggendong Arka ke ruang tengah. Si dia yang digendong sempat terpekik kaget dan segera mengalungkan tangannya di tengkuk leher Saka agar tidak terjatuh dan menenggelamkan kepalanya di bahu Saka, menahan senyumnya.

Pria tinggi itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang ada di ruang tengah dengan TV yang masih menyala, entah apa yang ditontonnya sedari tadi. Sang pria berkulit putih itu kini menjauhkan wajahnya dari bahu Saka sedang menatap manik elangnya begitu dalam.

“Kenapa?” tanya pria yang ditatap.

“Ngga apa-apa—” kalimat Arka menggantung. “Pantesan Bian bisa terobsesi sama kamu, kamunya kaya gini.” lanjutnya sembari tersenyum dan menangkup pipi Saka, mencubit pelan pipi tirus pria di hadapannya serta memainkannya gemas.

“Kok jadi Bian?” tanya Saka menghentikan tangan Arka yang sedang menguwel pipinya. Arka hanya menggeleng sembari tersenyum.

With no context, tiba-tiba kepikiran aja.” jawabnya, duduk menyamping dipangkuan Saka dan meletakkan kepalanya di dada bidang pria itu.

Bila Arka ingat lagi apa yang terjadi pagi menuju siang tadi, Bian yang muncul di depan apartemen dan memintanya untuk meninggalkan pria yang kini sedang memeluknya erat. Entah apakah dia harus memberitahukan Saka atau malah menyimpannya sendiri, 'Untuk kali ini, biarin aja deh!' gumamnya dan mengusak-usakkan kepalanya manja di dada Saka.

“Lagi mikirin apa?” tanya Saka, membuyarkan lamunannya, mendongakkan wajah sang kekasih dengan ibu jari dan telunjuknya agar dapat menatap manik rubah milik Arka.

Nothing.” Arka tersenyum dengan Saka yang membalas senyum kekasihnya dan mendekatkan wajah mereka secara perlahan sembari saling menatap, kemudian beralih ke bibir, Arka memejamkan matanya tanda mempersilahkan Saka untuk menciumnya. Dengan perlahan Saka mencium ranum merah jambu itu, kemudian melumatnya dengan perlahan sembari memeluk Saka yang kini berada di lahunannya.

I love you.” kata Saka setelah tautan mereka terlepas dengan berbisik, namun sangat jelas terdengar oleh Arka.

I love you too.” jawab Arka sembari tesenyum, mencubit hidung pria yang lebih tua, lalu menangkup wajah tampan Saka, mencium bibir pria yang semakin erat memeluknya dan memperdalam ciuman mereka, diakhiri dengan Arka yang membalas pelukan erat sang kekasih.

Arka sudah merubah posisi dengan menyenderkan punggungnya di dada Saka, duduk di antara kedua kaki pria itu yang terbuka lebar, dan kini sudah mengganti channel TV menjadi Disney+, memainkan ke-5 jari kanan Saka yang melingkar di perutnya, terkadang mengecupi punggung tangan itu.

“Kita Makan di luar aja yuk? Kata google Michaelhouse Café enak.” kata Saka memecah keheningan mereka.

“Ya terus ngapain aku belanja dong tadi?” tanya Arka mengaitkan tangannya dengan Saka, matanya masih terfokus pada tontonannya.

“Kan bisa dimasak nanti, kita ngga pulang besok.” jawab Saka. “So, we still have plenty of time to make out in your apartment, Sayang.” lanjutnya berbisik dengan tersenyum jahil yang membuat wajah Arka perlahan merona merah.

“Kan mau jalan-jalan juga sama pacar di Inggris.” kata Saka, lalu mencium tengkuk kekasihnya

“Yaudah, aku siap-siap.” kata Arka, berdiri dari posisinya, Saka segera menarik Arka kembali ke dalam pangkuannya dengan satu tangan.

“Nanti sorean aja, aku kan masih mau cuddle dulu, katanya ada yang pengen Netflix and chill?” kata Saka dengan santainya. Arka ingat isi tweet-nya siang tadi saat berbelanja, Saka pasti sedang menyindirnya, lalu pria itu mencubit gemas punggung tangan kekasihnya yang kini sedang bermain di paha mulusnya.

“Lagi apa sih, Mas? Sibuk banget.” kata Arka membalikkan tubuhnya, melihat apa yang kekasihnya lakukan saat dia sibuk menonton.

“Nyari tempat romantis di Cambridge.” jawab Saka singkat, menunjukkan hasil browsing-nya.

“Di sini.” kata Arka mengambil benda pipih yang mengalihkan perhatian Saka, meletakkannya di meja dan memeluk pria yang menggunakan t-shirt putih tanpa lengan itu.

“Tempat romantisnya di sini?” tanya Saka yang di balas anggukan oleh Arka. Kini Saka sedang tersenyum melihat kejadian langka dimana Arka yang biasa terlihat kuat dan tegar menjadi clingy di hadapannya dan meletakkan kedua tangannya dipinggang pria yang berbadan lebih kecil darinya itu.

Arka melingkarkan pinggang Saka dengan kakinya, dan mengelus tengkuk Saka dengan kedua ibu jarinya. “You know, I love when you hug me, it's the best feeling in the world.” kata Arka dengan wajahnya yang bersemu merah dibalas dengan kecupan di bibirnya.

I know.” jawab Saka.

Because, You are the one for me After all the waiting I can finally breathe I feel at home whenever you're around I feel so secure, so safe and sound

HE Found Me


tw: slight drama

Matahari sudah tersenyum dari ufuk barat, aku yakin banget kalau sekarang sudah siang, dan ternyata benar saja, saat menatap ke arah jam dinding kini waktu sudah tepat jam 11 siang di Cambridge, aku masih di tempat tidurku. Hal ini tentu saja jarang terjadi, karena biasanya aku sudah direpotkan oleh Arya yang sudah sangat berisik meminta makan.

Namun, tidak untuk hari ini, karena sekarang apartemen yang sudah hampir 3 tahun aku tinggali terasa sangat tenang dengan pria berperawakan tinggi tanpa busana di sampingku, kami sedang berbagi bedcover berdua dan saling berpelukan berbagi kehangatan. Pria di sampingku sedikit terbangun dengan gerakan yang aku lakukan dan kembali menarik badanku untuk tetap di pelukannya. Pria itu adalah Saka, pria yang 3 tahun ini memporak-porandakan perasaanku, pria yang mencuri ciuman dan yang pertama lainnya padaku. Hehe.

Aku menggerakkan tubuhku perlahan, mencari di mana handphone-ku saat Saka masih dengan *possessive”-nya memeluk pinggangku, seakan tidak ada celah aku untuk pergi kemana-mana tanpanya. Ya, siapa juga yang mau pergi lagi? Lelah berlari dan sudah menemukan tempat peristirahatan yang nyaman adalah aku saat ini, dengan pria tampan ini sebagai pelabuhannya.

“Kamu nyari apa?” tanyanya dengan suara parau kepadaku yang sedang celingak-celinguk mencari keberadaan benda pipih milikku dengan mata terpejam, yang aku cari bukan remot TV.

“Nyari handphone-ku, kamu liat ngga?” tanyaku dengan suara sedikit berbisik.

“Ada di belakangku.” jawabnya sembari menangkup pipiku dan mengecup bibirku. Ah iya, pacarku! Dan tanpa ragu aku pun menangkup pipinya dan membalas kecupannya. Morning kiss to start the day, I guess. Hehe.

Aku mencari tempat yang dia tunjuk dan benar saja ponsel-ku ada di sana, di sebelah ponselnya. Aku segera membuka dan menjawab beberapa pesan yang masuk ke dalam benda persegi panjang itu.

“Siapa yang chat?” tanyanya, matanya masih terpejam dengan tangannya yang masih melingkar dipinggangku.

“Arya bilang mau ke Oxford sama Dyah, dan Ayah.” kataku. “Katanya aku harus ikut kamu pulang.” kataku lagi.

“Iya, nanti aja. Bobok lagi, sini.” ajaknya mengambil paksa smartphone milikku dan meletakkannya kembali ke tempat semula lalu kembali merengkuh tubuhku di dalam dekapannya, meletakkan kepalanya diperpotongan leherku, mengecupnya dan tampaknya akan meninggalkan bekas kemerahan di sana, karena aku merasakan sensasi yang — aneh? Aku hanya mengelus surainya dengan jariku perlahan.

Tak lama setelah itu, Saka sudah kembali tertidur entah lelah karena jetlag atau kegiatan ‘pillow talk’ kami semalaman. Saat ini dengan jelas kudengar deruan nafas dan detak jantungnya yang teratur. Aku suka ada dipelukan ini. Aku suka Saka. NO, I LOVE HIM! VALID!

Aku akan membiarkan kekasihku ini untuk kembali tertidur lebih lama dengan memeluk tubuhku. Aku tidak bisa tertidur lagi, hanya ingin menghabiskan waktuku untuk menatap wajah damai pria di hadapanku, tersenyum melihat raut wajahnya yang terkadang menyunggingkan senyum, kadang mengerucutkan bibirnya, apa yang sedang ada di mimpinya? Kenapa hal itu sangat lucu di mataku. Saka tau ngga ya kalau dia tidur selucu ini? He's so cute, I can't handle myself, rasanya ingin mengecupi seluruh wajahnya, tapi mungkin nanti, dia sedang tertidur seperti bayi saat ini.

Suara bell yang berbunyi dari lantai bawah membuyarkan lamunanku. Siapa orang yang datang siang ini? Tidak mungkin Arya dan Dyah karena tadi pagi mereka izin sedang date di daerah Oxford dan tentu saja tidak perlu menggunakan bell untuk masuk. Bell pintu berbunyi beberapa kali, hingga tampaknya aku benar-benar harus turun dan melihat siapa yang mengganggu siang tenangku.

“Bentar ya, mas.” izinku melepaskan pelukannya. Iya, aku sudah memanggilnya 'Mas' sejak tadi malam. Aku malu sendiri sebenarnya saat mengingat apa yang aku dan ia lakukan tadi malam, merinding mengingat tubuh kekarnya mengukung tubuhku yang tampak kecil di dalam kukungannya, darahku berdesir seakan masih mendengar deruan nafasnya di telingaku ketika meminta izin untuk menyentuh bagian tubuhku lainnya. Oh, jangan! Jangan mikir yang aneh-aneh, ada tamu di bawah. Aku sangat yakin pipiku sedang memerah karena memikirkan kejadian semalam.

Aku bangun perlahan dari tempat tidur karena benar kata Arya, pinggulku terasa sakit dan masih merasakan sedikit perih di belakang sana. Suara door bell itu tidak mau berhenti, aku segera mengambil baju yang berserakan di lantai dengan acak dan berakhir menggunakan baju Saka, dan merapihkan sisa pakaian yang tergeletak.

Aku melangkahkan kakiku ke arah pintu, dan menatap kaget LCD Intercom Doorbell yang berada di dekat pintu, di sana ada seorang pria dengan rambut ash grey lurus, berkulit putih yang tak pernah aku undang untuk di apartemenku, kini dia ada di daun pintu, dia adalah Bian. Iya, Bian yang itu, mantan tunangan Mas Saka. Pria yang membuatku terobsesi melanjutkan pendidikanku untuk melupakan Nisaka.

Sebelum membuka pintu, aku rapihkan rambutku, memastikan aku sudah menggunakan baju dan celana rumahku, lalu membuka pintu di hadapanku dan segera keluar dengan tumit yang menahan pintu agar tidak tertutup rapat. Semoga Saka masih terlelap, karena aku tidak tahu apa yang akan priaku lakukan bila dia melihat Bian sudah ada di hadapanku, menemukanku.

Oh, Gosh! Akhirnya dibukain juga. Arka? Arkadia Wonwoonya ada?” tanya pria manis di hadapanku, serius pria ini sangat manis. “Oh, lo kan yang namanya Arka?” tanyanya lagi saat aku masih memandanginya. Aku masih bertanya kenapa Saka menolak pria cantik yang hampir menyeimbangi kesempurnaan malaikat, bila dilihat dari parasnya.

“Iya, dengan saya sendiri.” jawabku, tetap sopan.

“Ada waktu? I want to talk with you.” katanya, tanpa berbasa-basi. Suaranya tidak begitu ramah, tapi mungkin memang seperti ini perawakannya, jadi, baiklah. Oh, dan iya, aku banyak sekali waktu, jadi ku anggukkan kepalaku.

Yes, kita ngobrol di cafe depan aja ya. Wait, saya ganti baju sebentar.” jawabku, segera masuk kembali ke dalam apartemen, dan langsung menutup pintu lagi. Mengendap-endap ke atas hanya sekedar mengambil ponsel, kembali ke bawah, berjalan ke kamar Arya agar Saka tidak terbangun, meminjam jaket serta sweatpants-nya, berjalan cepat ke pintu dan menutupnya perlahan dari luar.

Bertanya-tanya sepanjang jalan apa yang ingin pria itu bicarakan, tentu saja. Aku tidak pernah berbicara dengannya sebelumnya dan ini adalah pengalaman pertamaku. Hanya membutuhkan waktu 10 menit untukku dan dia berjalan hingga sampai ke cafe yang aku maksud. Aku tawarkan apa yang pria itu inginkan dan memesankannya untuk kami.

Just go straight and clear this thing up.” katanya memecahkan kesunyian yang terjadi setelah kita berdua hanya terdiam beberapa lama dengan memandangi gelas hangat yang ada di hadapan kami masing-masing.

Please.” kataku membalas kalimatnya, aku penasaran.

“Jauhin Kak Saka!” pintanya.

WOW satu kata yang aku fikirkan ketika mendengarkan kalimatnya, namun, masih belum terlontar karena aku masih menghargai pria di hadapan ini yang mungkin masih banyak yang ingin dia sampaikan.

Go ahead.” kataku menjawab pertanyaannya.

“Maksud lo?” tanya pria itu bingung.

“Masih ada yang mau disampaikan lagi ngga?” tanyaku masih dengan nada santai sembari memegang gagang cangkir.

“Masih.” jawabnya.

Yes? So, go ahead. Lanjutin.” jawabku.

“Jauhin Nisaka karena gue adalah tunangannya.” katanya memamerkan cincin yang masih melekat cantik di jari manis kirinya. Aku hanya mengangguk-angguk.

“Hmmm” jawabku, masih menganggukkan kepala dan menopang dagu dengan kedua tangankku setelahnya.

“Aku dengar pertunangannya dibatalin?” tanyaku seperti orang yang tidak tahu apa-apa tentang berita tersebut, sedangkan sangat jelas Saka sudah menceritakan semuanya padaku kemarin. “Seharusnya aku masih ada kesempatan untuk memiliki Saka sih.” kataku sembari mengelus daguku.

“Ngga boleh karena dia cuma punya gue!” nada suaranya meninggi dan iya, aku kaget. Ternyata wajah manisnya sama sekali berbalik dengan kalimatnya yang sangat agresif.

“Bian, kamu Biankan ya?” tanyaku, pria di hadapanku itu mengangguk dengan alisnya yang terangkat satu. “Ngga semua isi dunia ini punya kamu, dan Saka bukan benda yang bisa kamu claim kepemilikannya.” lanjutku.

“Dan—” kalimatku menggantung. “Hati dia ngga pernah di kamu kan?” tanyaku.

“Kata siapa? And you never know what the two of us have done dan tentu dia ngga pernah kaya gitu ke lo.” katanya. Oke, kali ini suaranya sudah naik setengah oktaf dan ada penekanan di kata two of us dan lo di sana. Fortunately, Saka cerita juga sih apa yang pernah mereka lakukan, sejauh mana hubungan mereka, dan semuanya jelas untukku. Aku tidak cemburu, aku juga tidak iri karena itu Bian dan Saka, bukan Saka dan Arka, tentu saja..

“Hmmm” kataku, menutup mulutku rapat dengan mata yang melirik kesana kemari seperti sedang berfikir, dan memang aku sedang berfikir kali ini.

“Contohnya? Making love? Kissing? Vacation together? Take a good picture together?” tanyaku, dia mengangguk sangat yakin.

“Dan kamu juga melakukan itu dengan pria lain kan? Ngga cuma sama Saka?” tanyaku. “Just for your information, saya menjaga tubuh dan diri saya, and take more care for that selama 3 tahun belakangan hanya untuk Saka. So, kalau kamu jadi Saka, kira-kira siapa yang akan dia pilih? Choose!” kataku dengan penekanan di akhir kalimat. Pria itu terdiam.

“Walaupun, saya tampak seperti orang yang terbuang oleh keluarga Putradinata, tapi kita bisa liat siapa yang sebenarnya dibuang, kan?” tanyaku lagi dengan nada pelan. It's too harsh if I used the word discarded, tapi ngga ada kata yang lebih halus dari itu, Sorry, Abian.

You and your step mother to be kalau ngga salah saya dengar.” lanjutku.

Congratulations karena kamu punya ibu baru dan Saka jadi ngga punya ibu.” kataku lagi. “I will take care of him, I promise! Jadi, sekarang saya yang gantian meminta kamu untuk pergi dari hidup Saka, ya?” pintaku. Sedari tadi pria itu hanya terdiam, entah apa yang ingin dia ucapkan atau aku terlalu terburu-buru mengeluarkan AS Card?

Kami berdua terdiam, tapi pria di hadapan aku ini memecahkan keheningannya, “Kalau gue ngga bisa punya Saka, lo juga ngga bisa, ARKA!” katanya, kali ini suaranya lebih tinggi, dan meneriakkan namaku di akhir kalimatnya. Too aggressive.

Obsess, itu hanya obsesi kamu aja, Bian.” kataku. “Sedangkan, di meja itu ada cowo yang sedari tadi ngawasin kamu, let's just say I didn't know that you were here with him.” lanjutku pelan. “Aku pernah liat dia dari handphone Saka, by the way.”

“Cari bahagia kamu, Bian. Saka bukan tempatnya, siapa tau cowo yang selama ini nemenin kamu yang ternyata adalah rumah kamu untuk pulang. Dunia ini ngga cuma mengelilingi kamu, jangan sampai tempat kamu pulang mencari tempat lainnya untuk berteduh.” kataku. “Kamu cheating di belakang Saka, aku maafin kali ini, tapi jangan gitu lagi ke orang lain ya? That's not a good thing to do.” kataku, berdiri berjalan ke samping pria muda itu, dari caranya memandang, dia mungkin sekarang sedang berfikir dan terkejut karena bukannya ikutan kesal, aku malah menasihatinya. Maaf, umur memang tidak bisa berdusta ya.

Aku mendekati pria putih seputih susu itu dan berbisik padanya, “Good luck to find your happiness, I will cheer you melalui doa.” kataku. Kemudian, aku meninggalkan meja tempat kami tadi duduk untuk bicara, kulangkahkan kaki menuju pintu keluar, membuka pintu cafe dan meninggalkannya.

Semoga, Bian bisa menemukan kebahagiaannya, seperti aku menemukan Nisaka. One day.

AKHIRNYA, KAMU!


tw: slightly explicit mature content (no minor 🔞), kissing, hugging, foreplay, cuddling, fluff, touching, handsjob

Setelah perjalanan yang memakan waktu cukup lama, sekitar 18 jam 30 menit, pria tinggi yang menggunakan cardigan cokelat, jeans hitam, sneakers, dan topi biru dongker dengan logo Nike sudah sampai di salah satu negara tujuannya, Inggris.

“Cambridge?” tanya Saka ketika melihat ke samping kanan dan kirinya saat berada di sebuah mobil yang sudah membawa ia dan asisten pribadinya ke sebuah alamat yang sama seperti yang diberikan oleh sang ayah kemarin malam saat menyuruhnya ke negara ini, entah rumah siapa, dia sendiri tidak tahu, hanya mempercayai asisten pribadinya yang duduk di kursi depan, sebelah pengemudi mobil yang tadi menjemputnya.

“Kita kemana?” tanya Saka dengan suaranya yang parau karena masih jetlag kepada Dyah, asistennya.

“Sabar, Pak. Nanti sampai di sana bapak bisa benar-benar istirahat.” jawab Dyah. “Deket kok ini, kalau bapak mau tidur dulu juga oke, ngga akan saya tinggalin.” lanjutnya dengan nada santai, seperti biasa.

Hanya membutuhkan waktu 25 menit dan mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti di salah satu apartemen 3 tingkat yang lebih cocok bila dibilang sebagai homestay. Kaki Dyah melangkah enteng menuju pintu yang terkunci, bermain dengan ponsel-nya, sesekali menekan bell, sedangkan Saka yang masih bingung dan terdiam berdiri di belakang wanita dengan rambut sepunggung berwarna ash grey itu.

Tak lama pintu kayu jati berwarna cokelat di hadapan mereka terbuka, menampakkan sesosok pria kurus dengan tinggi sekitar 180 centimeter, berwajah oriental yang menggunakan sleeveless shirts hitam dan boxer pants motif totol-totol harimau. Pria tersebut melempar senyuman sumringahnya ke arah Dyah dan segera memeluk wanita itu, pelukan rindu.

“Akhirnya, sampe. Kangen kangeeenn.” kata Arya, sesekali mengecup pucuk kepala Dyah dan Wanita itupun terasa sangat menikmatinya. Tidak ingin menjadi nyamuk, Saka berdeham hingga kegiatan mereka terhenti sejenak.

“Oh iya, lupa.” kata Dyah dengan santai. “Bapak, kenalin ini Arya, pacar saya.” lanjut Dyah mengenalkan pria yang ternyata kekasihnya itu.

“Saka.” kata Saka mengulurkan tangan kanannya.

“Arya.” jawab Arya membalas uluran tangan Saka dan menjabatnya. “Kita pernah ketemu di nikahan Mas Dhika, Pak. Cuma emang kita ngga kenalan aja.” lanjutnya.

“Saya ingat sih.” kata Saka mengangguk. “Tapi, kamu ngapain di sini?” tanya Saka.

“Mmmm, saya tinggal di sini?” jawab Arya sedikit meragu, dia bingung dengan pria yang masih tidak punya ide apa yang akan dia lakukan di depan pintu apartemen itu. Kemudian langsung menatap Dyah dan kembali memeluknya, menghabiskan rasa rindu yang sudah menggunung. Sedangkan, Saka masih terpaku, diam dan membisu. Entah untuk apa dia ada di sini sebenarnya.

“Lho? Bapak ngapain di sini?” tanya Dyah.

“Ya, mau kemana?” tanya Saka santai sembari celingak-celinguk, entah dia harus melihat dan menunggu Dyah untuk pacaran. 'Bentar, ini ngga gue nganterin PA gue pacarankan?' gumamnya dalam hati.

“Yang lo harus temuin tuh ada di lantai 2, kamar 206, nanti naik tangga yang ada di dalem, orangnya ada di sana.” jawab Arya santai.

“Yang harus saya temui?” tanya Saka, mengulangi kalimat Arya.

“Iya, ke sini mau jemput orang kan?” tanya Arya balik.

“Ngapain saya ke sini, Dyah? Bukannya ada meeting dengan investor ya?” tanya Saka kepada personal assistant yang masih sibuk berada dipelukan kekasihnya itu.

“Ngga kok, kata siapa?” tanya Dyah. “Bapak emang ketemu orang tapi bukan investor. Masa ketemu investor pake baju santai gitu, Pak, apa ngga dilemparin air cucian piring?” tanya Dyah lagi.

“Serius, Dyah.” kata Saka, nadanya sudah serius karena dia sedang jetlag, kepalanya juga sudah sakit ingin sekali bertemu dengan kasur dan tidur tenang.

“Saya serius, kalau bapak ngga percaya, boleh tanya ke Pak Jeonny atau Pak Bumi.” jawab Dyah dengan yakin.

“Naik aja, atau lo mau berdiri di situ liatin kita pacaran? Ngga apa-apa sih.” kata Arya santai.

“Ada tempat tidur di atas?” tanya Saka.

“Ada, temen tidur juga ada. Hahahaha.” tawa Arya, dadanya langsung dipukul pelan oleh Dyah.

“Bercanda. Gue saranin aja sebagai orang yang masih baik, mending lo naik ke 206, password-nya 177064.” kata Arya pelan dan melihat ke sekitarnya, takut ada orang lain yang mendengarkan.

“Saya masuk?” tanya Saka.

Go ahead!” kata Arya mengizinkannya.

Saka segera melangkahkan kakinya masuk, menaiki tangga ke lantai 2, dan mencari kamar dengan nomor yang dimaksud oleh pria yang baru saja dia temui. Saka tahu siapa pria itu, pria yang selalu bersama dengan Arka, namun dia masih tidak punya ide siapa orang yang Dyah maksud.

‘Apa Arka? Orang yang dimaksud adalah Arka?’ gumam Saka dalam hati.

Pria tinggi itu tetap menekan 6 digit nomor yang Arya sebutkan. Kakinya melangkah memasuki kamar yang rapih, terdengar suara pria bersenandung di sana. Saka segera menghampiri suara itu, suara yang terdengar tidak asing di telinganya. Saka menaiki tangga yang ada di dalam kamar.

Sesampainya Saka pada tempat yang dimaksud, langkahnya terhenti, di sana ada pria dengan punggung bidang yang sangat ia kenali, sedang duduk di kursi sembari bersenandung pelan mengikuti nada yang keluar dari headphone-nya, fokus pada layar leptopnya, jari-jemari lentiknya yang menggunakan mouse dengan lincahnya sedang mempercantik hasil foto yang sempat dia ambil saat liburan kemarin di Paris, tanpa sadar ada seseorang yang memperhatikannya.

Pelan namun pasti, walaupun ada sedikit keraguan di sana, Saka melangkahkan kakinya ke arah pria itu dan mengelus pelan surai hitam pria yang masih sibuk dengan dunianya. Pria itu menepis tangan yang ada di kepalanya tanpa mengubah posisinya, Saka kembali mengelus surai itu. “Diem, Arya! Ganggu!” kata pria itu dengan tampang cemberut dan masih belum bergeming dari posisinya.

Sembari tersenyum Saka memeluk dari belakang tubuh pria yang sedari tadi duduk di bar stool dan melingkarkan tangannya di pinggang ramping, serta meletakkan dagunya di bahu pria itu. “Apaan sih, Anj—” kalimat pria itu menggantung ketika melihat ke bahu kanannya, pria itu refleks segera berdiri dan terpukau dengan tatapan tak percaya, mengedipkan matanya cepat, bahkan mengusapnya. Saka memberi pria di hadapan itu senyuman terbaik yang ia miliki dengan memamerkan kedua gigi taring di jajaran gigi atasnya.

“Pak Saka?” tanya Arka.

“Ya?” jawab Saka lembut, senyumnya semakin melebar ketika melihat pria yang ada di hadapannya gelagapan dan bingung.

“Ngapain di sini, Pak?” tanya pria itu bingung, ini adalah hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bagaimana mungkin seorang Nisaka Mingyu ada di hadapannya saat ini? Bagaimana pria di hadapannya ini tahu kalau dia ada di sini?

“Aku juga ngga tau ngapain ke sini, tapi kata papa aku harus dateng ke sini.” jawab Saka, melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah untuk menghampiri Arka, pria yang sedari tadi ada di ruangan itu dan segera memeluk erat tubuhnya seakan tidak ingin ia lepaskan lagi. Arka terdiam karena merasakan jantungnya yang kini sedang berdegup kencang, degupan yang sudah lama tidak dia rasakan. Degupan yang semakin berisik karena adanya pria tinggi di hadapannya.

“Pak Saka?” panggil Arka.

“Saka, bukan Pak Saka.” jawab Saka masih diposisinya.

“Saka?” Arka menuruti pria yang kini sedang memeluknya erat.

“Ya?” tanya Saka.

Are you okay?” tanya Arka membalas pelukan pria itu.

More than okay, aku bahagia.” jawab Saka, melepas pelukannya, menatap dalam manik rubah pria yang menggunakan kacamata kotak dengan frame hitam itu.

“Apa kabar?” tanya Saka, kalimat pertama yang seharusnya ia ucapkan saat pertama kali bertemu dengan Arka. SEHARUSNYA.

“Sehat, kamu?” tanya Arka sembari menatap manik elang pria tinggi di hadapannya. Saka membuka topinya, dan tersenyum simpul.

“Kangen.” satu kata yang membuat darah Arka berdesir, karena sama halnya dengan pria tampan tersebut, diapun merasakan perasaan yang sama. Arka membalas kalimat itu dengan senyuman.

'Sama, aku juga kangen sama kamu. Kangen banget!' teriak Arka di dalam hatinya.

Saka kembali memeluknya, mengecup pucuk kepala dan mengelus surai hitam Arka dengan penuh kasih sayang, lalu mencium kening pria itu, mengelus rahang pria yang lebih muda, mendongakkan wajah manis Arka untuk menatapnya.

“Aku pulang.” 2 kata yang menggelitik perut Arka, menimbulkan rasa bahagia dan lega yang bersamaan. Pria yang 2 tahun ini tak pernah ia lihat wujudnya, pria yang selama ini dia kira tidak akan pernah datang kembali dan selamanya akan tersimpan di dalam relung hatinya yang terdalam, pria yang dia sangka akan menikah dengan orang lain karena sudah dijodohkan oleh keluarganya. Tapi, pria ini kini nyata tepat berada di hadapannya.

Saka tenggelam di dalam tatapan pria cantik yang selalu mengacak-acak perasannya 3 tahun belakangan ini. Pria tinggi itu mengikis jarak yang ada, menempelkan keningnya dengan kening pria di hadapannya, menggesekkan hidung mancungnya dengan hidung bangir Arka. Tersenyum lega, perasaan khawatir, takut menguap di sana.

Welcome home, Saka.” ucap Arka.

3 kata, hanya cukup 3 kata yang keluar dari mulut Arka yang meyakinkan bahwa ia telah dinanti. Arka memejamkan matanya, menikmati deruan hangat nafas pria tinggi di hadapannya. Saka semakin mendekatkan tubuh Arka dengannya, memeluk pinggang pria itu dengan posesif dan menyatukan kedua ranum bibir mereka, mencium bibir tipis itu perlahan, melepas rasa rindu.

Arka meletakkan kedua tangannya di punggung Saka dengan lembut dan membalas ciuman pria tinggi di hadapannya, tersenyum diantara ciumannya, satu tangan Saka sudah menangkup pipi Arka seakan tidak ingin melepaskan ciuman yang semakin dalam. Tak terasa air mata jatuh dari manik cantik milik Arka, berbeda dengan ciuman mereka di Bali 2 tahun lalu, air mata ini bukan air mata kesedihan ataupun perpisahan, ini adalah air mata lega dan bahagia karena Saka, pria yang selama ini hanya dapat dia tahu setengah-setengah kabarnya melalui Arya, kini ada di pelukannya.

Saka melepaskan tautan bibir mereka, mengelap air mata yang membasahi pipi pria manis itu dan kembali memeluk Arka, “Ngga mau lepasin kamu lagi. Jangan berani-beraninya lari lagi.” kata pria itu, mengusak wajahnya diperpotongan leher Arka. Mengangguk, itu yang Arka lakukan, sembari mengusap punggung Saka dengan lembut.

Thank you for sticking around, Saka.” kata Arka. “Thank you for being here.” lanjutnya.

Everything for you.” kata Saka, lalu mengecup bibir Arka. “Because, I love you.” lanjutnya, melepas kacamata yang Arka gunakan, meletakkan kacamata kotak itu di meja dan mengecup hidung bangir Arka.

I love you too?” kata Arka dengan nada yang tidak yakin.

“Kok ngga yakin?” tanya Saka, Arka segera memeluk pria dengan perawakan athletic itu dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang itu.

“Kok ngumpet?” tanya Saka. Arka hanya tersenyum dan mengeratkan pelukannya.

“Malu.” jawab Arka dengan cicitannya. Saka segera melepaskan pelukan Arka untuk melihat wajahnya yang kini sudah memerah karena malu. CEO Avays Hotel itu mendongakkan wajah Arka yang sudah memerah.

“Kamu tau ngga sekarang kamu lucu banget?” gurau Saka. Arka segera berlari menjauhi pria tinggi itu untuk mencari kaca yang ada di ruangannya. Saka tersenyum geli melihat sisi Arka yang seperti ini.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.” teriak Arka ketika melihat wajahnya sendiri. “Kenapa kaya udang rebus?” ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menenggelamkan suara caciannya yang teredam. Saka menghampiri pria yang hari ini menggunakan white t-shirt oversized dengan boxer short yang tertutup oleh t-shirt dan memeluknya dari belakang, menenggelamkan kepalanya di punggung pria yang lebih pendek 5 sentimeter darinya.

Arka menghentikan kegiatannya, dan mengelus kedua tangan yang mendekap pingganya. “Mau tidur dulu ngga? Kamu jetlag kan ini?” tanyanya.

“Boleh?” tanya Saka.

“Boleh, kamu tidur aja di tempat tidur aku, aku siapin yang lain dulu buat kamu.” kata Arka, anak tunggal Putradinata itu menurut dan melepaskan dekapannya, menelentangkan body besarnya di atas tempat tidur berukuran queen size yang ada di kamar Arka.

“Mas Arka?” panggil suara wanita itu, Dyah sudah berada diujung tangga, memanggil nama Arka ketika melihat pria itu yang sedang sibuk mencari baju untuk pria-nya.

“Eh, kamu ke sini juga?” tanya Arka kaget ketika menemukan sosok wanita yang selalu ia lihat di layar ponsel Arya.

“Iya, bareng Pak Saka. Tidur ya human-nya?” tanya Dyah melihat tubuh yang sudah menyatu dengan tempat tidur Arka.

“Iya, kasian capek bgt. Nanti kalau bangun aku siapin buat mandinya.” kata Arka. Dyah seketika memberikan tas gym dengan logo Gucci yang sudah wanita itu bawa.

“Ini baju Pak Saka. Kalau butuh apa-apa aku sama Arya di bawah ya, Mas?” kata Dyah.

“Saka biar aku aja yang urus selama di sini, kamu pacaran aja.” kata Arka sembari tersenyum jahil kepada Dyah, wanita itu tersenyum malu-malu lalu mengacungkan kedua jempolnya tanda setuju dan berlari kecil untuk kembali ke lantai bawah. Sedangkan, Arka sudah membawa tas berwarna cokelat itu dan membukanya untuk mencari baju Saka untuk pria itu gunakan setelah mandi, nanti.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 8.30 time in London, Saka dan Arka sudah mengahabiskan makan malam mereka, pria manis itu juga sudah membersihkan tubuhnya, bergantian dengan Saka yang masih berada di kamar mandi. Kini Arka sudah menyelonjorkan tubuhnya di tempat tidur dengan TV yang menyala tanpa ia pandangi dan sibuk pada majalah National Geographic yang sedang ia kagumi semua hasil fotonya.

“Lagi baca apa?” tanya Saka yang sudah keluar dari kamar mandi, menyusul Arka untuk membaringkan tubuhnya di samping pria itu dan tidur miring ke arah Arka yang sedang sibuk membulak-balikan lembaran majalah tersebut dengan tangan yang sudah menopang kepalanya.

“Majalah.” jawab Arka singkat sembari menunjukkan halaman depan majalah yang ia maksud. Arka menutup majalahnya, dan meletakkan kepalanya di bicep Saka.

“Wangi ih, sama kaya aku wanginya.” kata Arka tersenyum ketika menghirup ceruk leher Saka.

“Ya sama, kan aku pake sabun kamu.” jawabnya.

Saka menggendong pria yang sedang disampingnya itu ke atas tubuhnya yang kini sudah terlentang, Arka menatap mata Saka dalam.

“Kamu ngapain aja selama 2 tahun ini, Saka?” tanya Arka. “Kok agak kurusan?” tanyanya lagi sembari mengelus pipi Saka dengan ibu jarinya lembut, pria yang ditanya hanya mengambil tangan lentik itu dan menciumi punggung tangan itu berkal-kali.

“Kerja biar bisa kaya gini sama kamu terus.” jawab Saka, meletakkan tangan yang sedari tadi ia kecupi ke bahunya dan mengelus surai Arka yang menghalangi matanya. “Kalau kamu?” tanya Saka.

“Belajar supaya lupa sama kamu.” jujur Arka.

“Berhasil?” tanya Saka.

“Ngga, sama sekali gagal.” jawab Arka, Saka menyunggingkan senyum miringnya, lalu mengecup kening pria yang ada di atasnya. “Padahal, ngga ada yang ceritain tentang kamu, sekalinya dapet kabar pasti tentang Maura.” keluh Arka.

“Aku bahkan ngga boleh tahu kabar kamu.” lanjutnya mengerucutkan bibirnya, dengan gemas Saka mencubit bibir itu. “Ih, sakit Saka!” omelnya.

“Maaf, maaf. Gemes akunya.” kata Saka, menekan tengkuk Arka pelan dan mengecup bibir itu.

“Mungkin, maksud mereka biar kamu tau sendiri dari aku?” tanya Saka. “Mau aku ceritain?” lanjutnya, Arka bangun dari posisinya dan duduk di sebelah Saka, sudah siap mendengarkan cerita panjang pria itu. Saka ikut terduduk dan menyenderkan tubuhnya di headboard, mencari tempat nyaman karena cerita ini akan memakan waktu yang cukup lama.

Saka menggendong tubuh Arka yang lebih ramping darinya itu ke pangkuannya, kini Saka sudah duduk bersila dengan Arka yang sudah duduk dilahunannya dengan kaki yang melingkari pinggang pria yang ada di bawahnya dan memeluk bagian luar punggung Saka.

I'm ready.” kata Arka dengan senyum manis yang tersungging dari bibir tipisnya setelah menyamankan posisi.

Saka memulai dongeng-nya dengan Arka yang berkali-kali membelalakkan matanya tak percaya dengan apa yang dia dengar, dari berita Saka yang akhirnya bertunangan dengan Bian, bagaimana pria tampan ini selalu menunda pernikahan ia dan tunangannya itu, hingga ibunya yang cheating di belakang Pak Bumi, kemudian berita terbaru ayah Saka sudah menggugat cerai istrinya dan pengadilan pertama adalah hari ini, mungkin semuanya sudah selesai tapi dia sibuk dengan dunianya bersama Arka hingga tidak memperdulikan handphone-nya yang entah ada dimana. Lalu, Arka dibuat lebih terkejut dengan berita terakhir bahwa pria yang menjadi tunangan Saka yang hampir selama 3 tahun ini bermain di belakangnya.

Arka mengelus seluruh wajah Saka dengan kasih sayang yang rasanya ingin ia berikan melalui afeksi sederhana, kemudian mengelus surai pria di hadapannya, menyisirnya dengan jari, lalu mengecupi seluruh wajah pria yang ada di bawahnya. Kening, kemudian ke kedua pelipis Saka bergantian, kelopak mata, lalu kedua pipi pria tinggi itu, mole gemas dihidungnya, lalu terakhir dengan mencium bibir ranum pria yang kini ada dipelukannya.

Thank you for being strong to face this all, Saka.” kata Arka setelahnya. “Kamu hebat banget, aku bangga.” lanjutnya, tersenyum sembari menyisir pelan bulu mata Saka yang lentik.

I can be strong if the reward is you.” jawab Saka.

Ruang tidur Arka hening, pemilik kamar itu masih menatap wajah pria yang ada didekapannya. Mengaguminya, mengelus sayang punggung bulky itu. Sama halnya dengan Saka yang masih mengagumi kecantikan pria yang ada dipangkuannya, tak ingin melepas.

So, would you be mine?” tanya Saka memecah keheningan antara mereka, kalimat yang ragu untuk dia ucapkan, kata yang selalu tertahan tak terucap, akhirnya kalimat ajakan itu keluar dengan lantang dari mulutnya.

Definitely, yes.” jawab Arka tanpa ragu.

Kini kedua mata mereka sudah bertemu dan saling menyelami, kemudian Saka mengalihkan pandangannya ke bibir Arka lalu kembali memandangi mata indah pria di hadapannya, Arka membalas tatapan itu dengan memberikan senyuman lembutnya. Saka menyapu lembut bibit Arka secara perlahan dengan ibu jarinya, menangkupkan pipi pria itu, memiringkan sedikit kepalanya, mendekatkan wajahnya pada Arka dan menyatukan bilah bibir mereka. Arka mulai menyapukan lidahnya dengan pelan dan ringan pada bibir bawah Saka, meminta akses pria itu untuk membuka bibirnya dengan sangat lembut agar lidah mereka bertemu dan saling dapat bertaut.

Dimulai dengan ciuman hangat dan lembut yang kemudian berubah dengan menuntut, tangan Arka yang sudah melingkari leher Saka, menelusupkan telapak tangannya ke dalam t-shirt yang ia gunakan dan mengelus lembut di sana. Darah ditubuh Saka berdesir, merasakan sentuhan yang dulu hanya sampai pada khayalannya saja. Tanpa ragu tangan Saka sudah mengelus pinggang pria ramping yang sedari tadi berada di pangkuannya, memasukkan tangannya ke dalam t-shirt oversized yang digunakan Saka dan mengelus punggung halus itu dengan lembut, lalu meraba perut sixpack Arka. Pria tampan itu menggigit bibir bahwa Arka hingga lenguhan kecil lolos dari bibir manisnya.

Saka mulai menjelajahi leher jenjang Arka dengan bibirnya, menciumi rahang pria di atasnya, lalu turun ke bawah hingga ke curuk leher pria itu, dan memberikan tanda merah muda di sana, tanda bahwa tubuh itu adalah territorial-nya. Tangannya yang sebelumnya berada di perut Arka naik ke atas hingga menemukan sesuatu yang mulai mengeras di dada pria yang kini sudah merasakan hal aneh pada tubuhnya.

Sentuhan-sentuhan yang ia terima saat ini adalah sesuatu yang baru baginya, darahnya berdesir, degupan jantungnya berpacu cepat, bulu halusnya meremang, anehnya lagi lubang pada yang berada pada benda sintal dibelakangnya terasa menggelitik.

“Saka, ngghh— wait.” kata Arka sesaat setelah tangan Saka yang tadi di dadanya sudah berpindah ke selangkangan dalamnya.

“Kenapa?” tanya Saka dengan suaranya yang parau.

“Jangan aneh-aneh, aku ngga pernah— Hhhng—” kata Arka menggantung saat tangan Saka mulai meremat bokongnya.

“Maaf, I can handle it.” kata Saka kembali mengecup bibir Arka sekilas yang sudah lebih merah dan swollen karena ciuman mereka tadi, menjauhkan tangannya ke punggung Arka dan menahan dirinya untuk tidak melakukan apapun yang lebih dari itu.

“Sebentar ya.” kata Arka, berdiri dari lahunan Saka, menutup miliknya yang tampaknya sudah terbangun dengan t-shirt kebesaran yang sedang ia gunakan, mengambil ponselnya dan turun ke bawah.

15 menit ia meninggalkan Saka yang kini sudah sibuk dengan telepon genggamnya, Arka sudah kembali dari bawah. “Dari mana?” tanya Saka ketika melihat pria kesayangannya berjalan ke arahnya.

“Nanya Arya, katanya dia sama Dyah ngga pulang. Jadi, aku cek-cek untuk kunciin pintu, jendela, sama matiin lampu bawah.” jawab Arka.

“Jadi tinggal kita berdua?” tanya Saka yang dibalas anggukan oleh Arka. Pria dengan tubuh ramping dan badan yang terbentuk indah akibat berangkat gym saat galau itu kembali ke pangkuan Saka.

Saka yang sudah memperbaiki duduknya, dan kaki Arka yang kembali melingkari pinggang pria berkulit tan itu kemudian mengelus paha pria yang sudah berada si atasnya, paha polos tanpa terhalang boxer short. Arka mendekatkan tubuhnya dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Saka, ia malu.

Boxer kamu di mana, sayang?” tanya Saka jahil, masih mengelus salah satu paha putih mulus milik Arka dengan satu tangan mengelus surai belakang Arka, dia hanya menggelengkan kepalanya di ceruk leher Saka, pria yang lebih tua itu tertawa, menertawakan si Arka yang terlihat masih malu-malu.

Arka mendongakkan kepalanya, “Boleh?” tanya Saka, Arka mengangguk malu. Saka melumat bibir Arka pelan dengan sedikit menuntut, satu tangannya mengelus pipinya, sedangkan tangan bebas lainnya dituntun Arka untuk menyentuh gundukan yang masih terlapisi kain katun tipis di antara selangkangannya.

“Suka?” tanya Saka yang dibalas desahan erotis dari mulut Arka. “Siapa yang ngajarin?” tanyanya lagi.

Desahan-desahan keluar dari bibir Arka saat tangan Saka masuk ke dalam kain katun itu dan mengelus benda yang sudah mulai mengeluarkan pre-cum-nya.

“Nghh—” jawab Arka dengan desahannya. Saka tertawa pelan.

Pria tinggi itu menanggalkan satu-satunya kain yang menghalangi kejantanan Arka, melempar tubuh pria manis itu ke sisi tempat tidur yang kosong dan kembali mengelus serta memijat kejantanan pria yang kini ada di bawahnya itu.

“Nghh— Sakahh nghh—” desah pria itu semakin menggila ketika merasakan benda kenyal dan hangat menginvasi tonjolan di dadanya.

“Hmm?”

“Aneh hnnnghh—” kata Arka.

“Enaaak?” tanya Saka menggoda.

Strangely, yes ngghh.” jawab pria yang kejantanannya kini sedang dikocok Saka lebih cepat.

Lantunan melodi desahan dari suara Arka memenuhi kamar loteng yang 2 tahun sudah menjadi tempat tinggalnya itu.

“Aanggghhhh, Sakhhh— I wanna cum nghh” kata pria manis itu, kakinya bergetar ketika cairan kental berwarna putih itu lepas memenuhi tangan Saka yang masih menggenggam benda itu. Pria berkulit tan itu segera mengelap kening Arka yang sedikit basah, mengecupnya dan berdiri berjalan ke arah kamar mandi, mencuci tangannya dan mengambil handuk kecil bersih, lalu membasahinya untuk membersihkan kejantanan Arka.

We haven’t finished yet, Saka” tanya Arka, kini pria itu sudah menanggalkan seluruh pakaiannya, duduk dipinggir kasur, menanti Saka.

“Tadi aku cuci tangan, sayang.” kata Saka, menghampiri prianya sembari menanggalkan satu persatu bahan yang ia gunakan, bahkan membuang handuk kecil basah yang ia bawa.

Shall we?” tanya pria dengan tinggi 187 sentimeter itu kepada pria yang kini sudah berada di hadapannya.

“Pelan-pelan ya, takut.” pinta Arka yang sudah memeluk pinggang Saka yang sudah tidak berbusana. “Tapi, Ka, aku ngga punya lube.” jujurnya.

I will lick that spot, anyway. Just enjoy it.” kata Saka, dan pria itu tidak berbohong ketika mengatakannya.

Setelah kalimat tersebut ruangan tersebut menjadi saksi bisu tautan mereka berdua, dengan desahan-desahan saling memanggil nama satu dan lainnya, serta bunyi nyaring antara kulit basah menjadi backsound mereka malam itu. Hingga mereka lelah dan terlelap dengan saling mendekap.

Be with someone who gives you butterflies, makes you smile and makes you feel horny. Every single day. — Unknown.

The Answer

tw: Kissing, Cuddling, Hmm hmmm..
💟 MinWon AU Oneday Fin

Wonwoo terkejut ketika tangan kekar memeluk pinggangnya dari belakang, tangan pria yang sudah sebulan ini selalu menemaninya, baik di telepon, video call atau langsung seperti saat ini.

Tadi, Wonwoo sengaja memunggungi pria itu karena ia berniat untuk menjawab pertanyaan sang asisten dosen Hukum Agama yang sudah ia sukai diam-diam semenjak semester awal berlangsung.

“Kak?” tanya Wonwoo, takut saja kalau ternyata yang memeluknya bukan pria yang sebulan lalu dia kirimi imess.

“Hmm?” oh, Wonwoo mengelus dadanya lega. Tapi, kupu-kupu di perutnya tetap menggeletik, pipinya merona kemerahan, ia malu, namun, senang. Ia suka, rasanya ingin terbang.

“Tanya dong! Masa nanyanya di imess?” ucapnya manja.

Would you be mine?” tanya sang asisten dosen itu, sengaja menjahili Wonwoo yang sudah sebulan ini sudah menggantungkan jawabannya, walaupun Mingyu sangat tahu Wonwoo tak akan menolaknya. Pria yang dipeluk tertawa geli, Mingyupun ikut tersenyum mendengarnya.

Tak butuh waktu lama, Wonwoo membalikkan badannya, menemukan pria berotot dengan tubuh yang lebih besar, dan tampan darinya yang selalu membuat Wonwoo menyebut nama Tuhannya, seperti saat ini ‘Astaghfirullah, ganteng banget!!’

‘Ya Allah, ini yang meluk Kak Mingyu. Jodohku, maunyaku dirimu.’ ucapnya dalam hati, sembari melihat manik elang pria yang berada dihadapannya.

‘Kalau pria ini bukan jodohku, jodohkanlah ya Allah, serius aku maksa. Huhu.’

“Hey, kok bengong?” tanya Mingyu, membuka beanie yang Wonwoo gunakan dan mengelus surainya.

“Kamu ganteng banget, aku selalu terpana.” aku Wonwoo jujur. “Inget ngga Kak, pertama kali kita ngobrol?” tanya pria manis itu, Mingyu menjawab dengan anggukan.

“Aku nyuruh kamu untuk ngga senyum pas on cam, jujur, jantung aku hampir meledak liat kamu senyum.” cerita Wonwoo, Mingyu tersenyum lagi. “Ngga nyangka kamu bisa ada di sini, meluk aku.” lanjutnya, tersenyum penuh kemenangan.

“Tau ngga kenapa aku senyum waktu itu?” tanya Mingyu.

“Kenapa?” tanya Wonwoo balik.

“Karena aku secara ngga sengaja, untuk kesekian kalinya nge-gap-in kamu makan, terus pipi kamu gede sebelah.” Mingyu menyubit pipi pria yang ada di hadapannya. “Gemes banget pengen aku gigit.” dan ya kali ini Mingyu benar-benar menggigit pipi kiri pria yang membuatnya gemas setiap kali mengajar daring.

“Sakiiiiittt, Kaaaaakkk!!” omel Wonwoo.

“Maaf, kamu gemes bgt.” kata Mingyu sembari mengelus pipi yang tadi ia gigit dan menciumnya.

“Kesekian kalinya?” tanya Wonwoo, sembari melingkarkan satu tangannya di leher Mingyu.

“Iya, sering banget aku nangkep kamu lagi makan di kelas Hukum Agama dari awal semester.” jawab Mingyu. “Aku perhatiin aja, lama-lama gemes. Kalau kamu ngga chat aku waktu itu, aku tetep akan manggil kamu kok.” lanjutnya.

“Yang makan di kelas ngga cuma aku lho!” protes Wonwoo. “Lagian, kamu tau nomer aku dari mana?” tanyanya lagi menantang.

“Memang banyak, Soonyoung, Jihoon, Jun, Nana, Eunbi, tapi, cuma kamu yang lucu dan gemesin.” jawab Mingyu.

“Pas kamu chat aku emang belum save nomer kamu, tapi kamu pernah chat aku bilang ‘Kak, maaf ya. Aku ngga bisa ngumpulin tugas on time internetku mati. Eh iya, ini Wonwoo FH 2019 kelas A’. Inget ngga?” tanya Mingyu.

Ah, ternyata begitu. Wonwoo menggelengkan kepalanya, dia melupakan hal itu. Pantas saja namanya langsung dipanggil oleh asisten dosen ini saat dia chat hal sederhana seperti itu. Menurut Wonwoo hal itu sederhana memang.

“Lupa kan kamu? Aku inget, inget banget dan ternyata chat itu masihbada di room imess.” lanjut Mingyu mengecup hidung bangir Wonwoo. “Terima kasih ya, udah chat aku duluan, at least aku bisa sampe di sini hari ini, meluk kamu.” kata Mingyu sembari menarik tubuh Wonwoo untuk semakin mendekat. “Mempermudah jalanku ke kamu.” katanya lagi, dengan nada pelan.

“Jadi, gimana?” tanya Mingyu lagi dengan suara baritone-nya yang selalu membuat Wonwoo merinding dan mengecup kening pria manis di hadapannya.

Wonwoo mendongakkan wajahnya untuk menatap manik pria yang mendekapnya, mengelus lembut pipi kiri Mingyu dengan ibu jari sembari tersenyum manis, dan mengikis jarak diantara mereka berdua. Mingyu memajukan wajahnya, meraih bibir tipis Wonwoo dengan miliknya dan mencium ranum merah muda pria yang ada di dalam pelukannya. Darah Wonwoo yang berdesir, ditambah dengan jantung Mingyu yang berdegup tak kalah kencang. Insan yang dilanda asmara itupun saling memagut mesra tanpa menuntut, hanya ingin menikmati malam ini dengan pelukan dan ciuman yang romantis. Kelonan kalau kata Wonwoo. Niat awalnya.

Pria berbaju tidur lengkap berwarna putih itu melepaskan tautannya perlahan, menjawab pertanyaan Mingyu dengan senyum dan nafas yang sedikit tersenggal “Hell yes, Kak Mingyu. Aku mau banget jadi punya kamu satu-satunya.” jawab Wonwoo.

Pria yang akhirnya selama sebulan ini mendapatkan jawaban itu tersenyum manis dan berbisik, “I love you, Wonwoo.”

“Hehe, I love you too, Kak Mingyu.” jawab Wonwoo.

Merekapun melanjutkan ciuman yang lama-kelamaan terasa kian menuntut, lidah Mingyu yang perlahan mulai memasuki mulut hangat Wonwoo, dengan milik pria itu yang mengikuti irama sang kekasih, saling bermain di dalam sana, hingga saling mengaitkan benda tak bertulang itu. Lenguhan-lenguhan kecil yang lepas dari mulut mereka berdua terdengar di kamar utama. Dan biarlah sepasang kekasih baru yang sedang dilanda kasmaran itu yang tahu apa yang terjadi di sisa malam ini.

From the first moment that we touched, your arms felt like home. – John Mark Green.

BREAKING THE TIES

Tepat pukul 6 sore, seperti waktu yang ia janjikan kepada sepupu lelaki tertuanya, Andrian. Kini Nisaka Mingyu Putradinata sedang menghafalkan beberapa kalimat pada kertas yang sedari tadi ia sentuh. Andrian sudah heboh menghubungi Dyah yang bekerja sebagai personal assistant Saka dan menanyakan keberadaan adik sepupunya itu. Sedangkan saat ini, Dyah telah sibuk mendengarkan setiap kalimat yang Saka ucapkan hingga ia sendiri sudah hafal isinya.

“Kalau kaya gitu nadanya meyakinkan ngga?” tanya Nisaka kepada Dyah setelah usai membaca segala rangkaian huruf yang ada di kertas dalam genggamannya.

“Coba pas membatalkan kerja sama-nya agak lebih tegas sedikit, jadi bapak nih ceritanya udah yakin banget nih.” kata Dyah, Saka mengangguk dan mengulang beberapa kalimat hingga Dyah mengacungi jempol tanda puas.

“Okay. Udah siap nih, pak?” kata Dyah dengan percaya diri. Tak lama, Andrian sudah mengetuk pintu ruangan dan menerabas masuk tepat saat Saka mengatakan ‘silahkan masuk’.

“Apaan nih, Sak?” tanya Andrian, langsung menodong pria tinggi yang akan menjadi pemeran utama malam ini.

“Gue cuma butuh lo di deket gue, at least, sebagai mental support guelah.” jelas Saka, Dyah pamitan keluar dan membiarkan kedua sepupu itu memiliki privacy mereka.

“Ya context dong! Lo ngajak gue ke sini aja udah aneh!” dumel Andrian.

“Hmm, awalnya gue ngga mau lo tau dulu sebelum presscon, tapi daripada lo jadi keong, better gue share sekarang.” Andrian hanya mengangguk.

“Nyokap gue — selingkuh.” kata Saka, sedikita ada jeda di sana karena tampak sedikit ragu.

“Tante? No hell way!” kata Andrian, pria yang umurnya lebih tua itu tertawa. “With who? Lo yakin? Ada bukti?” tanya Andrian bertubi-tubi tanda tak percaya. Itupun yang terjadi pada Saka saat ayahnya memberitahukan berita tersebut, tapi kenyataan foto-foto yang diberikan padanya selalu mengembalikan sanggahan Saka ke realita bahwa ibunya sudah memiliki pria idaman lain selama 3 tahun, itu yang ia ketahui.

Saka segera mengambil salah satu foto mamanya dan sang kekasih dari salah satu saku di dalam kemejanya, entah mengapa ia bawa, mungkin fungsinya untuk ini. Pria yang lebih muda itu segera memberikan foto yang berada digenggamannya kepada sang pria yang lebih tua.

Sudah Saka duga, Andrian akan membuka lebar mulutnya kemudian menutup mulutnya itu dengan salah satu tangan, matanya bergerak ribut ke arah foto lalu ke Saka dan seperti itu untuk beberapa saat.

“Lo yakin ini bukan photoshop?” tanya Andrian setelah tenang.

“Gini-gini gue percaya bokap sama Om Jeonny.” jawabnya, setelah mendengar nama Om Jeonny, Andrian segera menepuk pundak Saka dan mengangguk.

“Gue percaya. Apapun yang lo lakuin hari ini, pasti yang terbaik. Gue masih speechless.” kata Andrian.

“Doain gue.” pinta Saka.

Tak lama Dyah datang dan meminta untuk Saka segera ke tempat pertemuan pers untuk menunggu di dekat hall yang sudah mereka sewa karena sebentar lagi press conference akan segera dimulai.

***

Saka sudah berada di belakang panggung, merapihkan jas dan dasinya, bersiap untuk menaiki panggung, namun sebelumnya moderator akan membuka acara terlebih dahulu.

“Selamat siang dan salam sejahtera rekan-rekan semua, saya Ayulia Ningtyas selaku PR dari Adi-Bumi Corporation sebagai moderator selama konferensi pers ini berlangsung. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan awak media yang sudah meluangkan waktunya pada malam ini pukul 19.00 waktu Indonesia Barat untuk hadir di Press Conference tertutup yang dilaksanakan di Jakarta Convention Center. Kemudian, untuk teman-teman media yang ingin bertanya, pertanyaan dapat ditanyakan pada sesi akhir nanti.” wanita yang biasa dipanggil Ayu itu berhenti sejenak.

“Kepada Pak Nisaka Mingyu Putradinata selaku perwakilan dari Founder Adi-Bumi Corporation silahkan untuk memasuki stage.” lanjutnya.

Nisaka yang hari ini sudah sangat siap terlihat dari gayanya berjalan dengan menggunakan setelan jas terbaiknya, tatanan rambut yang sudah rapih agar terlihat sangat meyakinkan di depan para teman-teman media, menaiki panggung sesuai arahan Ayu dengan sangat percaya diri. CEO dari Avays Hotel dan calon CEO Adi-Bumi Corporation itu dengan tampan dan gagahnya menaiki panggung dan berdiri di belakang meja yang sudah dipenuhi oleh microphone dari beberapa media yang sudah hadir di ruangan tersebut. Pria itu kemudian menundukkan badannya, tanda hormat serta terima kasih kepada para undangan yang hadir malam ini di hall yang cukup besar di salah satu ruangan yang terdapat di Jakarta Convention Center.

“Waktu dan tempat kami persilahkan.” lanjut Ayu yang menjadi moderator press converence tersebut.

Nisaka membersihkan tenggorokannya perlahan, “Pertama saya selaku perwakilan dari Adi-Bumi Corporation, di sini akan mengklarifikasi tentang adanya rumor yang tersebar dikhalayak umum terkait dengan berita yang mengatakan tentang adanya keterkaitan perselingkuhan antara Menteri Luar Negeri Kabinet Indonesia Merdeka dengan salah satu dari keluarga Putradinata, hal tersebut belum terbukti kebenarannya hingga tidak dapat kami beritahukan secara terperinci dan meminta kepada teman-teman media untuk tidak berspekulasi lebih terkait hal tersebut.” katanya dengan nada tegas yang sangat berwibawa. Flash camera sudah sibuk membidik gambarnya dari segala arah.

Anak tunggal dari Aditya Bumi Putradinata itu kemudian melanjutkan bicaranya, “Kemudian, saya menyudahi ikatan pertunangan dengan salah satu keluarga Bintoro Soemarto.” Awak media yang hadir kemudian mulai berbisik-bisik ribut dan penasaran dengan keputusan yang sudah diambil oleh keluarga Putradinata, pernikahan tersebut sudah diperkirakan dan diagung-agungkan akan menjadi pernikahan akbar tahun ini, setelah pernikahan Andrian.

Nisaka berdeham untuk membersihkan kerongkongannya yang terasa kering, dan masih akan melanjutkan informasi terakhir yang harus ia sampaikan kepada puluhan media yang sudah berada di sana.

“Untuk pengumuman yang akan saya sampaikan malam hari ini, yang terakhir adalah, pemutusan kerja sama antara Adi-Bumi Corporation dengan PT. Angkasa Cipta Soemarto dalam bidang usaha apapun, hal tersebut juga telah disetujui oleh kedua belah pihak. Keputusan ini sudah kami pikirkan matang-matang. Sehingga, pada hari ini 14 Agustus 2024, Adi-Bumi Corporation tidak ada hubungan apapun dengan PT. Angkasa Cipta Soemarto, baik perihal kerja sama maupun pernikahan.” lanjut Saka dengan suara baritone-nya yang lantang dan bersih.

“Sekian statement dari saya selaku perwakilan Adi-Bumi Corporation, untuk sesi selanjutnya adalah tanya jawab, silahkan untuk Ayulia untuk mengambil alih. Terima kasih.” ucapnya, membungkuk sedikit lama dan tersenyum kepada Ayulia untuk segera melanjutkan sesi berikutnya.

30 menit berlalu untuk sesi tanya jawab perihal penuturan yang disampaikan oleh CEO muda itu dan Ayulia pun menutup press conference tersebut.

Saka turun dari panggung dan menghampiri Andrian serta Dyah yang memang menunggunya di sudut panggung.

“Dyah, jangan angkat telepon atau balas pesan apapun dari Bu Bumi dan Bian. Sementara ini saya tidak membutuhkan ini.” kata Saka memberikan ponselnya pada sang asisten pribadi.

“Hubungi saya di nomor satunya lagi, beritahu Om Jeonny dan Pak Bumi.” lanjutnya. “Dan Andrian.” katanya menunjuk sepupunya. Dyah mengangguk mengerti.

“Sampai kapan, Pak?” tanya Dyah.

“Sampai Pak Bumi selesai memproses perceraian.” jawab Nisaka, berjalan di depan kedua orang yang masih terlihat membeku.

“Kamu tahu yang ini Dyah?” tanya Andrian dan dibalas gelengan oleh wanita yang ditanya.

“Untuk yang itu saya baru tahu, Pak.” jawabnya. Andrian segera berlari mengejar sepupunya, menghentikan jalan pria tinggi itu dengan menepuk bahunya.

“Lo serius?” tanya Andrian ketika Saka menghentikan langkahnya, pria yang ditanya hanya mengendikkan bahunya dan meninggalkan Andrian lagi.