I WILL FOLLOW YOU
TW: angst, major character death, hallucination, dreams, suicide, frustration, kissing scene, tears, self harm.
Wonwoo terbangun dari tidur malamnya setelah mengirim pesan panjang kepada pria yang selalu ia panggil “Bby Guyu” dengan mata yang sembab, tak dapat dipungkiri bahwa pria berkulit putih dan bersuarai hitam itu menangis sebelum tidur atau bahkan dalam tidurnya. Sama seperti hari-hari yang sudah ia lewati setiap malam sendiri selama 3 tahun belakangan ini, ia akan terduduk, menyenderkan tubuhnya di headboard tempat tidur dan termenung di dalam ruangan gelap, tidak tertarik untuk menyalakan lampu ruang tidurnya, walaupun hanya secercah cahaya dari lampu tidur di atas nakas sebelah tempatnya kini sedang terduduk dan mendongakkan wajahnya ke langit-langit kamar berwarna putih pucat, tanpa hiasan.
“Bby, besok 3 tahun kamu pergi ninggalin aku. Time flies, indeed.” Katanya tersenyum pilu. “Padahal, aku selalu kamu tinggal sendirian kalau kamu lagi nugas. Tapi, aku tahu kamu akan pulang ke rumah, coba kamu liat sekarang, rumah kosong, sayang, aku juga.” Lanjutnya sembari menatap tempat kosong yang biasa diisi oleh tubuh bongsor milik Bby Guyu-nya, dan menepuk bantalnya itu perlahan.
“Kamu liatkan, Bby, aku selemah itu tanpa ada kamu di samping aku? Aku bisa apa coba tanpa kamu? Nangis sepanjang malem, Bby. Ngga bisa tidur, aku ngga mau ketemu orang.” Katanya bermonolog, memeluk bantal yang biasa kekasihnya gunakan. “Cuma ada Eissa, Cimol dan Kwannie yang masih mau nemenin aku setiap hari secara bergantian.” Katanya lagi, semakin memeluk erat bantal itu dan menghirup sisa wanginya.
“Bahkan wangi tubuh kamu udah hilang ya, tinggal parfum kamu yang selalu aku beli setiap habis, supaya aku ngga pernah lupa kamu.” Katanya setelah menghirup benda empuk persegi panjang berisi kapuk itu dan kembali menangisi kekasihnya.
“Aku harus apa, Bby? What should I do for tomorrow, pas bangun aku masih ngga bisa denger suara kamu? Aku sama sekali ngga bisa liat wajah kamu.” isaknya, pertanyaan yang selalu ia ucapkan setiap hari tanpa absen sejak saat itu kepada angin dengan harapan Mingyu yang sudah tiada masih mampu mendengarnya. Wonwoo kembali menangis hingga kembali tertidur karena terlalu lelah.
“Breaking News, Pesawat Emirates Indonesia Boeing 777 – 417 ER dengan penerbangan dari Bandar Udara Internasional Brajas Madrid menuju Seokarno Hatta, hilang kontak —”
Wonwoo terbangun dari tidurnya, keringat dingin membasahi seluruh tubuh dan wajahnya. Mimpi itu lagi, mimpi yang selalu mengganggu tidurnya, suara berita yang memekakan telinganya, membisukan indera wicaranya dan nyaris menghentikan debaran jantungnya. Mimpi yang selalu terasa nyata, melihat dirinya di sana yang sedang menangis dan menunggu kabar terbaru dengan rasa was-was yang luar biasa, rasa takut yang tak pernah pergi, perasaan bersalah yang selalu mengantui. Tak terasa air mata sudah mengalir deras tanpa meminta izinnya lagi pagi ini dan lagi-lagi membasahi pipinya. Pria itu masih terdiam di atas tempat tidurnya, memeluk kedua lututnya yang terlipat di depan dada, menenggelamkan wajahnya di sana.
“Nunu, bangun sayang. Aku udah siapin sarapan lho! Yuk! Aku gendong yaaaa?” suara baritone pria yang selalu menjadi obat penenangnya. Pria yang dipanggil Nunu itu hanya tersenyum merentangkan tangannya, meminta pria yang membangunkannya untuk menggendongnya.
“Manjanya, calon suami siapa?” tanya pria itu, mengecup jidat pria yang semakin hari semakin kurus itu, kemudian, mencium kedua matanya yang bengkak karena menangis, lalu kecupan itu turun ke kedua pipinya, pria tampan itu menempelkan ujung hidung mereka. “I love you.” ucap pria itu menyunggingkan senyumnya. Wonwoo membalas senyuman itu, saat ia ingin membuka suara untuk memberitahukan pria itu perasaannya, cahaya matahari yang mengintip dari gorden jendela di kamarnya. Hari sudah kembali terang, menyadarkannya bahwa suara yang ia dengar hanyalah halusinasi. Suara yang tidak akan pernah ia dengar lagi.
Wonwoo bangun dari tempat tidurnya, berjalan pelan ke arah dapur, kerongkongan yang kering akibat menangis. Ia melihat sosok pria di mimpinya sedang berdiri di dapur dengan nuansa minimalis putih itu, sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka, sama dengan hal yang biasa Mingyu lakukan ketika libur bekerja, memperlakukan Wonwoo bak putra mahkota.
“Good Morning, Fiancé.” tanya pria di dapur yang kini terlihat hanya menggunakan t-shirt tanpa lengan berwarna hitam dan celana boxer briefs abu-abu tua yang pas di tubuh bagian bawah milik pilot itu, memamerkan otot pahanya.
“Morning, Guyu. Kamu lagi bikin sarapan ya? Bikin apa?” tanya Wonwoo dengan suara seraknya berjalan ke arah dapur dan menghampiri pria itu, memeluk tubuh athletic berwarna cokelat tan, mengecup bahunya, lalu mengalihkan tubuhnya dan mengambil gelas, menuangkan air mineral, lalu menenggaknya habis.
“Minumnya pelan-pelan, sayang, nanti kamu keselek lho.” pinta Mingyu, pria itu memeluk pinggang Wonwoo dari belakang, mencium tengkuk dan bahu Wonwoo secara bergantian sembari membisikkan kata-kata cinta yang selalu ia lakukan. Menggoyangkan tubuh Wonwoo bersama dengan tubuh kekarnya.
“Yang, kalau aku pergi sekarang, kamu masih mau meluk aku kaya gini ngga?” tanya Wonwoo memecahkan keheningan di antara pelukan mereka berdua.
“Jangan ya?” jawab Mingyu membalikkan tubuh Wonwoo untuk menatapnya. “Liat aku!” pinta pria itu.
“Kenapa mata kamu sayu?” tanya Wonwoo.
“Aku sedih kamu kaya gini, sayang. Kamu kurus banget, kamu ngga ngapa-ngapain cuma di rumah, aku khawatir kamu kenapa-napa, aku ngga mau kamu kenapa-napa. Sadar ya, Nu. Keluar, sayang, di luar langitnya bagus.” pintanya. Wonwoo menggelengkan kepalanya ribut.
“Ngga ada kamu di luar, Guyu!” balas Wonwoo dengan suara cicitannya.
“Aku selalu ada, sayang, di sini sama kamu.” kata pria itu menyentuh dada kiri Wonwoo. “Di sini, jadi tato kamu.” lanjutnya.
“Di sini, di kepala kamu isinya aku semua. Aku ada di mana aja, Nu. Selalu nemenin kamu, kamu ngga pernah sendiri karena ada aku. Aku janji nemenin kamu selamanya, dan I'll do that. Aku akan berusaha menepati semua janji aku seperti biasa, aku Mingyu, sayang. Guyunya Nunu.” kata Mingyu lagi mengelus pipi mulus Wonwoo, air mata turun dari kedua manik elang pria itu, tak kalah pilu, air mata juga jatuh dari manik rubah milik Wonwoo. Mereka menangis bersama, Wonwoo terisak tak dapat menahan rasa sedih akan kehilangan sosok pria yang selama ini ia sayangi, yang kini ia lihat berada di hadapannya, terasa sangat nyata.
Pria yang lebih tinggi dari Wonwoo itu mendorong tengkuk Wonwoo, agar mendekati wajahnya, “I will always love you wherever I am, Nu, karena Mingyu hanya untuk Wonwoo.” bisiknya, kemudian menyatukan kedua bilah bibir mereka dan saling mencium, seakan melepas rasa rindu yang selama ini mereka pendam dan mendekap.
“I love you too, Guyu, dan kamu tahu itu, sangat.” kata Wonwoo setelah melepas ciuman mereka. “Karena Wonwoo hanya diciptakan untuk Mingyu.” balasnya, Mingyu tersenyum dan mengecup seluruh wajah Wonwoo dengan penuh sayang, satu kecupan terakhir diberikan pria itu pada bibir ranum Wonwoo, lalu menghilang, semua itu hanya bayangannya.
Wonwoo menangis histeris di dapur pagi ini, sama dengan tangisan lainnya, namun, kali ini seperti seribu belati menghantam jantungnya, dadanya yang sakit seakan minta berhenti untuk berdetak, napasnya tersenggal seolah meminta untuk tak lagi berhembus, tubuhnya remuk seakan beban seratus kwintal menimpa dan memintanya seolah menerima saja karena ia pantas mendapatkan ini semua.
“Won?” pria tinggi berbadan ramping mengetuk pintu depan apartemen Wonwoo, sudah 30 menit ia berada di luar dan tak ada siapapun membukakan pintu, bahkan ponsel Wonwoo tak aktif. Apartemen yang terlihat seperti tak berpenghuni itu semakin sepi rasanya, tampak seperti tak ada orang di dalamnya. “Won? Ini Eissa, lo pergi?” masih usaha mengetuk pintunya.
“Kwan, lo yakin dia ngga pergi?” tanya Eissa di sambungan teleponnya saat nada dering 3 kali berbunyi, langsung di sambut dengan suara hangat Kwannie, sahabat Wonwoo dan dirinya.
“Harusnya di dalem, kenapa?” tanya Kwannie, nadanya mulai terdengar khawatir.
“Ngga ada yang bukain pintu, gue udah setengah jam di luar. Lo tau password apartnya kan?” tanya Eissa.
“Tau, tapi gue ngga boleh nyelonong masuk.” kata Kwannie.
“Lo inget tahun lalu, kita nemuin dia nyayat tangannya, nadinya hampir putus, untung lo sama Cimol langsung nyelonong masuk dan nyawa dia terselamatkan. Kebayang—” Eissa menghentikan kalimatnya. “Gue bahkan ngga mau bayanginnya.” lanjutnya.
“Sorry, soalnya abis itu dia sama sekali ngga mau ngomong sama gue sebulan. Gue takut.” jawab Kwannie membertahukan alasannya. “Dia butuh kita, Eissa.” lanjut pria dengan wajah sedikit bundar di seberang telepon itu.
“Justru itu, gue dateng ke sini, karena mau lunch sama dia. Come on! Pintu!” kata Eissa tak sabaran.
“06041707, jangan bilang gue yang ngasih tau.” Eissa segera membuka pintu tanpa menjawab kalimat Kwannie, ia langsung menerobos masuk, tidak mematikan sambungannya dan segera meneriaki nama Wonwoo berkali-kali.
“Nu? Nuuu! Nuuuu??” panggil Eissa.
“Kamar, lo coba cari di kamarnya!” kata Kwannie, semakin panik.
“Ngga ada!” jawabnya. “Balkon kosong, tapi kebuka. Di bawah ngga ada apa-apa.” Kwannie terdengar bernafas lega.
“Kamar mandi?” Kwannie bertanya.
“Dapur kosong! Kamar mandi kosong, apartnya kosong, anjing!” omel Eissa.
Tinu ninu ninu suara ambulans memekakan telinga.
“Suara berisik apa?” tanya Kwannie.
“Ambulance? Weird. Siang-siang ada ambulance.” kata Eissa masih disambungan telepon dengan Kwannie dan melihat ke bawah dari balkon apartemen Wonwoo di lantai 17. “Bentar, gue keluar dulu, sekalian nyari Wonwoo.” lanjut Eissa, menggunakan sendal Wonwoo asal dan keluar rumah yang sudah Wonwoo tinggali bersama Mingyu bertahun-tahun itu.
“Ada yang bunuh diri?” tanya salah satu ibu-ibu di sebelah Eissa.
“Bunuh diri?” tanya Eissa kepada ibu itu, perasaannya sudah tidak enak.
“BUNUH DIRI?” perasaan Kwannie sama gelisahnya dari ujung telepon itu, nadanya meninggi.
“Katanya di rooftop.” tanpa berpikir panjang, Eissa segera berlari ke lift, dan menuju atap datar yang ada di gedung ini.
Pintu menuju rooftop dibatasi dengan police yellow line, tanda tidak boleh ada seorangpun yang masuk karena terdapat suatu kejadian yang tidak menyenangkan, seperti tindakan kriminal yang mengakibatkan korban, atau semacamnya.
“Saya mau liat!” kata Eissa kepada salah satu petugas polisi. “Temen saya ilang, Pak!” nada suara Eissa meninggi.
“Korban sedang dievakuasi, Mas.” kata salah satu polisi yang menghalanginya.
“That's okay!” kata Eissa, berjalan memasuki atap datar itu di bawah sinar matahari yang terik.
Pria bernama asli Minghao yang sering dipanggil Eissa itu segera berjalan ke arah gundukan kain putih yang sudah menutupi seluruh tubuh seseorang di atas bankar ambulance berwarna oranye itu, dengan tangan yang gemetaran, ia membuka perlahan kain putih yang sudah berada di hadapannya, berharap orang itu bukanlah orang yang sedang ia cari.
Surai hitam berkulit putih pucat, potongan rambut yang ia kenal, karena ia sempat memotong rambut seseorang minggu lalu dengan hair cut yang sama. Hidung mancung yang ia hapal sudah tidak bernafas, manik rubah tak berkelopak yang tertutup rapat, bibir atas yang tipis dengan bibir bawah yang sedikit plum yang kini sudah berubah ungu kebiruan dan leher jenjang mulus dengan lingkaran ungu kebiruan yang melingkarinya. Ia kenal pria ini, sangat mengenalinya.
“WONWOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!!!” teriakan dan tangisan tak mampu ia tahan lagi, Eissa terlalu mengenal pria yang terbujur kaku itu.
“Saaa!!! Eissa!!!! PLEASE SAAAA!!! JAWAB KENAPA WONWOO????” tanya pria di seberang telepon yang ternyata masih tersambung itu. Kwannie langsung mematikan ponselnya, segera menelepon Jihoon yang biasa dipanggil Cimol, memberikan kabar semampunya dan segera menghidupkan mesin besi beroda empat, membelah kota Jakarta di hari Minggu dengan kecepatan tinggi.
“Wonwoo, Won! Bangun, Nu! Bangun lo ngapain di sini, anjing! Lo harus lunch sama gue. Lo janjikan semalem?!” Eissa menampar pipi pria kaku di hadapannya berkali-kali.
“Apakah Mas adalah kerabatnya?” tanya pria di sampingnya, Eissa mengangguk lesu.
“Saya turut berduka cita, Mas. Kita akan bawa mayat ini ke rumah sakit dan melihat akibat kematiannya terlebih dahulu. Anda bisa ikut kami.” kata salah satu petugas ambulans kepadanya, Eissa hanya mengangguk pasrah.
“Wonwoo! Mana Wonwoo!” Jihoon berlarian ke arah Eissa di lorong ruang mayat.
“Nu!! Mana Nunu!!” begitupun dengan Kwannie yang datang dan segera menemukan Eissa.
“Di dalem.” Eissa masih tak mampu menahan air matanya ketika mereka bertiga sudah bertemu di depan pintu kamar mayat. Mereka berpelukan mengharapkan mendapat kekuatan, mereka bertiga tak sanggup menahan rasa sedih, pedih dan kehilangan seorang sahabat.
Mereka menangis, kemudian menangis lebih keras, berteriak, menyesali keterlambatan mereka yang tak menyadari temannya memberikan banyak pesan untuk segera ingin pergi menyusul kekasihnya.
Mungkin saat ini, Guyu ada di sini, menunggu Nunu segera datang untuk mereka berdua kembali bersama dan bersatu walau di alam yang lain.
“Mulai dari mana?” tanya Jihoon tak sanggup menahan air mata dan rasa sedihnya ketika sudah sampai di apartemen yang sudah benar-benar kosong, tanpa penghuni selama 7 hari ini.
Apartemen yang terasa hangat, biasa diisi dengan gelak tawa, tempat berkumpul dengan sang sahabat, kini hanya tersisa kenangan di setiap sudutnya, hanya hawa dingin yang tersisa. Lantai yang tak pernah lagi ditapaki, ruang tidur yang masih sama seperti terakhir Eissa lihat, gelas kosong yang terdapat di counter kitchen bekas pemiliknya, sofa hitam empuk yang selalu menjadi tempat pemiliknya untuk saling menghangatkan kini terasa sangat dingin. Kedua penghuninya sudah pergi dan tak akan pernah kembali.
“Guys.” Kwannie membuka suara sembari memegang sepucuk surat ketika ia keluar dari kamar sahabat dan kakak kandungnya itu. “Last letter, Nunu.” kata Kwannie dengan suara menahan tangis. Mereka bertiga mulai membuka kertas itu perlahan dan membacanya bergantian.
Dear Eissa, Cimol dan Kwannie
Mungkin saat kalian baca pesan ini, gue udah sama Guyu sekarang, terima kasih untuk 3 tahun yang selalu ngga pernah capek untuk nemenin gue, maaf ya karena gue harus pergi ninggalin kalian dengan cara kaya gini. Saat kalian baca ini gue pasti udah dimarahin sama Guyu, dan kita berbaikan. Hehe.
Eissa cintaku, Makasih makan siangnya setiap hari, lo selalu masakin buat gue, dan selalu enak, gimana kalau lo buka restoran sama Mas Jun? Gue dukung banget. Lo tau gue selalu dukung lo kan? Dimanapun, gue selalu mendoakan yang terbaik buat lo. Baik-baik sama Mas Jun ya, Sa. Jangan lupa ceritain ke anak lo tentang gue nanti.
Cimol sayang, Terima kasih 20 tahun persahabatannya, lo taukan kalau gue ngga ada lo adalah gue yang cuma Nunu tanpa siapa-siapa di hidupnya. Bantuan lo banyak banget sampe gue bahkan ngga bisa nyebutinnya satu-satu, so I'm very thankful for that and sorry to leave you. Gue doain lancar yang sama Kak Nyongnya, semoga saat ngga ada gue, crush lo bisa menggantikan posisi gue. Gue selalu ada sama lo, jangan sedih sendirian ya, Cimol.
Last but not least, adek ipar aku yang ternyata adalah sahabatku, Kwannie, Finally, I can meet your brother, ngebayanginnya aja gue seneng banget, Kwan, kebayang kan? Gue akan menceritakan yang baik-baik tentang lo ke Mingyu, supaya Mingyu bisa kasih banyak duit jajan dan lo bisa puas-puasin makan sushi tei bareng Eissa sama Cimol :) Terima kasih sudah meyakinkan gue yang lemah ini kalau gue ngga salah atas kematian abang lo. Makasih udah setia menemani gue, makasih udah sabar jadi temen gue dan thank you for everything. Salam buat bunda panda di rumah, and tell them I'm okay now and already met your brother, so, don't worry about me anymore.
Untuk kalian bertiga, terima kasih banyak. Gue ngga akan pernah lupain semua kebaikan kalian. See you when I see you, guys. Bahagia selalu ya, sahabat-sahabatku. Maafin gue yang lemah ini dan ngga bisa menunggu waktu yang lebih tepat untuk nyusul Mingyu. Love you, guys. Love you so much <3.
Tangis mereka tak mampu lagi terbendung dan mereka hanya mampu mengucapkan selamat tinggal untuk sahabat terbaik mereka, Wonwoo.
Goodbye our best friends, The world will change day by day, month by month and year to year, but the love and memory of you, shall never pass away.