mnwninlove

Can We? We Can't..


↳ Part of Faling, Fallen


Entah apa yang merasuki pikiran Arkadia Wonwoo, kini pria manis tinggi itu sudah memasuki perkarangan rumah keluarga Putradinata. Sesuai dengan pesan dari Tante Yuna yang secara pribadi memintanya untuk membantu Saka packing karena seminggu ke depan anaknya itu akan berada di negeri Sakura untuk menemui calon tunangannya nanti.

Sama seperti 3 hari belakangan ini, Saka memintanya untuk pulang duluan, bahkan mereka sama sekali tidak berbicara seperti 3 bulan belakangan, mereka hanya berkomunikasi lewat pesan text dan e-mail, membuat Arka merasa tidak dibutuhkan dan sangat marah. Jadi di sinilah dia, di kamar pribadi atasannya.

Kini suitcase yang cukup besar sudah ada di hadapannya. Di Jepang sedang musim panas, sehingga dia mengambil pakaian yang nyaman, dan adem untuk digunakan saat summer. Sudah ada beberapa potong t-shirt dan boxer yang dia masukkan, tak lupa beberapa potong piyama untuk Saka gunakan saat tidur. Arka dibuat terperanjat ketika keluar dari closet Saka dan menemukan pemiliknya sudah berada di depan pintu geser yang memisahkan antara kamar utama dan closet.

“Ngapain kamu di sini?” Tanya Saka dingin.

Packing.” Kata Arka tak kalah dingin, menggeser tubuh besar Saka yang menghalangi jalannya yang sedang membawa beberapa potong baju untuk Saka gunakan dia sana, dan Arka melengos pergi.

Saka mengikuti langkah kaki Arka seperti anak puppy yang tersesat meminta untuk di adopsi.

“Siapa yang suruh?” Tanya Saka, nadanya belum berubah, masih dingin walau tak sedingin tadi.

“Mama kamu.” Kata Arka, keceplosan. Saka terdiam, baru kali ini dia mendengar asisten pribadinya berbahasa informal di hadapannya selama mereka bekerja bersama.

“Kok nurut?” Tanya Saka. Arka masih sibuk dengan koper yang ada di hadapannya.

“Di sana menggunakan sneakers ya? Saya bawakan 2 pasang, cukup?” Kata Arka, tidak mengindahkan pertanyaan Saka, dan kembali berjalan ke tempat outfit Saka berada.

“Arka, what are you doing?” Tanya Saka lagi, Arka masih tidak menghiraukan pria tinggi dan tampan itu.

“Arka, listen!!” Nada Saka meninggi, pria berambut gelap itu meraih lengan Arka hingga dia menghadapnya, kini tubuh mereka sudah sangat dekat, bahkan kini Arka dapat merasakan nafas Saka yang lebih tinggi 5 sentimeter darinya itu berada di atas kepalanya yang sedang menunduk.

“Ngomong, jangan diem aja.” Kata Saka, suaranya memelan. Arka yang sedang meletakkan sneakers putih milik Saka di dada semakin mengeratkan genggamannya, debaran di dada Saka tak kalah kencang.

“Ngomong.” Katanya lagi, kini suaranya lebih lembut, jari telunjuk dan ibu jarinya mengapit dagu Arka, mengangkat wajah putih pucat itu ke hadapannya. Baru kali ini Arka tahu mengapa jantungnya selalu berdegup kencang.

“Ngapain di sini?” Tanyanya. “Ngga harus bantuin kaya gini, Arka.” Kata Saka, Arka menatap manik elang itu dengan berani, mata yang beberapa hari ini selalu mengganggunya, tatapan pria yang mengacuhkannya.

Tatapan mereka bertemu, saling mengabsen wajah masing-masing seakan enggan untuk melepaskannya. Saka tau, hati dia sudah dicuri oleh pria di hadapannya sejak hari pertama mereka bertemu, andai tidak ada nama Bian yang selalu menghantuinya, andai dia bukan Putradinata, andai dia hanya seorang Nisaka Mingyu, dia sangat ingin memiliki pria di hadapannya ini. Arka pun tau diri bahwa dia tidak akan bisa memiliki pria tegap di hadapannya, dia tahu bahwa perasaannya hanya akan dihempas oleh kenyataan dan diinjak oleh sebagian orang, nantinya.

“Arka, jangan gini.” Kata Saka, mengelus rahang pria yang masih terlihat cantik malam ini di bawah lampu ruang bajunya. “Aku takut ngga bisa ngelepasin kamu.” Lanjutnya.

Then, don't.” Kata Arka pelan.

I can't.” Kata Saka, merapihkan surai Arka dengan jemarinya. “Kalau bisa aku akan lari ke kamu saat ini juga. Aku ngga mau kamu kemana-mana, aku ngga mau kenapa-napa dengan keluarga kamu.” Lanjutnya.

“Aku sayang Om Jeon, aku sayang Dhika, aku ngga mau kehilangan kamu.” Lanjutnya. “I want to keep looking at these beautiful eyes.” Saka mengecup kedua kelopak mata Arka dengan penuh sayang.

“Tapi, bapak cuekin saya 4 hari ini, saya harus apa?” Tanya Arka. “Kaget, sedih, sakit.” Katanya lagi, suaranya mencicit, dan matanya mulai berembun. Saka merengkuh pria di hadapannya, memeluknya.

“Maaf, maafin aku.” Katanya. “Aku takut. Maafin aku, harusnya aku ngga se-impulsive itu kemarin.” Katanya, mengecup surai Arka.

“Maaf.” Ucapan maaf yang berkali-kali ia lontarkan. Arka terdiam, menikmati bahu bidang milik pria yang sedang mendekapnya.

“Jangan gitu lagi ya, Pak.” Gumam Arka masih di dalam pelukan Saka. “Saya bingung, saya ngerasa ngga dibutuhin.” Lanjutnya.

“Iya, maaf.” Jawab Saka, melepaskan pelukannya, menatap kembali wajah Arka. “I'm addicted to you, aku pasti selalu butuh kamu.” lanjutnya. Arka tersenyum, menatap lekat wajah itu, lagi. Wajah yang akan dia simpan di dalam ingatannya. Saka mengecup bibir Arka saat ranum itu mengembang indah di sana, mata pria manis itu sedikit membola dan Saka mengecup kening Arka, dalam.

'Aku mau egois kali ini. Aku mau kamu, Arka. Maafin aku.' Gumam Saka dalam hatinya.

'Is it okay to be selfish just this once?' gumam Arka dalam hatinya.

“Terus sekarang kamu mau ngapain?” Tanya Saka.

“Lanjut packing-in baju bapak.” Jawab Arka dengan senyumnya, dan meninggalkan Saka di closet.

Saka kembali mengikutinya, menatap pria yang hilir mudik di hadapannya, merapihkan barang-barang yang akan di bawa olehnya selama 2 minggu ke depan. Hingga menutup koper itu.

“Besok, jangan lupa di gembok ya. Gemboknya sudah di atas koper, nomernya ulang tahun Pak Saka.” Kata Arka, mendirikan kopernya, meletakkan gembok di atasnya dan berbalik, menemukan tubuh tinggi Saka sudah ada di hadapannya.

“Udah puas sekarang?” Tanya Saka sembari tersenyum hingga kedua taringnya mengintip dari balik bibir plum itu, Arka mengangguk puas.

“Semoga ngga ada yang ketinggalan, have a safe flight, Pak.” Kata Arka.

thank you, Arka.” Jawab Saka, pria berkulit sedikit lebih gelap itu semakin mendekatkan dirinya pada Arka, ingin menarik tubuh Arka sampai —

“Nunuuuu—” Yuna membuka pintu kamar, Arka segera mendorong tubuh Saka.

“Eh, Migu? Kamu kapan pulang?” Tanya wanita paruh baya itu ketika menemukan anak semata wayangnya sudah pulang tanpa sepengetahuannya.

“Dari tadi sih, bantuin Arka packing.” Jawabnya.

“Udah beres?” Tanya mamanya ketika melihat koper besar yang ada di belakang Arka.

“Sudah, tante.” Jawab Arka, sedikit canggung.

“Makan malem di sini? Ayah kamu di sini lho!” Arka hanya tersenyum.

“Maaf, tante, mungkin lain kali, saya sudah ada janji makan malam dengan teman.” Bohongnya. 'Jam 9 malam, makan sama siapa?' gumamnya dalam hati.

“Yah, ya sudah.” Kata Yuna tampak kecewa. “Kamu bersih-bersih, turun ke bawah, terus, Makan! Belakangan ini semua makan disisain!” Dumel sang mama.

Saka melihat Arka, menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal karena salah tingkah melihat tatapan tajam dari Arka.

“Mama turun ya.” Kata Yuna pamit, ketika Saka ingin mendekatkan tubuhnya ke Arka lagi, tak lama Yuna kembali masuk. “Arka pulang sendiri?” Tanya Yuna membuka pintu.

“Iya, tante.” Jawab Arka.

Okay, ketemu di bawah ya, Nu.” Kata mama Saka, meninggalkan kamar dan menutup kembali pintunya. Menyisakan Arka dan Saka lagi.

Saka menarik Arka ke daun pintu kamarnya, agar dapat menahan siapapun yang masuk lagi, dan memeluk pria itu erat. “Buat 1 minggu ke depan.” Kata Saka, Arka tersenyum dan mengangguk.

Okay, have fun in Japan.” kata Arka. “Mandi sana, Pak. Jangan lupa makan ya? Saya pulang dulu.” Pamit Saka. “Besok ngga perlu dianter kan sama saya?” Lanjutnya.

“Jangan, nanti aku ngga mau berangkat.” Kata Saka, semakin mengeratkan pelukannya, mencium hidung bangir pria di hadapannya, lagi-lagi Arka hanya tersenyum, entah apa yang ada difikirannya kini.

Okay.” Arka melepaskan pelukan Saka, mencium mole Saka yang ada di pipi kirinya dan berjalan menjauh, mengambil jas yang ia letakkan di tempat tidur dan meninggalkan kamar Saka.

The End of The Day


↳ TW: fluff, Saturdate, kissing. ↳ Part of Faling, Fallen


Arka segera turun, izin sekali lagi dengan sang ayah dan berjalan keluar rumah, pemandangan yang pertama kali disuguhkan Sang Pencipta adalah pria dengan kacamata hitam yang sedang menyilangkan tangannya ke dada, tanpa sengaja memamerkan lengan kekar hasil dari rajinnya ia pergi ke gym yang dilapisi dengan black t-shirt dan celana jeans biru, sedang berbincang dengan kakaknya, sesekali tersenyum karena candaan dengan Dhika menampakkan taring di kanan-kiri jajaran gigi atasnya dan pria itu pula yang sudah 3 bulan ini menjadi boss-nya, Nisaka Mingyu.

“Tuh anaknya keluar.” kata Dhika ketika melihat adik semata wayangnya datang menghampiri mereka berdua dengan instax kuning yang ia kalungkan di dadanya, tampak seperti anak kecil yang siap pergi bertamasya, membuat kedua pria yang lebih dewasa darinya itu gemas.

“Ngga bawa kamera professional, dek?” tanya Dhika menghampiri Arka dan merapihkan rambut sang adik. “Udah mulai gondrong ih, besok potong yuk, trim dikit sama gue.” kata Dhika yang dijawab anggukan manis oleh Arka.

“Katanya Pak Saka dia bawa kamera DSLR?” tanya Arka melihat ke arah atasannya.

“Iya, gue bawa kok sampe lensa tele juga bawa.” kata Nisaka kepada Dhika, setelah melihat tatapan lembut Arka.

“Aku juga bawa Digital Pocket-ku kok.” kata Arka lagi, menepuk tas hitam khusus kamera yang menggantung di bahunya.

“Yasudah, berangkat gih, nanti kesiangan kamunya capek, jangan capek-capek ya, Ucil. Jangan panas-panas dan jajan sembarangan.” Dhika mengelus pucuk kepala adiknya. “Pulang juga jangan malem-malem, kabarin ya kalau ada di mana gitu.” kata Dhika, sembari membukakan pintu untuk adik semata wayangnya.

“Harus ya, Dhik?” tanya Nisaka ketika sudah duduk di kursi pengemudi dan Arka yang sudah duduk di kursi penumpang melalui kaca yang terbuka lebar.

“Harus lah, manusia kesayangan gue di seluruh dunia, harus lo jagain hari ini ya, Sak. Gue titip. Jangan diturunin di jalan, dia ngga hafal Jakarta.” kata Dhika tersenyum kepada sahabatnya itu.

“Hmm, oke.” kata Saka.

“Mas, aku berangkat. Nanti kabarin ya venue sama menu-nya.” kata Arka sebelum Saka melajukan Tesla Model S Plaid berwarna biru miliknya, Dhika mengangguk dan tersenyum.

“Gue jalan, Dhik!” izin Nisaka.

“Yup, hati-hati.” kata Dhika, melihat sedan biru itu menjauh dari pagar rumahnya dan kembali ke dalam, serta bersiap untuk menjemput pujaan hatinya, Jisoo.


Arka dan Nisaka masih hening di dalam sedan dengan interior mewah itu, hanya ada lagu Camped milik RINI yang bersenandung menemani ruangan yang canggung itu.

I can keep on loving you Just let me keep on loving you Tell me what I'm suppose to do Cause I'm all for you

“Kalau di rumah jadi pangeran ya?” tanya Saka, memecah keheningan antara mereka. Arka hanya menganggukkan kepalanya.

'Why are you cute, aku jadi pengen jagain.' gumam Saka dalam hatinya.

“Kamu suka musium?” tanya Nisaka lagi, berusaha mencari topik pembicaraan, karena Arka hanya terdiam.

“Hmm, suka. Kenapa? Are we going there?” tanya Arka, memandang Nisaka dengan tatapan bertanya dan memiringkan kepalanya. Excited.

'Kenapa ada manusia selucu ini? Padahal gue cuma liat sepintas? And why am I late to find you?' gumam Nisaka, ketika melihat ke kanan dan menatap Arka sebentar, tak lama ia menganggukkan kepalanya.

“Emang boleh ya ambil foto di musium?” tanya Arka, merapihkan posisi duduknya, bermain dengan digital camera pocket Leica seri M miliknya, dan melihat-lihat hasil jepretannya di London, sebelum dia pulang ke Indonesia.

“Serius banget, lihat apa?” tanya Nisaka ketika melihat ke arah Arka sesekali.

“Oh, ini. Hasil foto sebelum pulang kemarin, ternyata banyak yang belum dipindahin.” kata Arka, masih memandang kameranya. “Nanti bapak boleh liat, nyetir aja dulu.” katanya lagi.

“Kata Dhika, ada hasil foto kamu di kantor Papa?” tanya Nisaka.

“Di kantor Pak Bumi? Oh iya? Baru denger.” jawab Arka sedikit terkejut. “Kalau di kantor ayah banyak, saya tahu. Tapi kalau di kantor Pak Bima saya belum pernah dengar.” lanjutnya dengan nada suara yang masih sopan, seakan mereka berada di lingkungan kantor.

“Hmmm, kayaknya kamu ngga perlu manggil saya Pak deh kalau di luar urusan kantor.” kata Nisaka.

“Terus?” tanya Arka, dia mendongakkan wajahnya dan menatap wajah Nisaka dari samping. Dari arah ini Arka dapat melihat rahang yang tegas, dagu yang sedikit bulat namun kenyal, dan leher jenjang pria tampan yang duduk di sampingnya.

“Kalau ngobrol santai aja gimana?” tawar Nisaka.

“Ngga mau.” jawab Arka secepat kilat tanpa berfikir, mengalihkan pandangannya ke luar jendela, tak lama lampu lalu lintas itu berubah warna menjadi merah, Nisaka menghentikan mobilnya dan menatap Arka.

Why?” tanya Nisaka menatap wajah Arka yang masih menatap ke luar jendela.

“Anggap saja saya sudah nyaman dengan memanggil anda dengan Pak Saka?” kata Arka.

Alasan tentu saja, Arka tidak ingin ada perasaan yang tercampur antar pria yang ada di sampingnya dengan dirinya. Dia tahu, sangat tahu, akan berbahaya bila ia menuruti permintaan atasannya itu, bukan hanya terjatuh, tidak mentup kemungkinan setelah itu dia akan terluka, sendirian. Bahkan, tidak bisa dipungkiri beberapa minggu terakhir ini berkali-kali Arka hampir terjatuh pada kharisma Nisaka.

'Tidak, tidak boleh lebih dari pekerjaan.' gumamnya. Arka tahu dirinya, sangat hafal dan dia harus bertahan, untuk kebaikan keluarga serta dirinya. Mungkin, itu yang dikhawatirkan oleh kakak dan calon kakak iparnya itu, karena itu mereka tidak bosan mengingatkannya.

Mobil biru itu menyisir Kota Jakarta, menuju tempat tujuannya.

“Ka —” kalimat Nisaka tergantung ketika melihat binar mata dari Arka saat melihat patung gajah yang berada di depan lapangan luas hijau itu dengan bangunan yang sangat besar di belakangnya.

“Nanti saya boleh foto gajahnya? Never seen that before.” kata Arka bersemangat.

Sure, you can. Everything.” suara Nisaka tertekan pada kata pertama dan mengecil di kalimat akhirnya.


Setelah berputar-putar hingga kaki Arka terasa sangat lelah, pria ramping dengan dada lebar itu mencari tempat duduk untuk menunggu Nisaka yang masih bersemangat foto sana-sini di musium penuh sejarah itu, serta Saka menyusuri berbagai tempat di sana. Tak lama, Saka menghampiri pria manis bermanik rubah yang perlahan menggoyahkan perasaannya pada Bian.

“Capek?” tanyanya ketika menemukan pria itu dan duduk di sebelah Arka. Pria yang menggunakan beanie di sampingnya mengangguk yakin, memang benar, dia lelah.

“Saya ngga tau kalau bapak sangat excited untuk hunting foto di sini?” tanya Arka, sembari membuka tutup botol dan memberikan air mineral itu kepada atasannya.

Thanks.” kata Nisaka sembari merebahkan punggungnya ke senderan bangku dan memberikan kamera berat itu pada Arka.

“Kalau kamu mau lihat hasilnya, take a look, it's free.” kata Nisaka. Arka dengan tenangnya menggeser-geser layar touch screen pada kamera Nisaka dan menemukan wajahnya di sana.

“Pak Saka?” panggilnya.

“Gue ngambil foto yang indah doang kok.” kata Saka.

“Hahahaha” Arka menggelakkan tawanya sembari melempar kepalanya ke belakang, bila ayahnya tahu apa yang dia lakukan saat ini di depan atasannya, ayahnya pasti akan menegurnya. “Bener kata Mas Dhika, temen-temennya buaya dan anda salah satu buaya yang jelas ada di depan mata saya.” kata Arka menutup mulutnya dan mengerutkan hidungnya, masih tertawa.

Thanks for the entertainment, Pak Saka. Very entertaining.” kata Arka, berdiri dan berjalan meninggalkan Saka. Saka kesal sebenarnya, karena dia bersungguh-sungguh saat mengatakan itu, malah dianggap gurauan oleh personal assistant-nya.

Berbeda dari Saka, Arka kini sedang mencoba menormalkan debaran jantungnya saat mendengar kalimat santai yang keluar dari bibir ranum milik Saka. Bila boleh jujur, Arka kaget, namun ia senang, dan sedih pada saat yang bersamaan. Perasaannya sungguh bercampur aduk, seandainya tidak ada tembok yang jelas terlihat, mungkin ia akan membiarkannya, tapi tidak saat ini, di mana tembok Berlin terpampang jelas di hadapannya, memintanya untuk bangun dan tersadar.

Nisaka mengikuti langkah kaki Arka, berjalan lebar untuk menyeimbangkan jalannya dengan anak bungsu dari keluarga Rahamardja itu.

“Mau kemana, Arka?” tanyanya.

“Patung Gajah, foto sebentar dan setelah itu kita pulang, Pak Saka.” kata Arka yang masih berjalan, sedikit mendahului Saka.

Lho? Ngga lah, yang namanya hunting foto tuh ngga cuma ke satu tempat, Arka.”

“Mau kemana lagi, Pak?” tanya Arka berhenti hingga Saka hampir menabraknya.

“Ke Taman Suropati, Menteng. Kita naik sepeda, kata orang naik sepeda sore di sana seru.” kata Saka, Arka menatapnya sinis.

“Kalau naik sepeda di sana namanya bukan hunting foto, Pak, tapi jalan sore.” jelas Arka. Arka sedang membangun benteng tak terlihat saat ini.

“Apa salahnya? Kan kita nanti naik sepeda yang bisa digowes berdua, kamu gowes saya foto.” kata Saka.

'Oh itu maksudnya? Hahaha. Mikir apa lo, Arka?' gumam Arka dalam hatinya.

“Oh, kalau itu boleh.” Arka menyetujuinya. Tanpa pria manis itu sadari ada senyum yang mengembang dari bibir Saka.


Sesuai dengan perkataan Saka, kini mereka sudah ada di Taman Suropati, tapi tidak perkataan Saka yang bilang dia akan hunting foto dengan Arka yang akan mengayuh sepedanya. Kenyataannya Saka berasa di depannya sedang mengayuh sepeda sedangkan Arka sibuk mengambill foto dengan pemandangan taman yang sangat hijau. Selain pepohonan juga ada rumah burung merpati dan air mancur kecil yang cantik sebagai penghiasnya.

Berkali-kali ponsel Saka berbunyi, lagi-lagi diacuhkan saat melihat nama seseorang muncul di layarnya, kini mereka sudah duduk di salah satu tempat duduk panjang yang ada di salah satu bagian taman itu.

Arka datang membawa air mineral yang dia beli, karena melihat atasannya yang sudah sangat berkeringat, memandang lurus ke langit jingga yang disuguhkan Sang Pencipta sore ini.

“Langitnya bagus, harusnya kamu foto.” ucap Saka, Arka menurut dan mulai membidik kamera milik boss-nya itu.

Done.” kata Arka santai, melihat kembali hasil-hasilnya.

“Kamu pernah ngerasain hal aneh ngga di saat kamu dekat orang yang baru kamu kenal?” tanya Saka tiba-tiba, Arka terdiam sejenak.

“Contohnya?” Tanya Arka.

“Nyaman, padahal kamu baru kenal, tapi sudah merasa bahwa dia adalah rumah yang tepat.” Jelas Saka. “Dan anehnya, dia malah mendistrak kamu, membuat kamu malah lupa dengan orang yang seharusnya ada dipikiran kamu, saat kamu bersama orang baru itu?” tanyanya lagi.

“Belum pernah sih, Pak. Saya sendiri adalah orang yang rumit, kalau ditambah dengan hubungan rumit, tampaknya saya ngga mungkin bisa menanggungnya.” jawa Arka santai. Bohong tentu saja, Arka memang orang yang rumit, tapi, kini dia berada di pikiran yang rumit pula karena pria yang ada di sampingnya ini. Namun dia tau, dia masih harus bertahan.

“Hmm, dapat dipahami.” kata Saka.

“Yup.” Arka melihat kantung celana jeans Saka, asal suara ringtone yang sama seperti makan malam pertama mereka berasal dari sana.

'He's prince calling.' kata Arka dalam hatinya.

'Bian ini, astaga.' gumam Saka dalam hatinya.

“Sudah malam, kita pulang?” tawar Saka, Arka segera menganggukkan kepalanya dan mereka berjalan beriringan ditemani nada suara telepon itu kembali terdengar.

“Pak, better diangkat saja. Di Jepang sudah hampir jam 10 malam, dan dia pasti khawatir dengan bapak yang hari ini tanpa kabar.” kata Arka. “Saya bukan stalker kok, saya tahu bapak ngga ngasih dia kabar karena handphone itu ngga pernah keluar dari kantong celana bapak hari ini. So yeah, guessing.” jelas Arka dan semuanya terasa masuk akal. Saka masih acuh, berusaha tak mendengarkan asistennya.

Sesampai di mobil, Saka membukakan pintu untuk Arka dan menyentuh kepala pria berkacamata bundar itu agar tidak terpentuk pada saat masuk, tanpa sadar pipi Arka memerah. Tidak ada yang memperlakukannya seperti ini, sebelumnya. Saka segera ke jok belakang, mengambil baju yang sudah ia siapkan sebelumnya.

“Jangan liat ke belakang, bahan addictive.” kata Saka tertawa.

Begitulah manusia semakin dilarang, pasti akan semakin dibuat penasaran, begitupula dengan Arka. Pria manis itu segera menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan Saka yang sedang membuka t-shirt hitam yang ia gunakan sedari siang. Arka segera memalingkan wajahnya dengan pipi yang kian memanas. Badan berbentuk dengan perut kotak-kotak dan dada yang bidang terpampang jelas di hadapannya tadi.

“Hahaha told you, bandel sih.” kata Saka mengejeknya, lalu keluar dari jok belakang dan pindah ke kursi supir. “Ngga nyesel tapikan?” tanya Saka jahil.

Arka masih memalingkan wajahnya dan berkata, “Nyesel, mata saya jadi sudah ternodai.” jawabnya.

“Haha, kepo sih.” kata Saka, masih tertawa. Pria tinggi itu melanjukan mobilnya ke sebuah gedung pencakar langit, Arka terdiam saat Saka sudah membukakan pintu mobil untuknya.

“Hmm?” tanya Arka dalam dehamannya masih dari dalam mobil Tesla itu.

“Hmm? Dinner.” kata Saka santai, seakan tahu apa yang Arka tanyakan.

“Saya ngga mungkin membiarkan anaknya Om Jeonny pulang dengan kelaparan, tentu saja. Yuk!” ajaknya, Arka melihat telapak tangan pria tampan itu berada di hadapannya. Saka menjulurkan tangannya, berharap Arka dapat meraihnya, namun, Arka keluar tanpa menggenggam sedikitpun tangan itu. Arka kembali mendingin.

Please, lead the way.” ajak Arka. Saka berjalan di sampingnya dan mereka terdiam tanpa suara.


Makan malam mereka sudah tersaji cantik di meja, Arka segera mendekatkan pesanannya. Suasana canggung antara mereka kembali, tidak seperti pada saat di Musium Nasional ketika Saka mengambil beberapa foto, lalu memamerkannya pada Arka dan pada saat mereka bersepeda keliling Taman Suropati dengan candaan mereka hingga mereka lelah.

Arka mulai membangun temboknya lagi, dia merasa menyesal karena tadi kelepasan karena perjalanan sore ini sangat menyenangkan, pikirannya bercampur aduk, apalagi ketika endengar nada dering dari ponsel Saka, nada dering yang sama lagi. Kali ini, Saka mengangkat telepon yang masuk.

“Hai.” Sapanya.

“Sama Dhika, iya, bantuin dia nyari venue. — iya, bagus. — Ngga gede deh, nikahannya sederhana. — Iya. — Nikahan dia tuh kamu pulangkan? — Oh belum tahu, oke. — Udah jam 12 kan? Kok masih bangun? — Oh iya, Diaz sama Andrian ngga jadi ikut, akhirnya aku ikut Dhika. — Haha, iseng dia, aku sama dia terus kok. — Sekarang? — Lagi di Avays. — Iseng, sayang. Haha — Yaudah, sana tidur. — Iya. Night.” kata Saka, menutup teleponnya.

Arka? Tentu pria dengan manik secantik manik rubah itu mendengarnya.

“Bian.” katanya ketika Arka masih menatapnya intense. “Kenapa?” tanya Saka.

“Ngga apa-apa, aneh aja.” jawab Arka.

“Apa yang aneh?” tanya Saka.

“Entah apa yang bapak cari untuk kriteria pasangan bapak, tapi, jangan bohongi hati bapak dan orang lain, ngga baik.” kata Arka. “Nanti jadi habbit yang ngga bisa bapak lepasin. Kalau saya tahu bapak bohong, mungkin saya ngga akan percaya bapak.” lanjutnya.

“Sekali ini aja, Pak Saka, jangan ada lain kali.” kata Arka, kembali mengunyah makanannya.

“Kamu ngga akan percaya saya?” tanya Saka, menegaskan dan dibalas gelengan oleh Arka.

Sorry to say this, but, no.” jawabnya setelah makanannya habis ia kunyah. “Saya lebih memilih pria jujur dibandingkan tampan, karena tampan relatif.” lanjut Arka, menyunggingkan senyuman manisnya, Saka langsung terdiam mendengar ucapan Arka dan kembali perasaannya diaduk dengan senyuman pria itu.

Saka jelas memikirkan perkataan Arka sepanjang jalan, karena hanya diam yang ada di mobil itu.


Thanks for today, Pak Saka. Semoga next hunting bisa ditemenin sama teman atau pacarnya.” kata Arka santai sembari melepaskan seatbelt-nya, Sakapun melakukan hal yang sama. “Jadi saya bisa tidur di rumah.” lanjutnya.

Saka merubah posisi duduk Arka menjadi ke samping, dan berhadapan dengannya saat pria itu hendak membuka pintu mobil. Tubuh Arka otomatis mengikuti arahan kedua tangan Saka yang sudah berada di lengannya. Saka menatap lekat wajah Arka dalam-dalam di dalam kegelapan mobil yang berwarna biru itu. Arka masih bingung apa yang akan terjadi, belum terprediksi olehnya.

“Saya ngga pernah ada niat membohongi siapapun, Arka, termasuk kamu atau Bian.” kata Saka, mendekatkan tubuhnya dan menatap lekat bibir plum milik Arka. “Tapi, waktunya masih belum tepat untuk melepaskan Bian lalu ke kamu, dan masalahnya lagi adalah ngga pernah ada waktu yang tepat untuk meninggalkan Bian.” lanjutnya.

“Ini suatu yang rumit di keluarga Putradinata dan kamu ngga akan ngerti. Karena jujur, perasaan saya ini benar-benar menyiksa.” kata Saka lagi, ibu jarinya dengan lembut menyentuh bibir bawah pria yang menggunakan beanie itu. Arka membeku.

Arka memejamkan matanya ketika dia mulai merasakan nafas Saka semakin dekat, Saka menyatukan belah bibir mereka berdua, mengecupnya lembut, entah apa yang merasuki Arka saat ini, pria manis itu terdiam menerimanya, jantungnya berdegup kencang. Namun, tak lama Arka tersadar, matanya membola dan mendorong tubuh Saka.

“Maaf, Pak.” kata Arka dan meninggalkan mobil itu, berlari masuk ke rumahnya tanpa melihat ke belakang. Sedangkan Saka, terdiam membisu merasakan degup jantungnya yang tak kalah cepat, menyentuh bibirnya seakan masih merasakan lembut dan manisnya bibir Arka. Saka melajukan mobilnya, kembali ke realita dimana dia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan seperti ini untuk yang kedua kalinya. Seharusnya, Saka bisa berhenti sampai di sini untuk tidak memperdalam rasanya pada Arka.

We can find a way We can find a way, you know, i'll be here tomorrow Where you go I'll follow We might falter but it don't matter

First Affection


↳ TW: a lil harsh word, fluff ↳ Part of Falling Fallen


Kini Arka dan Baskara sedang mendorong trolly housekeeping yang Arka minta untuk membawa berkas-berkas yang menumpuk. Setelah Baskara meminta anak buahnya untuk merapihkan kembali kamar 3817 — kamar yang khusus milik Nisaka. Sedang sang pemilik kamar sudah izin untuk ke kamarnya duluan, hingga Arka meminta Baskara untuk menemaninya.

“Di lantai ini cuma ada 8 kamar, dan semuanya milik Putradinata, Pak Arka.” kata Baskara membuka suaranya, ketika ia melihat mata Arka yang seperti sedang mengabsen seluruh lantai ini karena merasa asing. Arka baru pertama kali menginjakkan kakinya di sini.

“Hanya orang yang memiliki akses khusus yang bisa mengakses lantai ini, begitupun dengan housekeeping yang khusus disediakan hanya untuk lantai ini.” lanjut Baskara, Arka hanya menganggukkan kepalanya. “Pak Arka juga bisa akses lantai ini kok dengan kartu itu.” kata Baskara lagi menunjuk kartu akses lantai yang tergantung di lehernya sedari pagi.

“Kok nomornya acak ya, Pak?” tanya Arka. Perjalanan ke kamar Nisaka cukup memakan waktu dari lift, karena dari satu pintu ke pintu lainnya berjarak cukup jauh.

“Nomor kesukaan masing-masing si pemilik kamar, 3808 milik Pak Andrian, beliau suka ke sini bersama pacarnya, kadang malah modelnya.” kata Baskara sembari berbisik iseng, mengajaknya menggunjingi sepupu Nisaka itu. “Karena tanggal lahirnya 08 Agustus, jadi dia suka angka 8.” lanjutnya.

“Kamar Pak Bumi yang ini, 3806, 06 adalah tanggal lahir Pak Nisaka. Kalau ini 3833 adalah kamar Adimas Bayu Putradinata, kakaknya Pak Bumi, orang tuanya Pak Andrian.” ceritanya.

“Kalau Pak Saka, kenapa 17?” tanya Arka penasaran.

“Nah, itu rahasia Illahi kalau ditanya ke orangnya juga dia pasti akan jawab 'Ngga tau, suka aja', begitu.” jawab Baskara, Arka hanya menganggukkan kepalanya.

“Kita sudah sampai nih, Pak Arka. Satu-satunya kamar yang tusuk sate, hanya milik Pak Nisaka.” betul kata Baskara, karena kini nomor 3817 tertera di hadapannya.

Arka mencoba untuk mengebel kamar tersebut, namun tak ada jawabannya. Arka sedikit cemas sebenarnya, karena boss-nya tadi terlihat sangat pucat takut kalau pria tinggi itu pingsan di kamarnya.

Pria bermanik rubah itu sudah memesankan makan malam dari Restaurant & Bar Avays untuk Nisaka, namun dia tidak tahu apakah makanan itu sudah sampai atau belum, karena setelah memesan makanan untuk di antar ke kamar ini, dia masih sibuk memindahkan berkas yang kini sudah ada di trolley.

“Coba pakai kartu akses Pak Arka deh, bisa ngga? Biasanya, Pak Jeonny bisa untuk akses kamar Pak Bumi.” jelas Baskara lagi, ketika melihat wajah Arka yang sedikit panik.

Pria tinggi yang melingkarkan jasnya di tangan itu, mencoba memasukkan kartu aksesnya ke lubang kunci yang ada di hadapannya, lampu indikator tersebut berwarna hijau, tandanya kunci dari pintu kamar itu terbuka, Arka menutup mulutnya yang menganga lebar karena terkejut, sama halnya dengan Baskara yang ada di sampingnya.

“Wah, kartu akses Pak Arka harus dijaga ketat, Pak. Jangan sampai jatuh ke tangan yang salah.” kata Baskara mengingatkan Personal Assistant Nisaka itu, Arka segera menggenggam erat benda seperti kartu ATM itu di kepalannya.

'Wah, semakin berat juga jobdesc gue kalau begini ceritanya.' gumamnya.

“Saya antar hanya sampai di sini ya, Pak Arka. Bapak bawa aja trolley-nya, bila sudah selesai nanti simpan di depan pintu, agar bisa diambil oleh anak buah saya atau saya sendiri. Selamat kembali bekerja, Pak Arka.” kata Baskara pamitan dan meninggalkan Arka yang sudah membuka sedikit pintu di hadapannya.

Pria ramping berbadan tegap itu membalikkan badannya, meletakkan jasnya ke atas berkas yang akan dia teliti bersama dengan President Director Avays Hotel itu dan menarik trolley alumunium, dia berjalan mundur hingga pintu kamar itu tertutup dengan sendirinya, dan pria itu mulai memasuki kamar mewah yang berukuran 512 meter persegi yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas, seperti home theatre, sauna, ruang pijat,, gym hingga ruang tamu yang terkoneksi dengan bar dan meja makan.

Bruk, Arka merasakan tubuhnya menabrak tubuh besar dan kokoh seseorang, tanpa ia sadari bila sedari tadi ada pria yang memperhatikannya. Pria yang kini sudah menggunakan bathrobe itu tidak berpindah tempat, membuka suaranya ataupun protes, hanya terdiam karena sedang merasakan dan mengatur degupan jantungnya yang tidak biasa. Arka segera membalikkan badannya dan terkejut karena dihadapkan oleh dagu mulus serta bibir berwarna merah muda di hadapannya, pria berkacamata dengan frame kotak berwarna hitam itu segera menaikkan pandangannya dan menemukan wajah yang sudah ia kenali 3 bulan belakangan ini, Nisaka. Arka segera mundur hingga menabrak trolley yang sedari tadi ia bawa, menggoyangkan alumunium beroda itu, hampir membuatnya dan benda itu oleng.

“Eh, maaf, Pak.” kata Arka menunduk, sembari mengelus pinggangnya yang terkena pinggiran trolley, ingin rasanya ia merutuki kecerobohannya malam ini.

“Ngga apa-apa, tadi saya mau bantuin, tapi kamu seruduk duluan.” kata Nisaka. “Pinggang kamu sakit?” tanyanya ketika melihat Arka sedikit mengaduh lirih dan mengelus pinggangnya sendiri.

Nisaka melangkahkan kakinya mendekat dan melepaskan tangan Arka dari posisinya dan menggantikan dengan tangannya, mengelus pinggang yang tertabrak tadi. Arka membolakan matanya karena terkejut dan masih memproses apa yang terjadi saat ini. Napasnya tercekat, saat ini Arka sedang menahan napasnya karena menerima afeksi Nisaka secara tiba-tiba, rambut halus pada tubuh Arka berdiri dan membuatnya merinding. Arka segera menepis tangan Nisaka di sana.

“Ngga sakit kok, Pak, sudah tidak sakit.” katanya masih menunduk, pipinya terasa memanas entah karena apa.

'What the hell! You touch my waist, dumbass! Sopankah?' rutuknya.

“Okay, biar saya yang bawa trolley ini ke ruang tamu, kamu boleh mandi dulu.” kata Saka dengan santainya, sembari membawa benda persegi panjang tingkat 2 dan beroda itu ke arah ruang tamu di kamar President Suite miliknya, sedangkan Arka masih terpaku di tempatnya.

'Dan lo masih santai?? Waduh! I have to be careful with you kalau gini ceritanya Nisaka Mingyu!' Arka masih memarahi atasannya di dalam hati.

“Handuk, baju ganti, semua ada di dalam. Please make yourself comfortable here, because we've so much to do this night.” kata Nisaka menunjuk ke arah kamar mandi kepada Arka yang masih membatu, dia sedang menenangkan hatinya, sebenarnya. Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi saat ini.

'Saka, just shut up! Gue masih deg-degan anjir! Kok bisa-bisanya hal pertama yang gue liat adalah dagu dan bibir lo? Deket banget! Shit!' amuk Arka dalam hatinya, merutuki apa yang tadi terjadi.

“Mau sampai kapan kamu jadi patung, Arka?” tanya Nisaka padanya yang masih terdiam.

“Saya ngga perlu mandi, Pak.” kata Arka, mengikuti langkah Nisaka ke ruang tamu yang ada di ruangan itu.

You have to, at least abis mandi kamu segeran dan kita bisa beresin berkas-berkas ini. Okay? Nurut deh, saya ngga akan aneh-aneh kok.” kata pria yang masih menggunakan bathrobe hotel berwarna hitam itu. 'Should I trust him?' tanya Arka dalam hatinya.

“Dan saya akan menggunakan baju rumah saya, tenang saja, saya ngga akan kerja menggunakan ini.” kata Nisaka menunjuk kimono handuk yang sedari tadi ia gunakan. “Semakin cepat kamu masuk ke kamar mandi, semakin cepat pula saya pakai baju, Arka.” lanjutnya. Arka segera berjalan cepat ke arah kamar mandi dan mengunci kamar mandi satu-satunya di kamar besar hotel itu, dan segera mandi.

'Hehehe cute.' gumam Nisaka.


Waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi dan kedua pria itu masih merapihkan kertas-kertas tebal itu, serta mempersiapkan kebutuhan yang diminta oleh headquarter untuk keperluan audit Avays Hotel. Arka yang kini sudah menggunakan black t-shirt dan boxer hitam kebesaran milik Nisaka itu menyesap kopi ketiganya, berusaha agar tetap terjaga, sedangkan Nisaka yang kini sudah menggunakan kacamata kotaknya — menambah ketampanannya 100x lipat, hingga Arka tak sanggup untuk melihatnya terlalu sering. 'Hati, kamu bertahanlah' gumam Arka kepada hatinya untuk tetap tenang — sedang mengecek berkas lainnya. Mereka berdua membagi tugas agar pekerjaan ini cepat selesai.

“Udah jam 3 lewat, Arka. Mata kamu sudah sayu gitu, lebih baik kamu tidur.” benar memang apa yang Nisaka lihat, Arka memang sudah mengantuk, tapi dia masih berusaha untuk tetap terjaga karena melihat atasannya masih segar memandangi kertas-kertas A4. Tidak biasanya dia mengantuk seperti ini, biasanya dia bisa tertidur jam 6 pagi karena bermain di komputernya bersama dengan mutual-nya atau membaca buku.

“Masih kuat, Pak. Serius.” kata Arka yang masih melihat berkas yang dijilid, sesekali mengucek matanya. Tak lama pria manis itu menyenderkan tubuhnya ke sofa empuk yang ada di belakangnya, dan Nisaka mendengar dengkuran halus dari bawah berkas yang menutupi wajah pria menggemaskan yang sudah 3 bulan ini membantunya dalam banyak hal di kesehariannya itu.

Nisaka menghampiri anak bungsu dari keluarga Rahamardja yang sudah tertidur lelap dan mengambil kertas tebal dijilid yang menutupi wajah putih bersih nan tampan itu, meletakkannya ke meja dan menyenderkan tubuhnya di samping pria itu dan menetap pria yang perlahan membuka mulutnya dengan lucu. Nisaka hanya memandanginya, entah apa yang kini sedang pria 28 tahun itu bayangkan, yang terdengar hanya degupan jantung dan senyumnya yang mengembang sedikit demi sedikit. Lalu, mengangkat pria yang lebih muda darinya itu ke satu-satunya tempat tidur berukuran king size, meletakkannya dan berjalan kembali ke ruang tamu dan kembali berkutat dengan pekerjaannya, lagi.

Aku, Arka Wonwoo Rahamardja


Introduction 2 — main character

Waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat 30 menit, dan aku Arka Wonwoo sudah siap dengan long-sleeved shirt biru langit yang dibalut oleh suit berwarna navy dengan pattern garis-garis putih samar, dan juga menggunakan dasi yang senada dengan setelan jas yang aku gunakan.

“Udah siap, dek?” suara ayahku terdengar di balik daun pintu kamar yang masih tertutup, aku masih berkaca di depan cermin full body yang sedari dulu memang ada di kamar ini, kamarku kecil.

Yes, I'm ready.” kataku yakin. 'Bissmillah, semoga hari ini adalah hari yang baik untuk memulai minggu ini.' rapalku dalam hati.

Aku keluar kamar, turun kebawah dan menghampiri kedua pria kesayanganku — Ayah dan Mas Dhika — yang sudah berada di meja makan untuk sarapan bersama. Ayah pagi ini membuat pancake dengan butter honey.

“Jam 7 tepat nanti kamu dijemput sama Pak Sugih ya, Arka. Harus manis, jangan galak-galak.” nasihat ayahku, aku hanya mengangguk sembari menyuapi sarapanku.

“Jadi namanya Saka atau Migu?” tanyaku bertanya untuk terakhir kalinya sebelum nanti salah memanggil namanya.

“Tuan muda.” jawab ayahku yakin. Duh, tuan muda itu terkesan seperti Macaulay Culkin di Richie Rich waktu film itu tayang di 1994, karena Culkin juga masih kecil, jadi pantes-pantes saja, nah, kalau si Saka-Saka ini kok terasa ngga pantes untuk pria dewasa seumuran Mas Dhika dipanggil tuan muda.

“Atau apapun, sesuai dengan permintaannya.” lanjut ayahku ketika melihat dahiku yang mengerut, aku segera tersenyum.

“Hayo, Arka first day kerja di Indonesia, harus fokus!” kata Mas Dhika sembari meledekku.

“Ihs, nyebelin!” kataku menatap sinis ke arah Mas Dhika. “Nanti pulangnya gimana, yah? Aku anter pulang juga?” tanyaku.

“Ngga, Pak Sugih jam kerjanya hanya sampai jam 6 sore, kalau kamu pulang lebih dari jam segitu, kamu bisa bareng Mas Dhika atau pulang naik taksi online. Sudah download-kan?” tanya ayahku.

“Udah kok.” jawabku.

“Kalau gitu tenang ya ayahnya, kalau ada apa-apa kamu langsung kabarin ayah.” kata beliau, aku mengangguk yakin.

Tepat jam 7, Pak Sugih sudah menungguku di depan pagar rumah dengan salah satu mobil termewah di-quartal 2 ini, Mercedes-Maybach S 680 berwarna hitam. Aku sempat terkejut melihatnya, mewah sekali hanya untuk berangkat ke kantor saja.


Mobil itu kini sudah memasuki pekarangan rumah yang sangat luas, dan berhenti di depan bangunan bergaya eropa modern dengan pilar berbentuk silinder yang berjumlah dua buah di sebelah kanan dan kiri akses masuk, pilar ini menjulang dari permukaan tanah hingga lantai atas bangunan yang sangat besar itu, membuat bangunan ini terlihat sangat megah, mungkin aku tidak pantas memanggilnya rumah, lebih pantas bila dibilang sebagai istana.

“Tuan Arka, langsung masuk saja ada maid yang akan membantu Tuan Arka bertemu dengan Tuan Muda Saka.” kata pria yang sedari tadi berada di kursi supir, aku hanya mengangguk dan mengikuti sarannya.

Aku berjalan pelan ke pintu kayu besar yang tiba-tiba terbuka, mengagetkanku dan ada seorang wanita paruh baya dengan baju super matching dari kaki hingga ujung kepala yang menggunakan beberapa berlian dan aku yakin dia bukan maid yang disebutkan oleh Pak Sugih. Oh, aku hafal wajah cantik ini, wanita yang selalu ada di sebelah Om Bumi setiap wajahnya muncul di berita nasional, pasti dia adalah tante Yuna. Tante? Hmm, nyonya besar?

“Nyo—” kalimatku langsung dipotong oleh wanita paruh baya semampai itu.

“Tante Yuna, Nunu. Aneh banget, masa kamu tiba-tiba manggil saya nyonya. Ayo masuk, si bandel masih tidur, kamu bangunin ya, Nu.” ajak wanita paruh baya itu untuk masuk dan aku segera mengikutinya, aku lepas sepatuku dan menggantinya dengan home slippers yang tersedia di rak sepatu pintu depan. “Kamar Migu ada di lantai 2, kamu ke kiri, lurus aja yang pintu putih sendiri ya, Nu.” kata perempuan itu yang kini ada di sampingku.

“Iya, Nyo — tante.” kata ku terbata.

“Kamu udah sarapan?” tanya wanita cantik paruh baya itu.

“Sudah, tante.” jawabku, jujur nada suaraku masih sangat kagok, mereka, rumah ini, masih sangat asing untukku.

“Yah, tadinya tante pikir kita mau sarapan bareng. Tapi, ngga apa-apa, next time ya, Nu.” katanya masih dengan nada yang ramah. Aku menunduk dan izin untuk pamit ke kamar dengan pintu kamar berwarna putih yang sedari tadi Tante Yuna sudah tunjukkan jalannya.

Berdiri gugup di depan pintu kamar orang asing, tidak pernah berada dimimpiku. Tak lama kuberanikan diri untuk mengetuk pintu itu, hingga terdengar suara samar seorang pria. Aku buka pintu kamarnya, berjalan perlahan menuju ke tempat tidur luas itu dan menemukan seorang pria topless dengan rambut acak-acakan yang sedang menyandarkan diri di headboard.

“WAAAAAAAAAA!!!! AAAAAAAAA!!!” teriak dengan suara seraknya, literally berteriak seperti menemui hantu.

“Migu? Saka? Tuan muda?” tanyaku memanggil semua nama sebutannya.

Seketika pria itu terdiam dan bertanya, “Siapa lo?” kini kami sudah bertukar tatap, dengan berisik dia menutupi tubuh atasnya yang tadi terbuka tak terbalut apapun.

Your personal assistant?” tanyaku.

“HAH???” tanyanya, nada itu meninggi. Mungkin dia lupa kalau hari ini dia akan berangkat bekerja, setelah mendengar cerita dari Mas Dhika, aku tahu rasanya kenapa pekerjaan ini menjadi tanggung jawab besar yang diberikan Om Bumi ke ayah dan ayah mengamanatkannya padaku.

'Pria pemalas ini benar-benar.' gumamku dalam hati.

“Hey, hey! Apa ini ribut-ribut?” tanya Tante Yuna yang masuk ke kamar dengan masih menggunakan apron bermotif polar bear-nya.

“Siapa itu siapa?” tanya pria yang masih di atas tempat tidurnya berisik ketika melihat mamanya sudah masuk ke dalam kamar.

“Ya Tuhan, mama kira kenapa ih, Nisaka Mingyu! Bikin panik aja!” dumel wanita paruh baya itu. “Ini Arkadia Wonwoo, Arka, Nunu, yang akan jadi asisten pribadi kamu mulai hari ini.” lanjutnya, aku lihat Saka membelalakkan matanya, entah mengapa.

“Pake baju kamu, astaga! Ada Nunu kan, malu.” kata Tante Yuna mendekati dirinya ke tempat tidur dan memukul pelan bahu anak tunggalnya, aku sih hanya melihat saja dari tempatku berdiri. “Kamu siap-siap, Nunu nungguin kamu!” lanjut beliau.

“Saya tunggu di bawah?” tanyaku, dengan nada berbisik yang ku yakin kedua ibu-anak itu dapat mendengarnya.

“Ngga usah, tunggu di sini. Gue ngga pernah ke kantor, lo bantuin gue pilih baju, closet ada di sana.” tunjuknya ke sebuah pintu di sudut ruangan, aku langsung berjalan ke sana dan membukanya.

“Ini hari pertama gue kerja. Pahamkan?” tanya pria itu.

“Maksudnya?” tanyaku.

Dress me up, make me more handsome.” katanya, sembari berjalan ke arah kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

Jujur, kamar ini sangat besar. Kalau kamar Mas Dhika dan aku digabungkan, mungkin masih tersisa banyak. 'Apa ngga capek ya jalan-jalan di dalem kamar?' tanyaku dalam hati.

Aku turuti tuan muda itu, aku pilihkan dia black suit and tie dengan kemeja panjang putih, serta sapu tangan yang akan diletakkan pada kantung jas hitamnya. Hari ini dia akan diperkenalkan kepada seluruh karyawan bukan? Jelas dia harus lebih tampan dari siapapun.

Setelah tuan muda itu keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe putihnya, dia segera mengambil pakaian yang sudah kupilihkan dan aku segera berbalik badan, entah apa yang dia lakukan di belakangku, aku tidak ingin melihatnya. Tak berapa lama, pria dengan tatapan elang yang sudah terlihat jauh lebih tampan itu datang menghampiriku.

“Ayo!” katanya.

“Dasinya?” tanyaku ketika melihat pria itu hanya menggunakan celana bahan dan kemeja yang aku pilihkan.

“Gue ngga bisa pake dasi.” jawabnya. Aku langsung menghampiri pria tinggi berbadan tegap itu, mengambil dasi yang melingkar di tangannya dan dengan sigap membantu menggunakannya.

“Kalau ngga bisa itu bilang, tuan muda. Jangan dicuekin, nanti kapan bisanya?” tanyaku sembari menyimpulkan dasi di lehernya. Pria di hadapanku ini hanya terdiam mematung, seakan pasrah dengan apapun yang akan aku lakukan, mungkin bila aku mencekiknya, dia tidak akan marah.

Well ehem, mulai saat ini pakein gue dasi juga jadi job desc lo.” katanya setelah aku menepuk dasinya, dan menggunakan jasnya sembari berjalan keluar kamar.

'Deuh, tau gitu tadi beneran aku cekek!' omelku dalam hati.

Hello! Gue, Nisaka Mingyu Putradinata


introduction 1 — main character

Tadi siang, akhirnya gue dan Diaz hunting foto sekalian nyobain kamera yang baru gue beli. Berhubung yang lain sibuk kerja, gue akhirnya mutusin buat ngajak siapa aja yang bisa. Bedanya gue sama mereka, buat gue semua hari tuh sama aja—kayak hari-hari lain. Nasib pengangguran. Oops, ralat—bukan pengangguran, lebih tepatnya gue aja yang nggak mau kerja kantoran seperti temen gue yang lainnya.

Gue baru sampai rumah, emang udah sore banget sih. Sepanjang jalan, yang kebayang cuma rebahan di kasur kamar yang dingin sambil nyeruput es jeruk seger buatan Bi Iyem. Rencananya, sampai kamar gue bakal nyalain speaker, dengerin lagu dari band favorit, terus merem bentar. Abis itu, ke studio foto di halaman belakang buat lihat hasil hunting tadi dari kamera analog, plus edit beberapa foto dari kamera digital baru sebelum akhirnya nge-post final-nya di sosial media.

Tapi ya, hidup suka bercanda memang kadang-kadang. Keinginan gue buat santai langsung sirna begitu gue sampai rumah dan ketemu bunda ratu yang bilang kalau gue dicariin raja terakhir alias bokap, dan beliau manggil gue ke ruang kerjanya. Gue bahkan ngga ngeuh sejak kapan Pak Bumi ada di rumah. Soalnya, seinget gue dia lagi pergi ke luar negri buat urusan yang entah itu apa. Tumben banget? Ngga juga sih, kayaknya gue juga udah tahu apa yang mau bokap gue omongin ke gue. Firasat aja.

Yup, here we go again. Gue cuma bisa menghela napas waktu berdiri di depan pintu kayu jati besar berwarna coklat tua di dalam mansion yang sudah 27 tahun gue huni ini. Gue ketuk pintunya dua kali sebelum mendengar suara beratnya menyuruh gue masuk. Dengan enggan, gue buka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang jarang banget gue kunjungi. Kecuali ada moment kaya gini, kalau boleh lebay, mungkin ini kali kedelapan dalam setahun gue dipanggil ke sini. Dan isi pembahasannya pasti itu-itu lagi. Tetep, ini sih masih firasat aja.

Di dalam, duduk seorang pria tampan berusia hampir 54 tahun—bokap gue, Pak Bumi. Gue ngga bohong, di usianya sekarang, beliau masih kelihatan keren. Di sebelahnya, berdiri tegak tangan kanannya, Om Jeonny Rahamardja, ayah dari sahabat gue dari kecil, Dhika Seokmin Rahamardja.

“Duduk, Nisaka,” suara bokap terdengar tegas. Gue nurut, langsung duduk di sofa tengah ruangan udah kaya orang dihipnotis. Om Jeonny menghampiri gue, menyerahkan amplop coklat tebal berlogo perusahaan yang lumayan besar, lengkap dengan beberapa notes di dalamnya. Sementara itu, bokap ngga bergeming dan masih duduk di balik meja kerjanya, menatap gue sambil menopang dagunya.

“Apa ni, pap?” Gue pura-pura ngga tahu sambil bolak-balik amplop cokelat yang ada di tangan gue, tanpa ada niat buat membukanya.

“Jangan main-main, Saka. Itu dokumen penting. Coba kamu buka!” suara bokap terdengar lebih berat—atau lebih tepatnya, tegas.

Sejujurnya, gue udah tahu sih apa isinya, tapi gue beneran ngga tertarik sama sekali. Jadi, dengan malas-malasan, gue akhirnya buka amplop itu, mengeluarkan dokumen yang sudah dijilid rapi.

“Itu semua details job desc yang akan kamu kerjakan untuk handle Avays Hotel,” bokap akhirnya bicara lagi.

Gue mendongak, menatap ayah kandung gue dengan wajah datar. “Pap, siapa yang bilang aku mau kerja sama papap buat ngelola Avays?”

“Papap yang bilang,” jawabnya santai. “Kamu sudah 27 tahun, Nisaka Mingyu. Mau sampai kapan kerja serabutan dan menghabiskan waktu kamu untuk mengejar hobby? Papap nggak masalah kalau kamu tetap ngejalanin passion kamu, tapi setidaknya coba dulu kerja di sini. Kalau nggak suka, papap bisa kasih ke orang lain. Andrian, misalnya.”

Refleks gue langsung mendengus sinis. Andrian lagi. Dia kan udah pegang Bumi-Multitelevisi, masa dikasih Adi-Bumi Group juga? Itu sih namanya memperkaya keponakan sendiri dan mempermiskin anaknya. Gue agak ngga terima sih.

Basically, Adi-Bumi Group adalah salah satu konglomerasi besar dengan banyak anak perusahaan di Indonesia yang dibangun beradarah-darah sama grandpap dan diberikan turun-temurun ke anak-cucunya, termasuk Bumi-Multitelevisi yang bergerak di industri hiburan. Dari agensi model, televisi lokal, sampai production house, semua ada di bawah pimpinan Andrian Seungcheol Putradinata, cucu tertua keluarga besar Putradinata.

“Gimana?” Bokap tiba-tiba memecah lamunan gue. “Mau dikasih ke Andrian aja?” tanyanya santai, tapi gue tahu dia sadar betul kalau barusan dia sengaja nyulut ego gue.

Gue masih diem. Ngga ada jawaban yang gue lontarin, tapi semua orang di ruangan ini udah tahu ujungnya bakal ke mana. Lagipula, bokap nggak butuh jawaban gue—dia pasti udah mutusin semuanya sendiri. Keberuntungan gue buat punya kebebasan dan ngerjain kerjaan sesuai hobby gue ya cuma sampai hari ini aja. Haha, miris ya? Iya, dikit.

“Kali ini, keputusan papap sudah mutlak, Nisaka Mingyu,” Bokap melanjutkan, suaranya kembali menegas. “Mulai besok lusa, kamu sudah bisa mulai bekerja di Avays Hotel dan papap akan kasih kamu satu asisten pribadi yang benar-benar papap percaya, dengan satu syarat.”

Gue mengernyit. “Syarat? Maksudnya, pap?”

“Syaratnya, kamu nggak bisa sembarangan memecat asisten pribadi kamu ini, kecuali papap yang bilang begitu. Bisa dipahami?” Bokap menatap gue tajam. Gue cuma bisa mendesah kasar.

“Saka belum jawab, mau atau nggak, pap,” gue mendecak pelan. “Saka mau jadi diri Saka sendiri aja. Traveling, culinary—”

“*Unfortunately, this time, you’ve got no other choice, Saka,” Bokap memotong. “Kamu akan jalani masa probation selama tiga bulan, sama dengan karyawan lainnya. Asisten pribadi kamu juga akan bantu kamu belajar, dari manajemen sampai bisnis yang akan kamu kelola.” lanjut bokap.

Well, sepinter apa asisten pribadi gue? Hmm...

Gue kembali ngelirik amplop coklat di tangan gue. Dalam hati, gue udah bisa membayangkan asisten yang bakal bokap kasih, pasti ibu-ibu yang udah sangat berpengalaman. Cruella De Vil langsung muncul di kepala gue. Atau bapak-bapak yang kumisnya tebel, perutnya buncit.

To be honest, selama setahun ini gue udah nolak tujuh kali permintaan dari bokap, dan beliau masih santai aja. Tapi ini yang kedelapan, dan kali ini dia nggak lagi pakai nada membujuk. Ini udah jadi perintah.

Ya ya. Welcome to office hours. Wear your suit every day, Nisaka Mingyu.

“Kita sudah deal ya, Saka,” suara bokap memecah lamunan gue yang lagi sibuk mengasihani diri sendiri. “Sekarang kamu mandi sana, nanti kita makan malam bareng. Mama kamu mau masakin menu kesukaan kamu, katanya,” lanjut bokap gue.

Masih kaya terhipnotis, gue berdiri dari tempat gue duduk dan berjalan menuju pintu, tapi ada sesuatu yang ngga beres. Insting gue teriak. Gue berhenti pas tangan gue hampir nyentuh gagang pintu kayu besar di depan gue.

Wait, wait! If it's a deal, it should benefit me too, right?” Gue menatap dua pria dewasa di ruangan ini. Bukannya jawab, bokap malah melirik Om Jeonny, yang langsung nangkep maksudnya dan dia cuma mengangguk—seolah ngasih restu buat argumen gue.

Gue makin percaya diri dong, jadi gue tanya ke bokap, “So what do I get if I just go along with everything you guys want?” Nada suara gue kali ini jelas nantangin. Hehe. Gue nggak bakal nyerah gitu aja, man. This is important for me too!

Bokap malah senyum percaya diri dan jawab gue, “We can talk about it along the way. Besides, you must also pass the probation period according to my standards,” katanya santai sambil menyenderkan badannya ke kursi kerja empuk kesayangannya itu. “And that’s not gonna be easy, Saka,” katanya.

Well, nggak ada celah buat negosiasi sekarang. Gue akhirnya mengangguk, pura-pura nurut, terus keluar dari ruangan kerja Pak Bumi. Langkah gue menuju kamar terasa berat, tapi yaudah lah. Untuk sementara, gue bakal main aman dan ikut aturan bokap—for now.

And, welcome to the new world, Nisaka Mingyu Putradinata.

CONFESSION


a lil bit harsh word, fluff maybe.

“Chan, pake baju gini normalkan?” tanya Seokmin menghalangi pandang Chan yang sedang menonton ulang The Suicide Squad dengan tubuh rampingnya.

“Minggir! Gue lagi nonton Harley Quinn anjir, bang!” dumelnya dengan badan yang ke kanan dan ke kiri mencari celah agar tetap bisa melihat televisi.

“Sumpah, bentar doang! Liatin!” pinta Seokmin.

“Anjing! Ngapain pake kemeja? Lo kaya mau ngelamar kerjaan!” kata Chan yang terkejut melihat sekomin berpakaian rapih dengan kemeja panjang hitam polkadot yang sudah digulung hingga siku dan celana bahan berwarna mocha. “Biasa aja, bang. Be yourself kata gue juga. Paka kaos, flannel sama celana jeans, bawa makanan. Kaya jenguk orang sakit aja.” kata Chan masih sibuk dengan tontonannya.

“Tapikan ini konteksnya ngga jenguk, tapi mau nembak orang sakit.” jawab Seokmin.

“Ganti baju lo! Malu-maluin gue.” usir Chan, Seokmin menurutinya dan kembali naik tangga, masuk ke kamarnya.

“Kenapa heboh?” tanya Jihoon.

“Masa si Bang Seokmin mau nembak orang kaya ngelamar kerjaan, aneh banget.” kata Chan masih fokus pada layar TV-nya.

Tak lama Seokmin turun dengan white t-shirt, luaran flannel dan celana jeans hitamnya.

“Nah, kan gini enak gue liatnya, kaya mau ngapel.” sahut Chan ketika melihat Seokmin turun dengan gaya berpakaian sehari-harinya dan sudah wangi.

Good luck, bro! Semoga pecah telor, yes!” kata Jihoon melihat ke arah temannya itu.

“Pasti diterima, kalau ngga terima langsung telepon gue, nanti gue jemput.” kata Chan mengangkat ponselnya, menandakan bahwa dia siap stand by 24 jam untuk sahabat abang serta teman tongkrongannya itu.

“Lo ngga chat dulu Hannya?” tanya Jihoon.

“Ngga usah, langsung dateng aja biar kesannya surprise, sambil bawain martabak favorite.” kata Chan.

“Berangkat nih gue?” tanya Seokmin.

“Berangkat gih! Udah mau malem, ngga sopan jenguk orang sakit di atas jam 7! Gih!” usir Chan.

“Gih! Bener tuh kata Chan.” sahut Jihoon. Seokminpun segera melangkahkan kakinya keluar rumah kontrakannya, ke tempat parkir dan membawa motor vespa menuju ke rumah pria idamannya.


Vespa kebanggaan Seokmin sudah berada di rumah minimalis dengan pagar warna hitam itu, pria itu merapalkan kalimat-kalimat do'a untuk memperlancar tujuannya ke sini, selain menjenguk yang sakit — tentunya.

“Joshi, gue di bawah — iya — anaknya udah tidur — oh belum? Yaudah ini gimana? Oh okay.” katanya.

Tak lama pria yang dihubungi oleh Seokmin keluar membawa serentetan kunci di tangannya, membuka pintu pagar rumahnya.

“Masukin aja motornya.” kata Joshua, sedikit membuka garasinya agar motor lebar Seokmin bisa masuk.

“Orangnya di kamar, lagi main handphone.” kata Joshua.

“Udah makan tapi?” tanya Seokmin memberikan bungkusan martabak yang dia beli, dari abang gerobak dengan rasa martabak kesukaan Jeonghan.

“Udah makan, udah minum obat juga sih. Lo tuh mati?” tanya Joshua.

“Ini gue hidup gini!” kata Seokmin.

“Ngga, maksud gue abis chat semalem, pagi ini kata Han lo ngga chat dia lagi.” kata Joshua, berjalan lebih dulu masuk ke rumahnya yang diikuti Seokmin.

“Gue baru bangun tadi jam 4, terus ya siap-siap.” katanya.

“Masuk aja ke kamarnya, gue lagi nonton di bawah. Nanti, martabaknya gue bawa ke atas.” kata Joshua meninggalkan Seokmin ke dapur untuk menata martabak manis itu ke piring.

Seokmin dengan perlahan menaiki tangga, melangkahkan kakinya ke kamar Jeonghan yang baru dia ketahui kemarin saat mengantar Jeonghan dari rumah sakit. Pria ramping itu membeku di depan kamar yang tertutup itu.

“Josh?” tanya pria dari dalam pintu kamarnya.

“Josh, ih jangan bercanda gue kebelet!” lanjutnya dengan berteriak, Seokmin yang mendengarnya segera membuka pintu.

“Heh?” pria di tempat tidur itu terkejut ketika melihat sosok pria yang sebenarnya dia cari keberadaannya sedari pagi. Semalam pembicaraan mereka hanya sampai kata 'Ya......' yang membuat pria berambut blonde itu kesal tidak karuan.

“Gue bantuin.” kata Seokmin segera menghampir pria itu, Jeonghan, memberinya kruk yang ada disebelah dan membantunya berdiri.

“Kapan sampe?” tanya Jeonghan ketika Seokmin sedang memapahnya ke kamar mandi.

“Baru banget. Joshua di bawah, ini lo kebelet pipis kan?” tanya Seokmin, yang dijawab anggukan malu oleh pria yang sedang sakit itu.

Setelah selesai membuang air kecilnya, Jeonghan dan Seokmin kini sudah duduk di balkon kamar Jeonghan yang menghadap rumah tetangganya.

“Kok lo ngga nge-chat gue?” tanya Jeonghan, memecah kesunyian di antara mereka, karena sedari tadi Seokmin sedang gugup, membuatnya menjadi sangat pendiam saat ini.

“Gue bangun kesorean, sorry ya!” kata Seokmin. “Tapikan gue di sini sekarang.” lanjutnya, Jeonghan hanya menatap ke arah Seokmin dan mengangguk.

“Lo gimana? Udah enakan? Badannya ngga sakit?” tanya Seokmin, membulak-balikkan badan Jeonghan dengan refleks.

“Ngga, cuma jaitannya aja yang gatel, Seok.” rengek Jeonghan, memegang betisnya.

“Sabar ya, minggu depan dibuka jaitannya. Lagian siapa suruh sih di panggung.” kata Seokmin.

“Ya gue kan ngga tau kalau bakalan ada lampu jatoh.” kata Jeonghan sembari mengerucutkan bibirnya.

“Iya, maksud gue tuh next-nya lo lebih hati-hati gitu, jadi ngga bikin orang panik.” kata Seokmin.

“Makasih ya, kemarin udah jadi orang yang paling panik di antara yang lain, walaupun itu aneh.” kata Jeonghan tersenyum.

“Masih berasa aneh ya?” tanya Seokmin yang dibalas anggukan oleh Jeonghan. “Ngga tau kenapa bisa gitu, gue khawatir aja lo kenapa-napa. Salah gue soalnya, bisa-bisanya lampu jatoh.” lanjutnya.

“Padahal, kayaknya gue udah teliti banget ngurus panggung.” kata Seokmin.

“Ih, udah. Ini gue ngga apa-apa kok, untungnya cuma kena betis sama memar dibeberapa bagian aja.” jawab Jeonghan, berusaha menenangkan Seokmin dengan rasa bersalahnya.

“Harusnya gue jagain lo tau.” kata Seokmin. Tubuh Jeonghan menegang mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria yang belakangan ini tak pernah absen memberinya perhatian itu.

“Harusnya, gue aja yang ketimpa lampu—” lanjut Seokmin namun terpotong, refleks telapak tangan Jeonghan membekap mulutnya pria yang periang itu. Seokmin membelalakkan matanya, terkejut.

“Diem!” kata Jeonghan. “Gue ngga mati gara-gara ketimpa lampu, Seokmin. Kaki gue doang luka, kalau dibuka jaitannya juga gue bisa lari lagi.” omelnya.

“Gue usir kalau lo masih nyeselin kejadian yang udah-udah.” kata Jeonghan, melepaskan tangannya setelah melihat anggukan dari Seokmin.

Tak lama Joshua datang membawa sepiring martabak dan teh manis hangat sebagai pelengkap, kembaran Jeonghan itu juga ikut mengobrol sebentar, kemudian berpamitan karena ingin berteleponan dengan pacarnya, hari ini mereka tidak bisa bertemu katanya.

Good luck.” bisik Joshua ke telinga Jeonghan.

Keheningan dan kecanggungan di antara mereka hadir kembali, seperti mereka memang sedang memikirkan apa yang harus mereka lakukan sekarang dan apa yang harus mereka katakan kepada orang yang kini berada di samping mereka.

'Gas?' tanya Seokmin dalam hati.

'Duluan aja?' kata Jeonghan menimbang-nimbang.

“Han.” panggil Seokmin. “Min.” panggil mereka secara bersamaan, dan mereka tertawa bersama.

“Gue duluan aja ya.” kata Seokmin, kali ini dia terlihat tidak ragu. Jeonghan tersenyum manis dan memberikan gestur tangannya untuk mempersilahkan Seokmin untuk berbicara terlebih dahulu, Seokmin gugup.

Hinalah Seokmin sepuasnya, karena ini adalah kali pertama dia akan mengungkapkan perasaannya kepada seorang yang ia sukai, si Jomblo yang hidup melajang setelah putus dengan tali pusar. Begitupun dengan Jeonghan yang terakhir putus dengan customer service salah satu e-commerce karena kehabisan pulsa telepon. Mereka berdua tidak pernah tahu rasanya mengungkapkan perasaan masing-masing kepada orang yang mereka sayang bisa semenegangkan ini.

“Tapi, gue ngga pinter ngomong manis.” lanjutnya, Jeonghan tertawa puas sembari menutup mulutnya.

“Gue ngga mau diabetes gara-gara mulut manis lo, Min.” jawabnya masih di sela tawa. What the eefff, cantik banget lagi gue grogi, bangsat!' gumam Seokmin ketika melihat kakak tingkatnya itu tersenyum.

“Kalau gitu gue to the point aja ya?” kata Seokmin. “Kalau lo bingung, lo boleh nanya.” lanjutnya, Jeonghan mengangguk. 'Anjay, gue kaya lagi presentasi.' rutuknya dalam hati.

“Kalau lo jadi cowok gue, menurut lo gimana?” tanya Seokmin, literally to the point. Jeonghan terkejut karena tidak menyangka kalimat Seokmin akan se-to the point itu dan akan terjadi hari ini, di mana kini hanya jantungnya saja yang bisa loncat bahagia, namun tidak dengan kakinya. Jeonghan terdiam.

“Ngga semua pertanyaan harus lo jawab sih. Senyamannya aja, gue ngga niat nuntut apa-apa kok.” Kata Seokmin dengan gestur tangannya yang ribut dan ikut panik karena melihat Jeonghan yang tiba-tiba membeku. “Gue cuma nanya, serius, biar gue juga lega, soalnya beberapa bulan ini kaya ada yang nyangkut.” Lanjutnya ketika masih melihat pria di hadapannya terdiam.

“Ngga nyaman sama pertanyaan gue ya?” Tanya Seokmin beberapa saat kemudian, setelah jantungnya lebih tenang.

“Gue kaget.” Kata Jeonghan. “Gue ngga tau rasanya diajak pacaran tuh gimana.” Lanjutnya.

“Jadi gini?” Tanyanya pada dirinya sendiri, dengan suara cicitan yg masih terdengar oleh Seokmin.

“Harusnya ngga gini sih, lo sial aja gue yang confess. Kalau Mingyu mungkin udah di bawa ke pantai, kalau Bang Cheol mungkin lo at least di bawa ke restoran fancy, kalau Hansol, lo pasti di ajak keliling Jakarta dulu. Kalau Soonyoung ke abang skot—” kalimatnya tergantung karena kaget merasakan bibir kenyal Jeonghan mengecup pipinya.

“Kok dicium?” Tanya Seokmin.

“Karena lo berisik!” Jawab Jeonghan, pria manis berkulit sedikit lebih gelap itu menautkan kedua alisnya, bingung dan bertanya, arti kecupan tadi.

“Lo ngga perlu jadi orang lain, Seokmin. Be your self, gue suka sama lo yang apa adanya kok. Biarin aja anak-anak yang lain punya cara mereka sendiri. Lagian, lo juga ngga mungkin kan ngajakin gue yang lagi kaya gini?” Tunjuk Jeonghan pada perban putih yang meliliti betisnya. Ah, iya sejenak Seokmin lupa kalau dia sedang menjenguk orang sakit yang dia sayangi, namun dia harus bilang perasaannya pada pria cantik ini sebelum nanti dia menyesal.

Seokmin tersenyum, pria ramping itu tau kalau kecupan dipipi bukanlah jawabannya, Jeonghan hanya ingin menutup mulutnya. “Jadi?” Tanya Seokmin, sekaligus meyakinkan dirinya.

“Gue ngga perlu mikir sih, mau dijawab sekarang aja?” Tanya Jeonghan, jahil. Seokmin menganggukkan kepalanya ribut. “Katanya lo ngga butuh jawaban?” Jenghan kembali menjahili pria yang sudah penasaran di hadapannya. Ah, iya Seokmin lupa lagi, kalau dia memang berencana mengungkapkan perasaannya, tanpa minta balasan.

“Iya ya?” Tanya Seokmin, Jeonghan tertawa puas.

“Bercanda, Omin.” Jawab Jeonghan.

'Omin?' tanya Seokmin dalam hati.

“Mulai hari ini lo, gue panggil Omin. That's a pet name.” Lanjut Jeonghan. Seokmin masih bingung.

“Ih, kaya Mingyu manggil Kitten ke Wonwoo.” Sambungnya, Seokmin masih bingung namun tetap memberikan gestur bibir bulatnya, mengatakan 'Oh' tanpa suara.

Start from now, you can call me Hannie? Honey? Choose! I like Hannie the most.” kata Jeonghan, Seokmin semakin bingung. Pria ini tidak pandai dalam hal seperti ini, jadi ini bagaimana?

“Gue bingung, Han.” Seokmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sembari cengengesan. Serius, dia masih bingung, lagi-lagi Jeonghan pria cantik namun dingin itu dibuat tertawa.

“Mau. Gue mau jadi cowok lo. Astaga, Omin kenapa gemes banget?” Tanya Jeonghan.

“Eh serius?” Tanya Seokmin.

“Hehe.” Jeonghan tersenyum puas sembari mengangguk.

the Basecamp


tw: harsh words, PDA, and just chit-chat

Setelah bubble chat yang berakhir dengan kata “Ya.....” Seokmin jujur tidak bisa memejamkan matanya pagi ini, pesan tersebut pun tak kunjung di balas. Dua hari kemarin badannya babak belur untuk mempersiapkan acara UNTRAVOLUTION bersama dengan anak the Basecamp lainnya dan subuh ini perasaan Seokmin sudah tak karuan ketika membaca kembali chatnya dengan pujaan hatinya — Yoon Jeonghan — belakangan ini. Kode yang diberikan pria yang kemarin kakinya tertimpa lampu itu cukup explicit sehingga hal itu membuat perasaannya tidak karuan.

Bukan, bukannya dia tidak tahu maksud dan tujuan setiap dari pertanyaan yang Jeonghan lontarkan di chat-nya tadi, dia hanya terlalu takut karena merasa masih kurang melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh seseorang pada saat pendekatan, seperti apa yang Mingyu lakukan ke Wonwoo, contohnya. Dulu, Mingyu selalu mengantar jemput Wonwoo untuk kuliah, ya walapun sebenarnya Seokmin juga melakukan itu kepada Jeonghan, dia mengantar kemanapun Jeonghan pergi, baik mencari tenda, beli kopi dan lainnya, apa itu bisa dikatakan pendekatan? Seokmin masih ragu. Atau Mingyu selalu menghabiskan waktunya untuk bersama dengan Wonwoo, sedangkan dia dan Jeonghan sama-sama sibuk untuk fokus pada UNTARVOLUTION.

Setelah berbincang dengan Seungcheol selama satu jam tadi, dia tersadar bahwa, sesuatu memang harus dicoba dulu agar kita tahu jawabannya, dibandingkan kita harus menunggu tanpa jawaban yang jelas-jelas bisa kita temukan. Baiklah, setelah bangun nanti, dia akan melaksanakan misinya yaitu, bertanya pada pria berambut blonde itu dan semoga saja dia akan menemukan jawabannya.


Jihoon sudah di dapur dengan Chan yang sedang merapihkan bungkusan-bungkusan nasi goreng yang tadi sudah dia pesan delivery. Jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, dan yang baru bangun hanya Jihoon, Chan dan Hao.

“Sisanya masih pada mati semua?” tanya Jihoon asal.

“Iya.” kata Hao yang sedang sibuk dengan ponsel ditangannya, mencari-cari berita tentang UNTARVOLUTION 2021 yang banyak diperbincangkan kemarin. “Gila, ini berita tentang UNTARVOLUTION ngga abis-abis, keren banget kita.” sahutnya, menunjukkan salah satu berita tentang acara mereka dari salah satu portal berita nasional.

“Ya iyalah, kampus swasta mana yang bawa 7-teen ke event musik? Si nekat!” jawab Jihoon yang masih sibuk menata makanan dan meletakkannya ke meja makan.

“Gue bangunin yang lain dulu deh, biar makan siang!” kata Chan yang berjalan meninggalkan dapur.

Tak lama Mingyu sampai di kontrakannya bersama dengan Wonwoo dan Seungkwan, sedangkan Soonyoung memilih pulang karena ingin tidur lebih lama di rumah sekalian memperbaiki hati dan perasaan, bertemu dengan Jihoon saat ini masih menyakitkan untuknya karena tragedi penolakan di abang skoteng.

“Seokmin mana?” tanya Wonwoo.

“Mati suri, gue bangunin ngga bangun-bangun!” kata Chan yang menyahut dari tangga, yang diikuti oleh Seungcheol, Jun, dan Hansol.

“Biarin aja, semalem begadang mikirin kisah cinta.” kata Seungcheol yang sudah duduk di seberang televisi dengan suara bangun tidurnya sembari membersihkan matanya.

“Iya tuh gimana sih? Gue pagi-pagi dapet chat dari Kak Han!” kata Wonwoo, yang kini sudah duduk dipangkuan Mingyu.

“Gue kira gue istimewa.” kata Hao, karena dia mendapatkan pesan yang sama.

“Gue juga di chat, pake pap lagi, aneh banget.” kata Jun yang kini sudah selonjoran di karpet.

“Gue juga di chat!” kata Jihoon.

“Gue juga di chat subuh-subuh, malah pake capslock nanya gue emang ngga ganteng? Terus, dia ngirim foto juga.” kata Seungkwan.

“Kok gue ngga?” tanya Mingyu yang menatap ke telepon genggamnya dari bahu Wonwoo.

“Ya masa nanya ke kamu?” kata Wonwoo, mengusap wajah kekasihnya yang ada di sampingnya dan mengecupi bibirnya sekilas yang dibalas dengan senyuman mengembang dari wajah Mingyu.

“Gue udah bilang sih tadi pagi sebelum tidur ke dia, kalau emang suka ya maju aja. Ngga perlu segala beda-bedain cara pendekatan gue ke Joshi, Mingyu ke Wonwoo, Hansol ke Seungkwan, atau siapapun.” kata Seungcheol, masih menatap lurus ke TV. Mereka yang namanya disebutkan bingung, terlebih lagi Hansol yang sampai saat ini belum mendapatkan jawaban dari Seungkwan. Dan Seungkwan yang wajahnya memerah.

“Lagian, siapa sih diantara kita yang ngga tau dia suka sama Kak Han? Kak Han-nya aja tau kali.” kata Seungkwan, sembari memakan cemilan yang dia bawa dari apartemennya.

“Ngga akan ditolak juga.” kata Wonwoo yang kini sedang bermain dengan jari jemarinya kekasihnya. “A hundred percent.” lanjutnya.

“Urusan dia deh, semoga aja si Han ngga digantung lagi.” kata Seuncheol.

“Yaudah, makan siang dulu deh yuk!” kata Seuncheol berdiri dari tempat duduknya. “Abis itu kita pulang, istirahat! Lusa kita ngumpul lagi deh, bahas dana sisa.” lanjutnya dan meninggalkan teman-temannya.


Seokmin mengusak-usak matanya, turun ke lantai bawah rumah kontrakannya dan hanya menemukan Wonwoo yang sudah menggunakan black t-shirt kebesaran, sedang mengambil minuman soda dan es batu di kulkas dapur.

“Udah bangun? Gimana ketemu malaikat?” tanya Wonwoo santai, sembari menuangkan soda yang terdapat di botol itu dengan gelas penuh es batu.

“Lo kata gue mati?” tanya Seokmin, membuka tudung saji di meja makan.

“Ya emang ngga sih? udah jam 4 sore lo baru bangun, anjir. Anak-anak baru pada balik.” kata pria bermanik rubah itu.

“Wahanjir, gue kira masih jam 10 pagi!” kata Seokmin terkejut ketika melihat jam dinding yang ada di rumah itu dan melihat jarum pendek ada di angka 4.

“Itu angetin dulu nasi gorengnya, terus, lo makan. Gue kira lo mau jenguk Han.” kata Wonwoo yang masih berdiri di tempatnya memandangi sahabat kekasihnya itu.

“Iya, rencananya emang mau ke Han. Sekalian bawa martabak manis.” kata Seokmin. “Gue tembak aja kali ya, Nu?” tanya Seokmin, Wonwoo mengangguk. Tak lama Mingyu keluar dari kamarnya dan menghampiri ke dua lelaki yang sedang berbincang itu, berdiri di belakang Wonwoo dan memeluknya dari belakang, meletakkan dagunya di bahu bidang kekasihnya.

“Lo baru bangun? Apa kata malaikat?” tanya Mingyu yang dijawab anggukan oleh Seokmin ketika pria itu sedang mengambil minum.

“Brengsek! Gue belum mati.” jawab Seokmin.

“Ya jangan mati dulu, tembak dulu Han-nya.” kata Mingyu santai. “Si Han kira lo ngga nembak-nembak gara-gara dia jelek tuh!” tegur Mingyu, Seokmin yang sedang minum tersedak dibuatnya.

Uhuk — apa lo bilang?” tanya Seokmin.

“Han kira dia jelek, sampe chat anak-anak satu persatu.” jelas Wonwoo yang melempar kotak tissue ke arah Seokmin.

“Di mana jeleknya sih?” tanya Seokmin dengan cicitan yang masih terdengar oleh Wonwoo dan Mingyu.

“Makanya, cuss lo confess.” kata Mingyu sembari menghirup harum tubuh kekasihnya.

“Ini lo mesra-mesaraan di depan gue tuh sengaja?” omel Seokmin, ketika melihat kelakuan 2 pria di hadapannya.

“Biar bisa gini, Seok.” kata Wonwoo tertawa geli ketika tangan Mingyu menggerayangi perutnya.

“Mending lo berdua masuk kamar deh, gue mau makan, bukan mau nonton hentai live action.” usir Seokmin. Mendengar kalimat itu Mingyu dengan cueknya segera menggendong Wonwoo ala bridal dan meninggalkan pria kesepian itu sendirian.

“Mingyu sama Wonwoo emang brengsek kadang.” dumelnya ketika melihat punggung Mingyu menghilang dibalik salah satu daun pintu rumah kontrakan itu.

D-DAY


harsh words, hospital, PDA

Sejak kemarin malam Seungcheol dan teman-temannya sudah berada di Gelora Bung Karno, untuk mempersiapkan konser UNTARVOLUTION 2021 yang akan dimulai beberapa jam lagi. Memastikan semuanya sudah siap, agar acara berjalan lancar dan kerja teras mereka selama 6 bulan tidak menjadi sia-sia.

Semua panitia sudah bersiap di posisi mereka, sebelumnya mereka berdoa bersama demi kelancaran acara ini bersama.

Seungcheol bersama pacarnya, Jisoo memeriksa keadaan dengan berkeliling setengah jam sebelum loket dibuka. Jeonghan, Jihoon dan Seungkwan memutuskan untuk berpencar ke stage A — sebagai mainstage — dan stage B, sama halnya, mereka juga memastikan keadaan di sana dan membantu banyak panitia lainnya. Ya, tempat itu paling banyak yang membutuhkan sukarelawan karena titik temu acara ada di sana. Backstage, di sana Wonwoo untuk briefing MC yang akan berada di mainstage untuk meramaikan acara tersebut. Sementara Hao, Ichan, Mingyu dan tim seksi dokumentasi tidak pernah se-siap ini bersama kamera. Seokmin dan Jun dari semalam sudah loading barang, jadi pagi ini mereka hanya membantu hal-hal kecil saja. Disisi lain Hoshi dan Hansol beserta security sudah pasti menjadi garda depan, berdiri menanti dibukanya acara ini.

Tepat jam 11, gate UNTARVOLUTION 2021 terbuka lebar, para pengisi acara sudah berada di posisi mereka masing-masing, mahasiswa serta pengunjung yang ingin jajan dan menontonpun sudah berkumpul di GBK. Ada yang datang sendiri, ada yang datang bersama pacarnya, ada pula yang datang bersama dengan teman-temannya.

Wonwoo dan Mingyu hari ini sudah disibukkan dengan pekerjaan mereka masing-masing hingga tak sempat bertemu walaupun bertegur sapa. Hingga akhirnya, dengan lantangnya terdengar, “Kitten Kitten, ganti.” Terdengar suara walkie-talkie.

“Bangsat, ganti!” Jawab Seokmin dari sisi lainnya.

“Fokus anjing, ganti!” Tegur Seungcheol mendengar suara Mingyu memanggil yang mereka tau siapa.

Sedangkan yang dipanggil sedang sibuk dengan para pengisi acara. Wonwoo yang hari ini sedikit kelimpungan, karena harus menemui banyak orang asing di belakang panggung yang bahkan baru sekali duakali bertemu, beramah-tamah dengan para musisi, menyahut sapaan orang, bahkan menjawab pertanyaan orang asing ketika bertanya toilet ada di mana? atau booth charger telepon genggam ada di mana saja? serta berbagai pertanyaan lainnya. Hari ini kesabarannya benar-benar diuji, karena semua sahabatnya tahu, Wonwoo bukanlah typical orang yang cepat ramah dengan orang lain. 'Gue pasti bisa, gue pasti bisa.' katanya mengucapkan kalimat itu berulangkali seperti mengucapkan mantra.

Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, para pengunjung semakin ramai, Wonwoo meminta tolong Jihoon dan Jeonghan untuk membantunya memberi briefing kepada beberapa penyanyi yang akan naik panggung untuk ke 2 stage, menggantiakan dirinya sebentar karena dia sekarang sangat lapar dan merasa lelah.

“Won, lo belum makan ya?” Tanya pria tinggi dengan tahi lalat di atas bibir itu.

“Belom, Jun. Ini gue aja baru minta tolong Kak Han sama Kak Jisoo briefing Tulus sama HiVi.” Jawabnya.

“Lo makan dulu, tadi dicariin Mingyu, katanya walkie talkie lo kenapa?” Tanya Jun.

“Kayaknya walkie talkie gue mati deh.” Katanya lagi sembari mengambil benda padat dengan antena itu.

“Mingyu di Indomaret, Kak. Kalau lo mau nyamperin.” Kata Chan yang datang tiba-tiba membawa corndog yang tampak sangat menggoda karena cacing di perutnya yang mulai mengamuk.

“Oke, itu lo beli di mana?” Tanya Wonwoo ketika melihat Chan sedang menikmati corndog-nya.

“Di depan, sebelah Indomaret.” Kata Chan asal.

“Okay.” Kata Wonwoo. “Gue ke Mingyu dulu deh. Jun, Chan, sekalian makan ya Allah enak.” Katanya beranjak meninggalkan mereka berdua dan berjalan menuju tempat yang diberitahukan oleh Chan.


Wonwoo yang seharian ini menggunakan t-shirt slim fit black bertuliskan The Crew of UNTARVOLUTION 2021 di punggungnya dan logo kampus mereka di dada kirinya yang dipadukan dengan celana jeans itu berjalan ke luar dari keramaian acara musik tahunan yang ia dan sahabatnya selenggarakan. Berjalan mencari minimarket yang disebutkan Ichan tadi untuk menghampiri kekasihnya yang katanya sedang duduk di sana. Betul saja kata Ichan, pria yang sudah 2 tahun lebih itu mengisi hari-harinya kini sedang sedang memakan corndog seorang diri.

“Ganteng!” sapa Wonwoo, memegang bahu Mingyu.

“Hey!” jawab Mingyu yang sedikit terkejut dan segera mengambil tubuh ramping itu ke lahunannya.

“Kamu tuh kok sore-sore bengong sih? Kesambet lho!” kata Wonwoo, mengelus punggung tangan kekasihnya yang sudah melingkari perutnya.

“Ngga sih, perasaan aku mendadak aneh aja. Kecapean kali ya?” tanya Mingyu, meletakkan kepalanya ke punggung bidang pria yang ada di hadapannya, dan kemudian meletakkan dagu di bahu Wonwoo. “Kamu pasti belum makan, kan?” tanya Mingyu, sesekali mengecup bahu pria kesayangannya itu, yang dijawab anggukan oleh Wonwoo.

“Makan, yang.” pinta Mingyu menunjuk piring yang terbuat dari styrofoam yang terdapat di hadapan kekasihnya.

“Abis ini beneran deh, yang, kita tuh harus liburan.” kata Wonwoo, mengambil satu buah corndog itu.

“Jadi yuk, staycation ke Safari Garden!” ajak Mingyu, mengangkat kepalanya dan matanya kembali berbinar seperti anak kecil yang baru saja diajak ke taman hiburan.

“Yuk!” sahut Wonwoo dengan semangat, meletakkan makanannya dan memiringkan posisi badannya agar dapat melihat wajah tampan Mingyu.

“Jadi ya kita ngewe di depan singa?” tanya Mingyu, mengelus perut Wonwoo dari t-shit slim fit itu.

“Jangan becanda!” kata Wonwoo, sembari menangkup pipi kekasihnya itu.

“Orang gila!” jawab Wonwoo yang diikuti tawa Mingyu, Wonwoo mengecup bibir kekasihnya dan mereka tertawa bersama seakan sedang membayangkan mereka sedang mendesah dah dihadapkan oleh Singa, seperti tidak mungkin mereka selamat.

“Serius aku ngga mau!” lanjut Wonwoo.

“Hahaha, ya ngga atuh, yang.” kata Mingyu gemas ketika melihat Wonwoo sudah mengerucutkan bibirnya. Pria tinggi itu segera menggigit hidung Wonwoo.

“Kim Mingyu!!” omel pria dipangkuannya.

“Kamu gemes, bikin aku makin sayang.” jawab Mingyu yang sedang dihadiahi cubitan pada hidungnya dari sang kekasih.

Ketika mereka berdua sedang bercanda, tak lama keluar suara Seokmin dari walkie talkie milik Mingyu, karena milik Wonwoo mati total sejak siang tadi. Mingyu dan Wonwoo terdiam dan mendengarkan suara panik yang keluar dari sana.

“Panggung B Panggung B, lampu sorot jatoh! Han —” suara itu terputus, Wonwoo langsung berdiri dengan detak jantung yang berdetak karena terkejut, tidak pernah ada dipikirannya kalau lampu yang tergantung itu akan terjatuh. Seharusnya dia yang di sana, bukan Jeonghan. Wonwoo sangat khawatir.

“Yang?” kata Wonwoo dengan wajah yang memelas, meminta Mingyu berdiri dan mengikutinya.

“Yuk, liat keadaan Han!” ajak Mingyu, Wonwoo segera meninggalkan meja kayu itu, menyusul Wonwoo yang sudah berlari duluan dengan kaki jenjangnya.


“Bangsat! Kok bisa sih lampu panggung B jatoh?” tanya Seungcheol ketika sampai di tempat kejadian perkara, saat ini semua pengunjung di arahkan oleh Soonyoung, Jun, Ichan dan beberapa panitia lainnya untuk ke panggung A, semua acara di pindahkan ke sana dan mengosongkan panggung tersebut.

“Lo cek ngga sih?” tanya Seungcheol dengan nada yang masih tinggi ke Seokmin, marah karena terkejut.

“Ya cek lah! Ini kaki anak orang ketimpa lampu! Lo bisa tenang ngga sih!” kata Seokmin tak kalah tinggi membalas ucapan Seuncheol.

“Kalau lo cek kenapa bisa jatoh?” tanya Seungcheol.

“Musibah, Cheol! Gue bukan Tuhan!” teriak Seokmin. “Siapapun di sini, udah lo pada panggil belom sih ambulance-nya?” tanya Seokmin berteriak ke siapapun yang ada di sana, setelah mendengar rintihan Jeonghan.

“Udah, ambulance lagi on the way. Lo gimana, Kak?” tanya Mingyu melihat keadaan Jeonghan saat sampai di panggung. Untungnya, tidak separah yang Wonwoo bayangkan ketika berhamburan ke panggung itu.

“Sakit dan mereka berisik banget! Enyahin deh dari hadapan gue!” jawab Jeonghan lirih.

“Bang, yok! Jangan memperumit gini, lo harus tetep pantau acaranya sih.” kata Seungkwan mengajak Seungcheol pergi dari sana.

“Gue aja yang nemenin Han, lo semua lanjutin aja acaranya.” kata Seokmin.

“Lo ngga perlu gue?” tanya Joshua kepada kembarannya.

“Ngga, Kak. Jeonghan sama gue aja. Lo balik deh, jinakin laki lo! Daripada ngamuk, acara masih jalan.“ Jawab Seokmin.

“Lama gila ambulance-nya, gue jalan ke rumah sakit sendiri deh!” lanjut Seokmin.

“Sabar dikit kenapa sih? Kalau lo bawa sendiri ke rumah sakit lebih bahaya!” kata Jihoon.

“Lebay deh, Seok! Gue tuh cuma ketindihan lampu, bukan ketindihan batu kali sebadan.” omel Jeonghan.

“Elo yang ngeluh sakit barusan!” omel Seokmin, Jeonghan kembali terdiam.

“Sumpah, orang sakit jangan diomelin kali, Seok!” kata Wonwoo. “Demi apa, kak! Gue udah khawatir banget, kirain kena kepala lo or something yang kena, kan harusnya gue yang di sini.” Wonwoo mengelus dadanya lega ketika melihat pria yang terkapar di atas panggung dengan betis yang berdarah terkena pinggiran lampu sorot yang berantakan di sampingnya.

“Gue ngga apa-apa, lo ngga usah ikutan Seokmin deh lebaynya.” kata Jeonghan.

Tak lama petugas kesehatan dari ambulance sudah datang dan membawa tandu untuk mengangkat badan ringan milik Jeonghan yang diikuti Seokmin di belakangnya dan meninggalkan stadion GBK.


Kini Seokmin sedang berada di depan ruang tunggu IGD, menunggu Jeonghan yang kini sedang ditangani oleh dokter sembari menggoyangkan kakinya gugup dan sesekali mengelap kasar wajahnya, sesekali membalas pesan yang masuk ke telepon genggamnya dari group chat the Basecamp yang menanyakan bagaimana keadaan Jeonghan. Tak lama, ponselnya berbunyi.

“Gimana, Seok?” suara lembut dari seberang sana langsung menodongnya dengan pertanyaan, tanpa sapaan.

“Kaget gue!” jawab Seokmin.

“Gimana?” tanyanya lagi.

“Masih di dalem.” jawab Seokmin.

“Lo masuk kek, temenin kembaran gue!” pinta pria di ujung telepon itu.

“Gue takut jarum, for your information.”

“Cupu!” tegur pria itu. “Kembaran gue juga takut jarum, lagi nangis pasti.” lanjutnya.

“Kok lo ngga bilang?” tanya Seokmin segera berdiri dari tempat duduknya.

“Lo ngga pernah nanya! Mumpung belum beres mending lo temenin!” pinta Joshua, pria yang sedang menelepon Seokmin. Seokmin segera mematikan teleponnya, berjalan dengan langkah panjangnya ke salah satu hospital bed yang berada di ruang IGD dan mendengar suara pria yang sangat dia kenal sedang menangis.

Seokmin membuka sedikit gorden yang menutupi hospital bed tersebut dan mengintip ke dalam, melihan Jeonghan yang sedang menangis. Ini adalah moment langka bagi Seokmin melihat seorang pria cantik seperti Jeonghan menangis.

“Seokmin — hiks —” panggilnya ketika melihat ada kepala yang muncul di sudut gorden yang tertutup, dokter yang ada di sana tersenyum.

“Sudah, sudah selesai kok. Lain kali lebih berhati-hati ya!” pinta sang dokter yang sedang membalut betis Jeonghan dengan perban. “Beberapa hari ini kamu akan sedikit susah jalan, menggunakan kruk dulu ya sampai kita lepas jahitannya.” lanjut sang dokter.

“Balik lagi kapan, dok?” tanya Seokmin yang mewakili Jeonghan yang masih terbaring dengan beberapa plester luka yang menutupi beberapa bagian di tangannya karena terkena kaca lampu yang sedang menangis.

“Minggu depan ya.” jawab pria yang menggunakan snelli putih itu yang dijawab anggukan oleh Seokmin dan meninggalkannya dan Jeonghan.

Seokmin berbalik dengan senyuman yang merekah, mengambil ponsel-nya dan membuka kameranya, mengabadikan wajah Jeonghan saat ini yang sedang berderai air mata.

“Ngapain — hiks — lo?” tanya Jeonghan yang masih mengatur napasnya karena tangisannya.

“Haha, mau gue simpen muka jelek lo.” kata Seokmin yang kemudian berjalan menuju tempat tidur IGD dan duduk di sebelah Jeonghan.

“Sumpah! Gue tuh lagi nangis, bukannya lo hibur malah lo foto! Ngeselin banget sih lo!” omel Jeonghan mengelap air matanya, dan berusaha meraih telepon genggam yang masih berada di tangan Seokmin. Pria kurus itu mengelak, menaikkan tangannya ke atas, Jeonghan masih berusaha mengambil benda pipih itu.

“Heh!” teriak Seokmin ketika melihat Jeonghan yang hampir terjatuh dari tempat tidur dan dengan segera Seokmin menangkap badan ramping itu. “Rusuh banget sih, Han!” omel Seokmin memperbaiki posisi pria berambut blonde itu.

“Abis lo rese, foto gue nangis jangan disimpen.” suara Jeonghan mencicit dengan pipi yang perlahan memerah dan jantung yang berdegup kencang. Seokmin berdeham gugup.

“Lucu, ngga jelek kok.” jawabnya dengan suara lembut yang datang entah darimana. Tempat itu mendadak hening, Jeonghan merasakan pipinya yang memanas di ruangan ber-AC itu dan Seokmin merasakan detakan jantungnya yang mulai tak beraturan.

“Hmm, pulang?” tanya Seokmin memecahkan keheningan. Jeonghan mengangguk.

“Anak-anak masih sibuk pasti ya?” tanya Jeonghan mengalihkan pikirannya dari jantungnya yang bedegup tak biasa kepada sahabat-sahabatnya yang sedang mengurus acara tahunan itu sampai selesai, sedangkan dia malah sedang duduk mengistirahatkan tubuhnya karena sebuah kecelakaan yang tak terduga.

“Iya, gimana lagi?” jawab Seokmin sembari mengendikkan bahunya, berdiri dan mengambil sepasang kruk yang tadi diantar oleh seorang perawat. “Daripada lo mikirin anak-anak, mending lo istirahat. Yuk! Gue anter pulang.” kata Seokmin menyerahkan benda besi dengan ujung karet itu.

“Gue ngga bisa pake kruk, Seok.” kata Jeonghan ketika menerima benda yang asing untuknya, dengan suara sangat pelan, namun Seokmin masih mendengarnya. 'Jangan manja, jantung gue ngga sanggup!' erang Seokmin dalam hatinya.

“Gue baru tahu kalau Jeonghan bisa manja gara-gara ketimpa lampu?” ejek Seokmin. “Lo ketimpa lampu tuh betis apa kepala sih?” tanya Seokmin mengambil wajah Jeonghan dan memeriksa kepalanya dengan tidak sopan. Lalu tersadar, menarik tangannya dan kembali berdeham seakan ada yang nyangkut di lehernya.

“Gue baru tau kalau lo resek!” jawab Jeonghan cemberut dengan wajahnya yang kembali memerah, Seokmin tertawa melihat pemandangan yang ada di hadapannya. 'Gemes banget sih lo, Han? Asli gemes.' Gumam pria berkulit sawo matang itu.

“Ayo! Gue papah, tapi bagian yang luka lo pake kruk ya, jadi gue ga nyenggol perban lo. Yuk!” ajaknya, mengangkat tubuh bagian kanan Jeonghan karena pria yang biasanya galak itu harus menggunakan crutch di armpit kirinya.

Seokmin memeluk pinggang Jeonghan dengan tangan kirinya dan memegang tangan kanan Jeonghan yang sudah melingkari lehernya. Perasaan Seokmin dan Jeonghan tak karuan saat ini, bila ada elektrokardiograf di dada mereka pasti alat ukur jantung itu akan meledak karena debaran yang dihasilkan saat ini jauh dari normal.

“Astaga, gue lupa!” kata Seokmin, Jeonghan yang sudah berdiri mengangkat alisnya, seolah bertanya 'Apa?' pada pria di kanannya.

“Gue ngga bawa mobil?” lanjutnya.

“Kirain apa sih, nyebelin banget. Naik taksi aja, Seok.” kata Jeonghan. “Gue mau pulang sekarang.” pinta Jeonghan dengan suara manjanya.

“Ya hayuk, Paduka! Let's go kita pulang!” ajak Seokmin yang di balas dengan cubitan di bahu Seokmin.

H-1 Dday — LOADING TIME

narration part of Backstagr Universe

Acara UNTARVOLUTION 2021 sudah di depan mata, sudah ada kurang lebih 50 orang — plus dengan pekerja yang bertanggung jawab membangun panggung dan tenda — sudah ada di stadion GBK yang cukup luas dan besar. Memang acara tahun ini termasuk acara musik terbesar dengan menampilkan guest bergengsi, bahkan panitia acara juga menyediakan special guest-nya.

Anak-anak The Basecamp juga sudah ada di lokasi, selain Jeonghan dan Joshua yang hari ini sedang bersama dengan special guest. Wonwoo datang seperti malaikat dari langit, membawa berbungkus-bungkus makanan dari restoran cepat saji untuk diberikan kepada panitia dan juga pihak yang membantu untuk terlaksananya loading malam ini. Namun, hanya 3 plastik besar yang mampu dia bawa.

Seperti yang adik kandungnya bilang kalau dia ada di ruang panitia, 'Tunggu dulu, ini bukan kampus, terus ruang panitia di mana?' tanyanya dalam hati. Akhirnya, dia menemukan sahabatnya yang hari ini tampak tidak bersemangat, Soonyoung dan memanggil pria itu.

“Nyong!!! WOY!” teriaknya.

“Eh, pangeran sudah datang membawa makanan. Segini doang?” tanya Soonyoung ketika melihat plastik putih yang di bawa pria ramping berbadan tinggi itu.

“Ada 6 plastik lagi di mobil, tolong!” kata Wonwoo sedikit memelas. “Kunci mobil di sini!” kata Wonwoo membalikkan badannya agar Soonyoung dapat melihat bahwa dia meletakkan kunci mobil di kantong belakang karena tangannya yang penuh.

“Kira-kira kalau gue ngambil kunci mobil dari pantat lo, terus, Mingyu liat, besok gue masih hidup ngga, Nu? Ini nanya doang sih, jaga-jaga.” kata Soonyoung sembari mencibir.

“Bacot! Kagak lah, besok lo masih bisa foto berdua sama Raisa! Cepet ih, pegel!” kata Wonwoo.

“HEH!! Mau ngapain lo?” tanya suara tinggi dari belakang sana, ketika melihat Soonyoung akan mengambil kunci mobilnya.

“Kan, setan lo, Nu!” bisik Soonyoung, Wonwoo hanya tertawa saja melihat sahabatnya seperti tertangkap basah sehabis mengambil celana dalam tetangga oleh warga.

“Hai, cintaku.” sapa Wonwoo santai, pria yang disapa tersenyum, menghampiri pria yang menggunakan kacamata kotak itu dan mengecup bibirnya sekilas sembari mengamil plastik yang dibawa Wonwoo.

“Mau ngapain lo megang-megang pantat Wonu?” tanya pria itu.

“Yaelah, posesif banget anjing! Gue mau ngambil kunci noh, dia naro di pantatnya, jangan salahin gue!” kata Soonyoung menjelaskan.

“Masih ada 6 plastik segede itu di mobil, sayang. Aku minta tolong Nyong buat bantuin.” jelas Wonwoo lagi ketika wajah kekasih tampannya itu melihat ke arahnya dengan tatapan meminta penjelasan.

“Oh, ini!” kata pria tinggi tegap itu mengambil kunci mobil dari kantong belakang kekasihnya dan memberikannya pada Soonyoung yang hanya mampu berdecih.

“Sial, ngga jadi megang pantat Wonu kan gue!” kata Soonyoung bercanda dan hampir ditendang oleh Mingyu. “Pelit lo, Mingyu!” katanya, berlalu meninggalkan sepasang kekasih itu sebelum benar-benar ditendang.

“Tolong ya, Nyong!” kata Wonwoo yang diberikan jempol oleh Soonyoung saat meninggalkan Wonwoo dan pacarnya itu.

“Kamu tuh, sama Soonyoung aja posesif banget. Kasian atuh, dia baru ditolak.” kata Wonwoo berjalan beriringan dengan pria itu sembari memegang lengannya yang kekar.

“Lagian mau megang pantat kamu, kan itu punya aku.” kata Mingyu mengecup pipi kekasihnya. “Terus ini kita jalan mau dibawa ke mana ini?” tanya Mingyu baru menyadari kemana tujuan kekasihnya setelah mereka sudah berjalan cukup lama.

“Ruang panitia? Di mana?”

“Owalah, salah jalan kita, Kitten!” kata Mingyu membalikkan badannya dan berjalan menuju ruang panitia.

“Nanti malem kamu ikut nginep? Pulang aja ya?” rayu Mingyu ketika mereka masih di jalan.

“Ngga ah, ngga enak. Anak-anak kan pada nginep, aku ikut juga. Kan kemaren kamu ngambek sama Bang Cheol karena aku disuruh escort special guest-nya sampe dia rela lho nyuruh kak Joshi.” kata Wonwoo.

“Ya iya, takut kamu diapa-apain ngga ada aku.” Jawab Mingyu ketika mereka sudah berhenti di depan sebuah pintu berwarna putih yang sudah ditempelkan tulisan Ruang Panitia UNTARVOLUTION 2021.

Mingyu meletakkan plastiknya, di depan pintu dengan rapih, lalu menarik tubuh kekasihnya itu, dan menyatukan kedua bibir mereka untuk saling berpagutan seakan tak ada mata yang melihat.

“Ehem! Sorry, abang yang baru ditolak mau lewat.” kata pria bermata segaris itu, lagi-lagi Soonyoung yang memergoki mereka. Wonwoo segera mengelap bibir kekasihnya, begitupun dengan Mingyu, kemudian mengambil plastik yang ada di depan pintu dan mengikuti Soonyoung masuk ke dalam.

“Gue tuh ngga heran ya Mingyu sama Wonwoo ciuman di depan pintu, tapi bawaannya kesel!” kata pria itu ketika masuk ke dalam ruang panitia dan meletakkan plastik yang berisi makanan.

“Kok lo cuma bawa plastiknya 1? 5 lagi kemana?” tanya Wonwoo.

“Udah gue bagiin ke tukang! Gue mau balik dulu ke panggung! Si Seokmin pake drama lagi berantem sama Kak Han!” dumel Soonyoung, mengambil jatah makanan untuknya serta Seokmin dan melangkah keluar.

“Makan dulu sini kali, Nyong!” kata Wonwoo, menghentikan langkah Soonyoung.

“Ngga deh, gue makan sama kang panggung aja, lagian bawain buat Seokmin juga! Chat Bang Cheol sama yang lain, kasian daritadi ngga ada istirahatnya.” kata Soonyoung tanpa memalingkan wajahnya, menghilang di balik pintu

“Lo masih diem-dieman, Ji?” yang ditanya hanya mengendikkan bahunya.

In the first place gue bilang—” kalimat Wonwoo terpotong

“Iya, gue ngga sengaja FWB-an sama Soonyoung, terus kebablasan! Emang gue mau apa kaya gini, Nu?” tanya Jihoon dengan suaranya yang meninggi.

“Iya iya, sorry. Ngga sengaja, tapi abis ini beresin ya, Ji. Gue ngga mau temen gue diem-dieman karena saling suka tapi yang satunya lagi denial.” kata Wonwoo, Seungkwan yang mendengarnya tersedak cola yang sedang diminumnya, sodanya menghajar hidungnya hingga membua hidung pria yang sedikit chubby itu memerah, pasti rasanya sakit.

“Hah! Lo lagi deh, kelakuannya!” kata Hao memberikan tissue kepada anak bontot dari keluarg Jeon itu.

“Kan apa gue bilang, Kak Jihoon suka sama Bang Nyong, tapi ngga mau ngaku karena malu! Lagian ngga Kak Ji banget ngga sih pake segala FWB-an?” tanya Seungkwan setelah hidungnya sudah kembali normal. “Lagian, tolol-tolol gitu dia juga baik tau, Kak Ji. Kata mama, punya pacar orang baik tuh rejeki.” ucapnya lagi.

“Hansol baik, Kwan! Ngga lo jadiin aja?” tanya Mingyu sedikit kumur-kumur karena sedang mengunyah makanan yang sedang disuapi oleh Wonwoo, sekarang posisi mereka semua yang ada di ruang panitia itu sedang makan di lantai yang sudah dilapisi karpet, dan Wonwoo ada di antara kaki panjang Mingyu yang sedang selonjoran.

“Terus, gimana special guestnya, Kak Won? Udah dapet kabar dari Kak Han?” tanya Seungkwan mengalihkan pembicaraan Mingyu.

“Terus, gimana yang adek kamu sama Hansol?” tanya Mingyu menggoda Seungkwan.

“Ih sumpah ya, Bang Mingyu! gue tuh tauk ah!” kata Seungkwan mengomeli kekasih kakaknya itu.

Malam semakin larut, sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Satu persatu volenteer sudah mulai pulang, tersisa dengan 11 panitia inti yang masih melihat-lihat lokasi untuk besok, tempat akan diadakannya acara maha akbar itu karena tahun ini sumbangan dan sponsorship yang datang tidak main-main banyaknya.

“Semoga besok sukses ya, gue deg-deg-an juga akhirnya!” kata ketua panitia yang sedang duduk di panggung besar melalalui mic yang dia pegang.

“Bang, kalau lo ceramah, asli gue tinggal!” dumel Wonwoo.

“Kagak anjir, Nu. Gue lagi sentimentil ini. Ceritanya terharu, akhirnya besok dateng juga. Abis itu gue bisa tidur nyenyak!” katanya, masih dengan mic yang ada digenggamannya.

“Semoga besok lancar, semua lancar sampe ke puncak acara. Semoga special guest kita juga ngga mengecewakan.”

“Yang itu ngga akan sih, Bang! Secara kan keren banget!” kata pria bule yang sudah membawa tongkat security itu.

“Iya, semoga aja ya! Terima kasih juga nih karena kalian acara ini bisa dipersiapkan dengan baik. Gue ngga tau lagi kalau bukan karena kekompakan kalian, dari drama panggung, tenda, duit, tiket, susunan acara, kamera, lensa, tripod, penyewaan alat keamanan, semuanya deh, bahkan drama dari kita-kitanya juga, gue ngga yakin kita bakal sampe di D minus one ini. Makasih banyak buat kalian yang stay di sini bantuin gue dan ngga kemana-mana. Terus sekarang gue kangen banget sama Joshua tapi orangnya malah lagi nginep di hotel sedangkan gue tidur di mobil atau di karpet tumpuk-tumpukan sama kalian.” kata Seungcheol.

“Hadah! Bapak-bapak!” kata Wonwoo menghina kakak sepupunya.

“Daah yuk! Istirahat deh, besok kita harus banget bangun pagi-pagi. Gue kayaknya mau tidur di mobil gue aja. Siapa yang mau ikut?” tanya Seungcheol. Jihoon, Seungkwan dan Hao angkat tangan.

“Gue sama Nu juga tidur di mobil ya! Ada yang mau join?” tanya Mingyu, yang lain langsung bubar. “Dih, padahal ngga niat ngapa-ngapain kan ya kita, Kitten?” tanya Mingyu kepada kekasihnya yang dijawab dengan anggukan ragu sang kekasih.

Jun, Soonyoung, Hansol, Chan dan Seokmin lebih memilih tidur di ruang panitia dibandingkan harus tidur bersama dengan Mingyu dan Wonwoo yang mereka yakini tidak mungkin tidak melakukan apa-apa di sana.

“Gue ngga percaya!” protes Jun.

“Gue sering kena tipu muslihat mereka!” kata Soonyoung.

“Ngga mungkin tidak melakukan apa-apa!” protes Hansol.

“Dari pelajaran yang gue petik sih, mungkin aja ngga malam ini, tapi bisa nanti pagi saat kalian semua sedang terlelap!” jelas Chan.

“Kalau gue liat Wonu besok jalannya aneh, atau harus lo gendong, atau kaya bebek, gue ngga nyesel deh tidur di karpet.” kata Seokmin kepada Mingyu.

Mingyu dan Wonwoo hanya tertawa mendengar keluhan teman-temannya yang menyatakan protes karena mereka sangat sering PDA, membuat para jomblowan itu merasa iri. Padahal, memang malam ini tidak ada yang terjadi antara MIngyu dan Wonwoo, mereka yang kelelahan, terlelap dan berselonjor di jok penumpang di mobil SUV Hitam yang dibawa oleh Wonwoo, ya walaupun berpelukan sih tidurnya di kursi penumpang. Tapikan mereka hanya tidur.

MAKE UP


Part of Backstage
tw: Cheol!Dom Josh!Bot, comfort each other, informal words.

Joshua keluar membawa serentetan kunci yang berbunyi nyaring ketika mendengar ada seseorang yang menggapai gembok pagar rumahnya beberapa kali, saat dia intip dari jendela, ternyata yang datang adalah pria yang ditunggunya hampir dua minggu ini. Ini merupakan surprise baginya, karena Seungcheol tiba-tiba datang ke rumahnya. 'Semoga dateng ngga nyari Han.' ucapnya dalam hati. Pria berambut gelap itu membuka gembok dengan senyum yang terpatri di wajahnya.

Pertanyaan muncul ketika Joshua sudah membuka lebar pagarnya. “Han?” Senyum pria manis itu memudar.

“Di atas. Mau ketemu Han? Bentar, aku panggilin.” Katanya dengan cepat dan segera berbalik, namun tangan Seungcheol menahannya.

“Nanya doang.” Katanya membalikkan tubuh kecil Joshua.

“Aku nyarinya kamu.” Lanjutnya. Joshua menundukkan wajahnya, mengulum senyum senangnya.

“Ngobrol yuk?” Ajak pria itu, membukakan pintu mobil SUV-nya dan mempersilahkan Joshua masuk.

Joshua melihat ke arah pintu mobil yang terbuka, sedikit meragu. Namun, pria yang masih menggunakan celana pendek rumahnya dan kaos oblong putih itu menurutinya.

Seungcheol dan Joshua kini sudah berada di mobil SUV yang sedang melaju. Suasana di dalam sangat canggung hingga Joshua salah tingkah dan mulai membaca semua tulisan di billboard yang ada di pinggir jalan, kadang dalam hati kadang bergumam. Seperti saat ini, “Oh, shopeefood free ongkir dan diskon 60%?” Tanyanya.

“Hah?” Seungcheol mendengarya, namun tidak jelas karena sedang berkutat dengan fikirannya sendiri.

“Oh, ngga. Tadi ada billboard Shopeefood.” Katanya dan kembali menundukkan kepala, sedangkan pria di sebelahnya hanya membulatkan mulutnya tanpa bersuara. 'Gue kira ngajak gue ngobrol.' gumamnya dalam hati.

“Mm.. kita mau kemana?” Tanya Joshua, akhirnya membuka suara dan memecah keheningan di mobil itu.

“Liat aja.” Jawab Seungcheol dingin.

“Aku ngga bawa hp.”

“Terus?”

“Ngabarin Hannya gimana?”

“Dia tau kok kamu lagi sama aku.”

“Oh. Oke.”

Mobil kembali hening hingga mereka sampai ditujuan ketika mobil Seungcheol memasuki perumahan Pantai Indah Kapuk.

“PIK?” Tanya Joshua kebingungan.

“Bosen ke ancol.” Singkat, padat dan jelas.

Ngga ada yang menarik di sini menurut Joshua, di ujung sana ada pantai yang menjulang luas dengan pemandangan ujung kulon dan bebatuan tanpa pengamanan. Mereka keluar mobil, Seungcheol jalan mendahului Joshua dan duduk di salah satu kursi yang disediakan di sana.

“Oh iya, kamu pake celana pendek. Bentar.” Kata Seungcheol, berjalan balik ke arah mobilnya dan mengambil selimut kecil yang selalu dia simpan di mobilnya.

“Pake ini.” Seungcheol menyelimuti paha mulus Joshua.

“Thank you.” cicitnya.

Hening merajai di antara keduanya. Seakan salah satu dari mereka belum ada yang mau angkat bicara. Joshua dan Seungcheol hanya memandang lurus ke depan, melihat cahaya matahari yang mulai tenggelam dengan air pantai yang tenang dan angin yang menampar wajah mereka berdua.

“Kamu apa kabar?” Suara Seungcheol memecah keheningan.

“Never been this bad. You?” jawab Joshua jujur. “Maafin aku – ya, Cheol.” Kalimatnya terbata-bata seakan ragu.

“Aku baik dan masih bingung.” Jawab Seungcheol. Seungcheol tentu berbohong, dia tahu apa yang ingin dia sampaikan pada pria di sampingnya. “Semua orang minta aku maafin kamu, tapi akunya ngga tau harus gimana?” Pria bersurai gelap itu mengindikkan bahunya.

“Ngga usah kalau ngga mau, Cheol. Kamu mau ngajak aku ngobrol gini aja, aku seneng kok.” Kata Joshua, meyakinkan Seungcheol bahwa pilihannya selalu akan diterima.

“Tapi, akunya ngga mau kamu sama yang lain. Aku harus apa, Josh?” Tanya Seungcheol memandang wajah Joshua yang notabene masih kekasihnya. Joshua merasakan hangat dari pipi hingga ketelinganya.

'Ngga mau liat gue sama yang lain tuh maksudnya? Baikan kan? Please, aku ngga mau putus.' gumam Joshua dalam hati, masih berharap.

“Muka kamu merah banget? Dingin ya? Mau ke mobil aja?” Tanya Seungcheol ketika melihat wajah Joshua yang sudah seperti kepiting rebus ditemani sunset kala senja itu. Joshua menggelengkan kepalanya ribut.

“Terus?”

Its okay. Lanjutin lagi. Terus?”

“Ya, what should I do?” tanya Seungcheol menyilangkan tangannya di dada. Joshua masih terdiam.

“Kamu maunya kita gimana?” Tanyanya lagi. “Jangan diem aja, Josh. I need opinion.” Kata Seungcheol lagi.

“Akunya udah boleh egois?” Jawab Joshua dengan suara mencicit.

“Kamu kan memang egois?” Seungcheol tertawa menyunggingkan senyumnya dan menunjukkan lesung di pipinya.

“Kok gitu? Kamu tuh mau damai atau mau ribut sih?” Tanya Joshua kesal.

“Aku ngga bilang kita mau damai ya.” Kata Seungcheol sambil tertawa dan menangkis cubitan gemas dari Joshua.

“Terus kita ke sini buat apa? Putus?” Tanya Joshua. Seungcheol langsung terdiam dan kembali serius seperti sedia kala dengan Joshua yang langsung terdiam mendengar ucapannya sendiri.

“Aku juga ngga mau kamu sama yang lain.” Kata Joshua dengan suaranya yang pelan.

“AKU NGGA DENGER.” Bohong, Seungcheol sangat jelas mendengar suara Joshua. “ANGINNYA KENCENG! AKU NGGA DENGER KAMU NGOMONG APA!” Katanya jahil sambil berteriak.

“Ih, ngga usah teriak, aku ngga budek!” Kata Joshua yang menahan malu karena ada beberapa orang yang menatapnya. “Ngga mau putus, akunya.”

“AAPAAA?” Seungcheol masih menjahili Joshua.

“NGGA MAU PUTUS AKUNYA!!! AKUNYA UDAH MULAI SAYANG SAMA KAMU!! PUAS???” teriak Joshua lagi dengan wajah yang memerah, pun dengan wajah Seungcheol yang mendengar pengakuan dari pacarnya itu.

“Puas! Jadi, akunya udah mulai di sayang?” Tanya Seungcheol sembari menaikkan alisnya, menjahili Joshua.

“Iya. Maafin aku, akunya jahat.”

“Ngga pa-pa, aku udah bulol ke kamu. Jangan gitu lagi ya. Sakit akunya.” Kata Seungcheol yanh di balaa anggukan yakin oleh pria di sampingnya dan meraih tubuh ramping Joshua, serta mendekapnya. 'It's been a long time. I miss you.' gumam Seungcheol sembari mengecupi puncak kepala Joshua.

“Kangen ngga dipeluk aku?” Tanya Seungcheol.

“Mmm... di bawah kamupun aku kangen.” Jawab Joshua nakal.

“Wew, Joshua baru baikan udah mau di bawah, kalau di atas gimana?” Kata Seungcheol iseng. “Joshua, please ride me” Kata Seungcheol memandang nakal ke arah kekasihnya.

“Ngga di sini, gilak! Sumpah ih!” Jawab Joshua memukul manja bahu kekasihnya itu.

“Aku udah kangen tapi—” mulut Seungcheol di bungkam dengan telapak tangan Joshua.