mnwninlove

REUNITED ↳ Mingyu/Soonyoun/Jihoon ↳ Hurt ↳ 756 words. [Narasi 17] – 11 April 2021

Sama dengan hari Minggu lainnya, aku melangkahkan kaki ke apartemen yang sudah aku singgahi hampir satu tahun ini, menemani si pemiliknya menghabiskan sisa malam kami berdua dengan berpelukan, bercanda atau sekedar bercerita tentang hari ini. Terkadang menghabiskan bermalam-malam hariku tanpa pulang dan tetap di sini, disisinya.

Saat kupijakkan kakiku ke dalam apartmenen itu hari ini, hanya kehampaan yang ada dan suhu dingin ruangan yang merajai. Mencari ke setiap sudut ruang untuk menemukan sang pemiliknya dan nihil yang kudapatkan. Kosong, tidak ada satu helai pakaian di dalam lemarinya, selain milikku. Semuanya hilang seperti ditelan bumi.

I would hold you in my arms

Segera ku ambil benda pipih dikantong saku celana jeans-ku, mencari nomer si pemilik apartemen ini dan menghubunginya segera. Telfon yang tidak tersambung dan pesan yang tidak terkirim, hanya itu yang aku dapatkan pagi ini. Dan dia menghilang lagi, sama seperti 4tahun yang lalu.

Would you tell me I was wrong? Would you help me understand?

'Jeon Wonwoo, di mana kamu, Dek?' Terduduk aku dipinggir tempat tidurnya, mencoba menghubungi siapa yang bisa aku hubungi, teman-teman dekatnya. Jawaban merekapun sama seperti dulu. Nihil, tidak ada yang tahu di mana keberadaan kekasihku.

'Jeon Wonwoo, kamu di mana?' hanya itu yang terucap baik dari bibir maupun hatiku.

I feel broke inside Sometimes I just want to hide 'cause it's you I miss

Siang ini rasanya seperti bongkahan batu besar kembali menghantamku, kakiku melemah tidak dapat menapak, badanku bergetar hebat dan air mata tak malu turun untuk membasahi pipiku. Aku kehilangan kendali atas diriku hari ini, kubiarkan diriku kembali terlihat lemah.

Wonwoo kembali menghilang tanpa meninggalkan apapun dan aku kembali tersesat mengetahui duniaku menghilang. Dan aku tetap di sini, meratapi perginya rumahku tanpa berjejak.

You know it's so hard to say goodbye when it comes to this


Berlari, itu yang gue dan suami gue lakukan ketika melihat beberapa pesan di chat box yang tidak terkirim ke nomer pemiliknya. Panik, itu yang gue rasain. Amarah, itu yang terpancar dari aura suami gue — Jihoon.

Jantung gue berdegup hebat ketika merasakan aura dingin dari sebuah apartemen yang pintunya sudah suami gue buka. Menerobos masuk, itu yang kami berdua lakukan dan sore ini. Menyaksikan seorang pria menangis dengan perihnya, mengeluarkan suara penuh luka — Kim Mingyu — di sana. Mengaduh, memohon ampun memegang dadanya, memukuli sesekali, seakan menyesal dengan kenyataan yang kini dia hadapi. Pedih rasa, hati gue seperti ikut tercabik melihatnya.

Kaki Jihoon melemah dan menangis di ambang daun pintu kamar, bersimpuh. Gue rangkul punggung kecilnya dan membiarkan dia menangis didada gue yang memang diciptakan untuknya mengeluh dan mengaduh.

Gue? Sama halnya dengan mereka berdua, air mata pun menerobos keluar seakan tidak mau kalah. Kehilangan lagi, itu yang gue rasakan saat ini. Sama kehilangannya dengan pria tinggi yang sedang menangis di dalam kamar sana, tapi tidak akan mengalahkan rasa sakit yang menghantam pria itu, lagi.

Wonwoo hilang tanpa meninggalkan jejak lagi dan hanya kalimat terakhir di chat box untuk suami gue yang berbunyi 'Gue sayang banget sama kalian semua. Talk to you later, Cimol.'

Suami gue masih menangis, bertanya “Won, lo di mana, Won?” dengan cicitannya. Menjadi kuat, itu yang harus gue lakukan kali ini. Menjadi waras, untuk dapat segara menemukan Jeon Wonwoo.

Kini gue dan Jihoon sudah terduduk di sofa panjang abu-abu di seberang TV besar di tengah ruangan itu, menatap ke jendela dengan gorden terbuka, subuh tadi, si pemilik rumah ini yang sedang mengandung itu berpamitan dan kami sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk itu. Dan kami masih merasakan kosong.

Mingyu masih menangis tanpa henti di dalam kamar Wonwoo, tidak mengindahkan gue dan Jihoon yang sesekali memintanya untuk lebih tenang. Semakin kami menenangkannya, semakin keras tangisannya.

Gue yakin masih ada sisa wangi Wonwoo di sana yang akan dihirup habis oleh Kim Mingyu hari ini. Jihoon kirimkan beberapa pesan di group Serbuk Jasjus untuk meminta bala bantuan teman-teman Mingyu untuk datang, karena kami pun bahkan tidak memiliki kekuatan untuk pergi dari tempat itu.

Jihoon menatap mata gue dengan tatapan kosong, menangis lagi tanpa suara yang menusuk-nusuk hati gue. Memeluknya adalah hal yang hanya dapat gue lakukan sore ini. Ingin rasanya gue pun merangkul pria yang terluka di dalam sana, mungkin dia butuh itu, tapi tidak, dia hanya membutuhkan Jeon Wonwoonya.

'Wonwoo, gue berharap lo sadar kalau lari bukanlah cara pemecahan masalah. Dan gue harap lo tahu kalau dunia lo, sedang hancur di tempat terakhir lo tidur tadi malem. So Wonwoo, please come back home. We will always waiting for you and your baby.'

CUPID [Narasi 1] — Kerja Kelompok ↳ Wonwoo – Jihoon ↳ Friendship ↳ 779 words.

Pria imut dengan rambut pendek bergundy yang memiliki tinggi 164 centimeter itu masuk ke dalam kamar temannya yang sedang tiduran, menatapnya yang membuka pintu dan langsung masuk itu sebentar, kemudian kembali menatap iPad yang ada pada genggamannya.

“Lo sumpah iseng banget, Nu.” Kata pria itu sembari meletakkan beberapa barang bawaannya di kursi satu-satunya yang terdapat di kamar dengan luas 3x4, menanggapi sign kamar yang barusan dia post di timeline twitternya.

Ini bukan kali pertama Lee Jihoon berada di kamar kossan teman dekatnya sejak menjadi mahasiswa baru itu, namun selalu saja ada tingkah laku ajaib temannya ini — Jeon Wonwoo — setiap kali dia melangkahkan kakinya di kossan ini. Entah sedang kesal dengan teman se-kossan-nya atau sedang kesal dengan tugasnya.

“Biarin aja, orangnya ngeselin!” jawab pria yang dipanggil Nu itu.

“Siapa sih orang yang ngga ngeselin buat lo, Nu?” tanya Jihoon sembari mengambil buku besar yang berisi konsep bangunan-bangunan dengan arsitektur Renaissance.

“Lo, kadang!” kata pria berkacamata bundar itu berdiri dari posisinya dan menghampiri Jihoon yang sedang membuka buku besar yang berisi banyak konsep yang menjadi sumber inspirasi untuk mereka berdua mengerjakan tugas Studio Perancangan Arsitektur 2, awal tugas semester 3.

“Haha. Dasar lo!” pukul Jihoon ringan ke jidat Wonwoo yang jelas lebih tinggi darinya. “Tuh, tadi gue beliin susu strawberry pesenan sok imut lo! Najis!” kata Jihoon menunjuk paperbag yang dia bawa saat masuk ke kamar tergeletak di lantai.

“Lo mau mukbang snack di kossan gue?” tanya Wonwoo saat melihat paperbag yang dibawa Jihoon tadi, berisi banyak jenis camilan.

“Kalau ga abis, kasihin aja ke anak kossan lo—” kata-kata Jihoon terputus saat seseorang menerobos masuk ke kamar Wonwoo dan membukanya dengan kasar.

“JEON WONWOO! KALAU GUE—” kata-katanya terhenti ketika melihat ada 2 orang pria sedang terkejut karena ada seorang masuk secara paksa ke dalam ruangan itu, Jihoon pasti lupa mengunci pintu kamar.

“Oh, ada tamu. Sorry.” kata pria dengan mata irit di ambang pintu yang terbuka lebar sambil tersenyum dan membuat matanya hilang, tinggal segaris.

“Mau ngomong apa lo?” kata Wonwoo ketika tersadar dari keterkejutannya saat pintu kamarnya terbuka dengan judes.

“Hah?” tanya pria yang masih memegang gagang pintu kamar Wonwoo.

“Oh, ngga. Gue mau ngambil charger-an guekan, kayaknya ketinggalan di sini kemaren.” kata pria itu, menggaruk tengkuk leher belakangnya yang tidak gatal sama sekali.

“Masuk aja, Kak.” pinta Jihoon dengan sopan kepada pria yang sedang salah tingkah itu.

“KAK???? HAHAHAHA.” tawa Wonwoo kegirangan. “Kak Soonyoung, masuk aja! Cari charger-annya terus enyah ya, soalnya, adek mau ngerjain tugas kelompok.” kata Wonwoo sambil bercanda dan menarik Jihoon untuk duduk di karpet. Soonyoung hanya tersenyum kecut dan mulai mencari benda yang dia rasa memang tertinggal di kamar itu.

'Bangsat nih si Wonu!' dumelnya dalam hati, 'untung ada temennya, kalau ngga udah gue smack down itu anak!' masih dumelannya dalam hati sambil mencari benda kotak dengan tali panjang yang dapat membantu masa depannya, karena dia harus mengerjakan tugas dan dengan sopannya, leptopnya mati 5 menit yang lalu, memaksa dia harus ke kamar Wonwoo, seperti saat ini.

'DAPET! Benerkan si anying ada di sini.' kata Soonyoung dalam hati.

“Ada nih, Nu.” menunjukkan kabel yang dia temukan, Wonwoo melihat dan hanya mengacungkan jempol, acuh seperti biasanya. “Gue naik dulu. Permisi.” kata Soonyoung tersenyum sopan kepada Jihoon dan sedikit menundukkan kepalanya, Wonwoo menutup mulutnya ketika melihat tingkah Soonyoung karena dia tidak pernah melakukan itu pada si empunya kamar. Kaget, Unyong bisa sopan!

“Kak, itu ada cola, suka soda?” tanya Jihoon sambil berdiri mengambil sebuah botol soda dari paperbag dan berjalan ke arah Soonyoung yang sudah ingin menutup pintu kamar Wonwoo.

“Eh?” tanya Soonyoung sembari menunjuk dirinya sendiri, kaget.

“Iya, ini.” kata Jihoon menyodorkan botol soda yang ada ditangannya kepada Soonyoung yang masih bengong. Tidak kalah, Wonwoo pun ikut terkejut dengan pemandangan yang kini dia lihat.

“Oh, wah, thank you.” kata Soonyoung mengambil botol soda itu dan menutup pintu kamar Wonwoo, berlalu kembali ke habitatnya.

“Tumben manis banget sama umat manusia?” tanya Wonwoo, sedikit terkejut melihat tingkah laku temannya.

“Kasian, udah masuk-masuk teriak terus disuruh cari charger-annya sendiri. Pasti tenggorokannya seret.” Kata Jihoon dengan tenang kembali ke sebelah Wonwoo.

“Jadi, kita pake konsep ini aja, Won. Lebih gampang eksekusi kayaknya.” kata Jihoon mengalihkan perhatian Wonwoo kepada konsep yang akan mereka gunakan untuk membuat proposal dan maket untuk semester ini. Wonwoo manggut-manggut sambil melihat gambar dan susunan yang ditunjuk ole Jihoon, tanda setuju.

“Siapa lagi sih yang bikin kaya kita, Ji?” tanya Wonwoo sembari membuat notes di iPad-nya.

“Migu, Hao, Jaehyun, totalnya ada 10 kelompok seinget gue.” kata Jihoon, sambil mengingat-ingat namun dia menyerah.

“Tapi, kelompoknya Migu gue hands up deh. Orangnya pacaran muluk!” kata Jihoon santai, yang diikuti oleh tawa Wonwoo.

REUNITED ↳ Mingyu/Wonwoo ↳ fluff, mild matured content ↳ 1.9k words. [Narasi 16] – Happy Birthday, Kim Mingyu

Tanggal 6 April mungkin merupakan tanggal yang biasa saja untuk sebagian orang, tapi berbeda denganku karena tanggal 6 April merupakan tanggal yang tidak mungkin aku lupakan, ulang tahun the man who is always be the first to me  — Kim Mingyu.

Kemarin aku sudah bersekongkol dengan Kwannie untuk merayakan kecil-kecilan ulang tahun orang yang selalu aku panggil Kak Mingyu itu di rooftop gedung WherzKim, tempat team Mingyu, Hao dan Dikey sering menghabiskan waktu mereka untuk waktu berbincang-bincang atau ada acara yang sedang mereka rayakan. Seperti biasanya, Kwannie selalu menjadi seksi repot karena harus menyiapkan ini itu yang dibantu oleh pacarnya Bonon dan tentu saja anak-anak lain merecokinya dengan ide-ide liar mereka.

Kwannie mengirimku pesan 'Decor udah beres ya, kak. Makanannya juga udah sampe, gue sama anak-anak lagi beresin semuanya, 40 menit lagi lo bisa dateng kak.' tak lupa aku balas dengan ucapan terima kasih kepadanya, karena aku memang selalu berterima kasih dengan pria yang paling muda itu.

Sedangkan di apartemenku, pria yang berulang tahun itu malah sedang asik duduk santai menonton Spongebob dengan bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana boxernya.

“Kak, hari ini ulang tahun kamu lho, masa kamu nonton Spongebob sambil sempakan gitu sih?” Tanyaku yang sedang menyeduh susu ibu hamil dari dapur. Oh iya, untuk kehamilanku, aku belum ngobrol apa-apa sih dengan si kakak. Biarlah untuk sekarang.

“Di sini aja, memang mau kemana?” Tanya si dia.

“Ya pengen jalan, aku mau makan enak.” Jawabku, membawa gelas susuku dan duduk di sebelahnya.

“Kamu sekarang jadi rajin minum susu kalau aku liat-liat.” Kata Kak Mingyu melihat isi gelasku. Yaiya, buat jabang bayiku, punyamu juga.

“Mau?” Tanyaku menyodorkan gelasku yang dijawab dengan gelengan. Aku ngga tau dia bisa tinggi selain keturunan dan bermain basket itu gimana? Karena si dia tidak menyukai susu.

“Terus, mau kemana?” Tanyanya, matanya kini sudah terfokus padaku.

“Aku lagi pengen difoto sama kamu, tapi pake kamera Leica kamu yang di kantor itu, Kak.” Kataku tenang, karena aku tahu kamera itu selalu bertengger di lemari koleksi kameranya.

“Yang kemaren aku bilang hasil gambarnya bagus?” Tanyanya dan langsung aku jawab dengan anggukan. “Ke SCBD dulu dong aku? Kan kameranya di studio.” Katanya dengan bibir yang dibuat seperti sabit ke bawah, ngambek.

“Hari ini lagi males kemana-mana ya?” Tanyaku sambil menyenderkan kepalaku di dadanya yang dibalas dengan belaian di surai rambutku.

“Iya, pengen kaya gini aja, berdua sama kamu. Peluk-peluk, gemes-gemes.” Katanya mengguncangkan seluruh tubuhku dengan pelukan eratnya dan sesekali mencium pucuk kepalaku. Aku tertawa menanggapi tingkah lakunya.

“Ngga boleh, soalnya hari ini kamu ulang tahun, kita harus ke luar pokoknya. Aku mau kamu fotoin. Kamu ngga pernah foto aku.” kataku dengan mencibikkan bibirku yang tipis.

“Kata siapa sih aku ngga pernah foto kamu, wong cuma ada foto kamu di gallery handphone-ku.” katanya, masih memelukku yang kubalas dengan pelukan.

“Kamu ngga pernah fotoin aku pake camera profesional kamu ih. Kamu kakak photographer yang sexy itu bukan sih?” tanyaku iseng, mengeratkan pelukanku.

“Boleh, tapi ada satu syarat.” kata si dia melepaskan pelukannya. Aku mengangkat kedua alisku yang artinya aku bertanya apa syaratnya?.

“Aku mau—” kata-katanya menggantung, dia menggendongku dengan bridal style ke kamar, menaruh tubuhku yang ringkih ini dengan perlahan ke atas kasur dan mengukungku di bawahnya.

Aku langsung mengalungkan tanganku ke tengkuk lehernya, membiarkan tubuh kami saling menempel dan mengikis jarak yang ada. Dia mulai menciumi lembut seluruh area wajahku, mengecup beberapa kali belah bibirku dan mulai mengulumnya perlahan.

“Aku mau kaya gini sama kamu aja, Nu. Dalam waktu yang lamaaa banget.” kata si dia, mengecup pipiku dengan gemas. Aku tersenyum dan mengangguk dicuruk lehernya.

“Jadi aku ngga butuh kado tahun ini. Ga usah tanya lagi.” kata Kak Mingyu lagi.

“Ga mau sesuatu yang bisa kamu pake?” tanyaku yang langsung dijawab yakin dengan gelengan oleh si dia. Yang artinya, dia ngga mau.

Satu tangannya sudah mengelus surai rambutku dan satu tangan lainnya sudah ada berada dipinggangku, mulai naik ke atas punggungku dan mengelusnya. Dada yang sedari tadi telanjang di atasku, kini sudah menyentuh tubuhku yang sama-sama tidak tertutupi sehelai kainpun. Entah kapan pakaianku sudah lepas, aku tidak begitu ingat.

“Sayang, boleh jangan tindihin aku ngga?” tanyaku sambil tersenyum ketika aku merasakan sesak, karena badannya yang bongsor itu menindih badanku yang kecil ini dengan adanya si Kacang Mede di perut ini.

“Kenapa?” tanyanya bingung, berpindah ke sampingku, aku menghadapkan badanku menyamping ke arahnya.

“Gak apa sih, pengen sambil nyamping aja. Ya?” tanyaku menangkup pipinya dan menciumi bibirnya dengan lembut.

Si dia mulai melakukan hubungan intim kami, dengan mengulum belah bibirku terlebih dahulu dengan lebih menuntut dari sebelumnya, menjelajahi tubuhku dengan tangan dan bibirnya, menanggalkan kain yang tersisa ditubuh kami. Kekasihku itu mulai mengelus bagian bawah belakangku, memasukkan satu demi satu jari ke dalam lubangku dengan lantunan desahanku yang menyertai temponya. Dengan aku yang tidak mau kalah dan ingin mendengar desahannya pula. Menyentuh kepunyaan si dia dan mulai memanjakannya di bawah sana.

Hanya suara erangan serta “Ah! Ah! Ah!” yang bersahutan dan saling menyebutkan nama kami masing-masing dalam desahan yang kini sangat jelas terdengar dari kamar utama apartemen ini hingga putih ku keluar berhamburan di perutku dan putihnya keluar di dalamku.

Membersihkan diri dan segera berangkat ke WherzKim studio adalah tujuan kami selanjutnya. Tentu saja, aku tidak lupa memberitahukan Kwannie bahwa kami akan datang terlambat dan aku rasa Kwannie memakluminya.


“HAPPY BIRTHDAY, BANG MINGYU!!!” Suara riuh itu terdengar ketika aku dan si dia yang berulang tahun menginjakkan kaki di rooftop gedung itu.

“Kerjaan kamu?” tanyanya sambil tersenyum ke arahku. The smile that I will tattoo in my memory forever, dengan gigi taring yang terlihat menambah ketampanan pria tinggi ini. Priaku.

Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya, “Iya, tapi aku dibantuin sama Kwan, Non dan yang lainnya juga kok. Yuk!” kataku, menggenggam tangannya. Tangan yang selama ini selalu aku rasa hanya tercipta untuk aku genggam karena ukurannya yang pas dengan tanganku.

Aku, Kak Mingyu dan team WherzKim menikmati malam ini, tertawa bersama, menghabiskan makanan yang aku pesan untuk mentraktir mereka.

“Kamu ngga bener-bener minta aku fotoin ya?” tanyanya ketika sudah berada di sampingku dan memeluk pinggangku dengan posesifnya.

“Aku mau banget kok difotoin kamu kalau kamunya juga mau motoin aku.” kayaku dengan tersenyum ke arahnya. Menyenderkan kepalaku di bahu bidangnya.

“Ga usah ditanya, kalau cuma boleh jadi kang foto kamu seumur hidup aku juga mau.” kata dia mengelus surai rambutku, aku membalas dengan pukulan kecil di dadanya, gemes.

Si dia memang selalu seperti itu, menunjukkan seakan-akan aku adalah poros dunianya. Menjadikan aku adalah seperti satu-satunya yang memang sangat cocok berada di sisinya, seolah-olah tidak ada Kim Mingyu tanpa Jeon Wonwoo dan itu membuatku sangat merasa bahagia dan juga bersalah secara bersamaan sebenarnya. Menikmati menjadi prianya is the only thing I always do. Trying to be grateful for being beside him again after what happened to us in the past.

“Masuk yuk! Biar anak-anak yang beresin, nanti kamu masuk angin, Yang.” ajak si dia yang kini sudah beranjak dan mengulurkan tangannya yang langsung aku sambut.


Belakangan ini si dia memang terlihat agak lebih pendiam dari biasanya, lebih murung dan yang paling aneh adalah kerjaannya yang biasanya sangat mencuri waktunya kini lebih senggang. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku harap.

Si dia — Jeon Wonwoo — ini suka meminta hal yang menurutku tidak biasa belakangan ini. Seperti hari Sabtu kemarin, dia meminta diajak ke taman kota untuk membeli mangga. Biasanya, kita hanya cukup ke supermarket dan memotong mangga sendiri di depan TV sambil menonton drama series Netflix favoritnya. Atau seperti kemarin, dia meminta Hokkaido Cheesecake dan Kokumi, sedangkan si dia jarang banget makan minuman bubble kekinian dan hanya menyukai cheese cake topping strawberry Harvest atau Pablo.

Hari ini, permintaannya lebih aneh lagi, minta di foto dengan kamera Leica M10-R yang hanya aku jadikan pajangan di ruangan kantorku.

“Masuk yuk! Biar anak-anak yang beresin, nanti kamu masuk angin, Yang.” kataku kepada si dia, mengulurkan tanganku agar dia dapat berdiri sebagai aku yang menjadi penyangganya. Seperti biasa, dia langsung menyambut uluran tanganku.

“Gue turun duluan! Beresin yang bener!” pintaku kepada teamku yang memang sedari tadi masih santai dengan sampah dan bekas makanan berceceran di sana. “Oh iya, Kwan!” kataku memanggil personil teamku yang termuda di WherzKim itu.

“Yes, Bang?” tanyanya dengan mengangkat kepalanya yang sedang bersender pada pacarnya.

“Gue di studio Madonna, jangan ada yang ke lantai 2!” pintanya yang langsung disambut oleh riuhan suara dari anggota team ku yang lain termasuk Hao dan Dikey. Biangnya sih memang Dikey, siapa lagi. Terlihat sepintas kekasihku itu menutup muka dengan gemasnya, yang membuatku semakin dibuat gila.

Iya, sudah gila dan semakin menggila.

Aku meninggalkan mereka yang masih riuh seperti di pasar tradisional, menggenggam tangan Wonwoo untuk menuju ruangan yang aku sebutkan tadi. Si dia masih diam terpaku di depan backdrop putih yang memang sudah tersedia di sana, ketika aku minta dia untuk berdiri di tempatnya sekarang.

“Sayang kamu tuh lagi jadi patung apa gimana sekarang?” tanya ku sesaat setelah kembali dengan kamera yang tadi sempat kekasihku sebutkan itu.

“Ngga ih! Aku bingung, ini aku ngapain sekarang?” tanyanya, menutupi mukanya malu. “Aku ngga beneran minta kamu fotoin, Babe. Aku tuh bercanda biar kita ke sini. I want to give you a little surprise party.” katanya lagi.

“Iya, tapi ngga apa toh aku beneran moto kamu, biar kamu tau lho ini pacarmu beneran tukang foto.” jawabku santai, mulai membidikkan kamera kepadanya.

“Yuk, sini liat ke aku!” pintaku sambil menghitung sebelum suara shutter terdengar. Dan kuulangi beberapa kali, hingga dia berlari ke arahku dan memeluk pinggangku.

“Udah ih, aku maluu.” katanya, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Aku mengelus surainya.

“Iya udah, udah banyak kok.” kataku mengecup puncak kepalanya. Dia masih memelukku, seperti ini dia seminggu belakangan, clingy yang sangat aku sukai.

Wajah si dia kini sudah menghadapku, “Kak..” panggilnya yang aku jawab dengan dehaman. “I love you?” katanya sambil memegang bahuku. “Happy birthday, Kak. Wishes you all the best. Aku berharap yang terbaik semua untuk kakak.” do'anya dengan penuh ketulusan di sana.

“Aku juga sayang kamu banget, Wonu.” kataku sembari memeluk tubuh rampingnya dan menenggelamkan wajahku di curuk lehernya.

“Terima kasih hari ini ya, Sayang. Aku seneng banget.” kataku lagi, mengelus pundaknya bermaksud untuk memberikan afeksi dan memberitahunya bahwa hari ini aku memang sangat bahagia.

Si dia menuntun wajahku untuk mendekat dengan wajahnya, dikecupnya bibirku panjang, bukan lumatan hanya kecupan. Aku yang mulai melumat perlahan bibir merah jambu cantik itu, semakin lama semakin intens, satu lumatan yang berubah dengan ciuman liar hingga terdengar suara desahan di sela-sela ciuman kami. Tangannya mulai masuk ke dalam t-shirt yang kugunakan, meraba perut ku, akupun melakukan hal yang sama dan dia terkejut, melepaskan tautan kami.

“Eh kenapa?” tanyaku pada si dia.

“Ah? Ngga, kaget aku, kita udah matiin kompor belum ya tadi? Lampu kamar udah dimatiin belum ya?” tanyanya, kelabakan.

“Kayaknya udah semua, yang.” kataku ketika melihat wajahnya yang sedang panik dan ingin kembali menciumnya kembali.

“Pulang aja kali ya kita, Kak? Aku ngga enak deh perasaan, kaya ada yang ganjel.” katanya, menarik tanganku, menolak ciumanku. Kuambil kamera yang tadi aku letakkan di dekatku dan mengikuti langkah kaki pria ini.

Pulang ke apartemennya dan menghabiskan sisa malam ini dengan mendengar desahan kekasihku yang kini sudah ada di atasku. Bergerak naik dan turun dengan teratur, sesekali memanggil namaku dengan desahan sexynya begitupun denganku yang sesekali berkata kasar dan mendesah memanggil namanya.

Beginilah bagaimana kami menghabiskan tanggal 6 April tahun ini. Selamat ulang tahun aku, Kim Mingyu. Semoga Jeon Wonwoo selalu menjadi pusat duniaku, karena aku tahu tidak ada kata yang lebih tepat selain, aku sangat mencintai pria di atasku ini.

REUNITED ↳ Mingyu/Wonwoo ↳ fluff ↳ 1.9k words. [Narasi 16] – Happy Birthday, Kim Mingyu

Tanggal 6 April mungkin merupakan tanggal yang biasa saja untuk sebagian orang, tapi berbeda denganku karena tanggal 6 April merupakan tanggal yang tidak mungkin aku lupakan, ulang tahun the man who is always be the first to me  — Kim Mingyu.

Kemarin aku sudah bersekongkol dengan Kwannie untuk merayakan kecil-kecilan ulang tahun orang yang selalu aku panggil Kak Mingyu itu di rooftop gedung WherzKim, tempat team Mingyu, Hao dan Dikey sering menghabiskan waktu mereka untuk waktu berbincang-bincang atau ada acara yang sedang mereka rayakan. Seperti biasanya, Kwannie selalu menjadi seksi repot karena harus menyiapkan ini itu yang dibantu oleh pacarnya Bonon dan tentu saja anak-anak lain merecokinya dengan ide-ide liar mereka.

Kwannie mengirimku pesan 'Decor udah beres ya, kak. Makanannya juga udah sampe, gue sama anak-anak lagi beresin semuanya, 40 menit lagi lo bisa dateng kak.' tak lupa aku balas dengan ucapan terima kasih kepadanya, karena aku memang selalu berterima kasih dengan pria yang paling muda itu.

Sedangkan di apartemenku, pria yang berulang tahun itu malah sedang asik duduk santai menonton Spongebob dengan bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana boxernya.

“Kak, hari ini ulang tahun kamu lho, masa kamu nonton Spongebob sambil sempakan gitu sih?” Tanyaku yang sedang menyeduh susu ibu hamil dari dapur. Oh iya, untuk kehamilanku, aku belum ngobrol apa-apa sih dengan si kakak. Biarlah untuk sekarang.

“Di sini aja, memang mau kemana?” Tanya si dia.

“Ya pengen jalan, aku mau makan enak.” Jawabku, membawa gelas susuku dan duduk di sebelahnya.

“Kamu sekarang jadi rajin minum susu kalau aku liat-liat.” Kata Kak Mingyu melihat isi gelasku. Yaiya, buat jabang bayiku, punyamu juga.

“Mau?” Tanyaku menyodorkan gelasku yang dijawab dengan gelengan. Aku ngga tau dia bisa tinggi selain keturunan dan bermain basket itu gimana? Karena si dia tidak menyukai susu.

“Terus, mau kemana?” Tanyanya, matanya kini sudah terfokus padaku.

“Aku lagi pengen difoto sama kamu, tapi pake kamera Leica kamu yang di kantor itu, Kak.” Kataku tenang, karena aku tahu kamera itu selalu bertengger di lemari koleksi kameranya.

“Yang kemaren aku bilang hasil gambarnya bagus?” Tanyanya dan langsung aku jawab dengan anggukan. “Ke SCBD dulu dong aku? Kan kameranya di studio.” Katanya dengan bibir yang dibuat seperti sabit ke bawah, ngambek.

“Hari ini lagi males kemana-mana ya?” Tanyaku sambil menyenderkan kepalaku di dadanya yang dibalas dengan belaian di surai rambutku.

“Iya, pengen kaya gini aja, berdua sama kamu. Peluk-peluk, gemes-gemes.” Katanya mengguncangkan seluruh tubuhku dengan pelukan eratnya dan sesekali mencium pucuk kepalaku. Aku tertawa menanggapi tingkah lakunya.

“Ngga boleh, soalnya hari ini kamu ulang tahun, kita harus ke luar pokoknya. Aku mau kamu fotoin. Kamu ngga pernah foto aku.” kataku dengan mencibikkan bibirku yang tipis.

“Kata siapa sih aku ngga pernah foto kamu, wong cuma ada foto kamu di gallery handphone-ku.” katanya, masih memelukku yang kubalas dengan pelukan.

“Kamu ngga pernah fotoin aku pake camera profesional kamu ih. Kamu kakak photographer yang sexy itu bukan sih?” tanyaku iseng, mengeratkan pelukanku.

“Boleh, tapi ada satu syarat.” kata si dia melepaskan pelukannya. Aku mengangkat kedua alisku yang artinya aku bertanya apa syaratnya?.

“Aku mau—” kata-katanya menggantung, dia menggendongku dengan bridal style ke kamar, menaruh tubuhku yang ringkih ini dengan perlahan ke atas kasur dan mengukungku di bawahnya.

Aku langsung mengalungkan tanganku ke tengkuk lehernya, membiarkan tubuh kami saling menempel dan mengikis jarak yang ada. Dia mulai menciumi lembut seluruh area wajahku, mengecup beberapa kali belah bibirku dan mulai mengulumnya perlahan.

“Aku mau kaya gini sama kamu aja, Nu. Dalam waktu yang lamaaa banget.” kata si dia, mengecup pipiku dengan gemas. Aku tersenyum dan mengangguk dicuruk lehernya.

“Jadi aku ngga butuh kado tahun ini. Ga usah tanya lagi.” kata Kak Mingyu lagi.

“Ga mau sesuatu yang bisa kamu pake?” tanyaku yang langsung dijawab yakin dengan gelengan oleh si dia. Yang artinya, dia ngga mau.

Satu tangannya sudah mengelus surai rambutku dan satu tangan lainnya sudah ada berada dipinggangku, mulai naik ke atas punggungku dan mengelusnya. Dada yang sedari tadi telanjang di atasku, kini sudah menyentuh tubuhku yang sama-sama tidak tertutupi sehelai kainpun. Entah kapan pakaianku sudah lepas, aku tidak begitu ingat.

“Sayang, boleh jangan tindihin aku ngga?” tanyaku sambil tersenyum ketika aku merasakan sesak, karena badannya yang bongsor itu menindih badanku yang kecil ini dengan adanya si Kacang Mede di perut ini.

“Kenapa?” tanyanya bingung, berpindah ke sampingku, aku menghadapkan badanku menyamping ke arahnya.

“Gak apa sih, pengen sambil nyamping aja. Ya?” tanyaku menangkup pipinya dan menciumi bibirnya dengan lembut.

Si dia mulai melakukan hubungan intim kami, dengan mengulum belah bibirku terlebih dahulu dengan lebih menuntut dari sebelumnya, menjelajahi tubuhku dengan tangan dan bibirnya, menanggalkan kain yang tersisa ditubuh kami. Kekasihku itu mulai mengelus bagian bawah belakangku, memasukkan satu demi satu jari ke dalam lubangku dengan lantunan desahanku yang menyertai temponya. Dengan aku yang tidak mau kalah dan ingin mendengar desahannya pula. Menyentuh kepunyaan si dia dan mulai memanjakannya di bawah sana.

Hanya suara erangan serta “Ah! Ah! Ah!” yang bersahutan dan saling menyebutkan nama kami masing-masing dalam desahan yang kini sangat jelas terdengar dari kamar utama apartemen ini hingga putih ku keluar berhamburan di perutku dan putihnya keluar di dalamku.

Membersihkan diri dan segera berangkat ke WherzKim studio adalah tujuan kami selanjutnya. Tentu saja, aku tidak lupa memberitahukan Kwannie bahwa kami akan datang terlambat dan aku rasa Kwannie memakluminya.


“HAPPY BIRTHDAY, BANG MINGYU!!!” Suara riuh itu terdengar ketika aku dan si dia yang berulang tahun menginjakkan kaki di rooftop gedung itu.

“Kerjaan kamu?” tanyanya sambil tersenyum ke arahku. The smile that I will tattoo in my memory forever, dengan gigi taring yang terlihat menambah ketampanan pria tinggi ini. Priaku.

Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya, “Iya, tapi aku dibantuin sama Kwan, Non dan yang lainnya juga kok. Yuk!” kataku, menggenggam tangannya. Tangan yang selama ini selalu aku rasa hanya tercipta untuk aku genggam karena ukurannya yang pas dengan tanganku.

Aku, Kak Mingyu dan team WherzKim menikmati malam ini, tertawa bersama, menghabiskan makanan yang aku pesan untuk mentraktir mereka.

“Kamu ngga bener-bener minta aku fotoin ya?” tanyanya ketika sudah berada di sampingku dan memeluk pinggangku dengan posesifnya.

“Aku mau banget kok difotoin kamu kalau kamunya juga mau motoin aku.” kayaku dengan tersenyum ke arahnya. Menyenderkan kepalaku di bahu bidangnya.

“Ga usah ditanya, kalau cuma boleh jadi kang foto kamu seumur hidup aku juga mau.” kata dia mengelus surai rambutku, aku membalas dengan pukulan kecil di dadanya, gemes.

Si dia memang selalu seperti itu, menunjukkan seakan-akan aku adalah poros dunianya. Menjadikan aku adalah seperti satu-satunya yang memang sangat cocok berada di sisinya, seolah-olah tidak ada Kim Mingyu tanpa Jeon Wonwoo dan itu membuatku sangat merasa bahagia dan juga bersalah secara bersamaan sebenarnya. Menikmati menjadi prianya is the only thing I always do. Trying to be grateful for being beside him again after what happened to us in the past.

“Masuk yuk! Biar anak-anak yang beresin, nanti kamu masuk angin, Yang.” ajak si dia yang kini sudah beranjak dan mengulurkan tangannya yang langsung aku sambut.


Belakangan ini si dia memang terlihat agak lebih pendiam dari biasanya, lebih murung dan yang paling aneh adalah kerjaannya yang biasanya sangat mencuri waktunya kini lebih senggang. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku harap.

Si dia — Jeon Wonwoo — ini suka meminta hal yang menurutku tidak biasa belakangan ini. Seperti hari Sabtu kemarin, dia meminta diajak ke taman kota untuk membeli mangga. Biasanya, kita hanya cukup ke supermarket dan memotong mangga sendiri di depan TV sambil menonton drama series Netflix favoritnya. Atau seperti kemarin, dia meminta Hokkaido Cheesecake dan Kokumi, sedangkan si dia jarang banget makan minuman bubble kekinian dan hanya menyukai cheese cake topping strawberry Harvest atau Pablo.

Hari ini, permintaannya lebih aneh lagi, minta di foto dengan kamera Leica M10-R yang hanya aku jadikan pajangan di ruangan kantorku.

“Masuk yuk! Biar anak-anak yang beresin, nanti kamu masuk angin, Yang.” kataku kepada si dia, mengulurkan tanganku agar dia dapat berdiri sebagai aku yang menjadi penyangganya. Seperti biasa, dia langsung menyambut uluran tanganku.

“Gue turun duluan! Beresin yang bener!” pintaku kepada teamku yang memang sedari tadi masih santai dengan sampah dan bekas makanan berceceran di sana. “Oh iya, Kwan!” kataku memanggil personil teamku yang termuda di WherzKim itu.

“Yes, Bang?” tanyanya dengan mengangkat kepalanya yang sedang bersender pada pacarnya.

“Gue di studio Madonna, jangan ada yang ke lantai 2!” pintanya yang langsung disambut oleh riuhan suara dari anggota team ku yang lain termasuk Hao dan Dikey. Biangnya sih memang Dikey, siapa lagi. Terlihat sepintas kekasihku itu menutup muka dengan gemasnya, yang membuatku semakin dibuat gila.

Iya, sudah gila dan semakin menggila.

Aku meninggalkan mereka yang masih riuh seperti di pasar tradisional, menggenggam tangan Wonwoo untuk menuju ruangan yang aku sebutkan tadi. Si dia masih diam terpaku di depan backdrop putih yang memang sudah tersedia di sana, ketika aku minta dia untuk berdiri di tempatnya sekarang.

“Sayang kamu tuh lagi jadi patung apa gimana sekarang?” tanya ku sesaat setelah kembali dengan kamera yang tadi sempat kekasihku sebutkan itu.

“Ngga ih! Aku bingung, ini aku ngapain sekarang?” tanyanya, menutupi mukanya malu. “Aku ngga beneran minta kamu fotoin, Babe. Aku tuh bercanda biar kita ke sini. I want to give you a little surprise party.” katanya lagi.

“Iya, tapi ngga apa toh aku beneran moto kamu, biar kamu tau lho ini pacarmu beneran tukang foto.” jawabku santai, mulai membidikkan kamera kepadanya.

“Yuk, sini liat ke aku!” pintaku sambil menghitung sebelum suara shutter terdengar. Dan kuulangi beberapa kali, hingga dia berlari ke arahku dan memeluk pinggangku.

“Udah ih, aku maluu.” katanya, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Aku mengelus surainya.

“Iya udah, udah banyak kok.” kataku mengecup puncak kepalanya. Dia masih memelukku, seperti ini dia seminggu belakangan, clingy yang sangat aku sukai.

Wajah si dia kini sudah menghadapku, “Kak..” panggilnya yang aku jawab dengan dehaman. “I love you?” katanya sambil memegang bahuku. “Happy birthday, Kak. Wishes you all the best. Aku berharap yang terbaik semua untuk kakak.” do'anya dengan penuh ketulusan di sana.

“Aku juga sayang kamu banget, Wonu.” kataku sembari memeluk tubuh rampingnya dan menenggelamkan wajahku di curuk lehernya.

“Terima kasih hari ini ya, Sayang. Aku seneng banget.” kataku lagi, mengelus pundaknya bermaksud untuk memberikan afeksi dan memberitahunya bahwa hari ini aku memang sangat bahagia.

Si dia menuntun wajahku untuk mendekat dengan wajahnya, dikecupnya bibirku panjang, bukan lumatan hanya kecupan. Aku yang mulai melumat perlahan bibir merah jambu cantik itu, semakin lama semakin intens, satu lumatan yang berubah dengan ciuman liar hingga terdengar suara desahan di sela-sela ciuman kami. Tangannya mulai masuk ke dalam t-shirt yang kugunakan, meraba perut ku, akupun melakukan hal yang sama dan dia terkejut, melepaskan tautan kami.

“Eh kenapa?” tanyaku pada si dia.

“Ah? Ngga, kaget aku, kita udah matiin kompor belum ya tadi? Lampu kamar udah dimatiin belum ya?” tanyanya, kelabakan.

“Kayaknya udah semua, yang.” kataku ketika melihat wajahnya yang sedang panik dan ingin kembali menciumnya kembali.

“Pulang aja kali ya kita, Kak? Aku ngga enak deh perasaan, kaya ada yang ganjel.” katanya, menarik tanganku, menolak ciumanku. Kuambil kamera yang tadi aku letakkan di dekatku dan mengikuti langkah kaki pria ini.

Pulang ke apartemennya dan menghabiskan sisa malam ini dengan mendengar desahan kekasihku yang kini sudah ada di atasku. Bergerak naik dan turun dengan teratur, sesekali memanggil namaku dengan desahan sexynya begitupun denganku yang sesekali berkata kasar dan mendesah memanggil namanya.

Beginilah bagaimana kami menghabiskan tanggal 6 April tahun ini. Selamat ulang tahun aku, Kim Mingyu. Semoga Jeon Wonwoo selalu menjadi pusat duniamu, karena aku tahu tidak ada kata yang lebih tepat selain, aku sangat mencintai pria di atasku ini.

REUNITED ↳ Mingyu/Wonwoo ↳ fluff ↳ 1.9k words. [Narasi 16] – Happy Birthday, Kim Mingyu

Tanggal 6 April mungkin merupakan tanggal yang biasa saja untuk sebagian orang, tapi berbeda denganku karena tanggal 6 April merupakan tanggal yang tidak mungkin aku lupakan, ulang tahun the man who is always be the first to me  — Kim Mingyu.

Kemarin aku sudah bersekongkol dengan Kwannie untuk merayakan kecil-kecilan ulang tahun orang yang selalu aku panggil Kak Mingyu itu di rooftop gedung WherzKim, tempat team Mingyu, Hao dan Dikey sering menghabiskan waktu mereka untuk waktu berbincang-bincang atau ada acara yang sedang mereka rayakan. Seperti biasanya, Kwannie selalu menjadi seksi repot karena harus menyiapkan ini itu yang dibantu oleh pacarnya Bonon dan tentu saja anak-anak lain merecokinya dengan ide-ide liar mereka.

Kwannie mengirimku pesan 'Decor udah beres ya, kak. Makanannya juga udah sampe, gue sama anak-anak lagi beresin semuanya, 40 menit lagi lo bisa dateng kak.' tak lupa aku balas dengan ucapan terima kasih kepadanya, karena aku memang selalu berterima kasih dengan pria yang paling muda itu.

Sedangkan di apartemenku, pria yang berulang tahun itu malah sedang asik duduk santai menonton Spongebob dengan bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana boxernya.

“Kak, hari ini ulang tahun kamu lho, masa kamu nonton Spongebob sambil sempakan gitu sih?” Tanyaku yang sedang menyeduh susu ibu hamil dari dapur. Oh iya, untuk kehamilanku, aku belum ngobrol apa-apa sih dengan si kakak. Biarlah untuk sekarang.

“Di sini aja, memang mau kemana?” Tanya si dia.

“Ya pengen jalan, aku mau makan enak.” Jawabku, membawa gelas susuku dan duduk di sebelahnya.

“Kamu sekarang jadi rajin minum susu kalau aku liat-liat.” Kata Kak Mingyu melihat isi gelasku. Yaiya, buat jabang bayiku, punyamu juga.

“Mau?” Tanyaku menyodorkan gelasku yang dijawab dengan gelengan. Aku ngga tau dia bisa tinggi selain keturunan dan bermain basket itu gimana? Karena si dia tidak menyukai susu.

“Terus, mau kemana?” Tanyanya, matanya kini sudah terfokus padaku.

“Aku lagi pengen difoto sama kamu, tapi pake kamera Leica kamu yang di kantor itu, Kak.” Kataku tenang, karena aku tahu kamera itu selalu bertengger di lemari koleksi kameranya.

“Yang kemaren aku bilang hasil gambarnya bagus?” Tanyanya dan langsung aku jawab dengan anggukan. “Ke SCBD dulu dong aku? Kan kameranya di studio.” Katanya dengan bibir yang dibuat seperti sabit ke bawah, ngambek.

“Hari ini lagi males kemana-mana ya?” Tanyaku sambil menyenderkan kepalaku di dadanya yang dibalas dengan belaian di surai rambutku.

“Iya, pengen kaya gini aja, berdua sama kamu. Peluk-peluk, gemes-gemes.” Katanya mengguncangkan seluruh tubuhku dengan pelukan eratnya dan sesekali mencium pucuk kepalaku. Aku tertawa menanggapi tingkah lakunya.

“Ngga boleh, soalnya hari ini kamu ulang tahun, kita harus ke luar pokoknya. Aku mau kamu fotoin. Kamu ngga pernah foto aku.” kataku dengan mencibikkan bibirku yang tipis.

“Kata siapa sih aku ngga pernah foto kamu, wong cuma ada foto kamu di gallery handphone-ku.” katanya, masih memelukku yang kubalas dengan pelukan.

“Kamu ngga pernah fotoin aku pake camera profesional kamu ih. Kamu kakak photographer yang sexy itu bukan sih?” tanyaku iseng, mengeratkan pelukanku.

“Boleh, tapi ada satu syarat.” kata si dia melepaskan pelukannya. Aku mengangkat kedua alisku yang artinya aku bertanya apa syaratnya?.

“Aku mau—” kata-katanya menggantung, dia menggendongku dengan bridal style ke kamar, menaruh tubuhku yang ringkih ini dengan perlahan ke atas kasur dan mengukungku di bawahnya.

Aku langsung mengalungkan tanganku ke tengkuk lehernya, membiarkan tubuh kami saling menempel dan mengikis jarak yang ada. Dia mulai menciumi lembut seluruh area wajahku, mengecup beberapa kali belah bibirku dan mulai mengulumnya perlahan.

“Aku mau kaya gini sama kamu aja, Nu. Dalam waktu yang lamaaa banget.” kata si dia, mengecup pipiku dengan gemas. Aku tersenyum dan mengangguk dicuruk lehernya.

“Jadi aku ngga butuh kado tahun ini. Ga usah tanya lagi.” kata Kak Mingyu lagi.

“Ga mau sesuatu yang bisa kamu pake?” tanyaku yang langsung dijawab yakin dengan gelengan oleh si dia. Yang artinya, dia ngga mau.

Satu tangannya sudah mengelus surai rambutku dan satu tangan lainnya sudah ada berada dipinggangku, mulai naik ke atas punggungku dan mengelusnya. Dada yang sedari tadi telanjang di atasku, kini sudah menyentuh tubuhku yang sama-sama tidak tertutupi sehelai kainpun. Entah kapan pakaianku sudah lepas, aku tidak begitu ingat.

“Sayang, boleh jangan tindihin aku ngga?” tanyaku sambil tersenyum ketika aku merasakan sesak, karena badannya yang bongsor itu menindih badanku yang kecil ini dengan adanya si Kacang Mede di perut ini.

“Kenapa?” tanyanya bingung, berpindah ke sampingku, aku menghadapkan badanku menyamping ke arahnya.

“Gak apa sih, pengen sambil nyamping aja. Ya?” tanyaku menangkup pipinya dan menciumi bibirnya dengan lembut.

Si dia mulai melakukan hubungan intim kami, dengan mengulum belah bibirku terlebih dahulu dengan lebih menuntut dari sebelumnya, menjelajahi tubuhku dengan tangan dan bibirnya, menanggalkan kain yang tersisa ditubuh kami. Kekasihku itu mulai mengelus bagian bawah belakangku, memasukkan satu demi satu jari ke dalam lubangku dengan lantunan desahanku yang menyertai temponya. Dengan aku yang tidak mau kalah dan ingin mendengar desahannya pula. Menyentuh kepunyaan si dia dan mulai memanjakannya di bawah sana.

Hanya suara erangan serta “Ah! Ah! Ah!” yang bersahutan dan saling menyebutkan nama kami masing-masing dalam desahan yang kini sangat jelas terdengar dari kamar utama apartemen ini hingga putih ku keluar berhamburan di perutku dan putihnya keluar di dalamku.

Membersihkan diri dan segera berangkat ke WherzKim studio adalah tujuan kami selanjutnya. Tentu saja, aku tidak lupa memberitahukan Kwannie bahwa kami akan datang terlambat dan aku rasa Kwannie memakluminya.


“HAPPY BIRTHDAY, BANG MINGYU!!!” Suara riuh itu terdengar ketika aku dan si dia yang berulang tahun menginjakkan kaki di rooftop gedung itu.

“Kerjaan kamu?” tanyanya sambil tersenyum ke arahku. The smile that I will tattoo in my memory forever, dengan gigi taring yang terlihat menambah ketampanan pria tinggi ini. Priaku.

Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya, “Iya, tapi aku dibantuin sama Kwan, Non dan yang lainnya juga kok. Yuk!” kataku, menggenggam tangannya. Tangan yang selama ini selalu aku rasa hanya tercipta untuk aku genggam karena ukurannya yang pas dengan tanganku.

Aku, Kak Mingyu dan team WherzKim menikmati malam ini, tertawa bersama, menghabiskan makanan yang aku pesan untuk mentraktir mereka.

“Kamu ngga bener-bener minta aku fotoin ya?” tanyanya ketika sudah berada di sampingku dan memeluk pinggangku dengan posesifnya.

“Aku mau banget kok difotoin kamu kalau kamunya juga mau motoin aku.” kayaku dengan tersenyum ke arahnya. Menyenderkan kepalaku di bahu bidangnya.

“Ga usah ditanya, kalau cuma boleh jadi kang foto kamu seumur hidup aku juga mau.” kata dia mengelus surai rambutku, aku membalas dengan pukulan kecil di dadanya, gemes.

Si dia memang selalu seperti itu, menunjukkan seakan-akan aku adalah poros dunianya. Menjadikan aku adalah seperti satu-satunya yang memang sangat cocok berada di sisinya, seolah-olah tidak ada Kim Mingyu tanpa Jeon Wonwoo dan itu membuatku sangat merasa bahagia dan juga bersalah secara bersamaan sebenarnya. Menikmati menjadi prianya is the only thing I always do. Trying to be grateful for being beside him again after what happened to us in the past.

“Masuk yuk! Biar anak-anak yang beresin, nanti kamu masuk angin, Yang.” ajak si dia yang kini sudah beranjak dan mengulurkan tangannya yang langsung aku sambut.


Belakangan ini si dia memang terlihat agak lebih pendiam dari biasanya, lebih murung dan yang paling aneh adalah kerjaannya yang biasanya sangat mencuri waktunya kini lebih senggang. Atau mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku harap.

Si dia — Jeon Wonwoo — ini suka meminta hal yang menurutku tidak biasa belakangan ini. Seperti hari Sabtu kemarin, dia meminta diajak ke taman kota untuk membeli mangga. Biasanya, kita hanya cukup ke supermarket dan memotong mangga sendiri di depan TV sambil menonton drama series Netflix favoritnya. Atau seperti kemarin, dia meminta Hokkaido Cheesecake dan Kokumi, sedangkan si dia jarang banget makan minuman bubble kekinian dan hanya menyukai cheese cake topping strawberry Harvest atau Pablo.

Hari ini, permintaannya lebih aneh lagi, minta di foto dengan kamera Leica M10-R yang hanya aku jadikan pajangan di ruangan kantorku.

“Masuk yuk! Biar anak-anak yang beresin, nanti kamu masuk angin, Yang.” kataku kepada si dia, mengulurkan tanganku agar dia dapat berdiri sebagai aku yang menjadi penyangganya. Seperti biasa, dia langsung menyambut uluran tanganku.

“Gue turun duluan! Beresin yang bener!” pintaku kepada teamku yang memang sedari tadi masih santai dengan sampah dan bekas makanan berceceran di sana. “Oh iya, Kwan!” kataku memanggil personil teamku yang termuda di WherzKim itu.

“Yes, Bang?” tanyanya dengan mengangkat kepalanya yang sedang bersender pada pacarnya.

“Gue di studio Madonna, jangan ada yang ke lantai 2!” pintanya yang langsung disambut oleh riuhan suara dari anggota team ku yang lain termasuk Hao dan Dikey. Biangnya sih memang Dikey, siapa lagi. Terlihat sepintas kekasihku itu menutup muka dengan gemasnya, yang membuatku semakin dibuat gila.

Iya, sudah gila dan semakin menggila.

Aku meninggalkan mereka yang masih riuh seperti di pasar tradisional, menggenggam tangan Wonwoo untuk menuju ruangan yang aku sebutkan tadi. Si dia masih diam terpaku di depan backdrop putih yang memang sudah tersedia di sana, ketika aku minta dia untuk berdiri di tempatnya sekarang.

“Sayang kamu tuh lagi jadi patung apa gimana sekarang?” tanya ku sesaat setelah kembali dengan kamera yang tadi sempat kekasihku sebutkan itu.

“Ngga ih! Aku bingung, ini aku ngapain sekarang?” tanyanya, menutupi mukanya malu. “Aku ngga beneran minta kamu fotoin, Babe. Aku tuh bercanda biar kita ke sini. I want to give you a little surprise party.” katanya lagi.

“Iya, tapi ngga apa toh aku beneran moto kamu, biar kamu tau lho ini pacarmu beneran tukang foto.” jawabku santai, mulai membidikkan kamera kepadanya.

“Yuk, sini liat ke aku!” pintaku sambil menghitung sebelum suara shutter terdengar. Dan kuulangi beberapa kali, hingga dia berlari ke arahku dan memeluk pinggangku.

“Udah ih, aku maluu.” katanya, menenggelamkan wajahnya di dadaku. Aku mengelus surainya.

“Iya udah, udah banyak kok.” kataku mengecup puncak kepalanya. Dia masih memelukku, seperti ini dia seminggu belakangan, clingy yang sangat aku sukai.

Wajah si dia kini sudah menghadapku, “Kak..” panggilnya yang aku jawab dengan dehaman. “I love you?” katanya sambil memegang bahuku. “Happy birthday, Kak. Wishes you all the best. Aku berharap yang terbaik semua untuk kakak.” do'anya dengan penuh ketulusan di sana.

“Aku juga sayang kamu banget, Wonu.” kataku sembari memeluk tubuh rampingnya dan menenggelamkan wajahku di curuk lehernya.

“Terima kasih hari ini ya, Sayang. Aku seneng banget.” kataku lagi, mengelus pundaknya bermaksud untuk memberikan afeksi dan memberitahunya bahwa hari ini aku memang sangat bahagia.

Si dia menuntun wajahku untuk mendekat dengan wajahnya, dikecupnya bibirku panjang, bukan lumatan hanya kecupan. Aku yang mulai melumat perlahan bibir merah jambu cantik itu, semakin lama semakin intens, satu lumatan yang berubah dengan ciuman liar hingga terdengar suara desahan di sela-sela ciuman kami. Tangannya mulai masuk ke dalam t-shirt yang kugunakan, meraba perut ku, akupun melakukan hal yang sama dan dia terkejut, melepaskan tautan kami.

“Eh kenapa?” tanyaku pada si dia.

“Ah? Ngga, kaget aku, kita udah matiin kompor belum ya tadi? Lampu kamar udah dimatiin belum ya?” tanyanya, kelabakan.

“Kayaknya udah semua, yang.” kataku ketika melihat wajahnya yang sedang panik dan ingin kembali menciumnya kembali.

“Pulang aja kali ya kita, Kak? Aku ngga enak deh perasaan, kaya ada yang ganjel.” katanya, menarik tanganku, menolak ciumanku. Kuambil kamera yang tadi aku letakkan di dekatku dan mengikuti langkah kaki pria ini.

Pulang ke apartemennya dan menghabiskan sisa malam ini dengan mendengar desahan kekasihku yang kini sudah ada di atasku. Bergerak naik dan turun dengan teratur, sesekali memanggil namaku dengan desahan sexynya begitupun denganku yang sesekali berkata kasar dan mendesah memanggil namanya.

Beginilah bagaimana kami menghabiskan tanggal 6 April tahun ini. Selamat ulang tahun aku, Kim Mingyu. Semoga Jeon Wonwoo selalu menjadi pusat duniamu, karena aku tahu tidak ada kata yang lebih tepat selain, aku sangat mencintai pria di atasku ini.

REUNITED ↳ Mingyu/Wonwoo/WherzKim Team ↳ fluff ↳ 2.1k words. [Narasi 15] – Protect Us

Rasanya seperti sudah lama sekali tidak ketemu si dia, dia yang berbadan tinggi tegap, dia yang selalu me-ngemong-ku, dia yang bermanik elang, pokoknya dia, si Kak Mingyu. Padahal, jelas-jelas seminggu ini aku selalu dateng tanpa absen ke kantornya. Tapi, karena dia yang lagi rungsing banget — yang aku tahu akhirnya alasannya karena apa— aku kaya lagi ngelonin bayi kalau ke kantornya. Dia cuma minta dipeluk, diusap kepalanya, tidur-tiduran di pahaku dan kecup-kecup manja, setelah itu, aku akan kembali sibuk dengan pekerjaanku dan dia melakukan hal yang sama.

Ngga seperti seminggu yang lalu, kini pria manja itu ada di kursi pengemudi, memegang tangan kananku yang aku balas dengan mengaitkan jari jemarinya dengan jari jemariku, menghantarkan rasa rinduku padanya. Pria ini tampaknya sudah kembali seperti Kim Mingyu yang memang kekasihku, si dia yang selalu dewasa menghadapiku.

“Masih marah ya sama aku? Kok di chat bawel, ketemu akunya kamu malah diem?” Kataku membuka pembicaraan ketika kita sudah meninggalkan pelataran apartemenku sekitar 10 menit yang lalu.

Karena setelah melihat aku keluar dari lobby, yang dia lakukan hanya memelukku, mengecup keningku dan membukakan pintu mobil pintu penumpang depan untukku. Kemudian, dia diam sepanjang jalan 10 menit itu, si dia sesekali mencuri cium punggung tanganku yang sedang mengait dengan tangannya. Menciptakan senyum dari bibirku, namun masih belum berkata.

Bohong sih kalau aku bisa marah sama cowo ini. Gimana bisa? Yang ada hatiku dibikin mleyot terus.

“Ngga, akukan lagi nyetir.” Kata dia yang masih menatap ke depan, untuk pertama kalinya mengeluarkan suara baritone-nya siang ini.

“Abis kamu diem aja, aku bingung.” Kataku. “Aku minta maaf ya kemaren marah-marah ke kamu. Aku sebel soalnya.” Kataku lagi.

“Ngga maksud aku ngerahasiain apa-apa sama kamu. Aku cuma males ceritanya aja.” Kata Kak Mingyu mencoba menjelaskan ke aku.

“Iya, understand. Harusnya aku nunggu kamu cerita, tapi kamu ngga cerita-cerita terus kebetulan aku tau dari Kwannie—” kataku menelan ludahku sedikit kasar. “I don't mean to be distrustful to you either. Aku tuh cuma gemes sama kamu.” Kataku lagi, menjelaskan kesalahpahaman semalam sambari mengelus-elus punggung tangan kirinya.

“Kamukan tau, aku ga suka banget sama cewe itu. Apalagi, after she black mailed me.” Kataku mengelus punggung tangannya ke pipiku, hangat.

“Iya, sayang. Aku minta maaf ya ngga cerita ke kamu. Aku juga sama sebelnya.” Kata Kak Mingyu, melepas genggaman tangan kita dan mengelus kepalaku.

“Buat WherzKim kata Hao. Agency-nya minta harus aku yang jadi PIC tukang fotonya.” Kata Mingyu, bercerita.

“Jum'at kemarin di Senyawa coffee ya ketemu sama dia—” Kata Kak Mingyu lagi, kali ini bicaranya terpotong seperti mengingat sesuatu.

“Nanti kalau dia ngajak ngomong kamu, kamu hindarin aja ya. Inget, dia bukan orang baik.” Kata Kak Mingyu dengan nada seperti menasihati anak SD yang belum dijemput di sekolah. Aku sudah pasti ingin menurut, jadi aku menganggukan kepalaku yakin.

Sekarang mobil Mingyu sudah terparkir rapih di depan pelataran gedung tiga lantai yang bertuliskan “WherzKim Studio”. Kita berdua langsung melangkahkan kaki ke dalam, ini memang bukan pertama kalinya aku ke sini.

Kini waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 setengah jam datang lebih awal dan aku sudah membawa kotak bekal untuk Kak Mingyu brunch tentu saja, kapan seorang Kim Mingyu ingat untuk breakfast sih, heran aku. Ngga laper apa ya ini manusia?

“Kak, ini makan dulu.” Kataku sesampai di ruangannya, membuka kotak bekal yang berisi makanan simple-ku untuk sekedar mengisi perut kosongnya.

Punggung serta bahuku tiba-tiba terasa berat seperti ada beban di sana dan lengan kekar sudah mengunci tubuhku dari belakang, tangan yang sangat aku hafal itu sudah melingkar diperutku. Iya, Kak Mingyu memelukku dari belakang. Nafasnya terasa di telingaku.

“Mau kaya gini aja.” Kata Mingyu, memelukku semakin erat.

“Iya, boleh sih. But you have to work and brunch. Yuk! Aku udah bikin egg sandwich bakar lho.” Kataku, mengelus surai tebalnya dari posisiku yang masih membelakanginya.

Ya, kalau boleh milih, I will lock up this guy all day in my apartment instead of letting him work on weekends. Chill and cuddles. I'd love to do that.

Si dia langsung membalikkan badanku, lalu, menangkup pipiku dengan kedua tangannya dan mengecup bibirku perlahan. Aku dan Kak Mingyu ini tersenyum dan melanjutkan ciuman kami, aku melingkarkan tanganku ke pinggangnya.

“Bang, lo harus— Waw!!” Kata seseorang membuyarkan kegiatan kami dengan membuka pintu dan kaget sendiri dengan apa yang dia lihat. Siapa lagi kalau bukan, Kwannie, iya, lagi. Ini pernah terjadi sebelumnya memang, saat pertama kali aku datang ke gedung ini.

“Sorry! Gue ga tau.” Kata Kwannie terpaku di depan pintu kaget dengan aku dan si dia yang langsung menatap kearahnya.

“Besok-besok kalau ada Wonu, ketok-ketok dulu deh!” Kata Kak Mingyu sedikit kesal, tapi masih memegang pipiku dan aku yang masih memegang pinggangnya, seakan kami sedang tidak ingin menghentikan kegiatan kami.

“Gue mau lanjutin ciuman gue, lo mau nonton apa gimana?” Tanya Mingyu santai, mulai menatapku.

“Aahaha.. bercanda Kwan, masuk aja!” Kataku. Iya kali si dia sudah gila masa saat-saat kaya gini kita tetap kissing di depan Kwannie.

“Tapi aku masih mau lanjutin?” Kata Mingyu. Aku memberinya kecupan kecil pada bibirnya, dan melepaskan pegangannya pada pipiku. Dan akupun berbisik, “We will continue later ya, Kak.” Si dia hanya tersenyum. Dasar bayi raksasa.

“Apa yang harus?” Tanya Mingyu dan mempersilahkan Kwannie masuk ke ruangannya. Aku sudah duduk di salah satu beanbag di ruangan ini.

“Jadi, barang-barang Jillstuart udah sampe, lagi dirapihin sama anak-anak sih. Di atas. Tinggal lo cek sebelum kita mulai.” Kata Kwannie yang dibalas dengan anggukan malas oleh si gantengku itu.

“Gue bawa Wonu ke studio ya, Kwan. Berapa lama kontraknya? Ga ada lanjutannya kan? Hari ini doang?” Tanya Mingyu, sedikit menahan rasa malasnya.

“Cuma sampe jam 3 sore, bang! Kalau ga beres hari ini ya ada photoshoot lain. 2x di kontrak maksimal.” Kata Kwannie.

“Beresin hari ini. Yang ke 2 biarin pas dia liat hasilnya aja, urusan Jaehyun sama Bonon.” Kata Mingyu acuh. Baru banget aku lihat pria ini acuh tak acuh sama kerjaannya. Tapi, aku tetap menatapnya dengan tatapan puja.

Isn't it wrong to adore this man? Of course not! I'm really proud to be his boyfriend.

Kwannie mengangguk dan meninggalkan ruangan Mingyu, “Okay! Kita atur, bang! Sekarang gue naik duluan, 10 menitan lagi naik ya, Bang, Kak!” Pintanya, dan berkedip kepadaku. Aku hanya tersenyum melihatnya.

“Seneng kamu dikedipin Kwannie?” Tanya Mingyu, menghampiriku dan memeluk pinggangku posesif.

“Seneng. He's so funny. Mau ga ya dia jadi adek aku?” Tanyaku, berdiri mengambil tempat bekalku, duduk lagi di sebelahnya dan menyuapi pria tampan ini makanan yang kubuat. Dia mengunyah makanan itu tanpa protes yang artinya these foods are edible untuk dimakan.

“Ngga usah ngarang.” Kata Mingyu, mengusak suaraiku.

Ini pertama kalinya seumur hidup aku dateng ke salah satu photoshoot, apalagi photographer hari ini adalah si Kak Mingyu. Dia sudah berkutat dengan kameranya. Ngga ada kalimat yang pas untuk menggambarkan betapa sexy-nya pacarku saat memegang benda kotak dengan lensa panjang ditangannya yang kekar.

Modelnya sudah datang dan ada di ruang rias saat aku masuk ke studio yang berada di lantai 2 itu. Aku duduk di depan monitor yang sudah di sediakan, sebelah Jaehyun.

“Modelnya?” Tanyaku pada Jaehyun.

“Masih di ruang ganti. Lagi siap-siap, Kak.” Kata Jaehyun, aku hanya mengangguk.

Tak selang beberapa waktu, wanita yang sudah lama tak aku jumpai dan mungkin saja orang terakhir yang ingin aku jumpai di bumi ini sudah berdiri di depan backdrop tanpa menyadari keberadaanku, karena dengan tenangnya dia flirting ke pria yang menggunakan t-shirt hitam yang sedang membidiknya dari lensa — Kak Mingyu. Hingga suara Hao membuyarkan senyumnya dengan memanggil namaku.

“Wonu! Jadi dateng?” Kata Minghao pada saat sudah sampai di sampingku dan Jaehyun yang kujawab dengan anggukan, aku yakin sih wanita itu pasti menatap tajam ke arahku, tapi aku perduli apa?


“Mba model! Lo bisa fokus ke kamera aja ga?” Tanyaku acuh tak acuh, karena tetiba fokus model yang sedari tadi sedang bergaya dengan centilnya kepadaku mendadak menghilang dan menatap tajam ke arah lain, ke Wonu paling.

“Oh sorry!” Jawabnya, dan bisa dikatakan dia sangat berusaha untuk mengembalikan fokusnya. Entahlah, sebenarnya aku ngga terlalu perduli, yang penting pemotretan ini cepet berakhir dan aku mau pacaran sama si dia yang sekarang melihat monitor dan memperlihatkan hasil jepretanku dengan serius, entah untuk apa.

“Aman, Jae?” Tanyaku pada Jaehyun yang sedari tadi mengutak atik layar dan menemukan jempolnya mengacung, artinya oke.

“Oke. Masukin kursi sama meja ya, Bam! Mba Model boleh ganti baju ya. Kita mau ke sesi kedua.” Teriakku, aku bahkan ngga memanggil nama wanita itu.

Aku langsung menghampiri kekasihku, si dia langsung berdiri, mengelap peluhku dengan handuk kecil, mengelus rambut belakangku dan memberiku minuman isotonik.

You're so cool.” Katanya dengan wajah yang demi Tuhan manis banget sembari membenarkan posisi rambutku di jidat.

“Gini ya rasanya ditemenin pacar kerja. Seneng banget dapet tambahan energi. Besok-besok lagi ya.” Kataku, kemudian mengecup keningnya.

“Woy, Bang! Pacaran aje! Gini ngga?” Tanya Bambam berteriak, mengganggu kegiatanku yang sedang mengagumi pria dihadapanku.

“Suka-suka gue!” Kataku meneriakinya. “Iya gitu, kiri dikit! OP! Oke. Modelnya panggil, Bam!” Pintaku. Biar cepet. Karena sekarang sudah jam 1, tinggal 2 jam lagi dan aku ngga mau lama-lama ketemu wanita itu.

Sekarang sudah jam 3 dan alhamdulillah pemotretannya selesai juga.

“Oke. Terima kasih semuanya.” Kataku tanpa berbasa-basi. Aku langsung menyerahkan kamera yang sedari tadi aku gunakan ke Jaehyun, “Urus sisanya, Non, Jae!” Pintaku yang dijawab anggukan oleh Bonon dan Jaehyun, langsung menarik kekasihku keluar dari studio dan membawanya kembali ke ruanganku.

“Hey, Kak! Why? Kenapa buru-buru banget?” Tanya si dia dengan suara lembutnya ketika kita sudah sampai di ruanganku.

“Gak apa, pengen berdua sama kamu. Bentar, aku chat anak-anak dulu. Kamu udah pesen pizza kan?” Tanyaku padanya yang kini sudah duduk di kursiku.

“Udah kok. Nanti aku ambil aja sendiri.” Katanya berdiri merapihkan rambutku yang penuh dengan peluh dan mengelapnya dengan lembut.

Duh, pria ini tuh ngga ada habisnya mencuri hatiku, padahal semuanya buat dia. Kalau jatuh cinta setiap hari itu ada, aku yakin pasti ini rasanya.

Aku langsung mengirim pesan ke group chat:

'Gue diruangan gue, ga ada yang boleh ganggu.'

'Siapapun, pizza udah dipesen Wonu, tolong ambil ya kalau udah sampe. Di rooftop aja makan-makannya, nanti gue nyusul.'

Dan menutup layar benda pipih itu, menaruh di meja kerjaku. Menggendong pria ramping kesayanganku ini dan mendudukannya di atas meja kerjaku.

“Kamu tuh! Ngagetin!” Katanya memukul dadaku pelan. Dan memelukku dengan baju yang masih basah karena keringetan.

“Yang, lepasin, aku ganti baju dulu.” Kataku mencoba melepaskan pelukannya.

I love your parfume mixed with your sweat. Enak banget.” Katanya masih memeluk tubuhku, menghirupnya dalam kalau boleh aku jabarkan.

“Nanti kamu masuk angin. Bentar ya, sayang.” Kataku melepas pelukannya, berjalan ke lemari yang ada di sudut ruanganku dan mengganti pakaianku.

“Nih, kamu udah boleh peluk lagi.” Kataku yang kini sudah di hadapannya dengan kaos kering, merentangkan tanganku. Pria manis itu menurutiku, melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku ambil dagunya dengan jariku, mendongakkan kepalanya menghadapku dan melumat belah bibirnya. Si dia menyeimbangkan ciuman kami yang selalu menjadi canduku.

“Capek ya?” Tanyanya padaku yang sudah duduk di atas pangkuanku. Kepala si dia sudah ada didadaku, mendengarkan detak jantungku.

“Udah ngga, kan langsung di charge. Makasih ya, udah nemenin aku kerja hari Sabtu gini.” Kataku sembari mengusap punggungnya.

“Iya, with my pleasure, ganteng.” Jawabnya yang dapat kurasakan sedang tersenyum dan mengelus dadaku.

She won't bother us again, right Yang?” Tanyanya dengan mengangkat kepala dan melihat ke arahku.

“Ngga tau aku, tapi jaga-jaga kalau dia ngubungin kamu dan bilang aneh-aneh, langsung cerita ke aku ya?” Pintaku yang dijawab dengan anggukan.

(Jung Chaeyeon ya? Mantan pacarku saat SMA memang, beberapa kali dia memintaku untuk menerimanya kembali setelah dia mempermalukanku di depan sekolah karena menjadikan aku pelarian dari ketua Baseball sekolah, entah apa yang dia ceritakan kepada team Baseball sampai aku habis-habisan di cemo'oh saat itu, memutuskanku hanya lewat pesan pendek dan mengirimi Jeon Wonwoo foto kami — aku dan Wonwoo — yang sudah bersimbah darah ayam atau darah apa entahlah dan membuat Wonwoo takut setelahnya. Wanita gila.)

“Kamu mau ke rooftop ngga? Anak-anak makan pizza di atas.” Tanyaku pada si dia yang tampaknya sudah nyaman pada posisinya.

“Hmm.. boleh. Ga enak juga.” Jawabnya. “Nanti pulangnya kamu ke apartku aja ya?” Tanyanya yang tanpa perlu aku pikir panjang, sudah pasti aku jawab dengan anggukan sangat yakin.

Di rooftop, team WherzKim sudah berkumpul dan sedang menikmati pizza yang dibelikan Wonwoo sesuai dengan janjinya.

“Bang, Kak! Yok! Dimakan pizzanya, ga usah sungkan!” Ajak Ten sambil menunjuk pizza yang sedang ada ditangannya.

“Yang beliin siapa? Gaya lo!” Jitak Dikey yang disusul dengan rintihan dari Ten. Kekasihku sih hanya tersenyum melihat pemandangan di hadapannya dan mulai berbaur dengan yang lainnya.

“Bilang makasih sama Wonwoo!” Pintaku yang disambut dengan ricuhan anak-anak yang sedang berterima kasih dengan cara mereka masing-masing.

“Iya iya.. haha. Dimakan ya. You guys did well on this Saturday.” Kata priaku itu, dengan semburat warna peach yang merona dipipi dan senyum manisnya.

Senyumnya, bibir merah mudanya, manik rubahnya, kerutan di hidung saat dia sedang tertawa, semua tentangnya, selalu membawa desiran darahku dan memompa jantungku lebih dari yang seharusnya. Dan aku jatuh cinta lagi padanya. Jeon Wonwoo.

KATINGTENG [Kaka Tingkat Ganteng] [Narasi 5 – FINAL] – Thinking Out Loud

Di satu atap berdua dengan Mingyu — Anak Hukum yang awalnya hanya DM di twitter ngga jelas — tidak pernah sama sekali terpikirkan oleh seorang Wonwoo Jannata. Pria yang perawakannya tidak pernah perduli dengan keadaan sekitar, kini ada di rumah orang lain untuk menjaga si empunya rumah karena kecelakaan yang ngga pernah terbayangkan oleh Wonwoo. Bisa-bisanya jatoh di tangga. itu kalimat yang selalu dia lontarkan ketika melihat kaki kanan pria yang kini berada di atas sofa dengan meluruskan kaki panjangnya, menghabiskan semua tempat.

“Kaki lo panjang banget, Mingyu! Gue duduk di mana?” rajuk pria yang tidak pernah absen menggunakan kacamata bulatnya itu.

“Di bawah sini aja, mau ga? Kaki gue pegel kak kalau dilipet.” jawab Mingyu dengan santainya, menunjuk ke lantai berkarpet tebal di depan badannya, meminta Wonwoo untuk duduk di situ.

“Ihs! Yaudah, gue mau nge-play dulu.” kata Wonwoo, masih mengerucutkan bibirnya lucu. Mingyu hampir pingsan karena gemas melihat pemandangan di depannya itu.

“Mekdi-nya udah dipesen?” tanya Wonwoo lagi ketika ingin mengambil posisi duduk di tempat yang Mingyu inginkan.

“Hmm.. udah sih harusnya, tadi gue udah kasih jempol pas chat abangnya.” kata Mingyu santai.

Wonwoo sudah duduk di atas karpet memegang susu coklat hangat yang dia buat tadi, dan menemukan tangan berkulit sawo matang yang panjang menggantung di bahunya. Astaghfirullah, Mingyu Pratama! Pengen gue patahin juga apa gimana ini tangannya? Kaget, Bunda! Deg-deg-an! rutuk Wonwoo dalam hati.

“Mas, maap nih, tangannya bisa ngga yang normal aja posisinya?” tanya Wonwoo menyindir si empunya tangan yang ada di bahunya.

“Boleh sinian dikit ngga, kak? Biar tangan gue bisa ngelingker di leher lu, kalau kaya gini posisinya, besok lo temenin gue ke tukang pijit, pegel.” pinta Mingyu dengan seenaknya. Badan dan pikiran Wonwoo memang tampaknya sedang tidak sejalan, kini Wonwoo sudah mengikuti perintah Mingyu. Sedangkan pikirannya sedang berkecamuk sendiri.

Ngelingker di leher? Eh, bentar. ITU MAH GUE DIPELUK DONG! KOK GUE DIEM AJA? PLEASE SYARAF GUE JANGAN MATI DULU! kata Wonwoo dalam hatinya, panik! Karena benar saja, kini tangan Mingyu sudah memenuhi leher Wonwoo, memeluknya. Wonwoo membeku.

Nonton WandaVision katanya, tapi seorang pria ramping dengan rambut cokelat gelap bernama Wonwoo sedang tidak dapat fokus ke layar TV karena yang dia rasa sekarang adalah nafas teratur pria yang ada di sofa dengan tangannya yang melingkar posesif di sekitar bahunya.

“Lo ngga nyaman ya, Ka?” tanya Mingyu. Mungkin pria itu sedikit menyadari nafas Wonwoo yang sedikit tidak beraturan karena deruan jantungnya yang menggebu dan aliran darahnya yang sepertinya berhenti sepersekian detik karena mendapatkan afeksi yang serba mendadak itu.

“Ngga sih, cuma kaget aja. Ini namanya peluk kan ya?” tanya Wonwoo. “Lo lagi meluk gue, MINGYU!!!!” kata Wonwoo, mendadak ngomel dengan rona merah dipipinya. Wonwoo sedang merutuki dirinya sendiri sebenarnya, kenapa afeksi yang diberikan Mingyu selalu terasa nyaman dan tidak pernah mengganggunya.

Wonwoo kini berdiri, ingin memarahi pria tinggi itu lebih panjang lagi, namun, diurungkan karena ponsel Mingyu berdering dan cemilan yang mereka pesan sudah berada di depan rumah minimalis sederhana dengan 2 lantai itu.

“Kak, abang go-food-nya udah di depan. Hehe” kata Mingyu sambil nyengir dan memamerkan kedua taring dibagian deretan gigi atasnya, sesekali melihat Wonwoo dan sesekali melihat kakinya. Ngeselin tapi gue ga bisa marah geram Wonwoo dalam hati.

“Yaudah, gue ke depan dulu!” katanya dengan nada yang masih sedikit kesal.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, Wonwoo-pun sudah kembali dengan beberapa plastik jajanan yang mereka pesan, merapihkannya di meja sehingga mereka bisa menonton sambil makan dengan tenang. Harapnya.

“Makan nih!” ucapnya, nadanya masih berlum berubah dengan sedikit kesal dan di balas oleh cengiran Mingyu yang diacuhkan oleh Wonwoo.

“Lo kenapa marah-marah gitu sih, kak?” tanya Mingyu yang sedang mengunyah kentang yang diberikan oleh kakak tingkat gantengnya itu.

“Kesel! Lo meluk gue, kenapa coba?” tanya Wonwoo balik.

“Ya, pengen aja. Lo juga ngga nolak.” jawab Mingyu, ya ngga salah sih, memang dia juga tidak menolaknya.

“Tapikan, gue kaget, Mingyu!” kata Wonwoo, mengunyah kentangnya. Tanpa Wonwoo sadari, sedari tadi, dia menyuapi kentang ke mulutnya, lalu menyuapi kentang pada Mingyu, dan begitu berulang kali.

“Refleks aja lu udah kaya cowok gue, Kak!” tiba-tiba Mingyu membuka suaranya ketika tangan Wonwoo menyuapi kentang untuk yang kesekian kalinya.

“Hah? Kok bisa?” tanya Wonwoo yang masih berusaha memfokuskan pandangannya pada layar smartTV di depannya.

“Ini lo nyuapin gue kentang dari tadi, terus, megangin lemon tea gue pas gue minta minum. Refleks-kan itu?” kata Mingyu. “Fokus lo lagi ga ke WandaVision-kan?” tanya Mingyu dengan penuh percaya diri.

“Sok tau, dari tadi gue nonton!” kata Wonwoo sewot, karena pertanyaan Mingyu benar adanya. Hanya matanya yang fokus ke TV, pikirannya sudah berjalan kemana-mana. Kupu-kupu menggelitik di perutnya sedari tadi. Detak jantungnya juga sudah semakin tak beraturan. Apa sih yang lo pikirin, Won? tanya Wonwoo pada dirinya sendiri.

“Tapi, fokus gue ke elo, kak. Ngga bisa fokus nonton, gimana dong?” tanya Mingyu.

“Yeee.. urusan lo, bukan gue.” kata Wonwoo acuh. Padahal, sama dia juga ngga fokus.

“Coba fokus ke gue deh, Kak. Gue mau ngobrol sebentar. WandaVision-nya bisa di rewind ih, langganan Disney plus gue sampe tahun depan.” kata Mingyu, dengan nada sedikit meminta, sehingga membuat Wonwoo mengalihkan pandangannya dari TV ke wajah tampan pria yang sedang bersandar pada pinggiran sofa.

“Kenapa?” tanya Wonwoo, nada suaranya sudah kembali normal. Kini sedang mengabsen wajah pria di hadapannya, dari tatapan elangnya, alisnya yang tebal, mole lucu di pipinya, rahangnya yang tegas, bibirnya yang sedikit tebal. APA WONWOO!! APA!!! WHAT ARE YOU LOOKING AT??? rutuk Wonwoo yang kini melihat mulut Mingyu yang berminyak dan berantakan karena kentang.

Dengan refleks yang kesekian kalinya, Wonwoo membersihkan bibir Mingyu dengan jempolnya dan tersentak sendiri. “Eh, sorry. Mulut lo berantakan banget.” kata Wonwoo.

“Hehe. Kan tadi elo yang nyuapin, Kak.” kata Mingyu, dari wajahnya tampak terlihat dia juga sedang mengalami shock yang sama. Ini afeksi pertama yang diberikan Kak Wonwoo untuknya. Jantungnya yang tadinya dapat dia kontrol, kini sudah di luar kendali.

“Bantar, Kak. Gue deg-degan. Ngga bisa ngomong.” kata Mingyu memegangi dada kirinya.

“Itu ngomong?” tanya Wonwoo, mengerucutkan bibirnya lagi. Ya Allah, ini makhluk gemes banget, pengen dikantongin rutuk Mingyu dalam hati.

“Haha. Bentar, selain deg-deg-an gue bisa pingsan. Lo tuh lucu dari sananya apa gimana sih?” tanya Mingyu. Kini jantungnya sudah mulai dapat dikontrol.

“Serius deh, Mingyu! Mau ngobrol apa? Itu Wanda kasian dicuekin.” kata Wonwoo sambil menunjuk TVnya.

“Bentar, ini gue bisa selonjoran di karpet aja ngga sih?” tanya Mingyu.

“Bisa sih, tapi lo sakit ngga kakinya?” tanya Wonwoo. Kini Wonwoo sudah berdiri ketika melihat Mingyu duduk di kursi, pria ramping itu langsung membantu Mingyu untuk duduk di atas karpet di sebelahnya sembari meluruskan kakinya.

“Nah, ginikan enak ngobrolnya. Duduk, Kak!” pinta Mingyu menepuk karpet di sebelahnya, meminta Wonwoo untuk duduk di sana. Wonwoo duduk dengan ogah-ogahan, tidak ogah-ogahan seperti yang terlihat, karena sebenarnya dia memang sedang penasaran dengan apa yang akan Mingyu sampaikan.

“Kenapa, Mingyu?” tanya Wonwoo setelah duduk, menatap pria di sampingnya.

“Tadi sore, gue nanya, denger ngga?” tanya Mingyu.

“Yang mana?” tanya Wonwoo.

“Makanya, orang belum selesai ngomong tuh jangan kabur!” kata Mingyu menyentil hidung bangir Wonwoo.

“Mingyu! Gue ini lebih tua dari lo!” omelnya, sambil mengelus hidungnya. Masya Allah, lucu amat sik! kata Mingyu gemas.

“Ahaha. iya deh yang Kak Wonu.” tawa Mingyu, ganteng anjir ucap Wonwoo dalam hati.

“Mau ngga jadi pacar gue?” tanya Mingyu, tiba-tiba itu, setiba-tiba itu hingga Wonwoo hampir menumpahkan kentang ke atas karpet.

“Eh! Ati-ati bisa dikebiri gue sama emak gue kalau ini karpet kotor.” kata Mingyu, kaget juga dia.

“Sorry! Sorry! Lo sih hobbynya ngagetin!” dumel Wonwoo. “Kalau ngga ngagetin ya ngegas.” kata Wonwoo lagi, kali ini suaranya mencicit tapi tetap terdengar oleh Mingyu.

“Hahaha.. Maap maap.” ucap Mingyu. “Jadi gimana?” tanya Mingyu.

“Mingyu, gue tuh boleh jujur?” tanya Wonwoo, berusaha untuk serius. Masalah hati, ngga boleh untuk main-main. Mingyu menganggukkan kepalanya. Mempersilahkan pria manis di sampingnya untuk berbicara.

“Gue tuh bingung, sebenernya. Kalau sama lo tuh bawaannya seneng, seneng ada yang merhatiin, seneng ada yang memperlakukan gue seperti gue tuh satu-satunya yang patut dijaga. Pokoknya, seneng. Semua afeksi lo, semua kelakuan random lo. Intinya suka. Suka diperlakukan kaya gini.” kata Wonwoo, memainkan jari jemarinya sendiri.

“Tapi di satu sisi, jujur gue takut. Ga tau bakal kaya apa kalau akhirnya kita ganti status dari temen yang kaya gini jadi in a relationship—” kalimat Wonwoo terputus. Minum lemon tea yang ada di meja, dan mulai membuka suara lagi, Mingyu masih mendengarkan dengan setia. “Pacaran tuh kaya ada expired-nya ngga sih? Lo one day bisa bosen sama Wonwoo Jannata yang ternyata ngga sesempurna yang ada dibayangan lo.”

“Gue tuh banyak kurangnya, Mingyu. Ga tau bisa jadi pacar yang baik atau ngga buat lo. Pacaran selama kuliah cuma 2x, itu juga diselingkuhin semua, ngga tau alesannya apa. Hehe.” kata Wonwoo, menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tak gatal. Wonwoo terdiam.

“Udah kak, ngomongnya?” tanya Mingyu. Wonwoo menganggukkan kepalanya. “Gue ga butuh cowo sempurna, gue nyatain perasaan ke elo, berarti gue udah siap dengan segala kekurangan lo yang akan gue temui nantinya.” kata Mingyu lagi. “Relationship itu bisa langgeng kok, Kak kalau lo mau pakein borax. Gue siap beli borax berdirjen-dirjen buat awetin kita. Artinya—” kata Mingyu terpotong, memegang tangan Wonu yang kini ada di paha pria ramping itu, mendekapnya.

“Gue siap jalanin dan kenalan sama lo.” kata Mingyu. “Jadi?” tanya Mingyu.

“Tapi mimpi kita masih jauh, Mingyu. Gue mau jadi Spesialis Jantung, lo mau jadi Jaksa?” tanya Wonwoo.

“Gue emang niat nikahin lo sih kalau lo gemes banget kaya gini terus, gue ga tau kuat apa ngga kalau pisah sama lo kaya dari sini ke dapur. Cuma ya, gue ga nikahin lo besok juga sih, Kak.” kata Mingyu yang dibalas dengan pukulan kecil dari Wonwoo ke bahunya.

“Jalanin dulu aja ya, Mingyu?” Tanya Wonwoo yang dibalas anggukan yakin oleh seorang Mingyu Pratama. “Udah bisa panggil sayang kan tapi?” Tanya Mingyu, Wonwoo menarik hidung bangir Mingyu.

“Iya, terserah.” jawab Wonwoo gemas.

“Kalau lo manggil gue apa? Mas?” tanya Mingyu.

“Enak aja, tuaan gue!” kata Wonwoo.

“Yaudah, sayang juga berarti ya? Atau Babe? Daddy?” tanya Mingyu. Wonwoo mencubit paha pria di sampingnya itu. “Soalnya, nanti aku yang manggil kamu Baby, aku Daddy-nya.” kata Mingyu dan pria tinggi itu mendapatkan geplakan yang cukup kencang di lengannya.

“Awww... Baby kasar.” kata Mingyu iseng sambil mengelus lengannya.

KATINGTENG [Kaka Tingkat Ganteng] [Narasi 4] – Just The Two Of Us

Berdua bersama dengan Kak Wonwoo — Kaka Tingkat Ganteng — di satu atap yang sama lebih dari 24jam ngga pernah terlintas di dalam pikiran seorang Mingyu Pratama. Seperti saat ini.

Sekarang mereka sudah kembali ke rumah Mingyu setelah ke tukang urut untuk dipijit karena kejadian bodoh pagi-pagi buta yang dilakukannya. Setelah pria tinggi berkulit sawo matang itu tadi jerit-jeritan hingga menitikkan air mata karena sakit, kini dia sudah berada di tempat tidurnya dan ditemani Wonwoo yang memang sudah berniat menjaganya.

“Gimana? Mau buka puasa aja ngga sih, Gyu?” tanya Wonwoo yang masih di balas dengan gelengan kepala. “Kan udah batal tadi, nangis. Ketelenkan air matanya?” tanya Wonwoo lagi, sambil tersenyum jahil.

“Ngga ya, gue ga nangis, Kak!” dumelnya, memang ngga sepenuhnya nangis sih, hanya menitikkan air mata dan meremat tangan Wonwoo karena menahan rasa sakitnya. “Tangan lo gimana, Ka? Patah ngga?” tanya pria itu lagi, melirik ke arah tangan pria di depannya.

“Kayaknya gantian deh, gue yang harus diurut pas lo sembuh, tangan gue abis gara-gara lo remukin.” jawab Wonwoo sembari melihat ke arah tangannya yang putih dan lentik itu, mengelusnya, seolah-olah masih sakit, padahal acting aja.

“Haha. Kalau yang ini, biar gue aja yang urut. Ngga ada yang boleh pegang selain gue soalnya.” kata Mingyu, mengambil tangan si Kakak Tingkat dengan tiba-tiba, yang membuat si kakak malah membelalakkan matanya karena kaget. I'm sorry banget nih, Mingyu. ucapnya dalam hati. Tapi masih membiarkan tangannya dielus dan sesekali dikaitkan oleh Mingyu.

Kalau ada orang yang mati otak, mungkin itu yang sedang Wonwoo rasakan kali ini, karena dia sama sekali tidak bisa mengelak atau apapun, lebih tepatnya sih pasrah.

“Kenapa, Kak?” tanya Migyu, tanpa rasa bersalah, masih memegang jemari Wonwoo, malah kini sudah mengaitkannya. Katakan Mingyu gila, tapi dia juga gila karena Wonwoo. Rasa sayang dan ingin memiliki kakak tingkat itu sudah menggebu saat ini, seperti ngga ada hari besok. Biarin balutan coklat yang melingkari kaki kanannya menjadi saksi hari ini.

“Kaget, Gyu! Jangan pegang-pegang ih, gue bisa jantungan!” kata Wonwoo menarik tangannya dari tangan Mingyu.

“Haha. Sama kok, Kak. Gue juga lagi deg-deg-an sekarang berdua sama lo kaya gini.” kata Mingyu, nadanya sudah mulai serius. “Pengen meledak jantung gue saking senengnya lo ada di sini nemenin gue yang lagi jelek-jeleknya kaya gini.” kata Mingyu lagi, menyibakkan surai nya yang tebal ke belakang.

Wait, SIAPA YANG BILANG LO JELEK ANJIR! Ganteng banget gue sampe pusing, pulang aja apa gue? Takut gue yang pingsan. gerutu Wonwoo dalam hatiya.

“Ya, kalau gue ga nemenin lo, lo mau ditemenin sama siapa? Cewe yang ada di twitter? Atau gebetan-gebetan lo yang lain?” tanya Wonwoo. Kelepasan. Iya, kalimat itu terucap begitu saja seakan sudah lama berada diujung ternggorokannya.

“Haha. Nggak lah, cewe yang di twitter gue berani sumpah deh, lagi puasa ini gue. Ga boleh boong, kalau ngga batal—” kalimatnya terpotong oleh Wonwoo.

“Lo udah batal tadi nelen ingus sama air mata!” kata Wonwoo mengingatkan hal yang sebenarnya ngga benar-benar terjadi.

“Masya Allah, gue bilang gue ga nangis! Cuma menitikkan air mata.” kata Mingyu. “Serius dulu dong, gue mau ngomong ini.” kata Mingyu melanjutkan, merengek untuk didengarkan.

“Lo lagi sakit manja gini, sengaja atau emang begini?” tanya Wonwoo sedikit judes, sedikit penasaran. Lucu banget ya Allah ini kelakuan beruang madu rintih Wonwoo dalam hati.

“Ya Allah, Kak. Suudzon mulu bawaan lu sama gue. Serius, gue emang kaya gini kalau sakit. Jadi, bear with me, mungkin lo akan selamanya liat gue yang kaya gini kalau kita jodoh.” kata Mingyu lagi. Wajah Wonwoo merona merah. Malu. Kata-kata jodoh seakan menjadi kata tabu untuk seorang Wonwoo yang nasibnya selalu diselingkuhin sama mantan-mantannya.

“Gue mau jelasin dulu sama elu nih, ka. Biar gue ga disangka-sangka main-main atau cuma iseng sama lo. Pertama, cewe yang di manfes, jelas bukan cewe gue, dia tuh beneran cuma sekedar temen sekelas, kita ngerjain tugas bareng karena sekelompok, gue ngga pernah ce-es-ce-es-in temen gue, jadi lo boleh tanya ke mereka.” jelas Mingyu, mengambil tangan pria di hadapannya.

“Lo kemaren baca kan chat si Hao Cepu? Gue yakin lo baca sih, walaupun dikit, biar gue yang jabarin aja.” kata Mingyu, yang dibalas anggukan oleh Wonwoo. Entah apa yang kini Wonwoo pikirkan, tapi dia ingin mendengar semuanya saat ini.

“Gue tuh pernah ke perpustakaan kampus hari Kamis, awal tahun lalu kali ya? Pokoknya sebelum pandemi lah, gue liat ada cowo lagi duduk, pake jas lab putih, kacemata bulet, manyun-manyun baca novel, padahal banyak banget buku tebel di depan dia, tapi pagi-pagi yang dia baca malah novel. Gemes banget kan?” tanya Mingyu, Wonwoo masih terdiam.

“Kalau love at the first sight tuh beneran ada, mungkin itu yang gue rasain kali, Kak. Kaya pengen langsung ngajak kenalan, tapi gue ragu. Waktu itu gue cuma pake kaos item, flannel kotak-kotak dan celana robek. Typical anak hukum yang bentar lagi mau di drop out lah. Gue malu sendiri, akhirnya mengurungkan niat. Gue tunggu lain waktu lah.” kata Mingyu.

“Ini pegang-pegang batal ngga sih?” tanya Wonwoo, berusaha mengalihkan topik, dia bingung, siap ngga ya denger kelanjutan ceritanya Mingyu.

“Ngga batal, Kak. Kita muhrim. Cuma belum halal aja di KUA.” kata Mingyu, tersenyum tampan. Bunda aku tergoda jerit Wonwoo. “Gue mau lanjutin lagi dongeng gue, kalau ngantuk nih, boboan di bahu atau dada gue. Atau di samping gue nih kosong.” tunjuk Mingyu mengantisipasi. “Terus, karena gue ke sana hari Kamis, dan beberapa Kamis setelahnya gue ketemu lagi sama cowo yang sama, di tempat yang sama, di jam yang sama. Jadi, gue pikir cowo itu pasti hantu penghuni perpustakaan. Tapi, kalau memang hantu, gue rela jadi pacarnya.” kata Mingyu yang dijawab pukulan di dadanya oleh Wonwoo.

“Kok gue dipukul?” tanya Mingyu.

“Di perpustakaan ngga ada hantu!” kata Wonwoo, mengerucutkan bibirnya, lucu. Masya Allah, gua sosor batal beneran gue. kata Mingyu dlam hati.

“Iya iyaa.. maap.. ngga ada hantu, adanya cowo manis, ganteng, cantik, gue ga tau harus manggil dia yang mana.” kata Mingyu, menuruti sang kakak kelas. “Lanjutin lagi ngga?” tanya Mingyu yang kini dijawab anggukan yakin oleh Wonwoo.

“Abis itu, gue pernah fotoin dia sekali, blur, gue kira hantu beneran, taunya gue deg-degan, takut ketauan terus diomelin. Susah nanti ga bisa kenalan. Gue share tuh fotonya ke Gang Goyang. Gue nanya, ada yang kenal ngga, yang laen biasalah, nanggepinnya ngga ada yang bener. Bahkan Wowo pun ngga jawab apa-apa. Jadi gue diem aja, jadi secret admirer setahunan, sampe ada acara Katingteng kemaren.” Kata Mingyu.

“Wowo juga baru bilang kalau itu kakaknya pas gue bilang nama belakang kalian sama. Ternyata emang cowo itu kakaknya. Asu!” kata Mingyu seakan lupa kalau dia sedang mengatai adik kandung dari cowo yang ada dihadapannya.

“Asu gitu adek gue.” tegur Wonwoo.

“Oh iya juga.” kata Mingyu manggut-manggut. Kini dia melepaskan tangan Wonwoo karena tangan dia mulai berkeringat, semakin gugup dia walaupun dari tadi dia berusaha se-cool mungkin di hadapan pria idamannya ini.

“Terus?” tanya Wonwoo, kemudian.

“Terus apa?” tanya Mingyu balik.

“Itu abis ternyata cowo itu kakaknya Wowo?”

“Oh iya. Abis itu, eh bentar handphone gue geter.” Mingyu melihat layar ponsel yang kini sudah ada ditangannya, nomor yang tak dia kenal, tapi sangat Wonwoo hafal.

“Mending ngga usah diangkat!” kata Wonwoo, menjadi lebih gugup.

“Halo, Assalammualaikum.” sapa Mingyu sopan, tidak menghiraukan ucapan Wonwoo dan tetap mengangkat telefon itu.

“Waalaikumsalam. Apa benar ini dengan nomornya Nak Jono?” tanya suara wanita di ujung sana.

“Jono?” tanya Mingyu bingung, Wonwoo mengulum bibirnya sendiri, antara gugup dan ingin tertawa. “Salah nomer, Bu. Saya Mingyu bukan Jono.” jawab Mingyu dengan sopannya.

“Tapi kamu bener temennya Kakak kan?” tanya wanita di seberang sana bingung, tapi tidak mau menyerah.

“Kakak?” tanya Mingyu lagi, dia semakin bingung sekarang. Ibu-ibu ini ngomong apa sih? Apa lagi mabuk ya? pikirnya dalam hati.

“Oh ya ampun, maksud bunda tuh Wonwoo. Ini benar Jono teman Wonwoo kan?” tanya wanita di seberang sana lagi.

“Saya kenal Wonwoo sih, tante, tapi saya bukan Jono.” kata Mingyu, masih berusaha sopan. Wonwoo rasanya sudah tidak tahan lagi untuk menahan tawanya, tapi masih dia coba tahan, hanya cicitan yang keluar dari mulutnya, Mingyu semakin bingung.

“Nak Jono yang kakinya keseleo. Ih, ini si Kakak resek deh, pasti ngejailin bunda salah kasih nama.” keluh wanita berumur di ujung sana.

“Kaki saya keseleo memang tante, tapi saya Mingyu, bukan Jono.” jawab Mingyu, masih kekeuh kalau memang dia bukan Jono.

“Bener-bener deh si Kakak, Bunda sedot juga ubun-ubunnya! Bisa-bisanya ngasih tau nama orang salah. Bunda malu. Maaf ya, Nak Mingyu.” kata wanita yang selalu memanggil dirinya dengan sebutan Bunda itu.

“Iya, tante. Ngga pa-pa.” Jawab Mingyu, sekarang dia sudah mengerti kenapa wanita di sana memanggil dia Jono, kenapa kak Wonwoonya menahan tawa namun tetap tampan dan siapa ibu-ibu yang dia sangka mabuk itu.

“Gimana kakinya, Nak Mingyu? Tadi sudah diurut? Bunda nelefon tuh cuma memastikan aja kalau Nak Mingyu masih hidup. Soalnya, ngga pernah si Kakak ngurusin orang. Takut kamunya malah makin keseleo!” dumel Bunda.

“Haha. Alhamdulillah saya masih hidup, tante. Kaki saya juga sudah diurut tadi dianter Wonwoo. Sekarang Wonwoo nya masih di sini tante.” kata Mingyu dengan sopan, Calon mertua, soub!

“Alhamdulillah kalau gitu ya.” suara di sana menjadi lega.

“Tante nelefon saya mau minta Wonwoonya pulang ya, tan?” tanya Mingyu sedikit getir.

“Oh, ngga! Biarin aja dia di sana. Ngurusin kamu, biar ngga usah manja di kamar terus main game atau baca buku romantis kalau weekend. Tapi, kakak ngga bisa masak lho! Nanti kalian buka pake apa? Mau bunda kirimin makanan?” kata Bunda Wonwoo nyeleneh dan bertanya.

“Ngga usah, tante. Di sini ada makanan kok. Saya juga bisa sedikit-sedikit masak.” kata Mingyu.

“Masa orang sakit yang masak, bener-bener deh si Kakak. Nanti biar bunda ajarin masak ya, jadi kalau mau kamu lamar at least dia ngga malu-maluin.” kata Bunda Wonwoo santai, sedangkan pria yang sedang berbicara dengannya memasang tampang kaget dan pipi yang berubah merona. Kalau mau gue lamar katanya. tawanya dalam hati.

“Ngga bisa juga tetep saya lamar tante, kalau Kakaknya mau.” kata Mingyu membalas. Mendengar kalimat itu, jantung Wonwoo berdetak ribut, pipinya memerah dan tangannya berkeringat.

“Kalau bukan kamu siapa yang mau sama dia coba. Haduh! Yaudah ini, Bunda mau siap-siap belanja buat bukaan dulu ya. Cuma mastiin aja. Nak Mingyu, cepat sembuh yaaa.. Jangan sakit-sakit.” pinta Bunda.

“Iya, tante. Terima kasih banyak perhatiannya. Tante juga sehat-sehat ya.” balas Mingyu yang dijawab dengan ucapan salam, dan Bunda Wonwoo mematikan telefonnya di seberang sana.

“Apa kata Bunda? Pasti ngawur.” kata Wonwoo, tidak bisa menutupi kegugupannya.

“Katanya kalau bukan gue siapa lagi yang mau sama elu, kak.” kata Mingyu jujur, kini Wonwoo sudah menyerupai udang rebus.

“Padahal banyak, bunda aja ngga tau.” kata Wonwoo, memalingkan wajahnya untuk tidak melihat Mingyu. Malu — sangat Malu.

“Iya, ngga tau aja kalau anaknya Kakak Tingkat Ganteng.” jawab Mingyu. “Tapi kak, ada yang bikin gue penasaran.” kata Mingyu yang dibalas dengan kedua alis Wonwoo yang naik seakan bertanya 'Apa?'

“Maksudnya gue dipanggil Jono tuh apa ya?” tanya Mingyu, iseng.

“Ngga tau, pas ditanya keingetnya itu.” jawab Wonwoo santai, menutupi kegugupannya sebisa munngkin — sedari tadi.

“Tukang bubur depan kampus banget?” tanya Mingyu.

“Namanya juga refleks ih, bisa nama siapa ajakan?” kata Wonwoo mengerucutkan bibirnya.

“Haha. Iyaaaa. Jono juga ngga pa-pa asal panggilan sayang dari lo buat gue.” kata Mingyu, memberikan senyuman termanisnya.

“Mau lanjutin lagi ceritanya ngga? Kita belum sholat Ashar.” tanya Wonwoo melihat jamnya yang sekarang sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore.

“Bentar lagi deh sholatnya, tanggung. Tinggal 2 kalimat lagi, Insya Allah itu juga.” jawab Mingyu asal.

“Yaudah, lanjutin deh.” kata Wonwoo membiarkan Mingyu melanjutkan ceritanya.

“Terus, taunya cowo itu kakak Wowo, gue heboh di twitter, ternyata Bang Cheol mention elu kan, Kak waktu itu? Yaudah, abis itu gue beraniin DM elu, nah di sinilah kita berada.” kata Mingyu menarik nafasnya panjang.

“Gue pengennya tuh kita ngga cuma temen chat, ngga cuma temen main, pokoknya ngga cuma temen. Pengen yang lebih dari itu. Mungkin lo udah tau sih arah tujuan gue kemana. Gue ga romantis, Kak.” kata Mingyu.

“Guemah cemen. Deketin lo aja, kalau ga diminta Wowo buat jemput lo waktu itu, mungkin gue stuck. Bingung gue. Banyak ga percaya dirinya, takut ngga pantes kalau bersanding elo mah, Kak.” kata Mingyu menjelaskan.

“Kenapa gitu?” tanya Wonwoo.

“Ngga tau, mungkin karena lo yang dokter, gue yang anak hukum doang. Terus, lo yang famous dan ganteng, gue yang cuma Mingyu anak hukum doang. Lo yang punya keluarga sempurna, gue cuma punya nyokap doang. Lo yang banyak lebihnya dan gue yang banyak kurangnya.” kata Mingyu, mulai serius.

“Hush! Ngga boleh ngomong gitu sih! Siapa yang bilang Mingyu anak hukum doang? Jadi anak hukum emang ga lebih keren dari jadi dokter apa? Kata siapa?” tanya Wonwoo, kesal mendengar jawaban Mingyu.

“Hukum sama Kedokteran kan punya tingkat kesulitan yang sama dengan definisi berbeda. Ga usah dipikirin. Toh nanti katanya mau jadi Jaksa? Kan Jaksa juga keren. Gue mau kok dinikahin sama Jaksa.” jawab Wonwoo, tanpa sadar, namun itu semua memang yang sedang dia pikirkan, tapi kalimat itu bukan kalimat yang ingin ia lontarkan sebenarnya.

“Eh gimana, Kak?” tanya Mingyu.

“Gue mau sholat Ashar dulu. Lo mau gue tuntun wudhu apa gimana?” tanya Wonwoo gugup, dia langsung berdiri dari pinggir tempat tidur yang sedari tadi dia duduki.

“Tapi gue belum selesai euy!” kata Mingyu.

“Kalimat lo udah lebih dari dua, itu udah gue kasih bonus.” kata Wonwoo, melangkah keluar kamar Mingyu.

“Kak Won!!! Kak Won!!! Ini intinya belum! GUE BELOM NANYA WOY!!!” teriak Mingyu dari tempat tidurnya tak berdaya.

“TANYA AJA!” jawab Wonwoo tidak kalah teriaknya dari luar kamar ke arah kamar mandi.

“MAU GA LO JADI PACAR GUE? JADI PACAR GUE YA!!” teriak Mingyu. Wonwoo tanpa sadar menggebrak pintu kamar mandi setelah mendengar pertanyaan tersebut. Mingyu tersenyum jahil namun lega, akhirnya dia ungkapkan juga perasaannya. Jawaban Kak Wonwoo adalah urusannya nanti.

Yang Mingyu tidak tahu, kini degupan jantung Wonwoo sudah tidak karuan. Deg-degan, bingung karena pertanyaan dadakan yang dilontarkan oleh Mingyu. Pipinya memerah hingga ke kupingnya ketika dia berkaca.

KATINGTENG [Kaka Tingkat Ganteng] [Narasi 3] – He Feels Like Home

Mingyu memarkirkan mobilnya ke salah satu rumah dengan gaya minimalis 2 lantai sederhana, mungkin luas tanahnya hanya 100 meter persegi, dengan taman kecil di depan rumah yang terdapat pohon bonsai beringin di ujung halamannya, tumbuh dengan indah. Tempat parkirnya juga memang hanya cukup untuk 1 mobil dan 1 motor vespa hitam model GTS Super yang bertengger di sana.

“Sorry, kak. Rumah gue kecil.” kata Mingyu memecah keheningan ketika Mingyu sudah mematikan mesin mobilnya.

“Apaan sih, rumah kaya gini kok kecil!” tegur Wonwoo. Ya, bila dibandingkan dengan rumah Wonwoo, rumah Mingyu memang terlihat lebih kecil. “Halaman depannya asri banget, ada pohon bonsai juga. Nyokap lo suka nanem juga ya?” tanya Wonwoo menghadap ke Mingyu yang masih memperhatikan kakak tingkatnya itu.

“Haha. Iya, hobby dia. Kalau pesenan cattering lagi ngga banyak, suka minta temenin ke depan buat beli taneman.” jawab Mingyu, terjawab sudah kenapa halaman rumah Mingyu yang kecil terlihat lebih rapih dan cantik.

“Yuk, masuk. Bentar, gue bukain pintu dulu buat Baginda.” kata Mingyu yang langsung keluar dan membukakan pintunya untuk Wonwoo.

Kini Wonwoo melangkahkan kakinya masuk ke rumah yang sangat asing untuknya. Pertama kali masuk rumah, dia disambut dengan ruang tamu, sofa putih dengan hiasan bantal, lampu gantung dengan bahan polikarbonat cantik, dengan beberapa foto keluarga Mingyu terpampang di sana, seorang pria dan wanita yang sudah pasti orang tua Mingyu dan Mingyu sendiri. Masih kecil.

Mingyu menuntun Wonwoo untuk berjalan memasuki rumahnya semakin dalam, dan bertemua dengan seorang wanita paruh baya yang cantik, postur tubuhnya yang tinggi untuk ukuran wanita baru saja menuruni tangga, dengan baju daster, rambut diikat sedikit berantakan dan tersenyum ke arah Wonwoo.

“Udah pulang, Dek?” tanya wanita itu, berjalan menuju arah 2 pria yang baru saja memasuki rumah.

“Eh, ini toh calon mantunya Mama? si Kakak Dokter?” tanya wanita itu yang menyebutkan 'Mama' tentu saja, itu adalah Mamanya Mingyu. Dijawab cengiran oleh Mingyu, sedangkan pria yang dipanggil menundukkan kepalanya melihat ke lantai yang bersih, memegang ujung kemejanya dan mengulum senyumnya. Malu dia itu. Astaga Mingyu Pratama emang bener-bener.

“Siapa namanya?” tanya wanita itu menghampiri Wonwoo yang masih tersipu malu. Menaikkan kepalanya pelan-pelan.

“Wonwoo Jannata, tante.” jawab Wonwoo dengan cicitan, yang terdengar oleh wanita itu. Wonwoo menyalimi tangan wanita itu dan mengelus bahunya.

“Ma, udah, nanti Kak Wonu nya takut. Aku mau sholat dulu lho ini belum Asharan.” tegur Mingyu.

“Yaudah gih, ajak ke kamar kamu aja. Mama mau masak.” pinta Mama Mingyu. “Wonwoo buka puasa di sini jugakan?” tanya wanita itu.

“Iya, tante.” jawab Wonwoo singkat dengan nada canggung.

“Sip, Mingyu udah bilang kok kemaren, tante cuma make sure aja.” ucap Mama Mingyu ramah sambil menyunggingkan senyumnya. “Kamu ga usah sungkan, anggep aja rumah sendiri. Berantakin aja kamar si Mingyu, nanti juga dia yang beresin.” kata Mamanya jahil.

Wonwoo mengikuti Mingyu naik ke lantai 2 rumah itu, hanya ada 1 kamar mandi dan 2 pintu kamar, yang diyakini pasti 1 kamar adalah milik Mingyu dan 1 kamar lagi adalah milik orang tuanya.

“Rumah sepi ya, Gyu?” tanya Wonwoo, dibandingkan dengan rumah Wonwoo yang ramai itu. Ada Wowo, Bunda, Papa, 2 pembantu dan 1 supir. Apalagi Wowo sangat berisik, Bunda yang suka misuh-misuh saat menonton drama atau sinetron dan Papa yang suka ikutan Bunda nonton juga.

“Hehe.. iya, kak. Gue emang cuma tinggal sama nyokap aja, berdua.” ucap Mingyu sembari meletakkan tasnya di kursi meja belajarnya. “Boleh ngadep mana gitu ga, Kak? Gue mau ganti baju, takut lo batal.” ucap Mingyu jahil.

Wonwoo dengan salah tingkahnya membalikkan badannya dan menjelajahi tembok di sekitar kamar Mingyu yang terlihat oleh matanya. Ada beberapa apple music glass plaque di sana, ada beberapa judul lagu The Beatles dan Queen. Gemes banget deh, kepikiran bikin kaya gitu. Pajangan poster yang tertempel dan ada juga beberapa frame di samping kasurnya dan etalase gundam.

“Dari kamar lo, keliatan banget ya lo anaknya random?” tanya Wonwoo membuka suara, kini Mingyu sudah selesai mengganti bajunya.

“Maksudnya?” tanya Mingyu.

“Haha. Dari glass plaque apple music yang aesthetic tiba-tiba gue liat Gundam.” jelas Wonwoo. Lalu, Mingyu tertawa. “Haha.. iya juga ya? Gue baru sadar. Tapi, itu Gundam berarti banget buat gue, jadi ga mungkin ga gue pajang.” jawab Mingyu.

“Ga masalah kok, random aja. Di kamar gue juga, udah bagus-bagus semua nadanya abu-abu putih, masih aja ada warna oren atau kuning, dengan ga sengaja. Haha.” Jawab Wonwoo.


“Gue sholat di mana?” tanya Wonwoo yang sudah mengambil wudhunya ke pada pria tinggi yang sudah memakai sarung gajah duduk itu.

“Gue imamin, Kak. Ini sarungnya, itu sajadahnya.” Kata Mingyu menyerahkan sarung kotak-kotak itu kepada Wonwoo.

“Beneran di imamin dong gue, seneng banget.” Kata Wonwoo.

“Iya lah, kan gue janji. Janji bakal ngimamin sholat 5 waktu malah.” Kata Mingyu tenang. Mingyu tuh kadang ngga tau dengan perkataannya yang seperti itu ada darah seorang Wonwoo Jannata yang berdesir, hati yang sedikit berharap dan jantung yang berdegup kencang.

Setelah Sholat Ashar, Mingyu pamit ke bawah dan diiyakan oleh Wonwoo. Tapi kok udah setengah jam ngga naik-naik, lalu Wonwoo mengiriminya pesan. Setelah mendapat jawabannya, Wonwoo langsung melangkahkan kakinya keluar dan menuju ke dapur.

“Eh, mantu mama ngapain ikut ke dapur juga?” tanya Mama Mingyu.

“Mau bantuin katanya, Ma. Ngga enak kalau cuma makan doang.” jawab Mingyu santai, Mingyu sedang menggodok santan untuk membuat kolak pisang.

“Wonu, suka kolak pisang ngga? Kolak pisang buatan Mingyu enak lho.” kata Mama Mingyu.

“Suka kok, tan.” jawabnya tersenyum. “Ini apa yang bisa aku bantu ya?” tanya Wonwoo dengan segan.

“Bantuin beresin meja makan aja ya? Abis itu duduk di ruang tengah idupin TV, supaya bisa tau udah adzan atau belum. Boleh?” tanya Mamanya Mingyu. Tentu boleh, sudah merepotkan untuk buka puasa di sini masa hanya membereskan meja makan dan menghidupkan televisi Wonwoo keberatan.


Waktu sudah menunjukkan pukul 5.58 sore, adzan juga sudah berkumandang, ta'jil dan makanan berat sudah tersedia di atas sana. Ada kolak pisang buatan Mingyu, ada sop ayam buatan mamanya Mingyu, teh manis hangat, gorengan dan ikan bandeng presto resep untuk cattering mamanya Mingyu.

“Yuk, buka yuk! Di makan.” ajak Mamanya Mingyu. Wonwoo mengambil kolak pisangnya terlebih dahulu dan meneguk teh manis hangat.

“Wonu biasanya buka puasa di rumah gimana? Ta'jilan dulu terus sholat baru makan berat atau gimana?” tanya Mama Mingyu menanyakan kebiasaan pria gebetan anaknya itu. Mingyu masih tenang membiarkan mamanya yang bawel ngobrol panjang lebar ke kak Wonwoonya.

“Biasanya? Aku makan ta'jil dulu sih, tante. Kadang makan beratnya sehabis tarawih.” jawab Wonwoo.

“Oh gitu. Sama dong, Mingyu sama tante juga gitu. Berarti kamu ikut terawih di sini ya? Sejak pandemi nih, Mingyu posesif banget ngga ngebolehin ke Mesjid, jadi dia yang ngimamin.” ucap wanita itu.

“Iya, sama kok, tan. Wonu juga di rumah sholat tarawihnya. Kalau di rumah yang parno Bunda, jadi pada nurut.” jawab Wonwoo, dengan tenangnya menceritakan tentang rumahnya.

“Kata Mingyu, Wonu kakaknya Wowo ya? Wowo tuh sering main ke sini kalau ngga ada kelas, atau lagi nunggu kelas.” kata mamanya Mingyu.

“Emang Wowo sama lo sedeket itu, Gyu?” tanya Wonwoo ke Mingyu, yang dibalas anggukan santai oleh pria yang bernama lengkap Mingyu Pratama itu.

“Ya temen nongkrong. Anak Gank Goyang, sering kok ke sini.” jawab Mingyu. Mungkin alasannya karena rumah Mingyu cukup lumayan dekat dengan kampusnya, jadi tidak salah bila menumpang. Sama halnya dengan Wonwoo yang sering numpang di kossan Jun juga.


Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, iya, Wonwoo terlihat sangat betah berbincang-bincang dengan Mama Mingyu, dari mulai mereka makan, membereskan meja makan, mencuci piring bersama, duduk di ruang keluarga, menonton sinetron, ternyata mamanya Mingyu suka menonton sinetron seperti bunda dan papa.

“Kak Won, mau nginep aja? Udah jam 9 malem.” tanya Mingyu ketika Wonwoo sedang membantu mama Mingyu di dapur, menyiapkan peralatan yang akan digunakan untuk cattering besok.

“Hah? Ngga, mau pulang aja.” kata Wonwoo, tapi masih belum beranjak dari tempatnya, dan semakin asik membantu mamanya Mingyu.

“Mau pulang jam berapa, Baginda? Ayo, gue anter.” kata Mingyu. “Ma, itu Mba Darmi ngga dateng? Kok ngelap-ngelap sendiri?” tanya Mingyu kepada mamanya.

“Iya, Mba Darmi dateng habis sahur buat beresin ini, tapi mama gatel, takut ada yang kelupaan. Kan ini acara bukbernya Ashanti. Harus perfect.” kata sang Mama.

“Sini deh, Gyu bantuin.” kata Mingyu yang ditolak mentah-mentah bantuannya oleh Mamanya dan Wonwoo.

“Ngga usah, mama sama Wonu aja. Kamu ngapain kek.” pinta mamanya.

“Iya, ngga usah. Ini biar gue aja yang bantuin nyokap lo.” kata Wonwoo melarang Mingyu untuk mendekat. “Lo tidur aja kalau ngantuk, Gyu. Gue bisa pulang sendiri nanti naik ojol.” kata Wonwoo. “Besok ada kelas ngga?” tanya Wonwoo lagi.

“Ada, pagi jam 9. Lo?” tanya Mingyu. Wonwoo menggelengkan kepalanya.

“Naik gih sana! Tidur! Kalau ada lo rusuh, nanti ga beres-beres.” ucap Wonwoo mengusir Mingyu dari dapur miliknya.

“Nanti gue naik kalau mau balik ya! Gih! Hush hush!” usir Wonwoo. Ini rumah siapa sih sebenernya?

KATINGTENG [Kaka Tingkat Ganteng] [Narasi 2] – 2nd Time We Met

Tepat jam 9.05, Mingyu mengendarai mobilnya membelah jalan Kemanggisan menuju Menteng untuk menjemput pujaan hatinya. Jum'at pagi ini jalanan terpantau sedikit padat di daerah Slipi. Biasalah, jalanan itu memang tidak pernah ada habisnya kalau masalah macet.

I can't wait for you To come my way I've been far away But I'll keep runnin' Just to find a way to you 'til then

Peach Tree Rascals melantun dari audio mobil menemani perjalanannya yang berjarak 13km itu. Mingyu ikut melantunkan lirik demi liriknya. Hari ini rasanya sangat senang karena akhirnya dapat bertemu sang kakak tingkat setelah seminggu tidak bertemu. Ya, begitulah Mingyu.

Yaris Gray Metallic sudah berhenti di depan pagar hitam tinggi yang pernah dia datangi, seperti dejavu. Kini tanpa ragu dan bermonolog dia menekan tombol dial.

“Gyu.. udah di depan ya?” Tanya suara di ujung sana.

“Udah nih, Kak.” Jawab Mingyu yang langsung keluar mobil ketika menemukan pria ramping berkulit putih itu menggunakan celana bahan panjang berwarna khaki yang dipadukan dengan kemeja hitam pendek yang dilipat pada setiap lengannya. Rapih, sedangkan Mingyu hanya menggunakan Hoodie Hijaunya dan celana pendek. Orang akan percaya bila dia bilang tadi dia tidak mandi, bila saja mereka tidak mencium wangi Mingyu yang memekakan indra penciuman.

Dibukakan pintu mobil menuju kursi penumpang yang ada di sebelah pengemudi, mempersilahkan sang pria ganteng itu masuk dengan memegang atas kepalanya ketika pria itu masuk, takut terantuk. Mingyu berjalan mengitari depan mobilnya dan kini sudah ada di dalam mobilnya.

“Kak, nanti kalau jam 10 gue ada kampus online terus kita masih di jalan, maafin ya. 15 menit lagi soalnya.” Kata Mingyu, menghidupkan mesin mobilnya, dan mulai melaju kembali ke Jakarta Barat.

“Gak pa-pa kok, santai aja. Lagian kemaren lo bilang ada kelasnya jam 1?” Tanya Wonwoo lagi.

“Iya, ternyata gue lupa ada Hukum Perkawinan hari ini. Lo mau dengerin dosennya ngomong ngga? Kalo ngga, gue pake earpods.” Tanya Mingyu.

“Kok bisa lupa kelas sih, Gyu?” Tanya Wonwoo sambil menggelengkan kepalanya.

“Soalnya, biasa jadi followers Hao, untung tadi pagi chat Hao. Haha.” Jawab Mingyu jujur sambil menertawakan dirinya sendiri.

“Ngga usah pake earpods, denger bareng aja. Pengen tau juga gimana pelajaran anak Hukum.” Jawab Wonwoo sambil tersenyum.

“Serius? Wah, nanti gue ikutan ya kalau lu kelas teori. Pengen tau juga pelajaran anak kedokteran.” Ucap Mingyu santai yang dijawab gelengan tidak habis pikir oleh Wonwoo.

“Agak salah sih kalau mau denger pelajaran anak hukum tapi yang nge-lecture Pak Jowan.” Kata Mingyu, masih serius menatap lurus ke jalan.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo.

“Dia pernah ngajar, backgroundnya Twice, taukan? Girl group Korea, gue sampe hafal kalau mereka ada 9 member.” Kata Mingyu yang dijawab anggukan oleh Wonwoo. “Sampe kelas selesai dia ngga ngeuh kalau backgroundnya itu. Mana mukanya serius banget. Anak-anak sampe ngakak, bahkan videonya udah sampe kelas lain.” Jawab Mingyu menceritakan kejadian bodoh dosennya itu. Tawa renyah Wonwoo menghiasi mobil itu.

“Kok ngga dikasih tau sih? Jahat!” Ucap Wonwoo memukul lengan kekar Mingyu dengan pelan.

“Biarin ajalah hiburan. Haha. Terus, waktu itu lagi ngajar, suaminya mundar-mandir pake sarung sama kutang. Udah paling bener dah kelakuan.” Cerita Mingyu lagi.

“Udah jam 10, Gyu. Di mana linknya, sini biar gue yang prepare lo nyetir aja.” Tanya Wonwoo, kini sudah mengambil ponsel Mingyu yang tergeletak.

Wonwoo dihadapkan dengam fotonya yang kini sudah terpampang potret dirinya sedang tidak terlihat ke arah kamera, entah kapan Mingyu mengambilnya. Latar belakangnya perpustakaan. Bahkan Mingyu lupa akan hal ini. Dia biarkan pertanyaannya untuk nanti.

“Ini password nya berapa, Gyu?” Tanya Wonwoo.

“1706.” Jawab Mingyu santai. Wonwoo mengetikkan nomor yang disebut, dan kunci terbuka.

“Kayaknya ulang tahun lo bukan 17 Juni deh kata lo kemaren.” Ucap Wonwoo.

“Itu kombinasi tanggal lo sama gue. Haha.” Jawabnya lancar, seperti tidak ada apapun yang membebaninya, pria tinggi berkulit sawo matang itu masih fokus di jalannya, sedang pria di sebelahnya kesulitan menutupi wajahnya yang sudah mulai merah merona. Mengulum bibirnya sendiri agar tidak tersenyum.

“Terus, linknya di imess. Namanya Hao Cepu.” Kata Mingyu. Ada pesan yang memang belum dibaca dari nomer itu untuk Mingyu.

“Chat dia belum dibaca nih, Gyu.” Kata Wonwoo mengabari.

“Buka aja, paling apa sih?” Tanya Mingyu santai, Wonwoo membaca pesannya. Mukanya kembali memerah. Mengulum senyumnya sendiri, jantungnya berdegup kencang.

Di depan sedang lampu merah, Mingyu melihat ke arah kakak tingkatnya itu yang sedang salah tingkah dan menegurnya perlahan. “Kak, kenapa?” Tanya Mingyu sambil melihat wajah kakak tingkatnya kembali ke ponselnya.

Ponsel itu langsung diambil, dan Mingyu membaca pesan terakhirnya. Mampus gue, ini si Hao lemes amat jempolnya anjing! rutuk Mingyu dalam hati.

“Lampu hijau, Gyu.” Tegur Wonwoo. Mingyu langsung menyimpan ponselnya di antara pahanya. Dan kembali serius ke jalanan.

“Mana ponselnya, udah mau jam 10, Gyu.” Ujar Wonwoo, Mingyu dilema sekarang, membiarkan ponselnya dipegang Wonwoo dan Wonwoo membaca chat dia dengan Hao atau telat ikut kelas karena 15 menit lagi dia baru sampai kampus.

“Gue udah baca lagian, sini!” Kata Wonwoo, mengambil ponsel Mingyu yang ada di antara pahanya itu. Mingyu terkejut, begitupun Wonwoo yang merutuki refleksnya pagi ini. Menekan link yang ada di chatroom itu.

Kelas Mingyu sudah mulai, Mingyu sudah absen dan Yaris Gray Metallic itu sudah memasuki pelataran parkir kampus. Wonwoo turun dari mobil bersamaan dengan Mingyu, mengaitkan tas gendongnya.

“Gue tunggu di perpus aja ya, Kak.” Ucap Mingyu.

“Iya, lo disitu aja. Bawa sejadahkan? Jum'atan bareng ya!” Pinta Wonwoo, yang dibalas anggukan Mingyu.


Wonwoo dan Mingyu kini masih berada di perpustakaan, Mingyu masih menunggu 15 menit lagi sebelum kelas hari ini selesai, dosennya masih ngoceh di zoom sedangkan teman-temannya sudah bawel di group, ada yang bilang ngantuk, ada yang bilang sumpel aja tuh mulut dosennya dan sebagainya. Mingyu hanya tertawa menanggapinya, Wonwoo menatapnya.

“Kenapa?” Tanya Wonwoo, dan Mingyu menunjukkan chat group Kebanggaan Anak Hukum, di sana sudah ada Minghao dan Dika yang sedang misuh-misuh ingin kelas segera berakhir. Wonwoo pun ikut tersenyum melihat kelakuan teman-temannya via chat.

“Wah, alhamdulillah, kelar juga ini hukum perdata. Meledak!” Keluh anak hukum jurusan 2018 itu, sambil meregangkan badannya.

“Gimana tadi praktikumnya, Kak”?” Tanya Mingyu yang kini sudah mulai merapihkan barang-barangnya.

“Ya gitu aja, harus belajar lagi kalau beneran mau jadi dokter spesialis.” Kata Wonwoo.

“Ngga papa lah, Kak. Namanya juga belajar, gue juga sering salah kalau udah masuk case study Pidana, padahal mau jadi jaksa.” Kata Mingyu menimpali.

“Jaksa tuh keren lho!” Ujar Wonwoo, kini mereka sudah berjalan ke arah parkiran sambil berbincang.

“Ya dong. Nanti anak gue pasti bangga banget, ayahnya jaksa, papanya dokter spesialis.” Jawab Mingyu anteng. Wonwoo berhenti, jantungnya berdegup berantakan.

“Kenapa, kak?” Tanya Mingyu tanpa rasa berdosa.

“Lo ngomong tuh lemes bgt sih. Ngga lucukan spesial jantung punya penyakit jantung dengan alesan sering dialusin anak hukum 2018.” Jawab Wonwoo mencubit lengan Mingyu. Mingyu merintih ke sakitan.

“Sakit. Ihs. Dokter kok nyiksa.” Ucap Mingyu.

“Calon.” Kata Wonwoo meralatnya.

“Calon dari papa anak-anakku ya.” Ucap Mingyu berlari ke mobilnya karena takut ditimpuk. Tapi dia keluar lagi, karena lupa membukakan pintu untuk sang kakak.

“Jadi buka puasa di rumah guekan, Kak?” Tanya Mingyu yang sudah menjalankan mobilnya keluar dari plataran parkir.

“Boleh, kalau ga ngerepotin.” Jawab Wonwoo yang dibalas senyuman lebar oleh Mingyu.

“Kita let's go! Mama I'm coming with your ideal son-in-law.” Jawab Mingyu yang dihadiahi pukulan Wonwoo, karena malu.