mnwninlove

Awkwardly Awkward

Thank you, Mas Celo.” kata Putra sopan dengan segera membuka seatbelt-nya ketika mobil SUV yang mengantarnya pulang sudah berhenti di depan bangunan koss-kossan yang bertahun-tahun lamanya pria manis berkacamata itu tempati.

My pleasure.” jawab Celo, tanpa melakukan pergerakan apapun, bahkan membuka kunci pintu mobil, sedangkan pria lebih muda yang sedari tadi duduk di kursi penumpang itu siap untuk turun, ingin sekali rasanya ia pergi dari benda bergerak tertutup yang membuatnya merasa canggung dengan Celo yang berada di kursi kemudi selama perjalanan mereka pulang.

“Mas, maaf banget tapi pintunya masih kekunci.” kata Putra sambil membuka handle pintu mobil bagian dalam, namun, tidak ada yang terjadi.

Pria tampan berbadan atletis itu tak menggubrisnya, ia malah terdiam dan meletakkan pipinya ke gagang setir mobil, lalu menatap pria manis yang sedang sedikit bingung di sebelahnya. Putra tentu saja sedikit salah tingkah, ia memalingkan tatapannya entah ke mana saja, asal bukan ke pria di sebelahnya ini.

“Lo masih mau ngehindarin gue?” Celo memecahkan keheningan yang sebelumnya hanya ada suara mesin mobil lembut yang masih menyala.

Pertanyaan itu membuat Putra memalingkan wajahnya, menatap Celo dalam samar cahaya dari luar. 'Lho? Kok tahu?' tanyanya dalam hati.

“Iya, gue tau kok. Lo malu ya abis ngomel-ngomel ke gue, padahal yang ngga liat jalan bukan gue?” pertegas Marcelio.

'Udah, boleh ngga diem?' Putra masih terdiam, namun masih ngomong sendiri di dalam hatinya.

“Iya, gue diem. Tapi, normalnya orang kalau salah tuh minta maaf ngga sih, Put?” tanya Marcelio, sedikit menyindir kelakuan putra siang tadi.

Putra masih terdiam, “At least nanyainlah keadaan jidat gue, atau balikin trombopop yang gue simpen dimeja lo.” kata Marcelio.

'Mampus kan? Utang budi lagi lo, Ta, sama ini bujang satu.' rutuk Putra dalam hatinya.

“Bawa aja, buat lo pake abis mandi.” kata Marcelio ketika melihat Putra membuka tas ransel hitam kesukaannya, ingin mengembalikan trombopopnya.

Cklek pintu kunci mobil terbuka, pertanda Marcelio sudah membiarkan Putra untuk keluar dari mobilnya. Tapi, pria manis berkacamata itu masih terdiam.

“Lo mau turun atau ikut gue pulang?” tanya Marcelio yang melihat bawahannya membeku.

“Tadinya gue mau ngunci lo sampe minta maaf, but it seems like it'll take forever,” kata Marcelio. “Besok pagi gue harus ke kantor klien sama Winter. Jadi, lo turun deh, kalau ngga mau ikut gue pulang.” lanjut Marcelio.

“Besok meeting, Mas?” tanya Putra.

'Akhirnya, buka suara juga nih bocah.' kata Marcelio dalam hati.

“Hmmm.. Kalau ada yang mau lo diskusiin chat aja,” jawab Marcelio dingin — soalnya pria tampan ini berusaha se-cool mungkin.

“Termasuk minta maaf karena udah ngebentak gue, kalau malu lo bisa chat gue, anytime.” lanjut Marcelio, tersenyum dalam remangnya.

Apa yang Putra lakukan? Betul, pria manis itu berlagak tidak mendengar manager-nya itu, dan tentu saja langsung membuka pintu mobil, menutupnya, lalu membungkukkan tubuhnya setengah, segera berbalik dan berlari.

“Hati-hati!” kata Marcelio dari dalam SUV-nya ketika melihat tingkah laku Putra, tentu saja Putra tidak akan mendengarnya.

“Yaelah, pake lucu lagi.” kata Marcelio sambil tersenyum, sembari mengganti gigi matic-nya, memastikan Putra sudah masuk ke dalam dan ia menekan pedal gas mobilnya pergi meninggalkan pintu depan gerbang koss-koss Putra.

Pulang Bareng Vol. Kesekian

“Nha, ini manusia yang bikin jidat anak ganteng gue jadi warna pink.” kata Giana dengan suara lantang ketika Putra berjalan agak cepat melewati salah satu kedai kopi di depan gedung perkantorannya.

Ia sudah sangat mewaspadai hal ini terjadi, Putra sudah menghitung kemungkinan-kemungkinan yang dapat ia alami ketika pulang melewati area ini, bagaimana ia harus bertindak saat bertemu atasannya dari kantor? Karena sejujurnya saat ini ia sangat ingin sekali menghindari ke-empat serangkai atasan-atasan tim digital tempatnya bekerja — Theo, Onel, Gian, dan Celo. Terutama pria yang terakhir kali disebutkan, Celo. Bukan karena tiap melihat manager-nya bawaan Putra kesal — ya-iya sih memang mereka persis cat and dog yang ngga akur-akur — tapi, malam ini Putra — cowo tinggi yang biasa dipanggil Kucing atau Uta — lebih ngga mau ketemu Celo karena malu udah marah-marah di depan elevator tadi sore, ia sadar sih kalau ia memang ngga seharusnya marah, kan yang salah dia. Terbukti karena saking malunya, setelah ia menemukan salep trombopop yang entah punya siapa — tapi tetap dia gunakan juga — berada di atas mejanya, si dia yang tingkah lakunya kaya kucing garong itu langsung ngibrit membawa peralatan kerjanya ke cafe pantry kantor dan duduk paling pojok agar tidak ketemu dengan primadona-nya tim digital — Celo. Ya, walaupun mereka tetap bertukar pesan lewat e-mail tentang progress kerjaan — yang sebenarnya bisa mereka lakukan via chat.

“Sial, ketauan!” rutuk pria berkacamata itu dalam hati. Putra diam tak bergeming, masih mempertimbangkan untuk berbalik dan menyapa ke-empat Musketeer tersebut atau pura-pura tuli, kemudian menggeret Achel untuk kabur dari tempat itu sekarang juga. Tapi, wait a minute ~ Achel mana? Kok tidak tampak di depan mini market yang sudah mereka janjikan untuk bertemu?

“Buru-buru amat, Ta, sini dulu lah!” sapa Theo, salah satu dari empat orang itu. Pria yang paling loyal diantara yang lain, karena gampang banget ngajak makan teamnya terus ke kasir duluan dan lupa nagih, soalnya, ngga tau caranya menggunakan split bill atau malah bill-nya ngga sengaja kebuang sama tissue.

Putra berbalik, ya masa dia kabur? Kan ngga enak, setidaknya, ia berniat untuk berbasa-basi sebentar sembari menghubungi Achel dan menanyakan keberadaannya.

“Bisa-bisanya ini anggora putih satu ngilang.” omel Putra dalam hati meratapi ponsel-nya, berjalan menuju ketempat Celo, Theo, Gian dan Onel yang lagi sibuk mengepul asap beraroma yang sudah bercampur aduk oleh rasa liquid vape mereka.

“Uta alergi asep cuy, bengek nanti.” tegur Onel meminta ketiga temannya yang lain menghentikan aktifitas mereka menghisap vape ketika Putra sudah sampai di hadapan mereka.

Mendadak Marcelio tersedak tak karuan, dibandingkan dengan ketiga teman yang lainnya, setelah mendengar kalimat Onel mereka menghirup vape dan menghembuskan asapnya perlahan ke lain arah agar tidak terhirup Putra, berbeda dengan pria berbadan tinggi kekar itu, si dia yang pintar dan tak sabaran malah menelan asapnya sendiri — berniat agar asapnya tak terhirup Putra, yang terjadi adalah ia yang tersedak. Pria berkacamata manis itu dengan refleks-nya menepuk punggung Celo yang kebetulan ada di dekatnya, sedangkan Gian, Theo dan Onel malah menertawakan kebodohan Celo.

“Minum, minum!” kata Putra mengambil kopi yang entah punya siapa berada di meja melingkar tempat mereka berdiri — untuk menghilangkan batuk-batuk Celo.

Thanks, thanks.” kata Celo sembari mengangkat tangannya, memberikan gesture ‘cukup’ kepada Putra, dan kemudian pria yang dipanggil kucing oleh teman terdekatnya itupun berhenti, dan mengambil langkah mundur, untuk menjauhi Celo karena baru menyadari gerak refleknya, yang seolah sangat perhatian sekali kepada manager-nya itu.

Onel tersenyum mencurigakan melihat tingkah laku Putra yang sedikit canggung di sebelah Celo.

“Nyari siapa, Ta?” tanya Gian ketika Putra sibuk lagi dengan benda pipih canggih yang berada digenggamannya.

“Achel, Kak. Liat ngga? Tadi gue janjian di depan Lawsons sini.” kata Putra, masih sibuk menunggu jawaban dari temannya.

“Lho? Bukannya udah balik ya? Tadi, kayaknya ke arah parkiran BNI ngga sih?” tanya Onel. Dari wajahnya Putra tidak bisa menilai, apakah itu pertanyaan jahil seolah Putra ditinggalkan oleh temannya, atau memang Achel benar-benar meninggalkannya, dan pulang duluan. Karena Putra dan semua orang yang dekat dengan Onel sudah tahu kalau pria ini dikenal rajin menjahili teman-temannya, apalagi dirinya yang sudah dari SMP habis dijahili pria berambut blonde itu.

“Boong banget, Achel ngga akan tega.” jawab Putra, masih optimis kalau Achel tidak mungkin setega itu pada dirinya.

“Yeeee, ngga percaya. Yaudah.” kata Onel.

“Kayaknya emang balik deh, Ta, soalnya, kita berempat tuh daritadi di sini.” lanjut Giana. “Atau mungkin makan malem dulu di Pandan Wangi?” lanjutnya sambil menyebutkan salah satu warteg yang terdapat di daerah perkantorannya.

“Pandan Wangi udah tutup jam 9, ege.” jawab Onel, “Lagian dia ke kiri, bukan ke kanan tadi.” lanjutnya.

“Lah? Masa ninggalin? Gue balik sama siapa?” tanya Putra.

“Sama g—” belum selesai Giana menjawab, Onel sudah mendekap mulut wanita cantik itu dengan telapak tangannya.

“Giana pulang sama gue, dia ngga bawa mobil.” kata Onel, masih menutup mulut temannya. Wanita bermanik tajam seperti rubah itu berontak kecil dan berusaha melepaskan dekapan telapak tangan Onel yang sedikit agak kencang.

“Gue ditungguin cowok gue di Grandhika depan, ga bisa nganterin lo pulang, Ta.” kata Theo sembari menunjuk salah satu hotel berbintang di seberang gedung perkantorannya. “Lo pulang sama Celo aja, bawa mobil kan lo?” tanya Theo menanyakan ketersediaan tumpangan pria berbadan atletis di hadapannya yang sedang sibuk sendiri sembari scroll-scroll Twitternya.

Putra menatap Celo cemas, berharap pria tinggi itu menggelengkan kepalanya. Disaat Putra harap-harap cemas, Celo mengangguk. “Ngapain lo ngangguk, anjir?” kata Putra dalam hati. Ya, walaupun Celo belum tentu mau numpangin dia pulang, tetep aja ada 50% kesempatan Theo akan meminta manager-nya itu untuk mengantarnya pulang dengan paksa.

“Semoga, Celo ngga mau nebengin gue. Amiin.” do’a Putra dalam hatinya.

Tapi ya, namanya juga semesta, suka bercanda yang ada-ada saja, sometimes what you don't expect, is what you get.

“Sama gue aja, yuk, sekalian gue pulang lewat belakang. Macet kalau lewat depan.” kata Celo sembari menunjuk ke jalanan yang penuh dengan mobil-mobil di seberang mereka, mengantongi benda pipih ke dalam saku jeans-nya.

“Tapi gue—” kata Giana.

“Iya iya, gue temenin lo ke kamar mandi, mumpung kamar mandinya belom ditutup.” potong Onel sembari membalikkan badan Giana dan mendorongnya untuk menjauh dari Theo, Celo dan Putra.

“Baliknya tia-ti, Ta, Cel, The!” kata Onel dan Giana menjauh dari mereka, melambaikan tangan.

“Gue nyebrang dulu deh! Lo balik sama Celo aja Ta, udah malem lagian, naik ojek malem-malem gini ngga bagus buat badan lo. Gue masih butuh lo sehat.” kata Theo. “Masih banyak deadline. Haha. Yuk ah! Gue duluan. Bye!” kata Theo sembari tersenyum dan memukul lengan Celo yang kekar, kemudian berbalik badan, meninggalkan kedua insan yang tidak pernah akur ini.

“Jadi?” tanya Celo. “Gue parkir di Sentraya.” berjalan duluan, meninggalkan Putra, namun beberapa langkah ia terhenti, dan membalikkan tubuhnya, melihat Putra masih terdiam membeku. “Ayo, bentar lagi lampunya dimatiin.” ajak Celo. Iya, bila sudah jam 10 malam memang seluruh lampu di gedung perkantoran ini akan dipadamkan, hanya disisakan beberapa lampu remang saja, agar dapat menerangi jalan apabila masih ada beberapa orang yang pulang terlambat.

Putra perlahan namun ragu mengikuti langkah panjang kaki Celo. Tetap saja, dalam diam ia menurut juga.


tw: foreplay and implicit scene 18+, please be wise reader ya.

Pria muda yang memiliki bahu tegap itu mengunci kembali benda pipih yang tadi sempat ia rebut, lalu meletakkan ponsel kekasihnya di atas nakas ketika ketikan 'u too, kak...' sudah terkirim kepada Joshua.

“Udah, you just have to focus on me, daddy.” kata pria manis yang sedang duduk di atas tubuh tegap besar milik Mingyu itu dengan suaranya yang lembut. Pria yang lebih tua itu tersenyum, memperlihatkan kedua canine tooth-nya sembari menatap penuh puja pria yang lama tak ia temui, namun, kini sudah berada di atas tubuh tegapnya. Si dia mengelus lembut kedua lengan pria yang lebih muda, dan menarik tubuh ramping itu perlahan, mendekatkan posisi tubuh mereka untuk mengikis jaraknya.

Mingyu mengelus lembut pipi mulus Wonwoo yang sudah berada sangat dekat dengannya secara perlahan, mengecup keningnya, dan menyatukan kedua hidung mancung mereka, sembari tersenyum yang dibalas dengan senyuman manis dari pria yang lebih muda.

“Iya, fokus saya always on you, manis.” Pria tampan itu mengecup lembut ranum lembut Wonwoo, yang dibalas dengan ciuman lainnya oleh pria yang lebih muda itu.

Setelah itu, Mingyu dengan ringannya membanting perlahan tubuh pria yang berada di atasnya untuk berbaring di sisi kosong sebelahnya, mengganti posisi mereka.

“Mau remedial untuk ujian yang tadi atau belajar untuk ujian besok pagi?” tanya Mingyu dengan nadanya yang menggoda, bibirnya kini sudah menjelajahi leher jenjang kekasih gelapnya, mengecupi perlahan rahang, pipi, kelopak mata, the tip of his nose dan kembali menginvasi leher pucat pria yang berada di pelukannya. Remedial yang Mingyu maksud tentu tidak ada hubungannya dengan ujian yang akan dijalani Wonwoo esok pagi. Pria manis itu sangat tahu maksud daddy sugar-nya, tentu saja ia tersenyum, sembari mengelus surai Mingyu.

“Hmmm?” tanya Mingyu lagi sembari menghirup harum tubuh kekasih gelapnya, lalu, mengecupi ceruk leher Wonwoo yang terpampang jelas di hadapannya karena pria manis itu mendongakkan kepalanya dengan sengaja untuk memberikan Mingyu yang kini sudah berada di atasnya ruang untuk bermain-main di sana.

“Haha, geliii—” tawa kecil pria manis itu terdengar pasrah membiarkan sapuan lembut bibir pria yang lebih tua itu menjelajahi area depan tubuhnya, serta tangan Mingyu yang sudah mulai meremat gemas paha pria yang totally sudah berada di bawah kukungannya.

“Jawab dulu, baby—” pinta Mingyu yang masih menyibukkan kecupannya di area paha Wonwoo yang malam itu tidak tertutup sehelai kainpun.

Remed, dadhh—” jawab Wonwoo dengan setengah terengah merasakan jemari gemuk milik Mingyu yang sedang mengeksplor bagian bawah tubuhnya secara perlahan — tickling and stimulating —, yang dibalas senyuman miring dari pria yang lebih tua itu ketika melihat tubuh ramping kekasihnya sudah meliuk cantik di atas tempat tidur size king sebagai alas mereka.

“Saya akan test pertanyaan yang kira-kira akan keluar besok.” kata Mingyu dengan nada menggoda yang dilanjutkan dengan senyum miringnya. Ia kemudian mengecup bibir Wonwoo. Pria manis itu mengangguk.

“Kalau besok profesornya bertanya, why did you choose our university compared to other universities? what will you answer, baby?” bisik Mingyu dengan nadanya yang menggoda, sembari menggigit pelan daun telinga Wonwoo, sedangkan tangannya kini sudah meremat bokong pria yang lebih tua itu hingga menganga sembari mendesah pelan.

“Ahh— Because whatever my handsome daddy asks me, I can always grant it?” jawab Wonwoo ketika jari Mingyu bermain dengan acaknya di daerah lubang manisnya di bawah sana.

Really?” tanya Mingyu. “Really that you will grant all my wishes?” tanya Mingyu lagi, perlahan memasukkan, dan menekan lebih dalam ujung tangannya yang sedang menyelam di dalam Wonwoo.

“Everythinghh—” jawab pria manis itu.

With no excuses, baby, kamu besok ikut saya ke Grand Opening Hotel.” kata Mingyu, “As my partner, and lover, saya akan mengenalkan kamu sebagai pasangan saya, nani.” lanjut papa Woozi itu sebelum Wonwoo menolak ajakannya. Mingyu dengan perlahan mengeluarkan jemarinya dan memainkan pinggiran anus kekasihnya yang berkerut dengan jarinya yang sedikit basah.

“Istri kamu?” tanya Wonwoo ragu, sembari membangunkan tubuhnya sedikit dari posisinya. Ia terkejut mendengar pernyataan pada kalimat Mingyu yang terakhir.

There's only you, gorgeous, no one else.” Jawab Mingyu, mengecup bibir Wonwoo, sembari mendekatkan tubuh mereka berdua, dan tanpa Wonwoo aware he put his finger in again and pressed his fingers deeper.

“Aaaa— Daddy, It's too deep—” erang Wonwoo berbisik, pria manis itu mencakar bagian punggung bawah Mingyu yang dibalas dengan kecupan-kecupan pada wajah cantiknya.

I know, and I know you like it.” Kata Mingyu, dibalas cicitan Wonwoo yang sedang menikmati benda gemuk panjang menginvasi bagian dalam tubuhnya dan menekan sweet spot-nya berulang kali. Wonwoo mencengkeram punggung Mingyu yang kekar.

I love when your body shaking like this.” bisik Mingyu.

Pria yang lebih tua itu menyudahi permainan jarinya, hingga tubuh Wonwoo merasakan kekosongan dibuatnya. Mingyu seketika berdiri dari tempat tidur yang berlapiskan kain putih, dan mengajak Wonwoo untuk berdiri juga di hadapannya dengan menarik kedua lengan pria manis itu. Wonwoo mengikuti apa yang diperintahkan oleh daddy-nya dan kini mereka sudah saling berhadapan di samping tempat tidur.

“Kamu tau, cantik, you are so messy right now, and I want to mess with you more and more.” kata Mingyu menarik pinggang Wonwoo lembut dan mendekatkan tubuh mereka untuk mengikis jarang yang ada, lalu merapikan surai gelap milik Wonwoo.

Second question, kalau profesor nanya, what are your accomplishments so far? Apa yang akan kamu jawab?” tanya Mingyu.

Mingyu menggendong Wonwoo, dan membawa tubuh ramping, berkulit pucat sedikit lengket karena keringat itu ke tembok yang berada di kamar hotel suite bintang lima tersebut — menghimpitnya —. Wonwoo memegang kedua bahu kokoh dan melingkarkan tangannya di leher milik kekasihnya.

Mingyu meletakkan tangannya pada kedua benda sintal di belakang sana, sembari meremasnya, ia juga membuat aksesnya sendiri agar dapat memasukkan miliknya pada lubang berkedut di bawah sana, sedangkan Wonwoo, mengerang kesakitan yang bercampur dengan rasa nikmat ketika ada benda padat yang kembali memenuhi tubuhnya.

You don't wanna move, daddy?” tanya Wonwoo yang sedikit meringis efek dari lubangnya yang terhantam dengan benda yang sangat keras dan padat.

“Hng, jawab dulu pertanyaan profesornya, what are your accomplishments so far?” tanya Mingyu, mengulang pertanyaannya dengan sedikit mengerang ketika merasakan sesuatu sedang menekan dan melepas tekanannya di bawah sana.

“Hhh— Apa ya?” tanya Wonwoo. “My accomplishmets are loved and spoiled by you, being your mistress, being your whore, and giving you everything you want in return, yakan?” tanya Wonwoo menatap dalam mata bermanik elang milik daddy-nya dan tersenyum tipis. “But I love it, karena pada akhirnya kamu selalu kembali ke aku.” lanjutnya.

Can you move now?” bisik Wonwoo pada kekasihnya yang masih terdiam mematung mendengar jawabannya. “Fill me with yours, mess me up, daddy sayang.” bisiknya dengan kalimat menggoda penuh pinta.

Mingyu tersenyum menggoda dan memberikan kecupan pada bibir ranum Wonwoo yang sudah membengkak sedari ronde pertama mereka. Pria manis itu seolah tidak ingin berhenti, Wonwoo menekan tengkuk Mingyu untuk tetap menyatukan kedua bilah bibir mereka, dan saat yang bersamaan pun Mingyu memegang pinggul Wonwoo dengan kencang, menggerakkan pinggul ramping pria manis di hadapannya naik-turun, menggoyangkan pinggulnya untuk bergerak berlawanan dengan sang kekasih. Keringat yang perlahan berkucuran perlahan mulai menciptakan suara dari kulit lembab yang bertabrakan, suara nyaring dan lantang yang mengisi kamar hotel, ditambah lagi dengan desahan keduanya yang tertelan di balik ciuman yang tak berkesudahan seolah tidak ada lagi hari esok yang bisa disisakan untuk keduanya. Dan lagi, mereka kembali melepas rindu.

Putra bangun dari tempat duduknya, memutar jalannya untuk sampai ke meja yang berada di seberang mejanya yang terhalang olej

“Ini—” kata putra yang sedang berdiri sembari mengulurkan salep pemudar lebam di depan wajah pria lainnya yang sedang duduk sembari sibuk di depan layar laptopnya. Pria yang sedang duduk itu mendongakkan kepalanya, dan kembali membuat wajahnya, kembali fokus pada pekerjaannya.

“Ini—” kata pria berkacama itu sembari menggoyang-goyangkan tube salep yang masih setia berada di tangannya.

“Ya apa?” tanya pria yang duduk itu, masih menatap lurus ke layar laptop 14 inch-nya.

“Salep.” jawab pria

SEARCHING FOR THE SIGNAL

Putra sedikit terjaga ketika merasakan ada sesuatu di sampingnya, ia mengunci segera ponsel digenggamannya yang sedang terbuka chat room dirinya dan Galen. Si dia yang manis itu menolehkan wajahnya perlahan, “Astaga!!!” tentu saja itu yang diteriakkan Putra ketika melihat pria yang beberapa hari ini ia hindari. Sedangkan pria tersebut hanya tersenyum tanpa rasa bersalah, dan tetap duduk di kursi yang berada di sebelah Putra.

Putra masih memproses apa yang terjadi seraya memegang dadanya — jantungnya berdetak tak beraturan siang ini. Kini jarak mereka sudah sangat — sangat — dekat. Saking dekatnya Marcelio dengannya, Putra dapat merasakan lengan kekar itu menempel pada lengannya.

Did I surprised you?” tanya Marcelio tanpa rasa bersalah, Putra mengangguk tanpa berpikir lama.

“Iya, menurut lo aja, ini mepet banget mohon maaf lahir dan bathin.” dumel Putra dalam hatinya saat ini.

“Oh.” hanya kata itu yang mampu pria berambut hitam legam itu keluarkan, lalu tanpa menunggu waktu yang lama, Marcelio semakin mendekatkan tubuhnya ke Putra. “Kata Daffin, kalau gue udah duduk deket gini dan gue deg-deg-an, artinya gue emang suka.” ucap Marcelio dalam hatinya, kemudian si dia mengernyitkan keningnya. “Hmm, kok ngga ada rasanya? Apa kurang deket?” pria tinggi besar itu semakin mendekatkan dirinya pada pria manis yang sedang menatap layar laptopnya kosong.

“Mas, ini lo deket bgt sih kaya di angkot, bisa geser dikit ngga? Meja gue gede.” kata Putra masih mencoba santai dengan suaranya yang mencicit. Nyalinya sedikit menciut menghadapi pria di sampingnya ini.

“Masa?” Marcelio semakin mengikis jaraknya, bahkan kini tangannya sudah melingkari tubuh Putra, ia sedikit berdiri dari tempat duduknya dan menatap ke laptop yang menampilkan file excel yang sedang dikerjakan Putra, hingga wajahnya ia condongkan mendekat ke layar leptop — melewati bahu Putra. Lebih tepatnya lagi, kini Putra Wonwoo sudah dapat merasakan deruan nafas lembut dan harum tubuh pria tampan itu.

“Mas Celo—” cicit Putra.

“Hmm?” jawab Celo yang masih mengamati setiap kolom yang berada di hadapannya.

What are you doing? The data isn't finished, yet, dan lo ngalangin pemandangan gue.” kata Putra pada pria itu sembari mencicit. “Gue lagi ngerjain report.” lanjutnya.

“Iya, gue liat. Ini lagi gue cek rumus-rumusnya.” jawab Marcelio serius.

First test— failed! kita semua tahu, bukannya fokus pada Putra, pria tinggi itu malah fokus pada angka-angka yang ia lihat dari layar laptop planner-nya. Aren't you tired of being such a hard worker like this, Cel?

“Lo bisa cek dari laptop lo sih, Mas.” kata Putra, masih dengan nadanya yang ia usahakan untuk tetap tenang. Putra sedang tidak baik-baik saja. “Gue simpen di one-drive kok.” lanjutnya.

“Masih di IT, during weekend kemarin leptop gue mati. Kan gue chat lo—” kata Marcelio mengalihkan pandangannya dari Laptop dan menatap wajah Putra yang hanya berjarak beberapa sentimeter darinya. Pipi chubby menggemaskan itu, bibir ranum mengilap, hidung mancung, dan wajah tanpa pori-pori berada di depan matanya, literally di hadapannya.

Marcelio masih tidak merasakan apa-apa? Tentu tidak, kali ini jantungnya mulai berdegup lebih cepat dari yang ia tahu — heart rate berada di 134 BPM dari jam pintar yang melingkar di tangan kanannya, nyaris meledak.

Kedua pria dewasa itu membeku, dengan mata mereka saling bertatap tanpa berkedip.

“Ehem— excuse me, mister-mister.” tidak ada yang bergerak, mereka berdua masih membeku, suara pria yang memanggil mereka dari belakang itu tidak diindahkan.

Assalammualaikum?” sapa pria itu lagi.

“Woy!” dan satu pukulan pelan di punggung Marcelio yang akhirnya membangunkan kedua pria itu dari lamunannya. Putra segera membuang wajahnya berlawanan arah, sedangkan pria tinggi tegap itu segera menjauhkan tubuhnya dari Putra, berbalik arah dan berjalan menjauh dari meja Putra secepat yang ia bisa. Putra tak peduli ia kemana.

“Kenapa si Celo? Cacingan?” tanya pria itu pura-pura tidak melihat pemandangan yang beberapa saat lalu ia lihat. Pria yang ditanya itu melirik sekitarnya dengan mata yang gelisah sembari mengedikkan bahunya, seolah ia tidak mau tahu.

“Lo juga kenapa? Deg-deg-an ya abis kaya gini sama Celo.” kata pria mungil itu sembari mempraktikan apa yang ia tadi lihat. Bukannya deg-deg-an, pria itu malah mendapatkan suntrungan dari Putra dijidatnya.

“Diem lo!” kata Putra dengan nada suaranya yang sedatar mungkin. Ia sedang memproses apa yang sebenarnya barusan terjadi antara ia dan senior manager-nya.

'Celo kenapa coba? Si aneh. Terus, gue kenapa?' gumam Putra dalam hatinya.

“Muka lo merah, by the way, daritadi.” kata pria itu. Putra segera memegang wajahnya yang hangat. “Jantung lo masih nempel ngga di dada?” tanya pria itu lagi. Ngga penasaran, itu pertanyaan iseng.

“Achel, lo bisa diem ngga?” tanya Putra pada temannya, pria yang bernama Achel itu menggeleng yakin.

“Jangan bilang ke anak-anak.” kata Putra, Achel segera mendudukkan dirinya di kursi yang tadi ditarik oleh Marcelio.

“Jangan bilang anak-anak? Yang mana?” tanya Achel jahil. Putra memutar matanya malas. “Oh yang tadi kalau gue ngga dateng you and your Mas Celo might be kiss?” lanjut pria mungil berkacamata bulat itu.

“Achel, tumben banget lo ke meja planner? Ngapain??” tanya suara wanita yang tiba-tiba datang dari belakang kursi Putra dan Achel. “Nge-gossip ya? Ikuuuuttt!” pinta wanita itu yang langsung merangkul bahu Achel dan Putra yang masih duduk di kursi tak berkutik.

“Haha, ngga Mba Giana, gue lagi mau nagihin invoice vendor nih ke si Kucing.” kata Achel dengan senyuman getirnya. Kaget dia, dalam hatinya komat-kamit semoga Giana ngga denger dia tadi nyebut nama Celo.

“Oh, kirain lagi ada teh anget.” nada suara Wanita itu kecewa. “By the way, liat Celo, Ta?” tanya Giana kepada juniornya itu.

“Ngga, Mba.” jawab Putra spontan.

“Oh, oke. Itu anak aneh banget, masa bales e-mail klien pake outlook dari handphone?” adu Giana pada Putra.

“Laptopnya rusak, Mba. Lagi diganti yang baru sama IT.” jawab Putra.

“Ciiieeeee, tau aja nih Putra.” ejek Giana. Iseng sebenarnya dia, tapi, tidak dipungkiri Putra sedikit salah tingkah.

Giana adalah wanita di tim planner yang terkenal sebagai juru gossip dan chupid di kantor, walaupun suka salah sasaran kadang-kadang kalau lagi bertindak jadi mak comblang.

“Ya taulah! Diakan hourly report ke Putra, yakan, Put?” tanya Lionel yang tiba-tiba nimbrung di meja Putra, sembari tersenyum licik. Achel masih di sana, ia hanya tersenyum, ingin rasanya ikutan mengejek sahabatnya itu, tapi kasian soalnya kedua daun telinga pria bertubuh tinggi itu sudah mulai kembali memerah.

Include lagi di mana, ngapain, udah makan atau belum, ngga?” tanya Giana menambahkan.

“Ada di kossan bisa turun sebentar also, included.” jawab Lionel berbisik di telinga Putra dan tersenyum seolah hanya boleh ia dan pria manis itu yang tahu. Kalian nanya Lionel tau darimana? Ya pastinya, Lionel sudah tahu semuanya dari Mahardika, teman Marcelio yang paling comel di genk Rengginang Crumbs.

Sebenarnya, Lionel sedang digging the tea ke Marcelio, apalagi setelah kemarin kebodohan pria tegap berbadan bidang itu yang menyangka papanya Putra adalah sugar daddy-nya dan pria manis berkacamata tersebut. Sama halnya dengan Putra setiap ia tanya apa perasaan mereka, Marcelio pun menutup mulutnya rapat-rapat. Lionel hanya menunggu sembari menonton apa akhir dari kisah kucing dan anjing yang tenar di kantor ini.

“Bisik-bisik apa?” tanya Giana kepo.

“Udah udah, lo ngejek si Putra sama Celo mulu ngga ada abisnya, yuk, ke Roro Jongrang, udah ditunggu si Theo.” kata Lionel merangkul pundak Giana dan menyeretnya meninggalkan Putra.

“Gue rasa, Kak Onel tau sesuatu.” kata Achel ketika melihat bayangan Lionel dan Giana menghilang.

“Namanya juga Lionel Jeonghan, dia bahkan nyimpen chip di tubuh gue.” jawab Putra yang kemudian menutup layar laptopnya dan beranjak dari tempat duduk. “Bohong sama dia juga kaya nambah dosa doang.” lanjut Putra.

“Terus ini lo mau kemana?” tanya Achel. “Invoice yang gue minta gimana?”

“Lo nemenin gue beli Kopi di Bawah Tangga.” kata Putra menarik tangan Achel dan sedikit menggeretnya ke lift.

Ting bunyi suara elevator terdengar. Putra yang sedari tadi sedang seru mengobrol dengan Achel dan membelakangi pintu lift itu memutar tubuhnya.

“Cing ciing!!” teriak Achel. Dan brug. Tepat sekali, Putra menabrak seseorang yang juga sedang tidak fokus pada sekitarnya.

Anjing!” spontan kedua orang yang bertabrakan itu mengucapkan kalimat yang serupa, dan saling mengelus jidat mereka yang terbentur lumayan sakit itu.

“Gue bisa lost memory!” omel Putra sembari mengelus lembut keningnya. Achel yang berada disampingnya hanya menutup mulutnya, menahan tawa. Pemandangan ini, persis seperti didrama-drama, atau at least FTV yang sering ibunya nonton.

“Emang lo—” kalimat pria itu menggantung saat melihat siapa yang bertubrukan dengannya.

“Emang lo apa?” tanya Putra yang masih kesal karena terasa tengkoraknya ikut bergeser karena tabrakan tadi, dan menatap pria di hadapannya. Putra mundur selangkah, terkejut. Hari ini ternyata banyak surprise untuk Putra, padahal bukan ulang tahunnya.

“Ya emang lo aja yang sakit?” suara pria itu menurun beberapa oktaf ketika mata mereka kembali bertatap. “Makanya kalau jalan tuh liat-liat!” lanjutnya dengan suara yang kembali naik setengah oktaf dari sebelumnya.

“ELO! ELO YANG NGGA LIAT ADA MANUSIA SEGEDE GINI!” kata Putra yang ngga terima kalau disalahin, nada suaranya meninggi. Bukan sekali sih si Putra selalu disalahin sama Marcelio, jadi bawaannya kesel aja anaknya. Makanya ngomel-ngomel. “Benjol tau ngga sih jidat gue!” dumelnya lagi. Iya, agak merah sih memang.

“Yang sakit ngga cuma lo, gue juga sakit, Putra.” balas Celo, sambil memegang jidatnya sembari memungut handphone-nya yang terjatuh. “Hape gue juga jatoh nih.” lanjutnya, suaranya mencicit, ia menciut. Bukan karena takut setelah diteriaki Putra, tapi ngga tau kenapa jadi salah tingkah aja anaknya.

Kalau udah seperti ini, siapa coba yang akan minta maaf? Untuk sekarang, ngga ada~ Soalnya, Putra langsung pergi dengan narik tangan Achel ke kamar mandi, dan Marcelio langsung mengantongi ponsel-nya dan meninggalkan tempatnya berdiri tadi, masuk melalui pintu ruangan IT dan menghilang.

Berantem lagikan? Kapan baikannya sih?

“Mohon maap lahir dan bathin nih, Cing, napa muka lu kek minta disetrika ya?” tanya Galen kepada temannya yang sedari tadi hanya memandang segelas ice matcha latte sembari memanyunkan bibir ranum tipisnya. Pria manis itu mendongakkan wajahnya dan tatapannya mengikuti gerakan tubuh temannya itu.

Wonwoo masih sesekali menatap ke arah bunga yang ia letakkan di kursi penumpang, di sebelah tempat bekal yang berisi pudding chocolate pandan buatan Mommy. Cukup lumayan lama tadi ia memilih bunga itu, bunga berkelopak putih, tidak akan terlalu mencolokkan?

Jam tangan pria berumur 28 tahun itu sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore lewat beberapa menit, ia keluar dari mobilnya, membawa titipan mommy-nya dan dengan percaya diri menenteng bunga yang ia beli untuk kekasihnya — pria manis yang beberapa minggu ini mengacuhkannya. Wonwoo sangat percaya diri bahwa yang akan keluar dari dalam rumah adalah asisten keluarga Kim, Bi Tini. Sehingga ia akan menitipkan semuanya kepada beliau dan pergi meninggalkan rumah besar nan asri itu.

Sedangkan dari dalam rumah, ada seorang pria manis yang sedang berlari menuju pagar rumahnya yang berwarna abu-abu tua dengan riang, ia berharap orang di luar sana adalah petugas PLN yang datang untuk memperbaiki listrik rumahnya yang tiba-tiba mati.

Pintu gerbang dibuka dan memperlihatkan pria dengan tubuh tinggi, berpakaian putih dan celana rumah berwarna cokelat, pria yang yang sudah tiga minggu ini tak pernah membalas satupun bubbles chat-nya, Wonwoo tentu saja terkejut, sama halnya, Mingyupun terkejut.

Semilir angin berhembus di antara kedua pria yang masih saling menatap tanpa berucap. Wonwoo membuka ragu suaranya, memecah keheningan sore itu.

“Hai?” sapa pria tampan itu dengan sedikit ragu. “Dek?” panggil pria itu lagi, masih dengan nada yang sama — ragu. Mingyu disadarkan dari diamnya dengan degupan jantungnya berdetak tidak seperti biasanya.

“Ya?” jawab pria yang lebih muda itu, mencoba untuk tetap tenang tidak gugup.

Tidak hanya Mingyu, sosok pria di hadapannya pun merasakan gugup yang nyaris sama. Sangat takut bila ia akan diusir oleh sang pemilik rumah karena tak ingin melihat wajahnya, Wonwoo sangat yakin, pria di hadapannya ini pasti masih membencinya, dan untuk kesekian harinya ia masih harus menahan rindunya. Bagaimanapun hubungan mereka masih menggantung, entah apa yang akan Mingyu lakukan pada hubungan mereka, Wonwoo hanya bisa berpasrah dengan memberikan kekasih manisnya ini waktu untuk berfikir.

“Ini pudding dari mommy, vla-nya di dalem, langsung dimasukin kulkas, takut basi.” kata Wonwoo menyodorkan tempat bekal dari tangan kanannya.

“Yah, ngga bisa aku masukin kulkas lagi mati lampu.” kata pria manis itu menekukkan wajahnya gemas. Saat ini rasanya Wonwoo ingin sekali meng-uwel-uwel wajah pria manisnya. Seandainya saja bisa.

“Lho, kok bisa? Dari kapan?” tanya Wonwoo melihat sepintas ke arah dalam rumah Mingyu, untungnya masih terang, sehingga tidak tampak begitu gelap. “Berani kamu sendirian? Atau ada Seungkwan? Bi Tini?” tanya pria yang lebih tua lagi. Nadanya sih sedikit khawatir.

“Ngga, aku sendirian.” jawab Mingyu. “Soalnya, pas bangun tidur udah ngga ada siapa-siapa.” cerita sang adik manis. Mereka masih pada tempatnya — di depan gerbang rumah, Mingyu belum meminta Wonwoo untuk masuk.

“Berani?” tanya pria tampan itu lagi, dan lagi-lagi nadanya masih khawatir karena Wonwoo sangat tahu sang pria manis di hadapannya ini tidak menyukai kegelapan, selain saat menonton di bioskop dan tidur.

“Masih terang sih.” jawab Mingyu, badannya berbalik melihat ke dalam rumahnya.

“Oh sama ini, dek.” kata Wonwoo menunjukkan sebuket bunga tulip putih yang ia beli saat perjalanan menuju rumah pria yang lebih muda. Mingyu tidak bisa menutupi wajahnya yang terkejut ketika dihadapkan oleh sebuket bunga cantik yang memang Wonwoo siapkan untuknya. “Buat kamu.” lanjutnya, memberikan buket yang ia genggam sedari tadi, Mingyu mengambilnya dengan sedikit ragu.

“Oh, ya sudah kalau gitu.” jawab Wonwoo. Sebenarnya dalam lubuk hatinya yang terdalam saat ini, ia ingin sekali Mingyu mengatakan bahwa pria itu masih menginginkan sesosok abang untuk menemaninya. “Abang pamit dulu ya, dek.” lanjut Wonwoo setelah memberikan bunga yang tadi ia beli dan titipan dari Mommy-nya, nadanya sedikit kecewa, seolah merasa sang kekasih tak membutuhkannya karena tak memintanya untuk stay.

“Kamu sibuk ya, bang?” suara lembut pria itu menghentikan langkah kaki Wonwoo yang sudah memunggunginya, dan sang pria yang lebih tua itu kembali berbalik, menghadap ke arah sang adik. Saat ini rasanya jantung Wonwoo ingin terbang — bahagia.

Wonwoo menggelengkan kepala sebagai jawaban tanpa perlu ia berpikir berkali-kali kepada pria yang berada di depannya.

“Kalau masuk, bantuin cek listrik, mau?” tanya Mingyu dengan suaranya yang semakin lama semakin lirih. “Tapi kalau ngga mau ya ngga apa-apa, Inggu coba telepon PLN lagi.” lanjutnya.

“Ngga, abang coba cek dulu, boleh?” Wonwoo melangkahkan kakinya ke pekarangan rumah yang biasa ia datangin ketika menjemput kekasih manisnya itu.

“Sekring lampunya ada di mana ya, yang?” tanya Wonwoo kepada kekasihnya. Iya, maafkan Wonwoo yang sedikit ngelunjak dengan memanggil pria yang masih menggantungkan hubungan mereka dengan panggilan sehari-hari sebelum Jeonghan menyerang hubungan mereka.

“Ada di samping.” jawabnya, jangan tanya seberapa merahnya pipi Mingyu sore ini ketika mendengar Wonwoo memanggilnya dengan panggilan yang.

Mingyu berjalan melewati Wonwoo lebih dulu untuk menunjukkan tempat yang tamu-nya tanyakan, sekaligus menutupi wajahnya yang memerah.

“Ini.” Wonwoo segera menghampiri kotak listrik yang di hadapannya, merogoh saku celana sontoknya dan mengambil benda pipih, lalu mengetik sesuatu, dan meletakkan benda itu didaun telinganya — ia menghubungi seseorang.

“Dek—”

“Iya?”

“Kayaknya kamu harus ngungsi deh, ini kabelnya putus, mati lampu total.” jawab Wonwoo. “Tukang PLNnya dateng tapi malem banget, Bunda sama Ayah pulang jam berapa?” tanya pria tampan itu.

“Hmm, belum tanya akunya.” wajah pria manis itu kebingungan ketika harus membayangkan dirinya yang akan tinggal sendirian dalam rumah yang redup sembari menunggu orang tuanya pulang.

Wonwoo melihat wajah pria manis yang sedang mengernyit di hadapannya, dengan lincah jemarinya mengetikkan sesuatu di layar ponselnya dan mengirim pesan tersebut dengan cepat, tak lama senyuman terpancar dari wajah tampannya. Approved— pikirnya.

“Aku temenin mau?” tanya Wonwoo berbasa-basi, tidak perlu sebenarnya, Bunda sudah memperbolehkannya. Iya, barusan saja Wonwoo meminta izin kepada sang pemilik rumah untuk menemani pria gemas di hadapannya hingga mereka kembali.

Mingyu terdiam, tentu saja ia tidak pernah berada di posisinya saat ini. Mati lampu dan hanya berdua dengan pria yang kebetulan masih ia gantung statusnya.

“Tadi Bunda udah bilang boleh, tapi kalau kamu keberatan, abang pulang aja.” nada suara Wonwoo yang biasanya bulat dan percaya diri, kini terdengar sedikit sedih. Iya, ia sedih karena dengan diamnya Mingyu, pria tampan itu seperti tertolak untuk sekian kalinya.

Mingyu membalikkan tubuhnya, Wonwoo mengikutinya bagaikan puppy yang siap diusir dari rumah majikannya.

“Masukin aja mobilnya, aku simpen pudding sama bunga dulu di dalem.” tanda persetujuan Mingyu.

Pria yang lebih muda masuk ke dalam rumah dan meletakkan bawaan Wonwoo tadi di dapur, lalu menyimpan bunga cantik di vas bunga kaca.

***

Gelap menghampiri dua sejoli yang sedari tadi terdiam satu sama lain, tampak sibuk sendiri. Mingyu yang sedari tadi sibuk menyiapkan presentasi untuk sidangnya di meja makan, kini sudah menghidupkan lilin dan meletakkannya di beberapa sisi rumah, ponsel-nya mati total dan ia tidak heran. Sedangkan pria yang lebih tua yang duduk di seberangnya-pun pura-pura tak kalah sibuk dengan gambar denah di layar leptopnya, sejujurnya, sudah hampir dua jam ia hanya memandang layar 14 inch itu, kemudian diam-diam menatap gemas wajah Mingyu yang serius melalui kacamatanya.

“Ngga ada makanan, Bang Wonu, makan malemnya beli aja ngga pa-pa?” tanya Mingyu yang sudah kembali duduk akhirnya membuka suara, membuat debaran jantung Wonwoo menjadi sangat tak biasa.

“Adek mau makan di luar aja?” bukannya menjawab pertanyaan Mingyu, si dia yang salah tingkah itu malah bertanya balik, dan menatap wajah pria yang lebih muda dibalik remang-remang cahaya.

“Ngga, kita order online aja maksud aku, kan kamu masih ngerjain kerjaan juga.” jawab Mingyu. ‘Apanya yang dikerjain? Daritadi cuma bengong liat leptop, tapi mikirin kamu.’ kata Wonwoo dalam hatinya.

“Oow, boleh.” jawab Wonwoo.

Handphone aku mati—” belum selesai Mingyu berbicara Wonwoo sudah menyodorkan ponselnya.

“0604 password-nya. Pesen aja semua yang kamu mau.”

Tidak hanya password dengan tanggal lahir Mingyu, foto lockscreen Wonwoo pun foto Mingyu candid, dan tampaknya itu bukan foto yang Wonwoo ambil sendiri. Mingyu tersenyum tipis, ia cukup senang mengetahui Wonwoo tampak masih menunggunya.

***

Tin tin

Dwiputra Wonwoo yang sedang berdiri di pinggir tangga seberang air mancur Menara Sentraya terkejut ketika mobil Audi sport berwarna abu-abu tua berhenti di depannya dengan kaca yang sedikit terbuka, menampakkan sesosok pria yang sangat ingin Putra pukul kepalanya hari ini, iya, siapa lagi kalau bukan Mercelio.

“Masuk.” pinta pria itu sembari membukakan pintu penumpang di depan dari dalam mobilnya.

Putra masih terdiam seolah acuh dengan permintaan pria yang ada di dalam mobil SUV itu.

“Put? Banyak mobil di belakang, cepet, gue ngga akan maju sebelum lo masuk.” paksa Marcelio ketika beberapa mobil jemputan lainnya membunyikan klakson dan membuat gaduh salah satu point pick-up di gedung perkantoran itu.

Mau tidak mau, Putra pun menurut dan langsung duduk di kursi penumpang, menggunakan sabuk pengamannya, dan duduk tegak dengan kaku, lalu terdiam menatap lurus ke jalan, seolah tak mau menatap wajah Marcelio yang masih sedikit lebam-lebam karena insiden Jum'at lalu.

“Duduknya santai aja, ngga usah tegang gitu.” goda Marcelio sembari memegang bahu Putra dan menyandarkannya. Pria manis bermanik rubah yang dilapisi kacamata itu merasakan sengatan listrik pada bahunya, Putra sedikit melompat dari kursinya, tersentak kaget. “Santai aja.” kata Marcelio menarik tangannya terburu, karena bingung melihat Putra yang terkejut.

Mobil SUV itu masih berjalan di jalanan kota Jakarta Selatan dengan senyap, hanya ditemani playlist Marcelio yang terdengar pelan dan Putra yang masih diam, bahkan ia tidak bertanya mau dibawa kemana. Si dia diam sembari memainkan ponselnya, sedangkan lagu di dalam mobil itu terus berputar hingga shuffle playlist pria tampan yang sedang menyetir itu memperdengarkan Troye Sivan dengan sayup. Marcelio membesarkan volume tape-nya sedikit dan berdendang sembari menghentakkan kedua jari telunjuknya pada setir mobil di hadapannya, “Yooouu're my angel, angel baby angel, you're my angel baby, baby you're my angel, angel baby, I'm fall in love with the lalalaaala~” gumamnya dengan suara yang seadanya. Iya, bagian lagu kesukaannya, karena mungkin hanya part itu yang ia hafal efek ter-exposure Tiktok terus menerus.

Setelah You're my angel baby, baby you're my angel itu berganti lagu dengan lagu lainnya, mobil SUV abu-abu tua itu kembali senyap, Marcelio tetap menjalankan mobilnya melewati Bundaran Senayan, ke arah Jenderal Sudirman. Sedangkan sang tawanan masih tidak berkutik sedari tadi ia masuk ke dalam mobil itu. Ciri-ciri Putra bila sebal dengan seseorang — memberi orang itu silent treatment.

“Lo kok ngga nanya sih mau dibawa kemana?” tanya Marcelio, akhirnya memecahkan keheningan. Putra masih terdiam seolah acuh tak perduli, padahal di dalam hati ia sebenarnya bertanya-tanya akan dibawa kemana oleh pria yang selalu sinis terhadapnya.

“Kalau gue culik, terus gue mutilasi gimana?” tanya Marcelio lagi. “Mayat lo gue buang ke laut ancol, terus gue tinggalin aja gitu. Gimana?” lanjutnya.

Putra menatap Marcelio pada akhirnya, seraya membelalakkan matanya. “Ih, serius? Gue ngga nyangka lo se-psikopat itu, Mas.” Putra mengubah posisinya, Marcelio tertawa kencang. Entah kenapa, lucu melihat pria di sampingnya itu langsung memiringkan tubuh dan menatapnya.

“Hahaha aduh! Sakit sakit!” iya, Marcelio mengeluh dan segera memegang pipinya dengan satu tangan karena lebam di wajahnya terasa cekit-cekit saat ia tertawa seperti tadi.

“Kan, sakitkan! Makanya, resek sih!” Putra dengan spontan mengelus pelan lebam Marcelio yang samar-samar terlihat sudah membiru bercampur dengan hijau, dari tempatnya duduk.

Kaget! Iya, mereka berdua sama-sama kaget kok. Putra kaget karena tangannya centil banget dengan tiba-tiba memegang ujung mata Marcelio dan Marcelio yang juga terkejut ketika merasakan tangan dingin, lembut dan lentik milik Putra mengelus wajahnya.

Pria manis bermanik rubah itu langsung menarik tangannya dan segera minta maaf, “Sorry, keceplosan.” katanya, sedangkan Marcelio hanya berdeham sok cool, padahal heart rate-nya bisa nembus di 120 BPM saat ini, alias deg-deg-an.

Mobil kembali hening, dan lagu di playlist Marcelio masih menemani mereka dalam perjalanan yang cukup padat, namanya juga Kota Jakarta malam hari di jam pulang kerja.

“Lo suka masakan aceh ngga?” tanya pria yang berada di kursi pengemudi sudah menenangkan degup jantungnya, membuka suaranya dan mencoba kembali mengajak pria yang ada di kursi penumpang depan berbicara.

“Suka aja, asal bukan seafood.” jawab Putra sederhana dengan wajah manisnya yang menatap Marcelio, manik cantik yang kali ini hanya terlihat dari pancaran remang lampu jalanan itu kini sudah membuat pria tampan di kursi pengemudi itu salah tingkah.

“Oh, ada sapi sama ayam juga sih di sana. Lo alergi seafood?” tanya Marcelio, menatap wajah Putra sebentar dan kembali fokus ke jalan di hadapannya, Putra menjawabnya dengan anggukan.

“Lo laper kan?” tanya pria tampan itu masih terfokus pada jalanan di hadapannya.

“Kok tau?” tanya pria yang seringnya dipanggil Uta atau Kucing itu, karena seingatnya ia tidak mengatakan lapar pada siapapun kecuali mengadu di tweet-nya tadi ketika memotret malam dari jendela lantai kantor mereka.

“Ya tau lah, namanya juga orang ngga sih? Udah malem mah laper.” ada suara sedikit panik di sana, tentu saja, tapi Marcelio tetap dengan sok cook-nya. “Gue juga laper soalnya, kepikiran pengen makan masakan Aceh, eh papasan sama lo.” jelas Marcelio dengan salah satu dari seribu alasannya. Ia baru teringat bahwa Putra tidak tahu kalau ia mem-follow akun twitter pria yang berada di sampingnya itu dengan aku gembokannya.

“Oh, kirain lo stalk twitter gue.” jawab Putra dengan suaranya yang santai.

“Dih, kenapa pede banget?” tanya Marcelio. “Emang isi twitter lo apaan sampe harus gue stalk?” tanyanya lagi, padahal iya kan benar si Marcelio suka stalk twitter Putra.

“Yang pasti isinya bukan lo sih, jadi ngga perlu lo follow.” kata Putra sedikit sewot.

“Ya siapa yang mau follow sih, terus ngga usah sewot juga kali?” bales Marcelio. “Kan gue nanya.” kata pria tampan itu, nada suaranya sedikit meninggi.

“Ya ngga usah pake emosi, biasa aja.” Putra masih melanjutkan, nada suaranya juga naik setengah oktaf.

“Ya enggak, siapa yang emosi sih? Orang baik, nih buktinya gue ngajak lo makan malem.” kata Marcelio, masih melanjutkan adu mulut itu.

“Ya itu kenapa nada suara lo jadi tinggi? Lagian siapa yang minta diajak makan malem?” tanya Putra.

“Emang nada suara gue kaya gimana?” tantang Marcelio, pria manis itu mengulangi lagi kata-kata manager-nya dengan nada yang lebih menyebalkan dari nada aslinya, membuat pria tampan di balik kemudi itu sedikit kesal.

“Kok lo nyebelin? Gue ngga gitu.” kata Marcelio.

“Ya elo yang nyebelin, orang gue ngikutin cara lo ngomong.” bantah Putra. “Udah, mas, sumpah gue ngga ada tenaga buat marah-marah sama lo, besok lagi.” lanjut Putra ketika Marcelio ingin mendebatnya.

“Yaudah, oke. Pause dulu, gue males ribut di dalem mobil.” Marcelio menyerah. “Apalagi sama lo.” cicitnya.

Mobil SUV itu kembali hening.

By the way Bakmi GM yang tadi siang di meja gue tuh dari lo ya, mas?” tanya Putra yang kali ini mulai memecahkan keheningan malam, rasa kesalnya sudah mulai mereda. Marcelio mengangguk.

“Kenapa?” tanya Putra setelah mendapat jawaban dari pria di sampingnya.

“Kenapa, kenapa?” tanya Marcelio lagi dengan nadanya yang bingung.

“Iya, kenapa beliin makan siang?” tanya pria manis itu sembari menatap jalan.

“Ya karena lo belum makan siang?” tanya Marcelio.

“Bukan karena nyesel ngga nge-send invitation meeting dari pagi?” Anjir, kok ini anak tau detail banget? Hahaha. Gumam Marcelio dalam hatinya.

“Iya itu salah satu alesan lainnya.” gugup, Marcelio ya gugup lah, karena jajanin makan siang untuk Putra hari ini adalah suatu ke-impulsive-annya, di samping ia sedikit khawatir kalau pria yang kini tempat duduknya berada di depannya itu ngga makan karena marah dengan dirinya.

“Kalau salah harusnya bilang apa?” tanya Putra tepat ketika jalanan sedang macet dan mobil berhenti. Manik mereka kini sudah saling bertemu.

Marcelio segera memalingkan wajahnya dan menatap ke luar jendela lalu berkata, “Sorry?” tanyanya dengan tidak yakin.

“Yang ikhlas coba!” tantang Putra.

“Iya, maaf, udah ngomel, maaf padahal gue yang salah.” kata Marcelio dengan suara yang sedikit mencicit, menatap ke arah Putra lagi, pria manis itu tersenyum bangga.

“Gitu dong!” kata Putra lega. “Terima kasih juga ya makan siangnya.” lanjutnya dengan suara yang manis dan seraya tersenyum manis, yang sedang menghilangkan sedikit kewarasan Marcelio malam ini.

Kuda besi itu kembali hening. Marcelio hanya berharap mereka bisa lebih cepat sampai ke restoran masakan Aceh favorit mamanya dan adiknya di Benhil.

Tidak hanya Marcelio yang salah tingkah kok malam hari di Jakarta itu, entah kenapa Putra merasakan ada yang aneh pada degupan jantungnya yang tak biasa ketika mereka kembali dalam hening dan menghabiskan sisa perjalanan ke restoran dalam diam.

***

“Nasi goreng kambingnya satu ya, terus roti cane susunya satu. Lo mau apa?” tanya Marcelio kepada pria manis berkacamata di hadapannya.

“Mie goreng ayam kari ya.” kata Putra kepada waiter yang sedang berdiri. “Minumannya mau es teh tarik, ngga pake gula ya.” lanjutnya, pria yang melayani mereka mengangguk dan mencatat pesanan Putra.

“Lo ngga minum?” tanya Putra.

“Oh iya, es timun ya.” kata Marcelio. Waiter itu mengangguk dan mengulangi pesan kedua pria itu, setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, pelayan itu meninggalkan Marcelio dan Putra sendirian di meja dengan taplak merah di restoran yang terdapat di ruko bilangan Bendungan Hilir Jakarta Pusat tersebut.

“Emang es timun enak?” tanya Putra berbisik ketika pelayan itu sudah pergi.

“Nanti cobain aja yang punya gue.” celetuk Marcelio santai, Putra hanya mengangguk.

“Rasanya apa gitu?” tanya Putra penasaran.

“Seger, apalagi kalau abis makan daging-dagingan.” lanjut Marcelio, Putra membulatkan bibirnya. Hal kesekian yang menurut Marcelio bisa menjadi alasan menurunnya kewarasannya hari ini.

By the way, bukannya seharusnya lo tadi udah balik duluan ya, mas? Kok masih di Sentraya?” Putra bertanya polos.

DWAR!!! Marcelio terdiam sedang mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini. Kalau mau jujur sih, dia memang berniat menunggu Putra dan mengajaknya makan malam bersama, ya, sebagai permintaan maaf karena sudah menyalahkan Putra dan bilang kalau pria manis itu orang yang pasif, padahal itu memang totally salahnya sih. Walaupun sebenarnya, kalau mau dirunut-runut, si dia yang tampan itu sudah menebus dosanya dengan membelikan Bakmi GM untuk makan siang Putra, dan meminta maaf tadi di mobilnya, tapi entah kenapa kok menurut Marcelio itu belum cukup ya? Masih pengen lebih lama dengan pria manis berkacamata itu. Hayoloh, Celo!

“Oh, ketemu temen gue tadi di D'Journal.” bohong, Marcelio jelas menunggu Putra di mobilnya, di belakang jajaran taksi dekat dengan air mancur tempat Putra tadi berdiri. “Lo kenapa turunnya lama banget?” tanyanya kembali. Pertanyaannya sedikit terdengar seperti seseorang yang memang sengaja sedang menunggu ya, Cel? Walaupun memang iya sih ya, Cel ya~

“Lama gimana? Emang lo itungin?” tanya Putra spontan dengan nada jahilnya.

Ya namanya juga keceplosan ya, Marcelio kembali harus mencari-cari alasan untuk menjawab pertanyaan spontan dari pria yang berada di hadapannya, dan untung kali ini pelayan di Mie Aceh Seulawah menyelamatkannya dengan datang membawa es timun dan es teh tarik yang dipesan oleh mereka berdua.

“Lo udah berapa lama di Jakarta, Put?” tanya Marcelio, mengalihkan pembicaraan yang sebelumnya dengan tema yang baru.

“Di Jakartanya tuh udah hampir 4 tahun, mungkin?” tanya Putra sembari menyeruput sedotan plastik itu dengan bibir tipis ranumnya, dan entah kenapa Marcelio memperhatikan setiap gerakan pria di depannya dengan seksama, dari jari jemarinya yang lentik memegang gelas gemuk di depannya dan bibir tipisnya yang sedikit demi sedikit menyeruput minumnya. Marcelio hanya menanggapinya dengan menganggukan kepalanya seolah mengerti.

Kalau kata gue, MARCELIO! ISTIGHFAR LO!

“Emang lo asli dari mana gitu?” tanya pria bermanik elang itu, tanpa melepas titik pandangnya ke arah manapun selain ke pria yang berada di seberang tempat duduknya.

“Solo, mas. Emang ngga keliatan ya?” tanya pria manis itu dengan gelengan dan anggukan dari Marcelio sebagai jawabannya.

“Jadi iya atau ngga?” tanya Putra ketika melihat gelagat Marcelio.

“Iya, kadang-kadang.” jawab Marcelio ngga nyambung, lalu mengalihkan pandangannya pada es timun yang berada di hadapannya. “Solo tuh kaya si Onel dong ya?” tanya Marcelio kepada es timunnya.

“Hahaha.” Putra tertawa, menertawakan pria di hadapannya.

“Kenapa ketawa?” tanya Marcelio bingung.

“Gue di depan lo, kenapa nanya ke es timun? Salting?” tanya Putra, pria manis itu hanya tidak tahu saja kalau sebenarnya Marcelio sedang salah tingkah.

“Iya, pengen ngobrol sama es timun.” Marcelio agak kesel memang ketauan sedikit salah tingkah seperti saat ini.

Putra tersenyum menghina, “Senyum lo biasa aja.” kata Marcelio sedikit sewot.

“Iya, iya, galak banget, padahal gue biasa aja. Haha.” ejek Putra.

“Jawab kek, itu tadi gue nanya?” tanya Marcelio.

“Hahaha, iyaaa, Kak Onel tuh sekampung, kan anaknya sahabat ayah.” jawab Putra tenang, kemudian datanglah pertanyaan-pertanyaan Marcelio yang lainnya, begitupun dengan Putra, obrolan merekapun mengalir dengan santai.

Putra ngga senyebelin itukan, Cel? Celo ngga seresek itukan, Ta?

For your information, fokus Marcelio sebenarnya ngga ada disetiap jawaban Putra, ia hanya memerhatikan setiap gerak-gerik Putra, dari caranya membenarkan kacamata yang merosot dihidungnya yang bangir, bibirnya yang ranum, pipinya yang enyoi seperti mochi, collarbones yang menonjol dari kemeja biru garis-garis dengan 2 kancing yang terbuka di hadapannya.

'Cantik juga.' 2 kata yang terucap di dalam hatinya Marcelio.

Tak sampai 10 detik kemudian 'Weiiitttsss!!!' bantahnya dalam hati, lalu menggelengkan kepalanya rusuh, kemudian kembali duduk dengan benar dan menyibak surai gelapnya.

Kini, Putra yang pusing dibuatnya, selain karena sibakan rambutnya, Marcelio juga memamerkan urat-uratnya yang menonjol dengan melipat kemeja panjangnya hingga ke atas sikunya. Putra tidak tahu bila Marcelio sering mengangkat beban hingga detik ini.

Anjiiiirrrr, Celo!! Astaghfirullah, tahan Ta…’ kata Putra dalam hatinya.

“Silahkan.” kali ini pengantar makanan itu menolong mereka kembali kepada akal sehat masing-masing. Makanan merekapun datang.

“Suka?” tanya Marcelio pada Putra yang sedang menikmati makan malamnya.

Surprisingly ngga kering banget mie gorengnya, enak.” jawab Putra seraya tersenyum.

'Anjir ini cowo daritadi senyum terus, mana manis lagi, mules gue.' dumel Marcelio dalam hatinya.

“Makanan lo enak, mas?” tanya Putra ketika melihat Marcelio yang sedikit salah tingkah entah karena apa.

“Haa? Enak, mau coba?” tanya Marcelio menyodorkan sendoknya yang sudah berisi nasi berwarna cokelat berbau rempah dan daging kambing sebagai topingnya.

“Sini aja.” jawab Putra menyodorkan piring dengan sisi yang kosong.

“Aaaaa aja coba, aaaaaa~” kata Marcelio dengan santai menyuapi pria manis berkacamata di hadapannya. “What do you think? Enakkan?” tanya pria itu dengan bangganya karena Putra mencicipi makanan pesanannya.

Putra membelalakkan matanya, dan mengangguk, “Hmm, enak juga ternyata.” katanya, hati Marcelio mencelos saat ini ketika menatap pria manis di hadapannya dengan ekspresi seperti itu, membuatnya semakin gemas.

Marcelio dan Putra kita menikmati makan malam mereka dengan damai.

Kini Putra, Lionel dan sang pak supir Theofan sudah berada di pelataran parkir Cilandak Town Square mall yang berada di bilangan Jakarta Selatan, dekat sekali dengan koss-kossan Putra yang hanya berjarak kurang lebih 2 kilometer — sebenarnya, tapi entah kenapa pria manis berkacamata itu malah mengikuti langkah kaki Theofan dan Lionel yang menuju ke dalam club malam terkemuka dan hits di Jakarta tersebut, padahal kalau saja ia mau, si dia yang manis itu bisa saja langsung pulang dan berselonjoran di kamar koss-nya yang sangat nyaman.

Theofan tampak sekali sedang terburu-buru dengan berjalan cepat untuk menjemput kekasihnya di dalam hiburan malam itu, sesuai dengan informasi dari Giana, begitupun dengan Lionel yang mengikutinya, sedangkan Putra, tersesat. Iya, tidak perlu heran mengapa ia tersesat, si dia yang manis dan bermanik rubah itu tidak suka tempat yang terlalu ramai serta penuh hingar-bingar, ditambah lagi Putra tidak bisa mabuk, karena ia asam lambungnya, jadi datang ke tempat seperti ini adalah pengalaman pertamanya di tahun ini. Sedangkan untuk Theofan dan Lionel, mungkin Jenja adalah salah satu tempat hiburan bagi mereka. Wajarkan kalau Putra hanya menatap ke kanan dan ke kiri seperti orang kehilangan arah di dalam ruangan penuh manusia yang sedang mabuk serta terbuai alunan musik jedag-jedug di ruangan sumpek ini?

“Lho? Theo, Uta ngilang!” kata Lionel yang celingak-celinguk mencari pria yang dipanggil Uta itu.

“Lo cari deh, gue cari cowok gue dulu nih!” iya mereka berbicara seraya berteriak karena ruangan yang sungguh ramai alunan musik yang dimainkan DJ itu memekakan gendang telinga mereka.

“Nah! Gue nemu laki gue, gue ke sana dulu!” teriak Theofan saat melihat pria setengah mabuk yang menggunakan kemeja motif dan jas hitam sedang duduk memegang gelas di bar, meninggalkan Lionel yang sedang melihat ke sana kemari guna mencari pria yang bernama Uta. Lionel tau ini bukan tempat yang Uta kenali, jadi dia sedikit agak cemas.

***

Putra sudah duduk di salah satu meja di pinggir lantai dansa, yang ia pikir sudah tidak berpenghuni, karena hanya terdapat satu gelas kosong di table itu, sedangkan meja yang lainnya benar-benar penuh, tapi yang pria ramping dan manis itu tidak tahu, bahwa meja itu masih ada pemiliknya yang sedang asyik berdansa. Si pria yang entah siapa itu meninggalkan meja tersebut dan menyisakan jaket hijaunya, lalu menggeletakkannya di kursi seberang Putra duduk. Jadi, dengan ketidak tahuannya pria manis berkacama itu santai saja membuka ponsel-nya, memasangkan airpods pro-nya untuk meredakan suara bising yang masuk ke dalam gendang telinganya dan memainkan sudoku dari ponselnya — sembaru berharap keajaiban datang, Lionel atau Theofan dapat menemukannya sedang duduk tenang di sana.

Tunggu punya tunggu, 10 menit berlalu, 15 menit berlalu, tidak ada seorangpun yang menghampiri mejanya dan mengajaknya pulang. Tak berapa lama, bukannya Theofan atau Lionel yang datang, justru seorang pria dengan badan besar, dan postur tubuh tinggi menghampirinya.

“Hai, manis. Sendirian aja kamu.” Putra menoleh dan tak mengindahkannya.

Hanya pria mabok biasa, ia pikir, lalu Putra kembali terfokus pada ponsel-nya hingga benda pipih itu direbut paksa oleh sang pria tak dikenal dan mulai menggenggam tangan putih mulus pria itu, memaksa Putra fokus padanya.

“HEH! LO KALAU GUE AJAK NGOMONG TUH NYAUT!” kata pria itu, Putra kaget, ini pengalaman pertamanya dibentak di depan umum, kalau ia boleh jujur.

“Balikin handphone-nya.” pinta putra masih meminta dengan baik-baik, ingin meraih benda pipih miliknya, namun tak bisa.

“ENAK AJA! GUE BANTING JUGA HANDPHONE LO!” nada pria itu masih tinggi, Putra tentu saja kesal, papanya di kampung saja tidak pernah meneriakinya. Pria mabuk ini siapa? Kenal saja tidak.

“Mau lo apa?” tanya Putra, menantang.

“OH BERANI YA LO!” ponsel Putra dibanting oleh pria mabuk itu dengan sembarang, kerah kemeja pria manis itu ditarik hingga si dia berdiri dari tempat duduknya sembari memegangi lehernya yang sudah mulai sesak. Pria mabuk itu sudah siap untuk melepaskan pukulannya, Putra juga sudah memejamkan matanya, namun, tidak pernah ada pukulan yang ia terima, pria yang memiliki nama panjang Dwiputra Wonwoo itu mengintip dengan satu matanya, dan menatap ada seseorang yang terlihat sangat familiar sedang menahan tangan pria mabuk itu dari belakang, seolah kapan saja bisa memelintirnya.

“Mau lo apain cowo gue?” tanya pria itu, membanting tangan pria mabuk yang ia tahan barusan, melepaskan cengkeram tangannya di leher Putra dan mengambil tubuh ramping Putra ke dalam pelukannya, hingga badan pria manis itu terhoyong.

“OH INI COWO BRENGSEK UDAH PUNYA MONYET?” tanya pria mabuk itu.

“Iya, udah ada monyetnya, anjing ngapain ganggu-ganggu?” tanya pria itu dengan nada santai, namun tetap nyolot. Memberikan pria mabuk itu tatapan sinisnya, sedangkan pria yang bernama Putra sedang terkejut dan bingung apa yang harus ia lakukan. Ia hanya terdiam, mendengar kedua pria itu adu mulut.

“SINI LO MONYET MAJU MANGGIL GUE ANJING!” kata pria itu berusaha menarik kerah pria yang masih merengkuh pinggang Putra dengan posesif.

“Lho? Emang lo anjing kan?” kata pria itu tenang penuh dominasi. “Lo pergi dari sini atau gue yang bikin ambulance jemput lo?” pertanyaan lanjutan, dengan mata yang melotot, jujur saja, semua orang bila melihatnya memilih untuk mengundurkan diri dari sana.

Pria mabuk itu tampak tidak takut dengan ancaman pria tinggi tegap denga t-shirt putih, hingga baku hantam pun harus terjadi.

Pria yang datang membantu Putra pun tak kalah aggressive memukuli pria mabuk tersebut tanpa henti, hingga sorak-sorai pengunjung memenuhi lantai dansa, sampai-sampai beberapa satpam meleraikan keributan mereka.

Putra dengan sigap membawa tubuh pria yang lebih tinggi 5 centimeter dari dirinya yang terlempar karena leraian dari satpam di Jenja dengan membopongnya keluar dari night club di bilangan Cilandak tersebut.

Setelah diusir dan keluar dari ruangan engap itu, pria yang menolong Putra kemudian melepaskan tubuh si manis darinya. “Gue mabok, jadi mukul orang yang gangguin lo kaya banci.” kata pria itu sembari terduduk di kursi depan club itu, sembari menyeka sisi bibirnya yang berdarah dengan ibu jari.

“Ngga kok, lawan lo juga udah hampir meninggal, kali.” jawab Putra, sembari menatap iba ke arah pria yang wajahnya sudah dipenuhi luka-luka bekas baku hantam tadi.

Hening diantara mereka.

Handphone lo?” tanya pria itu pada salah satu kantong celana Putra.

Putra mengeluarkan benda pipih yang retak itu, dan membulak-balikannya. LED retak, kaca belakang iPhone dengan boba tiga-nya pun tak kalah retak. Benda pipih itupun ikut babak belur.

Keheningan kembali menjalar di antara mereka.

“Lo bawa mobil, Mas?” tanya Putra pada pria itu, memecahkan keheningan di antara mereka, pria tinggi tegap yang ditanya masih menatap langit malam tanpa bintang-bintang.

“Bawa.” jawabnya, Putra hanya mengangguk hening. “Tapi gue tipsy, ngga mungkin nyetir sih.” lanjutnya masih dengan posisi yang sama. Putra masih mengangguk. Segan, itu saja yang pria manis itu rasakan.

“Mau diobatin ngga luka-lukanya?” tanya Putra, menatap pria itu dengan tatapan ibanya.

“Gue ngga punya P3K di mobil, belom dibalikin Theo.” jawab pria itu tenang.

“Mau pake P3K gue? Kossan gue deket kok.” tanya pria berkacamata itu, menawarkan diri karena perasaannya yang tak enak, menatap pria yang sesungguhnya tampan itu menjadi babak belur.

“Lo bisa bawa mobil?” tanya pria yang dipanggil Mas oleh Putra ini.

“Bisa—” belum selesai Putra menjawab pertanyaannya, pria itu sudah melemparkan kunci mobil kepangkuan pria manis bermanik rubah yang masih terduduk dan berjalan menunjukkan jalan menuju ke arah tempat ia memarkirkan kendaraannya. Putra mengikutinya, dan jalannya sempoyongan. Tidak heran bila pria itu mengatakan bahwa ia tipsy.

“Lo taukan jam berapa sekarang?” kata seorang pria yang udah pasang wajah super jelek banget waktu aku masuk ke dalam ruangan meeting yang bertuliskan “Badarawuhi’s Room”.

Yes, namanya Marcelio Mingyu panggil aja dia Celo, cowo itu salah satu Senior Manager Planning Hybrid di kantorku selain Mas Theo yang sekarang udah jadi Associate Manager Planning Hybrid. Kalau ada yang mau tau Planning Hybrid tuh apa, jadi dia tuh bisa ngerjain planning buat offline dan digital untuk suatu brand, dan sialnya brand yang si Celo pegang ini FMCG atau kepanjangannya food moving consumer goods, alias produk-produk yang bergerak cepat, contohnya brand yang sudah aku lihat logonya ada di layar LED 42 inch di ruangan meeting ini. Oh iya, aku sama Celo kerja di salah satu media agency periklanan multinational yang memang bergengsi dan terkenal disepanjang sejarah peragnecy-an karena terkenal sering banget dapet award periklanan tiap tahunnya. Termasuk Celo, cowok ini tuh udah dapet 2 kali berturut-turut selama 2 tahun sebagai The Best Strategic Planner se Asia karena strategi iklan yang bikin sales kliennya meningkat 5 kali lipat selama 6 bulan. Keren sih ini orang, tapi galaknya najis!

Balik lagi ke ruang meeting, aku cuma diam waktu dia nodong pertanyaan sekarang jam berapa, pengen jawab tapi asli serem banget, jadi aku cuma duduk di salah satu kursi di seberang kursi yang persis berhadapan dengan macbook pro-nya berada dan tanpa basa-basi aku buka macbook air kerja ku serta catatan yang aku bawa.

“Lo taukan gue pegang brand apa?” aku ngangguk tau, yaiya tau, orang sekantor juga tau, si paling pekerja keras!

“Brand gue tuh fast banget phase-nya, termasuk semua sistem kerjanya, ngga kaya brand lo yang kemaren-kemaren. No offense.” loh, kok dia malah ngebandingin brand yang bahkan belum aku serah terimakan ke Winter sih?

“Gue istirahat jam 12 teng, balik ke meja jam 1 siang. Gue ngga mau ya liat lo jam 2 siang masih haha hihi sama temen-temen lo, dan lupa kewajiban lo.” wah, sumpah sih ini cowo mau banget aku cakar, tapi aku masih butuh gaji. “Jam istirahat lo, sama kaya jam istirahat gue, no debate!” lanjutnya.

Is there anything you want to argue? Sebelum kita mulai hand over dan perkenalan produk, no?” tanya dia, ngga nanya sih gue tau banget dari nadanya dia kaya hanya sekedar basa-basi aja. Udahlah, diemin aja aku, biar dia yang ngomong sampe mulutnya berbusa, terus dehidrasi, terus pingsan.

“Kalau ngga ada, gue mulai kenalin beberapa produk yang akan lo pegang mulai sore ini dan beberapa tools yang harus lo bisa pake, karena tiap Jumat kita selalu share weekly report.” katanya melanjutkan.

Di detik itu, dia mulai panjang lebar ceritain tengang produknya, jujur kalau aku ngga salah liat, mata dia berbinar-binar kaya anak anjing yang ketemu sama majikannya setelah ditinggal mudik, dan jangan tanya kenapa aku malah sibuk merhatiin mukanya yang ternyata ngga jelek-jelek banget.

“Bisa bedainnya kan lo?” tanya dia tiba-tiba. Walaach, pas banget dia nanya gitu, akunya lagi merhatiin canine tooth di kanan-kiri jajaran gigi atasnya, lucu. Sial. Hari ini bukan hari Senin terbaikku.

Aku ngapain? Ya ngangguk, pura-pura merhatiin ke produk yang dia bahas, please please jangan suruh aku ngulang apa yang dia bilang. Asli, ngga denger!

“Jadi, apa komunikasi Pantene Mircle Hair?” tanya Celo ke aku, oke, ya Tuhan, mana sih slide-nya? Asli aku ngga denger! Nangis ajalah huhu…

“Bengong lo ya?” todongnya, karena bener aku ga boleh marah. “Niat kerja ngga sih lo?” oke, aku boleh marah ngga sih sekarang?

“Kalau ngga niat kerja, yaudah, kita udahin aja meeting-nya, buang waktu.” kata Celo balik ke tempat leptonya dan nutup benda persegi panjang gede pipih ituuu. Oke, aku tarik kata-kataku yang bilang dia ngga jelek-jelek banget, DEMI TUHAN CELO JELEK BANGET GUE BENCI!

“Lo ngga perlu marah-marah kali, mas.” kataku dengan suara yanh sedikit bergetar, aku marah! Celo menghentikan kegiatannya. “Gue tau lo ngga suka kerja sama gue, tapi ngga usah dibawa ke ranah kerjaan, rasa benci lo ke gue itu subjective.” aku langsung bangun dari tempat dudukku dan berjalan menuju pintu ruang meeting untuk pergi.

Tapi, sebelum aku pergi aku berbalik badan dan menatapnya tajam dengan manik rubahku, “Gue harap lo bisa lebih professional ke depannya.” kata gue dan berlalu meninggalkan dia di ruang meeting, bodo amat deh, pecat ya pecat aja. Siapa yang mau sih kerja digituin? Udah gila kali!