Tin tin
Dwiputra Wonwoo yang sedang berdiri di pinggir tangga seberang air mancur Menara Sentraya terkejut ketika mobil Audi sport berwarna abu-abu tua berhenti di depannya dengan kaca yang sedikit terbuka, menampakkan sesosok pria yang sangat ingin Putra pukul kepalanya hari ini, iya, siapa lagi kalau bukan Mercelio.
“Masuk.” pinta pria itu sembari membukakan pintu penumpang di depan dari dalam mobilnya.
Putra masih terdiam seolah acuh dengan permintaan pria yang ada di dalam mobil SUV itu.
“Put? Banyak mobil di belakang, cepet, gue ngga akan maju sebelum lo masuk.” paksa Marcelio ketika beberapa mobil jemputan lainnya membunyikan klakson dan membuat gaduh salah satu point pick-up di gedung perkantoran itu.
Mau tidak mau, Putra pun menurut dan langsung duduk di kursi penumpang, menggunakan sabuk pengamannya, dan duduk tegak dengan kaku, lalu terdiam menatap lurus ke jalan, seolah tak mau menatap wajah Marcelio yang masih sedikit lebam-lebam karena insiden Jum'at lalu.
“Duduknya santai aja, ngga usah tegang gitu.” goda Marcelio sembari memegang bahu Putra dan menyandarkannya. Pria manis bermanik rubah yang dilapisi kacamata itu merasakan sengatan listrik pada bahunya, Putra sedikit melompat dari kursinya, tersentak kaget. “Santai aja.” kata Marcelio menarik tangannya terburu, karena bingung melihat Putra yang terkejut.
Mobil SUV itu masih berjalan di jalanan kota Jakarta Selatan dengan senyap, hanya ditemani playlist Marcelio yang terdengar pelan dan Putra yang masih diam, bahkan ia tidak bertanya mau dibawa kemana. Si dia diam sembari memainkan ponselnya, sedangkan lagu di dalam mobil itu terus berputar hingga shuffle playlist pria tampan yang sedang menyetir itu memperdengarkan Troye Sivan dengan sayup. Marcelio membesarkan volume tape-nya sedikit dan berdendang sembari menghentakkan kedua jari telunjuknya pada setir mobil di hadapannya, “Yooouu're my angel, angel baby angel, you're my angel baby, baby you're my angel, angel baby, I'm fall in love with the lalalaaala~” gumamnya dengan suara yang seadanya. Iya, bagian lagu kesukaannya, karena mungkin hanya part itu yang ia hafal efek ter-exposure Tiktok terus menerus.
Setelah You're my angel baby, baby you're my angel itu berganti lagu dengan lagu lainnya, mobil SUV abu-abu tua itu kembali senyap, Marcelio tetap menjalankan mobilnya melewati Bundaran Senayan, ke arah Jenderal Sudirman. Sedangkan sang tawanan masih tidak berkutik sedari tadi ia masuk ke dalam mobil itu. Ciri-ciri Putra bila sebal dengan seseorang — memberi orang itu silent treatment.
“Lo kok ngga nanya sih mau dibawa kemana?” tanya Marcelio, akhirnya memecahkan keheningan. Putra masih terdiam seolah acuh tak perduli, padahal di dalam hati ia sebenarnya bertanya-tanya akan dibawa kemana oleh pria yang selalu sinis terhadapnya.
“Kalau gue culik, terus gue mutilasi gimana?” tanya Marcelio lagi. “Mayat lo gue buang ke laut ancol, terus gue tinggalin aja gitu. Gimana?” lanjutnya.
Putra menatap Marcelio pada akhirnya, seraya membelalakkan matanya. “Ih, serius? Gue ngga nyangka lo se-psikopat itu, Mas.” Putra mengubah posisinya, Marcelio tertawa kencang. Entah kenapa, lucu melihat pria di sampingnya itu langsung memiringkan tubuh dan menatapnya.
“Hahaha aduh! Sakit sakit!” iya, Marcelio mengeluh dan segera memegang pipinya dengan satu tangan karena lebam di wajahnya terasa cekit-cekit saat ia tertawa seperti tadi.
“Kan, sakitkan! Makanya, resek sih!” Putra dengan spontan mengelus pelan lebam Marcelio yang samar-samar terlihat sudah membiru bercampur dengan hijau, dari tempatnya duduk.
Kaget! Iya, mereka berdua sama-sama kaget kok. Putra kaget karena tangannya centil banget dengan tiba-tiba memegang ujung mata Marcelio dan Marcelio yang juga terkejut ketika merasakan tangan dingin, lembut dan lentik milik Putra mengelus wajahnya.
Pria manis bermanik rubah itu langsung menarik tangannya dan segera minta maaf, “Sorry, keceplosan.” katanya, sedangkan Marcelio hanya berdeham sok cool, padahal heart rate-nya bisa nembus di 120 BPM saat ini, alias deg-deg-an.
Mobil kembali hening, dan lagu di playlist Marcelio masih menemani mereka dalam perjalanan yang cukup padat, namanya juga Kota Jakarta malam hari di jam pulang kerja.
“Lo suka masakan aceh ngga?” tanya pria yang berada di kursi pengemudi sudah menenangkan degup jantungnya, membuka suaranya dan mencoba kembali mengajak pria yang ada di kursi penumpang depan berbicara.
“Suka aja, asal bukan seafood.” jawab Putra sederhana dengan wajah manisnya yang menatap Marcelio, manik cantik yang kali ini hanya terlihat dari pancaran remang lampu jalanan itu kini sudah membuat pria tampan di kursi pengemudi itu salah tingkah.
“Oh, ada sapi sama ayam juga sih di sana. Lo alergi seafood?” tanya Marcelio, menatap wajah Putra sebentar dan kembali fokus ke jalan di hadapannya, Putra menjawabnya dengan anggukan.
“Lo laper kan?” tanya pria tampan itu masih terfokus pada jalanan di hadapannya.
“Kok tau?” tanya pria yang seringnya dipanggil Uta atau Kucing itu, karena seingatnya ia tidak mengatakan lapar pada siapapun kecuali mengadu di tweet-nya tadi ketika memotret malam dari jendela lantai kantor mereka.
“Ya tau lah, namanya juga orang ngga sih? Udah malem mah laper.” ada suara sedikit panik di sana, tentu saja, tapi Marcelio tetap dengan sok cook-nya. “Gue juga laper soalnya, kepikiran pengen makan masakan Aceh, eh papasan sama lo.” jelas Marcelio dengan salah satu dari seribu alasannya. Ia baru teringat bahwa Putra tidak tahu kalau ia mem-follow akun twitter pria yang berada di sampingnya itu dengan aku gembokannya.
“Oh, kirain lo stalk twitter gue.” jawab Putra dengan suaranya yang santai.
“Dih, kenapa pede banget?” tanya Marcelio. “Emang isi twitter lo apaan sampe harus gue stalk?” tanyanya lagi, padahal iya kan benar si Marcelio suka stalk twitter Putra.
“Yang pasti isinya bukan lo sih, jadi ngga perlu lo follow.” kata Putra sedikit sewot.
“Ya siapa yang mau follow sih, terus ngga usah sewot juga kali?” bales Marcelio. “Kan gue nanya.” kata pria tampan itu, nada suaranya sedikit meninggi.
“Ya ngga usah pake emosi, biasa aja.” Putra masih melanjutkan, nada suaranya juga naik setengah oktaf.
“Ya enggak, siapa yang emosi sih? Orang baik, nih buktinya gue ngajak lo makan malem.” kata Marcelio, masih melanjutkan adu mulut itu.
“Ya itu kenapa nada suara lo jadi tinggi? Lagian siapa yang minta diajak makan malem?” tanya Putra.
“Emang nada suara gue kaya gimana?” tantang Marcelio, pria manis itu mengulangi lagi kata-kata manager-nya dengan nada yang lebih menyebalkan dari nada aslinya, membuat pria tampan di balik kemudi itu sedikit kesal.
“Kok lo nyebelin? Gue ngga gitu.” kata Marcelio.
“Ya elo yang nyebelin, orang gue ngikutin cara lo ngomong.” bantah Putra. “Udah, mas, sumpah gue ngga ada tenaga buat marah-marah sama lo, besok lagi.” lanjut Putra ketika Marcelio ingin mendebatnya.
“Yaudah, oke. Pause dulu, gue males ribut di dalem mobil.” Marcelio menyerah. “Apalagi sama lo.” cicitnya.
Mobil SUV itu kembali hening.
“By the way Bakmi GM yang tadi siang di meja gue tuh dari lo ya, mas?” tanya Putra yang kali ini mulai memecahkan keheningan malam, rasa kesalnya sudah mulai mereda. Marcelio mengangguk.
“Kenapa?” tanya Putra setelah mendapat jawaban dari pria di sampingnya.
“Kenapa, kenapa?” tanya Marcelio lagi dengan nadanya yang bingung.
“Iya, kenapa beliin makan siang?” tanya pria manis itu sembari menatap jalan.
“Ya karena lo belum makan siang?” tanya Marcelio.
“Bukan karena nyesel ngga nge-send invitation meeting dari pagi?” Anjir, kok ini anak tau detail banget? Hahaha. Gumam Marcelio dalam hatinya.
“Iya itu salah satu alesan lainnya.” gugup, Marcelio ya gugup lah, karena jajanin makan siang untuk Putra hari ini adalah suatu ke-impulsive-annya, di samping ia sedikit khawatir kalau pria yang kini tempat duduknya berada di depannya itu ngga makan karena marah dengan dirinya.
“Kalau salah harusnya bilang apa?” tanya Putra tepat ketika jalanan sedang macet dan mobil berhenti. Manik mereka kini sudah saling bertemu.
Marcelio segera memalingkan wajahnya dan menatap ke luar jendela lalu berkata, “Sorry?” tanyanya dengan tidak yakin.
“Yang ikhlas coba!” tantang Putra.
“Iya, maaf, udah ngomel, maaf padahal gue yang salah.” kata Marcelio dengan suara yang sedikit mencicit, menatap ke arah Putra lagi, pria manis itu tersenyum bangga.
“Gitu dong!” kata Putra lega. “Terima kasih juga ya makan siangnya.” lanjutnya dengan suara yang manis dan seraya tersenyum manis, yang sedang menghilangkan sedikit kewarasan Marcelio malam ini.
Kuda besi itu kembali hening. Marcelio hanya berharap mereka bisa lebih cepat sampai ke restoran masakan Aceh favorit mamanya dan adiknya di Benhil.
Tidak hanya Marcelio yang salah tingkah kok malam hari di Jakarta itu, entah kenapa Putra merasakan ada yang aneh pada degupan jantungnya yang tak biasa ketika mereka kembali dalam hening dan menghabiskan sisa perjalanan ke restoran dalam diam.
***
“Nasi goreng kambingnya satu ya, terus roti cane susunya satu. Lo mau apa?” tanya Marcelio kepada pria manis berkacamata di hadapannya.
“Mie goreng ayam kari ya.” kata Putra kepada waiter yang sedang berdiri. “Minumannya mau es teh tarik, ngga pake gula ya.” lanjutnya, pria yang melayani mereka mengangguk dan mencatat pesanan Putra.
“Lo ngga minum?” tanya Putra.
“Oh iya, es timun ya.” kata Marcelio. Waiter itu mengangguk dan mengulangi pesan kedua pria itu, setelah dirasa tidak ada yang tertinggal, pelayan itu meninggalkan Marcelio dan Putra sendirian di meja dengan taplak merah di restoran yang terdapat di ruko bilangan Bendungan Hilir Jakarta Pusat tersebut.
“Emang es timun enak?” tanya Putra berbisik ketika pelayan itu sudah pergi.
“Nanti cobain aja yang punya gue.” celetuk Marcelio santai, Putra hanya mengangguk.
“Rasanya apa gitu?” tanya Putra penasaran.
“Seger, apalagi kalau abis makan daging-dagingan.” lanjut Marcelio, Putra membulatkan bibirnya. Hal kesekian yang menurut Marcelio bisa menjadi alasan menurunnya kewarasannya hari ini.
“By the way, bukannya seharusnya lo tadi udah balik duluan ya, mas? Kok masih di Sentraya?” Putra bertanya polos.
DWAR!!! Marcelio terdiam sedang mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini. Kalau mau jujur sih, dia memang berniat menunggu Putra dan mengajaknya makan malam bersama, ya, sebagai permintaan maaf karena sudah menyalahkan Putra dan bilang kalau pria manis itu orang yang pasif, padahal itu memang totally salahnya sih. Walaupun sebenarnya, kalau mau dirunut-runut, si dia yang tampan itu sudah menebus dosanya dengan membelikan Bakmi GM untuk makan siang Putra, dan meminta maaf tadi di mobilnya, tapi entah kenapa kok menurut Marcelio itu belum cukup ya? Masih pengen lebih lama dengan pria manis berkacamata itu. Hayoloh, Celo!
“Oh, ketemu temen gue tadi di D'Journal.” bohong, Marcelio jelas menunggu Putra di mobilnya, di belakang jajaran taksi dekat dengan air mancur tempat Putra tadi berdiri. “Lo kenapa turunnya lama banget?” tanyanya kembali. Pertanyaannya sedikit terdengar seperti seseorang yang memang sengaja sedang menunggu ya, Cel? Walaupun memang iya sih ya, Cel ya~
“Lama gimana? Emang lo itungin?” tanya Putra spontan dengan nada jahilnya.
Ya namanya juga keceplosan ya, Marcelio kembali harus mencari-cari alasan untuk menjawab pertanyaan spontan dari pria yang berada di hadapannya, dan untung kali ini pelayan di Mie Aceh Seulawah menyelamatkannya dengan datang membawa es timun dan es teh tarik yang dipesan oleh mereka berdua.
“Lo udah berapa lama di Jakarta, Put?” tanya Marcelio, mengalihkan pembicaraan yang sebelumnya dengan tema yang baru.
“Di Jakartanya tuh udah hampir 4 tahun, mungkin?” tanya Putra sembari menyeruput sedotan plastik itu dengan bibir tipis ranumnya, dan entah kenapa Marcelio memperhatikan setiap gerakan pria di depannya dengan seksama, dari jari jemarinya yang lentik memegang gelas gemuk di depannya dan bibir tipisnya yang sedikit demi sedikit menyeruput minumnya. Marcelio hanya menanggapinya dengan menganggukan kepalanya seolah mengerti.
Kalau kata gue, MARCELIO! ISTIGHFAR LO!
“Emang lo asli dari mana gitu?” tanya pria bermanik elang itu, tanpa melepas titik pandangnya ke arah manapun selain ke pria yang berada di seberang tempat duduknya.
“Solo, mas. Emang ngga keliatan ya?” tanya pria manis itu dengan gelengan dan anggukan dari Marcelio sebagai jawabannya.
“Jadi iya atau ngga?” tanya Putra ketika melihat gelagat Marcelio.
“Iya, kadang-kadang.” jawab Marcelio ngga nyambung, lalu mengalihkan pandangannya pada es timun yang berada di hadapannya. “Solo tuh kaya si Onel dong ya?” tanya Marcelio kepada es timunnya.
“Hahaha.” Putra tertawa, menertawakan pria di hadapannya.
“Kenapa ketawa?” tanya Marcelio bingung.
“Gue di depan lo, kenapa nanya ke es timun? Salting?” tanya Putra, pria manis itu hanya tidak tahu saja kalau sebenarnya Marcelio sedang salah tingkah.
“Iya, pengen ngobrol sama es timun.” Marcelio agak kesel memang ketauan sedikit salah tingkah seperti saat ini.
Putra tersenyum menghina, “Senyum lo biasa aja.” kata Marcelio sedikit sewot.
“Iya, iya, galak banget, padahal gue biasa aja. Haha.” ejek Putra.
“Jawab kek, itu tadi gue nanya?” tanya Marcelio.
“Hahaha, iyaaa, Kak Onel tuh sekampung, kan anaknya sahabat ayah.” jawab Putra tenang, kemudian datanglah pertanyaan-pertanyaan Marcelio yang lainnya, begitupun dengan Putra, obrolan merekapun mengalir dengan santai.
Putra ngga senyebelin itukan, Cel? Celo ngga seresek itukan, Ta?
For your information, fokus Marcelio sebenarnya ngga ada disetiap jawaban Putra, ia hanya memerhatikan setiap gerak-gerik Putra, dari caranya membenarkan kacamata yang merosot dihidungnya yang bangir, bibirnya yang ranum, pipinya yang enyoi seperti mochi, collarbones yang menonjol dari kemeja biru garis-garis dengan 2 kancing yang terbuka di hadapannya.
'Cantik juga.' 2 kata yang terucap di dalam hatinya Marcelio.
Tak sampai 10 detik kemudian 'Weiiitttsss!!!' bantahnya dalam hati, lalu menggelengkan kepalanya rusuh, kemudian kembali duduk dengan benar dan menyibak surai gelapnya.
Kini, Putra yang pusing dibuatnya, selain karena sibakan rambutnya, Marcelio juga memamerkan urat-uratnya yang menonjol dengan melipat kemeja panjangnya hingga ke atas sikunya. Putra tidak tahu bila Marcelio sering mengangkat beban hingga detik ini.
‘Anjiiiirrrr, Celo!! Astaghfirullah, tahan Ta…’ kata Putra dalam hatinya.
“Silahkan.” kali ini pengantar makanan itu menolong mereka kembali kepada akal sehat masing-masing. Makanan merekapun datang.
“Suka?” tanya Marcelio pada Putra yang sedang menikmati makan malamnya.
“Surprisingly ngga kering banget mie gorengnya, enak.” jawab Putra seraya tersenyum.
'Anjir ini cowo daritadi senyum terus, mana manis lagi, mules gue.' dumel Marcelio dalam hatinya.
“Makanan lo enak, mas?” tanya Putra ketika melihat Marcelio yang sedikit salah tingkah entah karena apa.
“Haa? Enak, mau coba?” tanya Marcelio menyodorkan sendoknya yang sudah berisi nasi berwarna cokelat berbau rempah dan daging kambing sebagai topingnya.
“Sini aja.” jawab Putra menyodorkan piring dengan sisi yang kosong.
“Aaaaa aja coba, aaaaaa~” kata Marcelio dengan santai menyuapi pria manis berkacamata di hadapannya. “What do you think? Enakkan?” tanya pria itu dengan bangganya karena Putra mencicipi makanan pesanannya.
Putra membelalakkan matanya, dan mengangguk, “Hmm, enak juga ternyata.” katanya, hati Marcelio mencelos saat ini ketika menatap pria manis di hadapannya dengan ekspresi seperti itu, membuatnya semakin gemas.
Marcelio dan Putra kita menikmati makan malam mereka dengan damai.