mnwninlove

Miracles


tw: hurt comfort, fluff, gyu!dom won!bot, stranger to lovers, happy ending, hospital, mention dead person.
tempat kejadian, kesamaan cerita, hanya kebetulan belaka. Semua berasal dari imajinasi.

Hari ini tepat 3 minggu setelah gue menabrak seorang pria hingga merusak kornea dan membuatnya menjadi tidak dapat melihat — gue membuat seseorang buta. Sampai saat ini pula, gue masih menemaninya di rumah sakit untuk menunggu mukjizat Tuhan datang dengan kehadiran pendonor kornea yang sama dengan miliknya.

Dia adalah Jeon Wonwoo, pria manis yang ketika hujan menghampiri mobil gue saat sedang melaju, entah apa waktu itu yang ia pikirkan, but turns out gue menabraknya. Gue akan seumur hidup meminta maaf kepadanya dan menjadi matanya bila memang Tuhan tidak kunjung memberikan keajaibanNYA. Itu janji gue pada diri gue sendiri.

Sekarang, gue sedang berjalan di lorong rumah sakit untuk mengunjungi pria manis itu dengan membawa beberapa buku cara membaca huruf braille. Pria bermarga Jeon itu sangat suka membaca untuk melarikan diri dari dunianya yang tidak berjalan seindah manik matanya dan gue? Lagi-lagi menghancurkan cara dia melihat sweet escape-nya. Kata maaf, gue rasa tidak akan pernah cukup untuk menebus segala kesalahan gue.

“Siapa?” Tanya pria dengan seragam pasien rumah sakit bernada offensive saat gue membuka pintu kamar VIP itu.

“Hai, ini aku.” Jawab gue ketika melangkahkan kaki mendekat ke arah tempat tidurnya.

“Oh, Mingyu? Sorry, aku kira siapa. Bunda lagi pulang ke rumah soalnya.” Senyumnya.

Buat gue, senyumannya itu indah banget karena gue siap tenggelam di sana. Ngga — gue ngga bermaksud apa-apa, namun ini adalah penilaian objective dari gue, senyumnya memang bisa memabukkan dan menenggelamkan namun menenangkan disaat bersamaan. Aneh sekali Jeon Wonwoo ini.

“Its okay, and here! I brought this with me today!” kata gue, menyodorkan paper bag yang berisi buku 'mengenal tulisan' dan buku bacaan dengan huruf braille di dalamnya.

“Buku?” Tanyanya lembut.

Selain senyumnya, suara bass lembutnya sangat addictive di telinga gue. Gue belum bilang jatuh hati ya, hanya terpesona dengan nada dan suaranya — In this rate.

“Aku ngga bisa baca, Mingyu. Aku tau kamu tau aku suka baca, but I'm blind now.” senyumnya memudar — lagi-lagi karena gue.

“Itu buku huruf braille, Won.” Jawab gue sembari duduk di kursi yang di sediakan di sebelah ranjang pria bersurai gelap itu.

“Eh? Serius?” Tanyanya mengambil buku di paper bag yang gue berikan dengan senyum manisnya — senyumnya kembali mengembang. Tangan putih lentiknya mengambil buku di dalam paper bag itu dan membukanya satu persatu.

“Gue ajarin mau?” Tanya gue, dia langsung mengangguk girang dan bergeser memberikan gue ruang untuk duduk di sebelahnya. Ngga bohong, sekarang dia mirip banget anak kucing — menggemaskan dan membuat jantung gue berdegup lebih dari biasanya. Gue masih terdiam.

“Mingyu?” Panggilnya sembari meraba udara di sampingnya, memastikan tangannya menyentuh tubuh seseorang — gue.

Kuraih tangannya, menggenggam jemari lentiknya, “Here.” kata gue, dan dia segera menarik tangannya dari genggamanku, mungkin dia terkejut. “Sorry.” kata gue, lalu memindahkan posisi gue ke samping tubuhnya. Membuka plastik buku baru itu dan mengajarkannya huruf-huruf, serta angka braille.

“Capek, Mingyu.” Katanya setelah satu jam setengah berkutat untuk belajar huruf-huruf asing itu dengan suaranya yang lembut.

“Pusing ngga? Mau dipanggil dokter?” Gue panik.

“Haha. Ngga, Mingyu. Mau stop aja belajarnya.” Katanya tersenyum hingga matanya tersisa segaris dan mengerutkan hidungnya yang bangir. Tahukah dia bahwa dia indah?

“Di luar cerah?” Tanyanya.

“Cerah, mau rasain ketiup angin ngga?” Tanyaku dan di balas oleh anggukannya. Aku langsung mengambil sepatu di lemari dan memakaikannya.

“Tadi, dokter bilang the day after tomorrow I can go home.” Kata Wonwoo ketika aku sedang mengikat tali sepatunya.

Glad to hear that. Nanti aku anterin pulang.” Kata gue merasa senang. Serius, gue sangat senang, pria di hadapan gue ini sangat tidak cocok menggunakan pakaian rumah sakit.

Dia berjalan dengan tongkat besi lipat yang kemarin sempat gue belikan dan gue berdiri di sampingnya, memastikan jalannya tetap lurus, sesekali gue pegang bahu bidangnya bila sudah mulai miring saat berjalan.

Thank you, Mingyu.” Katanya ketika kita sudah sampai di taman belakang rumah sakit dan dia sudah duduk.

“What for?” tanya gue kaget.

Thank you adalah kalimat yang paling tidak cocok menggambarkan kisah pertemuan gue dengan Wonwoo. Sangat tidak cocok, karena gue yang menabraknya dan menjadikannya buta. Asshole adalah kalimat yang paling cocok.

“Just.. everything?” katanya sembari mengindikkan bahunya.

“Aku bikin kamu buta, dan kamu bilang terima kasih? Apa ngga kebalik?”

“Kebalik gimana?” Katanya menoleh ke arah suara gue.

“Harusnya, aku yang bilang terima kasih karena ngga dituntut dan di bawa ke polisi. Dan bahkan aku dibolehin buat jagain kamu sama orang tua kamu?” Si dia tersenyum.

“Aku itu ngga punya teman, Mingyu. Di kantorku pun aku selalu sendiri. Buku selalu menjadi tempatku berbicara—” katanya, tersenyum pilu. Pilu banget. “6 tahun lalu, sekali-kalinya aku memiliki teman. Hehe. Namanya Mingyu juga, jadi sebenarnya aku sempat terkejut mendengar nama kamu. Cuma mungkin banyak nama Mingyu lainnya di luar sana, akupun harus terbiasa.” Katanya.

“Sekarang orangnya di?” Tanyaku.

“Surga. Dia sudah bertemu duluan dengan Tuhan.” Senyumnya, masih belum pupus walaupun senyuman itu penuh pilu.

“Karena?”

“Sakit, dia ngga bilang kalau dia punya penyakit sampai aku menemukannya di ICU. Mungkin, kalau saat itu aku tidak menemukannya di sana, aku tidak akan pernah melihatnya lagi.” Katanya dengan air mata yang terjatuh dipipi mulusnya.

“Dia menitipkan banyak sekali surat permohonan maaf — videonya yang memperlihatkan dia baik-baik saja, walaupun — itu bohong.” Air matanya semakin deras, kalimatnya terpatah-patah karena isakan.

“Udah ya, kalau ngga kuat. Kamu ngga usah cerita ke aku. Ngga apa.” Kata gue, mengusap pundaknya — mencoba menenangkannya.

Can I hug you? Katanya, satu pelukan bisa menenangkan?” Izinku, si dia mengangguk tanda memperbolehkan gue untuk memeluknya.

Dan Wonwoo ini sangat kuat, dia menceritakan habis pria dari masa lalunya kepada gue yang notabene adalah orang asing untuk hidupnya.

Disinilah gue, di rumah minimalis dua lantai. Rumah keluarga Jeon, Bunda Jeon mempersilahkan gue masuk sembari menopang Wonwoo untuk berjalan memasuki rumah.

“Mau langsung ke kamar aja?” Kata Bunda Jeon kepada anaknya. Wonwoo tersenyum dan menganggukkan kepala, sedangkan gue masih berdiri, menunggu aba-aba untuk diminta duduk atau diusir.

“Ehem. Mingyu?” Tanya seorang pria paruh baya yang menghampiri gue.

“Terima kasih sudah bertanggung jawab dengan apa yang telah kamu perbuat.” Lagi-lagi ucapan terima kasih yang ngga pantes gue terima.

“Saya ngga pantes dapet ucapan terima kasih, Pak. Saya lebih pantes dimaki.” Jawab gue jujur.

“Tidak, saya tahu itu adalah musibah. Kamu tidak sengaja, saya dan Bunda sudah memaafkan kejadian tersebut. Bagaimanapun, kamu tetap bertanggung jawab untuk menjaga Wonwoo, dan saya sangat bersyukur akan hal itu. Terima kasih.” Jelasnya. Ngga, gue masih belum pantes dapet ucapan terima kasih.

“Saya akan tetap mengusahakan donor kornea mata untuk Wonwoo, Pak. Bapak tidak perlu khawatir.” Gue sedang meyakinkan diri gue sendiri kalau pendonor itu akan segera datang.

“Iya, tidak apa.” Kata Bapak Jeon dan menepuk pundak gue.

Kenapa gue mencelakai anak semata wayang dari keluarga baik ini? Dan apa yang harus gue lakukan untuk menebus kebodohan gue malam itu sembari gue menunggu pendonor? Itu yang selalu terlintas dalam pikiran gue, setiap hari.

“Mingyu, dipanggil Wonwoo, Nak. Kamu boleh ke kamarnya ya.” Pinta sang Bunda Jeon dan gue menurutinya.

“Hai.” Kata gue ketika membuka pintu.

“Hai, I know that's you. Kayaknya aku sudah hafal deh bunyi kaki kamu.” Sapa Wonwoo dengan senyumnya, yang kini sudah duduk di tempat tidurnya menyender ke headboard.

“Sini, Mingyu.” Gue segera menghampirinya.

“Kamu buka laci nakas atas deh. Itu album aku sama Igyu.”

“Aku boleh liat?”

Sure. Aku udah ngga bisa liat, kamu bantuin aku untuk liat, boleh?” Tanyanya.

“Sure.” jawab gue yakin dan betapa terkejutnya gue ketika melihat wajah pria itu yang mirip dengan wajah gue. WAW. 'I found my doublegangger and he was dead.'

“Ganteng kan?” Tanyanya. 'Ganteng, Won. Karena mirip gue.'

“He is, indeed.” jawab gue.

“Waktu sebelum insiden, aku liat wajah yang mirip sama dia. Makanya aku jalan dan ngga taunya malah ketemu kamu.” Katanya.

“Mungkin itu memang dia kali ya? Ngasih tau aku kalau memang harus ketemu kamu?” Tanyanya.

I don't know. Aku ngga percaya hantu. Anggep aja, kamu sedang berhalusinasi?” Tanya gue. Dia mengendikkan bahunya.

“Mungkin karena rindu?” Tanya gue.

“Someday, when you can see again, please take me to his 'house'. You know, that 'house'.” kataku.

Dia tersenyum, dan menganggukkan kepalanya yakin.

One day. Jadi, kamu jangan kemana-mana ya, Mingyu. Tetap jadi teman aku, sampai aku bisa melihat.” Katanya. Janji, gue sudah berjanji ngga akan pernah meninggalkan pria ini, kecuali bila dia yang muak dengan kehadiran gue dihidupnya.

3 bulan berlalu setelah gue mengantar Wonwoo pulang dari rumah sakit. Gue masih bekerja, selalu menyempatkan diri menemuinya. Saat gue datang, kadang dia sedang menunggu di teras, terkadang dia sedang membaca buku yang semakin sering gue belikan atau kadang berbicara sendiri sembari mengelus anabulnya — kucing yang gue adopsi 2 bulan lalu untuk menemaninya kala bosan. Wonwoo ini ternyata sangat menyukai kucing.

Wonwoo pengangguran sekarang, dia adalah editor di salah satu penerbit terkemuka di kota ini, tapi lagi-lagi karena gue impiannya hancur, pekerjaannya menghilang. Tapi gue ngga boleh terlihat putus asa, dia kini sudah bisa mengetahuinya. Kini dia sudah bisa membaca sekitarnya dengan mata bathinnya. Suatu hari dia berkata, “Mata bathin lebih tajam dari mata kita lho, Mingyu. Kamu ngga akan bisa bohong sama aku.” Dan dia benar. Gue tidak bisa berbohong kepadanya.

(— Sebulan lalu —

Sungguh gue sangat lelah hari ini, tapi gue harus ke rumah Wonwoo untuk membelikan titipannya, sedari pagi dia ingin sekali memakan pizza papperoni yang berada di dekat studio photo milik gue — well yeah, gue seorang photographer.

“Hai.” Kata gue ketika sudah sampai di teras rumahnya. Benar saja si dia sudah menunggu ditemani dengan anabul.

“Are you okay?” itu pertanyaan pertama darinya. Bahkan gue baru berkata 'Hai'.

“Ok kok, kenapa?” Tanya gue.

“Suara kamu kaya capek banget. Hari ini capek banget ya?” Tanyanya. Do you see that?

“Ngga kok— eh, iya sedikit.” Gue tahu, gue tidak akan bisa membohonginya.

“Aku bawain ini.” Kataku, menyodorkan plastik dengan isi kotak besar pipih dan dia sangat senang menghirup wanginya.

“Wah! Pizza? Kamu capek dan ke sini bawa pizza?” Tanyanya.

As your wish, your highness. Katanya kamu mau pizza tadi pagi?” Tanyaku.

“Ngga harus hari ini kalau kamu capek, Mingyu. There's a next time.” Katanya tersenyum, bangun dari duduknya, mengambil tongkat besi lipat andalannya dan berusaha sendiri masuk ke dalam rumahnya dengan membawa plastik yang gue bawa, sedangkan anabul kabur duluan masuk ke dalam.

“Sini.” Kataku, mendekap lengannya dan membantunya jalan ke dalam rumah.

“Aku hafal kalau di rumah, kamu duduk aja. Mau teh?” Tanyanya.

“Ngga. Kamu duduk aja.” Gue mengambil tubuhnya dan mendudukannya di sofa ruang tengah rumahnya. Gue mendudukkan badan gue di sampingnya dan meletakkan kepala di bahunya tanpa sadar.

“Leave me like this for 5 minutes.” kata gue. Jantung gue berdegup kencang sebenarnya, tapi badan gue sungguh lelah. Dan yang gue tahu sekarang Wonwoo sedang menegangkan badannya. Wajar sih, mungkin dia kaget dengan tindakan impulsif gue.

“Oke.” Suaranya mencicit. Kini tangan kirinya sudah mengelus lengan gue, sesekali mengelus punggung gue dan gue merasakan beban gue berkurang, gue sangat tenang dan harum tubuh pria ini sangat addictive untuk gue. Dan tubuh Wonwoo mulai lebih santai. Gue tertidur saat itu. —)

Gue sudah berada di kamarnya, menemaninya membaca buku baru yang tadi gue bawa, sedangkan gue sibuk memilah-milah foto yang akan gue edit.

“Penasaran deh Mingyu sama hasil foto kamu.” Katanya. Jantung gue langsung terjatuh ke perut — kaget dan sedih bercampur menjadi satu.

“Nanti ya, Won. Sabar. Aku pasti akan nunjukkin foto-foto aku dan tempat-tempat yang kemarin kita datengin.”

Ya, gue dan Wonwoo menjadi lebih akrab, kita jadi sering jalan dan tentu saja gue selalu mengabadikan fotonya dan foto tempat kami singgah. Agar suatu hari Wonwoo dapat melihat tempat indah yang dia datangi — tentu dengan gue.

Hampir menghabiskan empat bulan bersama dengan pria berperawakan tenang ini, bohong bila gue tidak memiliki rasa. Gue perlahan demi perlahan mulai jatuh hati. Jatuh pada setiap kharismanya, tenggelam pada setiap senyumannya, melayang pada setiap tutur katanya. Gue jatuh cinta padanya dan gue sangat ingin dia melihat betapa mata gue selalu mengagumi wajah tampan nan cantiknya.

Ponsel gue berdering, gue izin keluar kamar untuk mengangkat telefon itu. Tertera nama Mr. Choi Seungcheol.

“Mingyu, gue udah dapet donor kornea yang cocok buat Wonwoo.” tanpa basa-basi pria diseberang sana memberikan kabar gembira untuk gue.

“Serius, bang?”

“Beneran. Lo bisa ke rumah sakit within this week. Kita lagi check korneanya juga.” kata pria di seberang sana, kakak sepupu gue yang kebetulan juga adalah dokter mata terkenal.

“Kabarin gue, please. Gue ngga akan kasih tau ke Wonwoo dulu sampe pasti.”

“Kali ini, please jangan PHP-in gue.” Kata gue yakin.

“Iya, Ming. Semoga ini beneran mukjizat buat Wonwoo. Gue kabarin lagi nanti.” dia segera mematikan sambungan kami.

Dan di sinilah gue, lagi-lagi di rumah sakit. Setelah menerima telefon dari sepupu gue minggu lalu, kornea yang dimaksud ternyata memang cocok dan Wonwoo sudah berada di rumah sakit ini sekitar 2 hari untuk melakukan pemeriksaan, sedangkan gue baru datang hari ini karena ada pekerjaan di luar kota yang tidak dapat gue elak.

“Mingyu?” Tanya pria itu ketika mendengar pintu rumah sakit bergeser.

“Yup!” Jawab gue sembari memasuki ruangan VIP itu dan memberi salam kepada ke dua orang tuanya. “Pak, Buk.” Kata gue sambil menunduk.

“Capek ya baru pulang kerja langsung ke sini?” Bisik Pak Jeon menepuk bahu gue, tepukannya selalu memberi gue sedikit tenaga tambahan untuk melanjutkan hari gue yang cukup melelahkan ini.

“Kamu dari Pulau Jeju langsung ke sini?” Bisik Bu Jeon yang tentu gue jawab dengan anggukan.

“Ngga usah bisik-bisik, aku bisa denger lho! Aku buta bukan tuli.” Keluh pria di tempat tidur itu, gue tertawa pelan dan menghampirinya.

“Hai, pangeran. Gimana? Sudah cek semuanya?” Tanya gue mengambil tangannya yang sedang menggapai udara mencari keberadaan gue — mungkin.

“Hehe. Udah di cek semua, katanya besok aku bisa dioperasi, Mingyu.” Katanya senang. Kini senyumnya semakin mengembang walaupun maniknya masih meredup.

“Kamu besok di sini kan?” Tanyanya.

“Pasti.” Jawab gue yakin.

“Besok, aku mau kamu menjadi orang pertama yang aku lihat. Stay with me?” tanyanya sembari meraba wajah gue. Tak dapat gue bendung air mata bahagia ini ketika dia berkata bahwa ingin melihat gue sebagai orang pertama saat besok dia bisa melihat lagi.

“Kok nangis?” Tanyanya ketika air mata gue mengenai jari lentiknya yang masih ada di wajah gue.

“Seneng.” Kata gue, memegang tangannya seakan berkata untuk tidak melepaskan sentuhannya, dia menyeka air mata gue. Si dia tersenyum dan gue siap terikat dengan senyuman itu selamanya.

“Doain besok lancar ya?” Pintanya.

Selalu Wonwoo. Gue selalu mendoakan lo disetiap doa yang gue panjatkan, untuk kebahagiaan lo. You deserve the world. Lo harus bahagia dan gue akan membawa itu untuk lo. Gue janji.

Gue merasakan tangan lembut mengelus surai rambut gue saat gue sempat tertidur tadi. Gue mengelus lembut tangan yang sedari tadi mengelus kepala gue, seakan menghipnotis gue untuk tetap tertidur.

“Eh, kebangun ya?” Tanyanya.

“Ngga kok, malah makin ngantuk!” Kata gue jujur yang dibalas senyumnya.

“Rambut kamu halus, Mingyu.” Katanya.

“Dan ini bukan pertama kalinya kamu ngomong gitu.” Kata gue.

“Ya karena memang sehalus itu. Kamu pakai shampoo apa? Aku mau pake shampoo yang sama.”

“Nanti kita belanja bareng ya?” Kata gue. Posisi gue masih dikursi dan menidurkan setengah dada gue diranjang rumah sakit yang ditempati Wonwoo.

“Iya, setelah belanja, aku mau lihat ikan.” Katanya.

“Akuarium?” Tanya gue sembari menegakkan tubuh gue sempurna, tanda gue sedang excited.

“Iya, akuarium. You like it?

“Yes, I love it.” jawab gue kembali ke posisi awal, mengambil tangan Wonwoo dan memintanya untuk tetap mengelusnya.

“Kamu tidur di sini?” Tanpa disadari malam datang dan gue masih ada di sebelahnya. Gue bahkan ngga mau meninggalkannya untuk sekedar makan, kalau saja kakak sepupu gue tidak datang dan menjewer gue.

“Iya. Papa sama Bunda kamu datang besok sebelum operasi ” kata gue.

“Mingyu, terima kasih ya.” Katanya. Lagi-lagi kalimat terima kasih yang gue belum pantas dapatkan. Wonwoo, jangan bilang terima kasih lagi. Cukup. Gue senang bisa mengenal lo seperti ini.

“Iya, cukup ya bilang makasihnya.” Kata gue.

“Besok akan semakin banyak terima kasih.” Kata dia.

“Kalau gitu, mulai sekarang 1 kali ucapan terima kasih you have to grant my wish.”

“Seperti apa?”

Don't know, aku belum ingin apapun selain kamu sehat.”

“Aku sehat, Mingyu.”

“Iya, kamu sehat, Wonwoo.” Aku izin meninggalkannya untuk membersihkan badanku yang lengket. Karena aku langsung ke rumah sakit dari Pulau Jeju untuk keperluan pekerjaan.

“Ngomong-ngomong, badan kamu ngga papa?” Tanyanya tiba-tiba setelah gue keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri dan hanya berbalut kaos hitam dengan sweatpants. “Sakit ngga tidur kaya tadi?”

“Ngga kok.” Jawab gue, berbohong tentunya. Badan gue super rontok.

“Malam ini, kamu mau tidur di sini?” Tanyanya menepuk sebelah tempat tidurnya.

“Badan aku besar, Won. Jangan ngejek.” Kata gue.

“Cukup Mingyu, kita tidur miring. Lagian aku ngga pake infusan. Jadi kamu ngga harus takut kelilit.” Katanya sambil bercanda. Padahal bukan kelilitnya yang gue takuti, tapi jatuh semakin dalam.

“Kalau di sofa kata Papa kaki kamu kelipet. Kamu setinggi tiang ya?” Candanya.

“Enak aja!” Kata gue menjawil hidungnya.

“Haha bercanda aku, sini tidur di sini.” Ajaknya sembari menepuk tempat kosong di sebelahnya. Kini Wonwoo sudah bisa bercanda. Entah karena terlalu sering bercanda dengan gue atau memang perasaannya sudah jauh membaik.

Gue menghampirinya dengan degupan jantung yang cukup kencang, gue memberanikan diri naik ke kasur rumah sakit yang cukup kecil itu — buat gue.

“Tau ngga, kata orang jarak segini tuh bisa bikin kita lebih deket.” Katanya. Ya, jelas. Deket banget malah. Gue bahkan bisa menghirup wangi shampoo dan sabunnya dari jarak segini. Gue hanya menjawab dengan deheman.

“Kamu gugup ya? Kok jantung kamu cepet banget?” Tanyanya.

“Udah tidur, kok malah mikirin orang?” Tanya gue, mengalihkan pembicaraannya.

“Ya karena kedengeran, Mingyu.” Katanya menyentuh dada kiri gue yang langsung gue tepis dengan menggenggam tangannya.

“Gini aja.” Kata gue menarik tangannya untung memeluk pinggang gue. Wonwoo, selalu membuat gue melakukan hal-hal di luar nalar. Kadang gue kaget sendiri. Dan kali ini gue tidak kaget sendirian, karena si dia pun merasakan hal yang sama. Kini pria manis di hadapan gue ini sedang Cegukan dan menutup mulutnya.

Take a sit, minum. Kok bisa cegukan sih?” Tanya gue, jahil. Dia langsung meminum habis minuman yang gue berikan dan kembali ke posisinya.

“Besok kamu periksa ke dokter jantung, Mingyu.” Katanya.

“Kayaknya kita harus ke sana bareng.” Kata gue dan langsung meletakkan telinga gue di dada kirinya. Dia hanya terdiam, pipinya merona, dan langsung pura-pura tidur, membelakangi gue yang masih duduk. Lucu banget. Gue benar-benar jatuh sejatuh jatuhnya pria jatuh cinta.

“Masih boleh tidur di sini ngga?” Tanya gue yang di balas oleh anggukan darinya, masih membelakangi gue. Segemas itu Jeon Wonwoo ini. Aku langsung merebahkan tubuhku di sampingnya dan dia langsung berbalik ke arahku.

“Mingyu.”

“Hmm?”

“Terima kasih ya.”

“One thanks one wish from me, remember?” tanya gue.

“Lupa!” Katanya, lalu mendekat ke arah gue, dan malam ini biarkan gue mendekapnya.

Pagi ini, di kamar Wonwoo sudah ada Bu Jeon yang membangunkan gue dengan tenang. Tapi tampaknya hanya gue yang terkejut, karena kedua orang tua Wonwoo tampak biasa saja.

“Bu Pak, baru dateng?” Tanya gue.

“Iya, baru. Enakkan tidur di sana kan daripada di sofa?” Goda ayah Wonwoo itu, gue langsung menunduk dan menyembunyikan muka gue yang merona — malu.

“Sudah sarapan?” Tanya gue.

“Sudah, ini Bunda bawain Nak Mingyu sarapan. Sarapan Wonwoo juga sudah datang.” Kata wanita paruh baya itu

“Terima kasih, Bu.”

“Jangan sungkan, Nak.”

“Operasinya jadi jam 1 siang ini?” Tanya Pak Jeon.

“Jadi, Pak. Nanti jam 10 dokter akan kunjungan sebelum Wonwoo persiapan operasi.”

“Gugup ya, Mingyu?” Tanya ibu Wonwoo itu.

“Sedikit.” Jujur gue. Namun gue selalu merapalkan kalimat 'all is well' jadi, gue yakin semua akan baik-baik saja.


Sudah terhitung satu jam Wonwoo ada di ruang operasi, Mingyu memainkan jemarinya. Bukan karena gugup perihal operasinya, namun hasil dari operasinya. Merapalkan doa agar korneanya cocok sehingga Wonwoo bisa melihat lagi dan nyaman dengan kornea barunya, hanya itu yang ada dipikiran Mingyu siang itu. Tak lama, kakak sepupunya keluar dengan satu dokter lainnya.

“Gimana, Bang?” Tanya Mingyu langsung menyerangnya.

“Aman, Gyu. Semua lancar, Bapak dan Ibu Jeon. Kita tinggal manunggu Wonwoo sadar, kemudian akan kita bawa ke kamar rawatnya ya.” Kata Choi Seungcheol, dokter mata terkenal se-Korea Selatan. Ucapan terima kasih yang orang tua Wonwoo ucapkan, begitu pula dengan Mingyu yang memeluk kakak sepupunya sambil menangis.

“Hei! Jangan nangis, jelek! Everything is gonna be okay, Mingyu!” Kata kakak sepupunya dan meninggalkannya bersama kedua orang tua Wonwoo.

“Syukurlah, Nak Mingyu. Terima kasih.” Kata sang ibu memeluk Mingyu, menangis bahagia.

'Rasanya kalimat itu masih belum pantas gue terima.' gumam Mingyu.

Menunggu Wonwoo sadar membutuhkan waktu yang lumayan panjang, namun saat ini sang pasien sudah di kamar rawat inapnya. Mingyu masih setia menunggunya terbangun dengan memegang tangan Wonwoo yang di infus dengan lembut.


Tanganku merasakan usapan lembut yang kian lama kian melambat, wangi tubuhnya, belaiannya, aku sudah dapat menjawab dia siapa — Kim Mingyu. Dia menepati janjinya untuk menungguku dan menjadi orang pertama yang aku temui saat aku dapat melihat lagi dan di sinilah dia.

Igyu, dia sangat lembut selembut dirimu tapi dia bukan kamu. Dia sangat lucu, tawanya sehangat tawamu, namun dia bukan kamu. Igyu, kalau nanti aku berpaling darimu kepadanya, restui kami ya? Semoga dia orang yang kamu kirimkan untuk menemani kesendirianku. Igyu, you will never be replaced aku berjanji. Tapi, biarkan dia mengisi sisi kosongnya ya? Igyu, aku sangat senang bersamanya. Rasanya, hatiku dapat melihat dunia walau mataku gelap gulita. Dia selalu menjadi mataku, dia menceritakan semua yang dia lihat, membuatku membayangkan indahnya. Igyu, bila nanti aku bisa melihat lagi, dan aku hanya melihat ke arahnya, kamu ikhlaskan? Karena yang ingin aku lakukan kali ini adalah berlari ke arah pria ini dan memeluknya. Mengucapkan terima kasih sebanyaknya karena selalu menemani 4 bulan ku di dalam gelap. Dan berjanji akan membalas kebaikannya dengan sayang yang kumiliki.

“Mingyu?” Satu nama, hanya satu nama yang kupanggil.

“Yaa? Di sini.” Katanya, memegang tanganku.

“Oh, di sini. Hehe.” Cengirku.

“Gimana? Matanya ada yang gatel?” Tanyanya panik. Selain hafal langkah kakinya, kini aku sudah hafal seluruh nada suaranya, dari nada suaranya yang bahagia, excited, senang, sedih, lelah dan nada-nada lainnya.

“Ngga, cuma absen.”

“Kamu tuh!” Katanya, menjawil hidung bangirku — kebiasaannya.

“Perbannya boleh dilepas kapan? Aku mau liat kamu.” Kataku tak sabar.

“Sore, pas Bang Seungcheol kunjungan. Sabar ya?” Katanya menepuk tanganku yang kujawab anggukan.

“Bun, Pa. Kok aku bangun kalian ngga excited sih?” Dumelku. Aku mendengar kedua orang tuaku berbicara dikejauhan, aku yakin mereka sedang membicarakan sesuatu sambil memakan buah, karena kudengar suara pisau mengupas sesuatu.

“Gimana mau excited, nama pertama yang dipanggil Mingyu? Papa kamu manyun nih, Won.” Kata bunda ku dengan nada jahilnya.

“Uwuwuw.. mana yang tua-tua ganteng?” Kataku menepuk angin, mencari ayahku, aku tahu dia sedikit berlari dan memelukku.

“Hehe. Maafin Wonwoo ya, Pa.”

“Ngga ada yang perlu kamu minta maafin, kamu ngga salah.” Katanya. Selalu seperti ini. Aku menyayangi mereka. Sungguh.


“Selamat sore. Mana ya pasiennya?” Tanya Choi Seungcheol yang in charge untuk perawatan dan operasi mata Wonwoo.

“Selamat sore, dok.” Sapa suara hangat dari mulut Wonwoo.

“Gimana kabarnya?” Basa-basi.

“Baik, dok. Hehe.”

“Pasti ngga sabar mau dibuka ya perbannya?” Tanya Seungcheol yang di balas anggukan yakin oleh Wonwoo.

“Kita buka ya.” Kata Seungcheol membuka perban dimata Wonwoo dengan sangat hati-hati dan mengajak Wonwoo mengobrol, bertanya segala macam hal yang tidak penting dan perban terlepas sempurna. Wonwoo masih memejamkan matanya, menunggu sang dokter memberikan aba-aba.

“Won, yuk buka matanya pelan-pelan. Mingyu udah tepat di hadapan kamu.” Kata Seungcheol.

Perlahan namun pasti Wonwoo membuka matanya, melihat satu pria tampan bermanik elang dengan gigi taringnya yang mengintip ketika dia sedang tersenyum, dan hidung mancung dengan tahi lalat diujungnya.

“Mingyu?” Tanyanya yang dijawab anggukan yakin dari pria yang berada didepannya.

“Mingyu!” Katanya lagi, Wonwoo melayangkan tubuhnya kepada pria yang terus menerus dia panggil.

“Iya, Wonwoo. Ini Mingyu.” Kata pria itu meyakinkan Wonwoo sembari mengelus surainya.

“Mingyu?” Tanya Wonwoo, melepas pelukannya dan meraba wajah pria itu, persis dengan wajah pria yang dia raba selama 2 bulan belakangan ini.

Igyu, aku sudah melihat Mingyu. Igyu, Mingyu mirip dengan wajahmu namun berbeda. Igyu, aku bisa melihat lagi. Igyu! Aku sangat bahagia.

“Kok bengong?” Tanya Mingyu ketika Seungcheol sudah keluar dengan kedua orang tua Wonwoo dan meninggalkan mereka berdua.

“Kamu mirip Igyu. Aku ngga nyangka.”

“Jadi inget Igyu?”

“Inget terus ngga pernah lupa.” Jawab Wonwoo lantang. Manik rubahnya kembali bersinar. Manik yang sudah Mingyu cintai walaupun sempat meredup.

“Aku?”

“Kamu? Mingyu.” Kata Wonwoo lagi.

“Tapi, kamu beda sama Igyu. Beda banget.”

“Won?” Tanya Mingyu.

“Ya?” Jawabnya.

“Kamu punya hutang.”

“Grant your wish? Sure. What do you need?”

“Kamu.”

“Gimana?”

“Jadi, pacar aku yuk!”

“Kamu?”

“Iya, aku.”

“Mingyu?”

“Mau?”

“Permintaan kamu apa?” Taya Wonwoo lagi.

“Kamu jadi pacar aku?” Tanya Mingyu, “Tapi aku ngga menjanjikan selamanya karena selamanya terlalu fana. Tapi, aku menjanjikan berusaha untuk selalu berada disisi kamu saat apapun keadaan kamu. Semoga masih dibolehin.”

“Aku akan pergi sampai kamu minta—” kalimat Mingyu terpotong.

“Jangan, jangan pergi walaupun aku yang minta. Aku masih butuh kamu dan selalu.” Jawab Wonwoo.

“Hah?”

“Iya, Mingyu. Ayok, pacaran sama aku!”

“Tapi aku kamu ngga boleh cemburu sama Igyu, karena aku ngga akan bisa lupain dia.” Syarat dari Wonwoo.

“Asal kamu sayang sama aku dan ngga nganggep aku Igyu, kita lanjutin prosedur pacaran ini.” Kata Mingyu jahil.

“Lanjutin dong! Aku sayangnya sama kamu, sayang Igyu lewat doa aja.”

“Aku ngga?” Tanya Mingyu jahil. Sebenarnya Mingyu tidak sungguhan cemburu. Itu hanya bercandaannya saja. Dia senang melihat Wonwoo frustasi seperti saat ini.

“Kamu selalu juga. Ih, Mingyu!” Kata Wonwoo, memeluk Mingyu lagi.

“Jadi, pelukannya ngga mau dilepas?”

“Ngga mauuu. Mau peluk kamu terus.” Kata Wonwoo tertawa riang.

“Iya, hahaha. Aku di sini buat kamu.” Kata Mingyu, melonggarkan pelukan mereka dan melihat manik bercahaya milik Wonwoo yang baru pertama kali ia lihat.

“Wonwoo. I love you.”

“Love you too, Mingyu”

“Mingyu?”

“Ya?”

“Terima kasih.”

“Everything for you, your highness.” kata Mingyu mengecup kening Wonwoo.

“Sayang kamu.” Mingyu melayangkan kecupannya di pipi kanan dan kiri.

“Selalu sayang.” Mingyu mengecupi ujung hidung pria disampingnya itu.

“Sayang, Mingyu.” Balas Wonwoo yang kemudian memajukan wajahnya dan mempertemukan belah bibir mereka, Mingyu membalasnya dengan ciuman hangat. Membawa tubuh Wonwoo ke haluannya dan menciumnya kembali.

Igyu, aku bahagia. Igyu, aku ingin hidup lebih lama dengan Mingyu. Igyu, aku kini bahagia. Kamu juga bahagia ya? Terima kasih karena menemuiku hari itu. Terima kasih mendatangkan Mingyu. See you in another life, Igyu.

— Fin —

SOMETHING NEW


Part of Reunited Universe
No tw, just enjoy the rides

Wonwoo dan Mingyu kini sudah menunggu untuk dipanggil namanya di depan salah satu dokter umum di rumah sakit yang disarankan Dikey — tempat pacarnya bekerja.

“Aku ngga pa-pa tau.” Kata Wonwoo sembari memainkan jemari Mingyu yang ada digenggamannya.

“Iya, ngga apa-apa. Tapi, udah 5 hari sakitnya ngga sembuh-sembuh.”

“Ihs!”

“Tuan Kim Wonwoo. Atas nama Tuan Kim Wonwoo.” Mingyu dan Wonwoo langsung berdiri dan mengikuti perawat yang tadi memanggilnya.

Mereka masuk ke dalam ruangan serba putih dengan berbagai macam jenis tengkorak dari plastik, dan segera duduk di kursi yang tersedia, di seberang salah seorang dokter muda yang direkomendasikan kekasih sahabatnya itu.

Wonwoo menceritakan keluhannya pada sang dokter, termasuk bahwa dia salah satu pria yang kebetulan bisa mengandung. Dokter muda itupun bertanya tentang beberapa hal.

“Oh, Mas Wonwoo ini pernah hamil?” Tanyanya.

“Iya, Dok.” Jawab Wonwoo yang masih menggenggam tangan Mingyu.

“Boleh kita cek dulu ya? Silahkan berbaring.” Kata dokter muda yang memiliki bordir biru bertuliskan 'Jinyoung Azriel' di dada kirinya.

Dr. Jinyoung berjalan meninggalkan Wonwoo dan membisikkan sesuatu kepada sang perawat, yang dibalas oleh anggukan mengerti dari sang wanita yang menggunakan seragam hijau muda itu.

“Mas Wonwoo, dari keluhannya kayaknya bukan sakit. Tapi, ini coba kita test dulu ya. Sus, tolong kasih ke Mas Wonwoo.” Seorang suster datang menghampiri Wonwoo dan memberikan kotak pipih dengan bertuliskan merek terkenal salah satu alat test kehamilan pada pria berkacamata itu.

“Hah?” Tanya Wonwoo kaget, Mingyu hanya tersenyum melihat ekspresi sang suami. Dia hanya berharap apa yang dia impikan menjadi nyata, memberikan Yulna seorang adik.

“Mas Wonwoo, yuk! Saya antar ke kamar mandi.” Ajak sang perawat.

Sedangkan di ruangan praktik, terlihat Mingyu yang sedang penasaran. “Memang Wonu hamil, dok?” Tanya Mingyu ketika Wonwoo meninggalkan ruangan itu.

“Dari yang dijabarkan seperti itu, kalau di trismester awal memang begitu. Jadi manja juga ngga, Mas?” Tanya Dokter Jinyoung itu.

“Haha. Iya, jadi manja banget dan maunya aneh-aneh. Sampai bingung gimana nurutinnya.” Jawab Mingyu polos.

“Gitu ya? Haha. Semoga dugaan saya benar ya. Kalau dugaan saya benar, nanti saya rujuk ke dokter kandungan, agar di cek lebih lanjut dari umur kandungan dan keadaan janinnya.” Jelas Dr. Jinyoung yang dibalas anggukan oleh Mingyu.

“Anak pertama dulu ke dokter kandungan mana, Mas?” deg Mingyu kaget. Di mana? Kenangan Wonwoo hilang mulai muncul satu persatu. Menyesakkan dadanya.

“Hmm.. Inggris, Dok.”

“Owalah, jauh ya. Tapi memang untuk case m-preg di sana memfasilitasi sih ya? Saya sering denger.”

“I—iya.” Mingyu berusaha tersenyum.

“Ini dok, hasilnya.” Kata suster memberikan benda pipih panjang itu ke Dr. Jinyoung dan mempersilahkan Wonwoo untuk duduk kembali di sebelah Mingyu.

“Alhamdulillah. Selamat ya, Mas Mingyu dan Mas Wonwoo.” Senyum dokter muda itu, “Seperti yang saya jelaskan tadi, saya kasih rujukan ke dokter kandungan ya.” Senyuman tak lepas dari dokter itu.

Mingyu memeluk suaminya dengan penuh kasih sayang. Mengelus surainya dan berkali-kali mengucapkan kalimat syukurnya. Wonwoo yang masih tidak mengerti hanya menerima pelukan Mingyu dan mengelus punggung kakaknya itu.

“Positif, Nu. Kamu hamil dan Yulna akan punya adik.” Kata Mingyu berbisik. Wonwoo membelalakkan matanya — kaget, namun ikut bahagia karena melihat Kak Mingyunya yang sangat bahagia hingga meneteskan air matanya.

'Well, hello again another kacang mede. It's me Wonwoo, your papa. And he's your ayah. We will take care of you. We promise. See you around, soon.' gumam Wonwoo sembari memegang perutnya yang masih terlihat kempes itu.

'Untuk kali ini, biarin aku jadi ayah yang baik, siaga dan bertanggung jawab ya, menjaga kamu, Yulna dan kacang mede baru kita. Sayang kamu banget, Wonu. Sehat-sehat ya, Sayang. Kamu bawa nyawa aku yang lainnya kali ini.' gumam Mingyu menatap Wonwoo sayang dan mengelus punggung suaminya itu.

Selamat datang new comer

Pampering Time


Part of Reunited Universe
tw: clingy, fluff, explisit matured content, blowjob, foreplay.

Sebenarnya sudah empat atau lima hari ini badanku terasa tidak biasa, dari pusing yang terkadang menyerang ngga karuan hingga membuatku mual-mual atau suhu badan yang naik lalu turun lagi. 'Apa aku kena typus ya?' Tapi, semua akan kembali baik-baik saja ketika Kak Mingyu memelukku dan menghujami wajahku dengan kecupan-kecupannya. 'Apa aku kurang belaian ya?' Belaian mana sih yang kurang? Kayaknya itu bukan jawaban yang tepat. Googling? semua jawaban di situs pencarian itu membuatku takut. Sepertinya aku tidak akan ke rumah sakit kalau begitu ceritanya.

Kini aku sedang berada di ruang tengah karena harus menyelesaikan pekerjaanku yang terbengkalai dua hari ini. Banyak e-mail masuk dan juga group whatsapp yang tak henti-hentinya menyala. Semakin pusing saja kepala ini dibuatnya.

“Lho? Kok kamu di sini?” Suara kaget suamiku yang baru datang membuatku sama kagetnya dengan si dia dan mengalihkan pandanganku ke arah suaranya.

“Kayaknya sakitku makin parah deh, jam setengah 12 aku halusinasiin Mingyu.” Kataku sembarangan sambil memegang kepalaku.

“Serius? Ke dokter ya?” Tanya suara itu yang semakin mendekat, meletakkan telapak tangannya di jidatku dan merasakan suhu tubuhku. Aku? Tentu masih tercengang. Harusnya, suamiku itu pulang besok pagi bukan malam ini.

“Eh, kamu tuh beneran Ayah? Bukan halusinasi?” Tanyaku.

“Ya bukanlah, ini lho suamimu buru-buru pulang. Ngga bisa kerja akunya.” Kata pria berbadan tegap itu langsung memeluk tubuhku. Terasa sangat nyata, atau memang ini nyata? Sudahlah, kupeluk saja.

“Kok kamu malah kerja?” Tanyanya.

“Dua hari aku tinggalin, ngga enak sama anak-anak. Kasian.” Kataku meminum teh jasmin madu yang dibuatkan oleh si dia beberapa saat yang lalu. Dia langsung mendudukkan badannya di sampingku.

“Masuk yuk! Kamu istirahat, biar aku bebersih.” Ajaknya, kini badanku sudah berada di pelukannya dengan kepalaku yang sudah berada di dadanya. Mengusak-ngusakkan rambutku ke dadanya — seperti kitten, manja.

“Ngga usah mandi sih, Kak. I like your scent and want to hug you until morning, boleh?” Tanyaku. Tumben banget, aku adalah manusia yang selalu ngomel sama si dia kalau pulang langsung main sama Yulna dan ngga bersih-bersih dulu. Tapi, malam ini kayaknya I will give him an excuse karena aku benar-benar ingin menikmati wanginya yang sudah tercampur dengan keringat itu. Soothing me more.

“Tapi akunya keringetan, sayang. Dan gerah.” Katanya sembari mengelus suraiku.

Its okay, Honey. Kan di kamar pake AC.” Kataku insist.

“Yaudah, tapi besok pagi aku jangan diomelin lho ya, janji?” Tanyanya. Dia memang selalu kesel kalau aku omelin, katanya dia merasa seumuran dengan Yulna.

“Promise.” jawabku sambil tersenyum dan mengecup bibirnya sekilas, si dia membalas kecupanku.

“Masuk, yok! Kamu harus bobok, nanti panasnya makin tinggi.” Kata Kak Mingyu yang langsung melepaskan pelukannya dan mengangkat tubuhku.

“Udah ngga panas aku, kak.” Kataku dengan suara halus ketika si dia meletakkan tubuhku di atas tempat tidur yang biasa kita gunakan. Kak Mingyu itu langsung membuka pakaiannya dan segera membaringkan tubuhnya di sebelahku. Iya, dia memang selalu melepas bajunya dan hanya memakai boxer atau kadang hanya celana dalam saja. Memang kebiasannya.

Aku tahu betapa melelahkan perjalanannya hari ini, tapi aku malah menuntutnya to pamper me more. “Kenapa, sayang?” Tanyanya ketika tubuhku sudah memeluknya dan menenggelamkan wajahku di ketiaknya.

“Nothing, just love this spot.” si dia mengecupi pucukku berkali-kali. I feel so calm right now.

“Capek banget ya, Kak?”

“Lumayan, kamu mau minta apa?” Dia selalu tahu yang bahkan belum pernah terfikirkan olehku.

“Ngga jadi. Tidur aja.” Kataku menggelengkan kepalaku.

“Besok pagi aja ya, sayang. Kalau angetnya udah turun. Tapi aku mau request.” Katanya, sudah tentu dia tau apa yang aku mau in this rate.

“What kind of request?”

“Ke dokter. Abis kita 'olahraga' pagi, kita ke dokter.”

“Kak~” rengekku. Literally merengek.

“Ngga ada. Yuk, bobok! Sayang kamu.” Katanya mengecup pucuk kepala gue.

“Hmm.. love you, more.


Sesuai dengan janji semalam, seperti inilah kronologisnya pagi ini. Kim Wonwoo bangun pagi, dan mulai mengecupi seluruh tubuh Kim Mingyunya ini yang sedari semalam belum mandi dari perjalanannya pulang ke Jakarta dari Jogja.

Si Mingyu ini yang adalah gue tentu saja terbangun dari tidurnya karena sentuhan-sentuhan bibir hangat kenyal. Baju gue memang selalu gue lepas ketika ingin tidur — sama halnya dengan semalam — dan pagi ini tubuh gue yang tak terlapisi apapun sudah mendapatkan sentuhan spesial dari pria cantik yang sudah resmi menjadi suami gue dari dua tahun lalu. Tidak hanya kesadaran gue yang bangun namun yang hal yang lainpun bangun — seharusnya tertidur.

“Are you awake?” tanyanya dengan wajah sayu yang sangat menggoda gue.

“Hmm.” Jawab gue dengan suara serak bangun tidur. “Ngapain disitu?” Tanya gue ketika mendapati si dia sudah ada di atas tubuh gue, tersenyum jahil.

“Mau ke dokter ya berarti?” Tanyaku menggodanya, dan anggukan yang kulihat. Well hi, good morning little guy.

“I want on top.” pintanya. Tentu saja, With my pleasure, my prince.

Gue menyenderkan tubuhku di headboard, dan si dia naik di atas tubuh gue dengan tubuhnya yang kini tidak terbalut satu kainpun. Dia mulai menyium bibir gue dengan ciuman acak yang sangat menggairahkan pagi ini. Gue elus lembut pinggangnya menggunakan ibu jari dengan satu tangan dan tangan lainnya mulai menggerayangi tubuhnya perlahan. Desahannya tenggelam di dalam ciuman panas kami yang saling menuntut. Yang gue sangat tau, now he's very horny dan gue sangat menyukai pemandangan ini.

Si gue yang juga tak kalah nafsu karena terpancing olehnya, kini mulai mengecupi leher jenjangnya sembari menggodanya. Hisapan tanpa bekas tanda dan jilatan lembut yang membuatnya melenguh indah. Wonwoo melemparkan kepalanya ke belakang seakan memberi gue banyak akses untuk bermain di sana. Wonwoo mengambil tangan gue yang ada di pinggangnya untuk menyentuh tonjolan di dadanya, gue pilin tonjolan pink kecoklatan itu dan menghisap sisi lainnya, kini badannya membusung. Cantik banget. Suami gue secantik itu. Pagi ini, let me take him to heaven's clouds dan terbang to seventh heaven karena kenikmatan.

“Ah~” desahnya manja ketika gue masukkan satu jari ke lubangnya yang berada di antara benda kenyal miliknya yang semakin hari semakin kencang dan menggemaskan.

“Lagi ngga?” Tanya gue yang dijawab dengan anggukan, kini Wonwoo sedang menggigit bibirnya yang dihiasi dengan manik sayu yang malahan more and more turn me on — tanpa dia sadari.

“Nghhh.. Please, make it three.” Katanya ketika dua jari gue sudah dilahap oleh lubangnya.

“Oke. Dengan senang hati, sayang.” Kata gue berbisik menggodanya, menambahkan satu jari dan menusukkannya semakin dalam, mengocoknya — melakukan gestur masuk-keluar di bawah sana. Basah. Di dalam sana jelas sudah becek.

“Aangh! Kak, lick me.” kata si dia nakal yang kemudian merubah posisinya, wajahnya sudah berada di antara selangkangan gue dan mengulum kejantanan gue seakan milik gue itu adalah permen 'chupa chups' yang sesekali gue beli untuk Yulna bila tidak menemukan lolipop rainbow favoritenya. Pemandangan gue saat ini adalah lubang berkerut milik si dia yang sangat menggoda untuk gue jilat — dan ya, itu yang sedang gue lakukan, sesuai permintaannya. Desahan gue dan Wonwoo memenuhi kamar kami pagi ini. Gue yang mengerang, dia yang memintah lebih dengan suara desahan sensualnya.

“Okay.” katanya ketika sudah memastikan kejantanan gue berdiri tegak, membalikkan tubuhnya menjadi menghadap gue.

Wonwoo memposisikan sendiri kejantanan gue untuk masuk ke dalam lubangnya yang dapat gue katakan sudah basah banget.

“Ahhh..” desahnya ketika milik gue sudah masuk dan gue bantu dengan sedikit dorongan agar masuk total ke sana.

“Goyangin, kalau kamu udah siap.” Pinta gue. Dan itulah yang si dia lakukan.

Akan gue gambarkan lagi pemandangan gue sekarang. Wonwoo yang indah, desahan sensualnya yang bersautan dengan desahan gue, berada di atas gue and he rides me up and down randomly, with his lustful fox eyes, semakin lama semakin cepat.

Gue kocok kejantanannya yang semakin mengeras dan berkedut dengan acak hingga si dia berhenti dari kegiatannya “aanggh... kak, I want cum nghh.. haah.. wait” katanya menyerang bibir gue dan mengulumnya acak. Gue? Tidak memdengarkannya dan terus mengocok kejantannya hingga putihnya menyembur ke perut dan tangan gue dengan tubuhnya bergetar sangat sexy.

“Nghh. Aahh!” Desahnya lagi ketika dia masih memeluk gue dan sekarang biarkan gue yang melanjutkannya karena gue akan keluar sebentar lagi.

Too deep! Ngghh, Kak!” Desahnya. Yes, gue menumbuk sweet spotnya berulang kali, semakin dalam. Desahan dan kalimat-kalimat nikmat yang keluar dari mulut gue serta desahannya yang semakin tak terbendung. Putihnya keluar lagi berbarengan dengan gue yang keluar di dalam lubangnya — penuh.

“Penuh banget, kak. Aku mual.” Katanya ketika 'connection' kita sudah terlepas.

“Kamu bandel sih, godain aku.”

“Pengennya dari semalem tauk!” Jawabnya manja. “Tapikan kamu capek. Kasian. Hehe.” Cengirnya dan mengecup bibir gue dengan lembut dan gue balas ciumannya dengan sayang.

“Jadi ke dokter ya?”

“Ih iyaaa, bawel.” Katanya, memeluk tubuhku.

“Gendong ke kamar mandi, Kak. Capek.” Katanya.

Ya Tuhan, manja banget suami gue dan gue suka ini. Moment ini yang membuat gue semakin tergila-gila dengannya. I fall in love with him every day. More and more.

We Call it Destiny.


↳ Narasi 1 — Part of US universe ↳ sequel KATINGTENG

tw/cw: mention consecutive crash, author's pov

“Ini anak-anak KOAS pada kemana? Panggil semua ke sini!” Kata seseorang pria tinggi yang menggunakan snelli dengan bordir nama “Hee-chul Andreas” kepada seorang wanita yang menggunakan baju seragam hijau muda di hadapannya, wanita tersebut langsung berjalan secepat mungkin menuju ke suatu ruangan.

Sesampainya di ruang yang dia tuju, wanita yang memiliki profesi perawat ini langsung mengetuk pintu dan membukanya dengan terburu-buru. “Maaf untuk interupsi, anak KOAS sangat dibutuhkan di IGD saat ini.” Suaranya sedikit terengah, yang merasa anak KOAS segera berdiri dari tempat duduknya.

“Ada apa, Sus?” Tanya seorang pria berperawakan tinggi dengan dada bidang, berkacamata setengah melingkar dan berkulit putih pucat itu.

“Kecelakaan beruntun, dok.”

“Ya Allah.” Kata seorang pemuda tinggi lainnya.


“Capek banget gua, mau pingsan aja!” Kata pria yang menggunakan snelli dengan name tag “Jinyoung Azriel” yang ditempelkan di kantong kiri dadanya.

“Bukan lo doang, Nyong! Gue juga ini, mau patah rasanya leher gue.” Kata pria di sampingnya.

“Mending lo pada mandi, kita masih jaga malem.”

“Duh, gila lo, Nu! Lo kebanyakan ngegym apa gimana sih? Kok ngga ada capeknya?” Tanya pria yang bernama Jinyoung itu.

“Makanya, gue ajakin fitness tuh mau!”

“Lo juga fitness biar capek terus lupa kan sama dek mantan?” Tanya pria yang sedari tadi duduk malas di sofa.

“Jun! Lo mah malah diingetin, nanti anaknya nangis lagi, anjir!” Tegur Jinyong.

“Emang gue secengeng itu apa?” Tanya pria yang dipanggil Nu itu dengan mengerucutkan bibirnya. “Wajar kali gue belum move on, namanya juga baru setahun putus.” Katanya lagi.

“Lagian lo tuh ada-ada aja sih! Kalau lagi berantem tuh tolong dong itu mulutnya ngga usah ngeluarin kata-kata sial!” Tegur Jun — si pria yang tadi sedang duduk malas namun kini sudah duduk tegap di sofa.

“Namanya juga refleks, Jun!” Pembelaan dari mulut pria dengan dada bidang dan kulit putih pucat itu.

“Hadeuh! Tau deh, gue ngga ikut-ikutan. Mau mandi aja.” Kata Jinyoung berdiri dan meninggalkan Jun dan pria yang dipanggil Nu berdua di ruang istirahat yang disediakan untuk para dokter di rumah sakit itu.

“Sekarang—” kalimat Jun tergantung.

“Ngga usah dibahas! Abis lo mandi gue mau makan nasi kucing depan, gue laper.” Kalimat yang dibalas anggukan oleh Jun.

Seseorang membuka pintu ruang istirahat itu, “Guys! Han lagi ke sini, makan malem bareng! Nyong mana?” Tanya pria yang berperawakan seperti orang asing itu.

“Mandi, Josh.” Jawab Jun.

“Lo pasti belum mandi kan? Sumpah! Nama contact lo gue ganti jadi 'Lazy Boy' atau 'Calon Dokter Bau' di handphone gue.” Kata pria itu. Pria yang sedang mengeringkan rambutnya hanya tertawa.

“Tega sik lo, kampret!” Kata Jun, melempar bantal yang ada di sofa.

What the, bantal dokter too much iler.” Pria itu dapat menangkap bantal yang melayang itu dan melemparnya kembali.

“Wonwoo lagi mau makan nasi kucing.” Kata Jun, memberikan aba-aba dengan kepala ke arah pria yang tadi tertawa.

“Boleh. Kabarin aja kalau kalian udah kelar bebersih. Gue ke bawah dulu nemenin Han di Starbucks, keyh?” Kata pria itu, menutup pintu dan pergi menjauh.

“Han ngga sama Cheol kan ya? Gue takut nanyain Mingyu.”

“Ngga nanya lagi tadi. Lagian kalau iya sama Cheol, mau nanya kabar Mingyu juga ngga dosa kali, Nu.”

“Lo belum minta maaf jugakan sama Mingyu?” Kata Jinyoung yang sudah terlihat lebih segar.

“Harus? Kan dia juga salah, Nyong!”

“Hadeuh! Bahas mantan Nu terus, gue mending mandi!” Jun melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi yang berada di sebelah ruangan istirahat itu.

“Dia kan ngga selingkuh, cuma lupa sama janji. Waktu itu jugakan dia lagi sibuk ngurus magang dan lo nya emang in a bad mood gara-gara stress nyusun tugas akhir sama nyari tempat KOAS. Sekarang kan semuanya udah stabil, ngomong secara dewasa kan ngga salah. Udah 2023 lho ini, Nu.” Nasihatnya.

“Gue udah block dia di mana-mana kali, Nyong. Terus, gue juga udah hapus nomernya.” Kata Wonwoo melihat nanar ke arah telefon genggamnya. “Udahlah. Bahas Mingyu terus!”

“Yeu! Gue kasih tau juga, batu banget! Terserah Kak Wonwoo Jannata deh, aku follower mu, kak.”

“Taik!” Kata Wonwoo berdiri dari duduknya dan melempar handuknya ke wajah sang sahabat.


In another place


“Ajib! Ngga kelar-kelar gue baca berkas perkara! Bangke!” Gerutu seorang pria dari ruangan dengan meja yang dipenuhi oleh berkas. “Tau gitu, abis lulus gue ngga ikut lo langsung kerja, Ming!” Lanjutnya.

“Mau nganggur sampe kapan lo, Dik?” Tanya pria yang dipanggil Ming itu.

“Ya Allah, Ming. Wisuda aja belom ini kita!”

“Ya itu, sambil nunggu wisuda nyari duit. Lagian ini firma terkenal, Ka! Siwon Tandjung & Taeyeon Bramantoro atawa STTB. Wajar kan berkasnya ngga abis-abis?” Kata pria Ming itu meyakinkan temannya yang kini sedang breakdance mentalnya karena dihadapi oleh berkas-berkas perkara di hadapan mereka.

“Terserah lo! Lo-nya aja yang tiba-tiba ambisius setelah putus sama kakak tingkat.” Kata Dika santai sembari merapihkan berkas perkara yang sudah dia baca.

“Iya, daripada kepikiran terus.” Cicitnya.

Dika membelalakkan matanya, menyadari kesalahannya sembari menutup mulutnya. “Yah! Kambuh deh galaunya.” Katanya dengan suara yang dilembut-lembutkan, berusaha untuk menenangkan sahabatnya. “Mendingan kita beresin deh ini berkas, terus balik. Makan nasi kucing depan RS?” Tanya Dika.

“Ngga usah sok lembut sama gue, ngga cocok!” Kata pria Ming yang bernama lengkap Mingyu Pratama itu. “Gue mau makan masakan nyokap aja. Kasian nyokap gue, gue tinggal terus.” Tolak pria tinggi dengan kulit sawo matang itu.

“Oke. Kalau gitu, gue numpang makan di rumah lo aja.”

Pria yang bernama Mingyu itu langsung mengangkat benda pipih di sampingnya dan langsung men-dial sebuah nomor. Tak perlu mendengar nada sambung yang lama, orang di seberang sana sudah mengangkatnya.

“Halo, Gan?” Tanya suara wanita di seberang sana.

“Halo, Cantik!” Jawabnya.

“Kenapa kamu nelfon, tumben?” tanya wanita itu.

“Mama masak kan? Laper aku.”

“Yah, Dek. Mama tuh di 'dapur', lagi nyiapin buat cattering anaknya Aurel. Katanya lembur?” tanya sang mama.

“Iya, ini masih di kantor sih, ma.”

“Makan aja di luar ya, anak ganteng. Besok mama masakin. Maaf ya.”

“Ih, iya. Ngga apa, aku makan di luar sama Dika.”

“Oke, pulangnya hati-hati ya kamu. Jangan bengong!”

“OK. Sayang mama!” Katanya menutup sambungan tersebut setelah mendengar balasan dari sang mama.

“Makan nasi kucing depan RS deh!” Kata Mingyu kepada temannya yang sedang menggigiti pinsil kayu berwarna hijau.

“Sudah gue duga. Nyokap lo tuh lebih sibuk dari Ratu Elizabeth, lo lupa?”

“Lupa! Gue kira dia masih inget punya anak ganteng!”

“Dih, najis. Yaudah ayok! Kelarin setengah terus makan! Gue bisa gila, laper banget.” Kata Dika memegang perutnya yang rata.


Mobil Yaris 2020 Grey Metallic sudah terparkir manis di pinggiran jalan dengan dua pria di dalamnya yang kini sudah keluar dan berjalan ke arah gerobak penjual nasi kucing di atas trotoar itu, persis di seberang salah satu rumah sakit yang cukup terkenal dengan poliklinik yang terkenal sangat lengkap.

“Ming, lo pesen yang biasa aja kan?” Teriak Dika ketika sudah sampai di hadapan gerobak ibu penjualnya, yang dibalas oleh anggukan oleh pria yang dipanggil — menduduki salah satu meja kosong. Tanpa mereka berdua sadari ada 6 pasang mata yang langsung mencari keberadaan pria yang dipanggil 'Ming' itu.

Tak lama, “Eh, Kak Wonwoo?” Sapa Dika kaget ketika melewati salah satu meja panjang yang berisi 6 pria yang kini sedang berhenti dari makannya dan membeku. Sesungguhnya, dia juga terkejut melihat salah satu perawakan dari enam orang yang sangat dia kenal, berambut gelap, dan berkacamata.

Wonwoo gelagapan dan hanya mampu tersenyum ke arah pria yang tadi memanggil namanya. Pria tinggi yang sedang menyisir rambutnya dengan kemeja yang terlipat hingga siku di seberang meja Wonwoo langsung membalikkan badannya karena mendengar nama mantan kekasihnya disebut.

Manik mereka bertemu, saling bertatap beberapa saat adalah kejadian berikutnya. Mingyu membalikkan badannya seakan tidak melihat pria berkacamata itu di sana, sedangkan Wonwoo langsung menundukkan wajahnya.

“Eh, sorry. Lagi pada makan ya. Selamat melanjutkan makannya ya.” Kata Dika canggung dan meninggalkan mereka berenam, berjalan kearah meja yang sudah diduduki Mingyu.

“Kak Wonu kaya mayat hidup deh, Ming.”

“Jangan liat ke sana lagi, Dik!” Pinta Mingyu. “Abis makan kita cabut!”

“Mingyu kaya yang lelah gitu ya?” Bisik seorang pria yang paling mungil di antara lima pria lainnya dari seberang meja Mingyu.

“Hoon, lo ngga liat itu Nu udah mau nangis.” Jawab Jinyoung ketika melihat sahabatnya sedang menundukkan kepalanya. “Lanjutin yuk makannya, beres ini kita langsung balik ke RS.”

The Proper Proposal


part of Reunited Universe
full of fluff, a glance discussing characters who died.

Hari Minggu ini, tinggal gue sama Wonwoo di rumah karena Yulna dibawa kabur Jihoon dan Soonyoung untuk nonton Fantasia Putri Sophia 3D, padahal rencananya Sabtu depan gue mau bawa dia ke sana, tapi ya sudah, mungkin ke teater nonton live action Snow White lucu juga.

Dan kalau kalian bertanya, Iya, sekarang gue sudah tinggal sama Wonwoo. Baru beberapa hari dan gue sangat amat bahagia, gimana kalau gue bener-bener menikahinya? Gue sudah membayangkan betapa menyenangkannya hari-hari gue, ya walaupun akan selalu ada saja cobaannya nanti, tapi kalau semua itu sama Wonwoo, gue yakin sih gue bisa melewatinya.

Gue sudah siap-siap sekarang, mumpung Yulna pergi jadi gue mengagendakan pacaran hari ini ke Ancol. Entah kenapa harus ke Ancol? Ini semua memang ide anak-anak WherzKim saat gue meminta saran dari mereka, kemarin.

'Wonwoo ngga suka makanan laut.' ketikan gue diroomchat

'Dih, hari gini Sagarra sama Jimbaran?? Lé Bridge lah!' jawab nickname Bambang.

'Lé Bridge romantis, bang. Gue reservasiin mau?' nickname Kwannie bagai malaikat menawarkan bantuan di sana.

'Tolong, Kwan. Makasih.' jawab gue.

'Besok ya, jam 3. Okay. Terus? Makanannya mau langsung pesen? Jadi, lo dateng ngga usah pesen-pesen.' gue nurut.

'Tenang, Bang. Gue pesenin! Makanan dan minuman enak. Gue jamin lo suka!' ketik nickname Yugi Oh dan entah kenapa gue nurut aja.

Kira-kira itu isi chat gue kemarin sore dengan tim gue. Seketika..

“Yang, sorry! I forgot to bring a towel, can you please bring it for me?” kata pria itu dari balik pintunya. Ya Tuhan, godaan lagi.

“Ini. Mau diandukin ngga sekalian?”

“Kamu mesum banget! Kenapa sih? Dasar, Sugar Daddy!” Katanya tertawa dan langsung menutup pintu. Efek ketahan 2 tahun kali ya? Pengennya sama dia terus, ngga pengen lepasin, kalau bisa sih gue kantongin malah. Haduh, sayang banget gue sama manusia itu. Ngga paham lagi.


“Beneran ke Ancol dong.” Katanya setelah gue sudah memarkirkan mobil di pelataran parkir Lé Bridge.

“Makan steak sambil liat sunset, biar kaya anak senja kalau kata Yugyeom.”

“Aku, kamu, kopi dan senja.” Kata gue lagi, si dia yang kini jari tangannya sudah bertaut dengan jari tangan gue tertawa hingga hidung bangirnya mengkerut. Salah satu keindahan dunia kalau kata gue, sayang ngga bisa dimiliki orang soalnya sudah punya gue — Kim Mingyu.

Gue dan Wonwoo langsung masuk ke salah satu meja yang bertuliskan reservation, terima kasih untuk anak-anak WherzKim yang mau memesankan meja dan bahkan memilihkan menu makan malam senja romantis buat gue dan si dia.

Si dia membaca sebuah tulisan yang terletak di atas meja, “Kamu udah reservation? When?” Tanyanya. Ya wajar sih dia tanya kapan, sedangkan kemarin gue jarang megang handphone seharian dan asyik bermain bersama Yulna.

“Anak-anak Wherz yang nyaranin, katanya di sini yang bisa pesen menu ngga pake makanan laut.” Kata gue, jujur banget.

Niatnya gue mau ke sini sore jam 3an, supaya malem udah bisa main sama anak semata wayang gue, tapi taunya sampe sini beneran senja. Jam 5 sore sekarang. Tadi abis brunch kita malah cuddle dan asik melakukan hal-hal domestik kaya pacaran dua tahun lalu. Gue juga harus berterima kasih ke Jihoon dan Soonyoung sih untuk itu — mau jagain Yulna.

Sejujurnya, gue ini sedang grogi, gue hanya berusaha sekeras mungkin untuk terlihat baik-baik saja, padahal perut gue ribut digergotin yang namanya kupu-kupu dan jantung gue bergemuruh. Pergi ke tempat ini, bukan karena hanya ingin mengajak Wonwoo untuk makan malam, tapi ingin bicara serius. Empat mata, hanya gue dan dia, serta langit di pantai Ancol yang jadi saksinya — nanti.

Gue mencoba menenangkan hati gue dengan mulai membuka suara, “Kamu udah bilang ke Jihoon, nanti kita jemput Yulna di rumah mereka?” Tanya gue kepada si dia yang daritadi asik menikmati angin dan harumnya laut.

“Udah, mereka baru sampe rumah katanya. Yulna jajan banyak coba.” Kata si sayang memfokuskan matanya pada ponsel sembari menunjukkan foto-foto Yulna dan beberapa video yang di post Jihoon dan Soonyoung di Instagram mereka.

Dan video terakhir, Wonwoo menunjukkan video Yulna sedang joget di atas trotoar, “Anak kita liat deh, kelakuannya ajaib banget. Gemes. Pengen aku uyel-uyel.” Kata si dia dengan mata yang tak kunjung lepas dari layar pipih digenggamannya. Anak kita, akhirnya gue sekarang juga lebih sering mendengar kata anak kita daripada anakmu atau anakku. Dan itu, bagus. Gue lebih suka kata kita bila menyangkut Wonwoo dan Yulna.

“Kenapa?” Tanyanya, mungkin dia bingung dengan gue yang menatapnya penuh puja. Ulangi, penuh puja. Gue ngga habis-habisnya merapalkan kalimat 'aku sayang banget sama kamu dan Yulna.' setiap menatapnya, sampai rasanya ingin meledak aja, bahagia karena dia di hadapan gue, dia nyata dan dia di sini. 'Jangan pergi lagi, tolong!'

Gue tersenyum, “Ngga pa-pa, kamu cantik.” Kata gue. Jujur, sembari merapihkan surainya yang mulai menusuk mata.

“Kamu gondrong euy.” Kata gue.

Dia tersenyum, mengambil tangan gue yang mengelus surainya, “I remember very well, you ever said that kamu suka rambut aku yang segondrong ini if I'm not mistaken.” katanya. Iya, gue pernah bilang itu dan dia melakukan hal yang gue suka. Gue kaget sih, karena Wonwoo yang gue kenal sangat keras kepala. Mana ada sih dia nurutin gue? Okay, sejak terakhir gue lamar di hotel waktu itu, dia memang agak penurut. Dan gue suka, dan jelas gue makin sayang.

“Suka, suka banget. Kamu makin cantik. Tapi, kalau kamu ngga nyaman dan liat deh poni kamu nusuk-nusuk gitu, potong aja. Apapun potongan kamu, kamu tetep cantik.” Kata gue, ini bukan sedang ngalus, ini bukan gombal. Gue serius.

“Bareng yuk! Kita potong rambut bareng kaya dulu.” Kata si dia.

“Yuk!” Kata gue menuruti. Apa aja buat kamu, dek. Apapun!

Makanan gue dan si dia sudah terhidang di hadapan kami, Yugyeom ini sih kerjaannya mesenin dua steak wagyu untuk gue serta Wonwoo, milshake untuk Wonwoo tapi Bir Bintang Zero untuk gue. Besok, gue potong bonusnya. Ngadi-ngadi.

“Bentar, yang. Ini aku mau marahin Yugyeom dulu, mesenin aku minum kok bir enol alkohol, sekalian aja ngga sih?” Geramku yang dibalas tawa manisnya, manis banget sampai kayaknya gue yakin gula darah gue cukup bikin gue sugar rush sekarang juga.

Si dia yang masih tertawa sembari menutup mulutnya dengan salah satu tangannya itu, menahanku untuk mengambil ponsel, “Di makan dulu steaknya, nanti kita pesen minuman lain. Kan kamu tau anak-anak Wherz doyan banget jailin kamu. Haha.” Dia yang masih tertawa. Gue nurut, dan ngga beberapa lama si cantik di hadapan gue ini memesan Ice Lemon Tea buat gue. Nah, gitu dong, emang cuma Wonwoo yang paling tahu selera gue, yang lain kaleng-kaleng.


Meja sudah dibersihkan sekarang, yang ada tinggal air mineral, setengah gelas milkshake, bir alcohol zero yang ngga tersentuh dan ice lemon tea punya Kakak. Aku ngga tahu niat pria tampan bertubuh tinggi ini mengajakku ke sini, tapi yang jelas memiliki quality time bersamanya seperti saat sebelum aku melarikan diri memang moment yang paling aku rindukan. Semoga ke depannya akan lebih banyak momen lain yang bisa aku dan Yulna bayar untuk orang yang berada di hadapanku ini. Semoga masih banyak waktu untuk kita.

Aku tahu sedari tadi dia gugup, jadi kadang kuberikan dia waktu untuk menenangkan dirinya dengan berpura-pura melihat laut yang kini sudang berwarna oranye dan kemerahan. “Cantik banget.” Dua kata yang semoga dapat melupakan kegugupannya.

“Masih, cantikan kamu.” Jawabnya. Aku tahu si dia sedang tidak menggombal, aku tahu dia sedang menatapku dan yang paling aku tahu kini aku gugup. Salah tingkah.

“Dek.” Aku kaget saat dia memanggilku dengan sebutan dan suara khasnya. Selalu membuatku merasa berada di bawah dominasinya, and it doesn't hurt. Dia sedang ingin berbicara serius, itu yang aku tau.

“Ya?” Tanyaku memandangnya, aku ini berani sumpah kalau aku sangat menyayangi si dia yang kini memegang salah satu tanganku. Kalau ini di rumah dan hanya kita berdua, mungkin aku akan seperti koala yang hanya bergelayutan di lengannya. Trust me, aku semanja itu kalau sama dia.

“Maaf ya, kemarin aku ngelamar kamu ngga bener. Lagi ena—” aku langsung menutupi mulutnya dan melihat sekitarku. Semoga ngga ada yang denger.

“Kak, malu.” Kataku, aku yakin kini pipiku sudah berwarna merah, selain karena angin laut ditambah lagi dengan ya aku malu kalau mengungkit kejadian itu. Bagaimana tidak sih? Dia mengajakku menikah ketika tubuh kami benar-benar sedang bersatu. Miliknya sedang berada di dalamku. Oh, malam itu. Hah!! Sial, otakku jadi berjalan-jalan ke hari itu.

“Ngga ada yang denger, Dek. Cuma ada kita ini, sayang.” Kata si Dia, meyakinkan kalau rahasia ini aman untuk orang asing, tapi tidak untuk sahabat kita. Aku habis dicela Jun, Jihoon dan Soonyoung, dia pun habis ditertawai Hao dan Dikey.

Dia kini sudah menggenggam tangaku, mengelusnya dengan ibu jari dan mulai bicara lagi, “Jangan dipotong, aku mau ngomong serius.” Katanya dan jantungku berdetak kencang, tentu saja.

“Maaf karena kemarin ngelamar kamu waktu kita sedang melakukan hal yang iya-iya. Tapi, waktu itu aku ngga bisa nahan diri lagi, aku cuma mau kamu dan Yulna sama aku. Bahkan aku ngga ngasih kamu cincin, justru aku ngasih kamu kondom malam itu untuk dipakein ke aku. Maaf banget, tapi aku suka—”

“Dan itu bukan fokus kita malam ini.” Kata Kak Mingyu, kemana-mana kan omongannya? Lucu banget sih My Baby Pooh. Dan aku hanya tertawa, iya, aku tertawa melihat tampangnya yang antara gugup dan kebingungan. Aku sudah tau arahnya sekarang.

“Sekarang aku mau ngelamar kamu dengan benar. Jadi, kalau orang lain nanya kapan dan dimana kamu di lamar, seenggaknya kamu bisa jawab di tempat romantis.” concern banget ya kesayangan aku ini, rasanya pengen aku ciumin mukanya sampai dia sesak dan memeluknya sepanjang sisa malam. Beneran. Segemes itu.

“Dek, nikah yuk sama aku!” Ajaknya sembari membuka kotak kecil beludru hijau yang gue yakini itu adalah cincin dan jawabanku akan tetep sama. Ada atau ngga adanya benda itu.

“Iya, kak. Ayok!” Jawabku tanpa hesitate sama sekali. Takku berikan jeda mengisi antara aku dan Mingyu kali ini.

Si dia mengeluarkan lingkaran mungil dan memakaikannya ke jari manis sebelah kiriku dan mengecupi punggung tanganku dengan lembut. Aku tahu, aku melabuhkan hatiku pada tempat yang tepat. Aku tahu, hanya kepada pria ini aku pulang. Aku akan selalu pulang.

“Jadi—” kata si dia. Keningku mengernyit, tanda bertanya untuk kelengkapan kalimatnya.

Venue, dekor, makanan yang kemarin buat nikahan Jun kamu suka?” Tanya Mingyu masih mengelus punggung tanganku. Kenapa sekarang malah bawa-bawa Jun?

“Iya, suka. Paling sekarang udah di rombak lagi sama, Jun. Kan aku waktu itu bilang, itu ngga dia banget.” Jawabku.

“Iya, memang itu kamu banget.” Aku hanya mengangguk. “Mba Andrea juga udah finalisasi dalam bentuk 3D akan kaya gimana semua pilihan kamu dijadiin satu. Aku suka.” Kata pria dihadapanku ini sudah lebih santai.

Sebentar, itu tempat nikahan Jun dan kenapa dia suka? Dia mau nikah sama Jun? Kan aku yang dilamar? Iya, aku bingung.

“Haha, pasti kamu mikir aku mau nikah sama Jun karena itu hallnya Jun?” Si dia yang tampan itu masih tertawa. Ternyata aku kebaca. “Ngga, sayang. Itu buat nikahan kita.” Kita? Sebentar, mulutku terbuka sekarang. Ngga pernah terbayangkan oleh si aku yang impulsive ini untuk menyiapkan pernikahan secepat ini. Ini apa sih?

“Maksud kamu?” Tanyaku, ini pertanyaan untuk meyakinkan diri sendiri.

“Mba Andrea itu pemilik WO yang aku dan mama siapin untuk resepsi kita.” Jelas Mingyu kepadaku.

Sebentar.... let me process this things. Itu bukan tempat pernikahan Jun tapi punya Mingyu dan Wonwoo. Jadi, gue akan nikah? Dong? Yakan? Kapan? Secepat ini? Ya ngga apa sih, but? What!!!!!

Seriously? Why you in hurry? Maksud aku, kamu baru ngelamar aku ini cincinnya masih anget.” Kata ku menunjukkan cincin yang sudah menetap manis di jari manis kiriku.

“Mau cepet ngiket kamu. Aku rasa ngga usah lamaran-lamaran minta sana-sini.” Jawabnya, ya memang benar sih. I have nobody in this world selain Mingyu, keluarganya, serta remehan jasjus dan teman-teman WherzKim. Oh iya, Yulna. Aku juga punya Yulna.

“Nanti kita ke makam bunda dan ayah, aku udah izin sama beliau sebelum Yulna sakit waktu itu. Nanti kita ajak Yulna kenalan sama eyangnya yang di Yogya,” Kata Mingyu. Hah? Mingyu ke Yogya? Ke makam bunda sama ayah? Okay, Kim Mingyu.. I will love you 'till the end of my life. Maksudku, bahkan aku ngga kepikiran untuk itu.

“Aku udah ngobrol sama Bang Cheol, nanti kita ke sana juga barengan sama Yulna, biar ketemu sama uncle Cheol-nya. Abang pasti pengen ketemu.” Kata Mingyu lagi. Lelaki ini ngga pernah ada habisnya mengagetkanku.

“Kamu tinggal bilang mau nikah kapan, biar Mba Andrea yang ngurus. Aku sama kamu kerja aja.” Kata si dia, mencium semua jari-jariku, memgabsennya dengan kecupan-kecupan lembut.

“Boleh. Boleh banget. Aku janji aku mau nurut sama kamu, jadi semua aku serahin ke kamu. Aku sangat-sangat percaya dan I'm a hundred percent sure that I'm with the right one, yaitu kamu.” Jawabku. Hatiku melega, jiwaku lebih tenang dan semua beban di pundak rasanya terangkat setelah kalimat itu keluar.

“Oke. Kita urus semuanya.” Jawabnya yakin, dan selalu begitu.

“Aku sayang kamu. Sayang banget.” Kata pria itu, menunggingkan badannya dan mencium keningku.

“Aku juga sayang banget sama kamu, Kak,” kataku disela-sela si dia mencium keningku yang cukup lama.

“Mau pulang? Aku mau cium kamu banget, dari tadi ngga bisa.” Kata si dia dengan wajah komikalnya, berdiri dan mengulurkan tangannya untuk aku gapai.

“Yuk!” Aku menurutinya dan menggenggam tangannya.

Ngga. Untuk kali ini aku ngga akan melepaskannya lagi. Kemarin terakhir, dan aku akan menggenggam tangan ini selamanya. Kalian saksinya.

Deal!


Part of Reunited Universe
tw: slightly matured scene, fluff, family, NSFW

“Kak?” Panggil Wonwoo kepada pria yang masih bertelanjang dada di sampingnya. Wonwoo masih memeluknya erat, namun tetap memanggil pria itu untuk bangun, setelah menerima pesan dari Mama Kim, barusan.

“Hmm?” Jawab pria berlengan bulky itu semakin erat memeluk tubuh Wonwoo dengan suara serak bangun tidurnya dan mengelus punggung pria dalam pelukan yang juga tidak menggunakan sehelai kainpun, mengecupi puncuk kepalanya berulang kali. Setiap kali Mingyu mengecup ubun-ubun Wonwoo, Wonwoo akan membalas satu kecupan di dada kakaknya itu.

“Banguun.. kita harus pergi ke GI, harus di sana jam setengah dua lho!” Ucap Wonwoo.

“Hmm? Masih mau gini, 3 jam lagi deh.” Kata Mingyu asal.

“Ihs, abis dari GI kita lanjutin lagi deh, janji. Yulna lagi jalan sama Mama di GI, mau lunch bareng. Yuk!” Ajak Wonwoo.

Wonwoo melepaskan diri dari dekapan Mingyu, mencium sekilas bibir sang kakak, dan berjalan ke kamar mandi.

“Lima menit kamu ngga masuk kamar mandi, kamu puasa lagi lho, Kak!” Teriak Wonwoo dari kamar mandi dengan pintu yang sengaja dibiarkan terbuka.

“Ehem.. Berapa lama puasanya?” Tanya Mingyu, berteriak dengan suara baru bangun dengan tubuh yang masih tergeletak di atas tempat tidur nyamannya.

“Sebulan kali ya!” Jawab Wonwoo sembari tertawa kecil, Mingyu langsung duduk dan berjalan ke kamar mandi dengan malas-malasan.

“Jahat banget, sebulan.” Keluh Mingyu dengan mata setengah terbuka yang sudah sampai di kamar mandi dan benar-benar menemukan sang pujaan hatinya totally naked. Melihat tubuh indah Wonwoo-nya pagi hari adalah hal yang bahkan tidak pernah terjadi di dalam dua tahunnya.

Mingyu melangkahkan kakinya mendekati Wonwoo yang kini sudah berada di shower box kamar mandi itu, sedang memberi sabun pada kulitnya yang seputih susu itu, “Sini, aku bantuin gosok belakangnya.” Tawar Mingyu yang kemudian disetujui dengan Wonwoo yang memberinya puff yang dia pegang kepada sang kakak.

“Aku ngaceng lagi masa, Dek.” Kata Mingyu, sembari berbisik namun tetap menggosok bagian tubuh Wonwoo hingga ke buntalan sintal milik pria ramping di depannya, meremasnya. Wonwoo mati-matian menahan desahannya.

“Hmm.. Yes, I can feel how hard it is” acuh Wonwoo, menggoda sang kakak yang mulai semakin mendekatkan badannya.

“Kalau turunin dulu gimana?” Tanya Mingyu.

Can't do it now, My Baby Pooh. Kita tuh harus berangkat, macet lho ke sana. Belum harus yang lain-lain.” Kata Wonwoo membalikkan badannya, mengambil shower dan menyirami air hangat ke tubuh sang kakak.

“Kamu ngga liat apa itu kamar kamu berantakan bgt? Belum rapihin ini itu.”

“Tega apa, Nu?” Tanya Mingyu.

“Ngga sih. Hmm.” Wonwoo berfikir. “Using soap with my hand ya? Is it okay?” tanya Wonwoo. Tanpa menunggu jawaban dari pria di hadapannya, Wonwoo langsung mengerjakan handjob-nya dan memandikan Mingyu setelahnya. Wonwoo menahan dirinya setengah mati untuk tidak ikut terbawa dalam suasana yang sungguh sangat intim ini.

'God, give me your protection so that I don't get carried away with this atmosphere. Amin.' ucap Wonwoo dalam diamnya saat mendengar desahan Mingyu.


“Nu, mama udah di Pancious ya ini.” kata wanita paruh baya diujung sana, ya Mama Kim yang tidak pernah berkata halo.

“Iya, Ma.” Jawab pria yang kini menggunakan sweater kebesaran milik pria yang kini sedang mengendarai mobilnya.

“Kenapa anak ini suka makanan bule? Apa karena lahir di Inggris, Nu?” tanya Mama dari Kim Mingyu itu, asal.

“Haha. Ngga, ma. Dia memang suka pancake aja.”

“Ho.. dia langsung manggil papa sih pas liat pancake, apa kamu mirip pancake sekarang?”

“Maaa, ngga usah ngasal deh. Ini kita masih di jalan. Dikit lagi sampe. Sudirman macet.” Kata Mingyu. Sedari tadi memang teleponnya di loudspeaker oleh Wonwoo.

“Ih, kamu tuh kalau ngomong sama mama kaya ngobrol sama Wonu dong!” rengek sang mama, manja.

“Astaga. Iya, mamaku sayaaaang. Ini kita udah di jalan yaaa.. sebentar lagi sampe. Pesenin aku lasagna yaaaa, Wonunya pesenin fettuccini carbonara.” Kata Mingyu dengan nada yang diharapkan sang mama.

“Hehe gitu dong, diketawain Yulna kamu. Udah, sana nyetir yang bener. Hati-hati kamu nyetirnya Kim Mingyu!” nada perintah, bukan sebuah permintaan.

“Iya, ma. Ini udah Nu matiin speakernya. Sampai ketemu ya, ma. Aku sama kakak langsung ke sana.”

“Iya. Mama pesenin makanannya, minumannya nanti pesen sendiri ya.”

“Oke, ma. Bye.” kata Wonwoo mengakhiri panggilan tersebut.


“Papapapapap... hehehe..” sapa Yulna ribut ketika menemui papanya.

“Kamu tuh sehari ngga ketemu papa ngga kangen apa?” Tanya Wonwoo mengangkat anak semata wayangnya dari kursi bayi yang disediakan oleh restaurant itu, setelah menyalami tangan Mama Kim.

“Macet?” Tanya Mamanya kepada Mingyu.

“Ngga banget. Akunya aja sama Nu yang bangun kesiangan. Mama juga baru ngasih tau tadi pagikan?” Kata Mingyu, sembari melihat menu yang ada ditangannya.

“Iya sih. Tadi Yulna nonton Princess Sophia ngga kedip, gemes banget.”

By the way, udah ngobrol sama Nu tentang rencana kamu?” Tanya sang mama.

“Baru ngajak dia tinggal bareng, ma. Itu juga belum di jawab. Tapi, Senin yang dekor kamar Yulna udah dateng.” Kata Mingyu. “Ngajak nikahnya juga udah, semalem. Tapi belum ngasih tau detailnya, anaknya juga belum jawab mau atau gimananya.” Mingyu memilih minuman untuknya dan Wonwoo. Sedangkan, Wonwoo sedang menggendong Yulna entah kemana.

“Tanya dong, Gyu. Kan Andrea udah mau gerak. Dia belum liat venue, food testing sama decorationnya kaya gimana. Kalau dia ngga suka gimana?”

“Udah, Ma. Kemarin dia udah berangkat sama Jun. Semuanya udah dia pilih. Tinggal finalisasinya aja kata Andrea. Sama tanggal.” Kata Mingyu.

“Lah? Kok bisa? Owalah, Jun kan juga mau nikah ya?”

“Iya, alibi aja. Venue Hao kan di Hotel, bukan kaya tempat yang kita pilih.” Kata Mingyu santai.

“Orangnya dateng. Mais tu dois lui dire vite, okay?

Bien, ma.” Jawab Mingyu, persis ketika Wonwoo mendudukan Yulna di sebelah eyang putrinya.

“Darimana?” Tanya Mingyu.

Mothercare over there. Banyak banget yang lucu.” Jawab Wonwoo.

“Yulna udah ke sana tadi, dia milih sepatu, baju, mainan, apalagi sayang?” Tanya sang eyang putri.

“Ma, jangan dimanjain. Bahkan Barbie dari kakak aku simpen supaya ngga rusak.” Kata Wonwoo.

“Mainan itu buat dimainin, Nu. Not for you keep in the closet, bawa aja mainannya ke rumah Mingyu.” Kata Mama Kim. “Nanti di simpen di kamar kosong yang memang buat Yulna.” Lanjutnya.

“Mingyu udah bahas masalah kalian untuk living together, kan?”

“Sudah, ma. Tapi bingung akunya, gimana apartmennya kalau aku tinggal?” Alasannya.

“Sewain dong, Nu. Nanti mama bantuin. Pindahan aja dulu, kapan kamu punya waktu? Biar anak buah mama nanti yang bantuin.” Kata Mama Kim.

“Yulna, mau tinggal sama ayah?” Tanya Wonwoo menunjuk Mingyu. Yang dijawab anggukan yakin oleh Yulna tanpa jeda setelah Wonwoo mengeluarkan pertanyaan tersebut.

“See?” kata wanita yang kini ada di seberang kursinya.

“Mingyu tuh banyak waktu luangnya, bisa anter jemput kamu kerja dan Yulna sekolah. Kalau ngga ada yang jaga, bisa dijagain Mingyu atau mama. Kalau, amit-amit Yulna ada apa-apa, banyak yang jagain. Kamu ngga stress sendiri. Percaya deh sama mama. Ngurus anak tuh harus gotong-royong, kalau ngga kamu kelimpungan sendiri.” Nasihat sang mama yang ngga salah sama sekali, karena belakangan ini memang Wonwoo merasa terbantu dengan kehadiran Mingyu, terlebih Kak Joshua yang sudah mulai bekerja dan pindah ke apartemen barunya. Mingyu membantu mengurus Yulna saat Wonwoo harus lembur atau waktu darurat lainnya.

“Pikirin lagi deh. Nanti malem ngobrol lagi sama Mingyu. Mama udah bilang kan? Yulna di Pondok Indah sampe Minggu? Jadi kamu obrolin deh sampe besok rencana kalian tuh apa? Hubungan kalian mau di bawa kemana? Inget, udah punya anak 1, umur Mingyu udah kepala 3, kamu juga bentar lagi kepala 3. Udah bukan individu kalian lagi yang diurusin, tapi tentang keluarga kecil. Kalian dan anak kalian ini.” Kata Kim Yeon Seo, menasihati 2 pria dewasa dihadapannya, sembari menyuapi makanan yang sudah terhidang kepada member paling kecil keluarga Kim.


“Ini aku anter kamu kemana?” Tanya Mingyu ketika mereka sudah sampai ke pelataran parkiran mall.

“Sebentar, kita ngobrol dulu di sini.” Kata Wonwoo.

Mingyu mengerutkan dahinya, “Dek? Ini parkiran mall.” Kata Mingyu mengingatkan.

I know right? Karena aku ngga yakin bisa mikir kalau udah berdua sama kamu di rumah, you understand what I mean, right?” kata Wonwoo yang dijawab senyum jahil Mingyu.

Don't put out your naughty smile, really. Aku mau ngomong serius.” Kata Wonwoo.

“Oke, maaf. Lanjutin.”

“Kamu beneran mau tinggal bareng sama aku dan Yulna?”

“Kenapa kalau beneran?” Kini mereka berdua sudah saling berhadapan. “Bukannya memang pasangan pengantin selalu tinggal berdua? Ini aku nanya, serius.”

“Ngerepotin ngga?” Tanya Wonwoo.

“Nu, semalem aku ngajak kamu nikah, pilihannya cuma Ya atau Mau. Ingetkan?” Wonwoo mengangguk.

“Itu aja belum aku jawab, kak.” Kata Wonwoo.

“Aku tunggu jawabannya juga kita tetep nikah. Jadi, aku tunggu. Dan untuk tinggal bareng, kita tinggal bareng aja dulu, nikah bisa diurus nanti kalau kamu udah jawab, kita urus sama-sama.” Mingyu menggenggam tangan Wonwoo, menciumi jarinya satu persatu. “Kamu tinggal sama aku, itu aku yang minta.”

“Coba aku tanya, kenapa kamu ragu tinggal sama aku? Ngga suka sama aku?” Tanya Mingyu, Wonwoo menggelengkan kepalanya ribut. “Oke, syukurlah kalau bukan. Terus apa? Kamu takut ngerepotin aku? Aku bilang sekali lagi ya, sayangku. Punya aku punya kamu juga, punya kamu punya kamu. Tapi KAMU punya AKU dan Yulna, punya KITA. Paham?” Tegas, nada suara Mingyu adalah mandatori, bukan hal yang bisa Wonwoo bantah. Anggukan yang Mingyu dapatkan sebagai jawabannya kali ini.

“Kapan mau dibantuin pindahan? Desainer interior buat kamar Yulna dan Asih dateng hari Senin. Nanti ada Hao sama Dika juga yang bantuin.”

“Aku perlu cuti ngga, Kak? Atau mau nunggu jadwal WFH ku?” Tanya Wonwoo.

“Jadwal kamu WFH kapan, sayang?” Mingyu mengelus lembut pipi Wonwoo dengan ibu jarinya.

“Minggu ini kayaknya Rabu. How?” Wonwoo mengambil tangan yang mengelus pipinya dan memainkannya manja.

“Boleh. Nanti aku bilang. Kamar kita mau di dekor ulang atau ngga?” Tanya Mingyu, Wonwoo terkejut dengan kalimat blak-blakan Mingyu.

“Kamar kita?”

“Kamar kita.”

“Ng-ngga usah kali ya, kak? Gitu aja. Tapi, terserah kamu.” Jawab Wonwoo.

“Sip. Nanti aku kasih tau desainer nya. Sekarang udah boleh pulang? Aku mau ndusel.” Jujur Mingyu yang diikuti oleh senyum Wonwoo. “Hotel aja gimana?” Tanya Mingyu, melihat kearah Wonwoo.

“Boleh. Toh, besok Minggu. Terserah kamu.” Jawab Wonwoo. “Mampir ke minimarket dulu, kak. Kita harus beli lube and condoms.” Mingyu menjalankan mobilnya, dengan tangan kirinya yang dituntun Wonwoo untuk mengelus paha dalam milik pria yang ada di bangku penumpang.

Jeon Wonwoo is already horny and wants to be touched.


“Nggh.. ah! Kak! It's too deep oh!” Desah Wonwoo ketika merasakan benda kenyal yang menegang itu menginvasi lubangnya yang berkerut.

“Sakit?” Tanya Mingyu yang masih melakukan kegiatannya.

No, keep going! Enak ngghh! Bangeth—” kata Wonwoo yang tergantung karena Mingyu sudah menjajah belah bibirnya yang sudah swollen karena lumatan-lumatan menuntut yang sedari tadi mereka lakukan.

“Jadi, jawabannya.. ngh! Jeon Wonwoo, would you marry me?” Tanya Mingyu, masih memaju-mundurkan pinggulnya dengan kecepatan yang sedikit ditambahkan. “Shit, Jeon Wonwoo!” Mingyu groans down there.

“Angh! I do. Oh Gosh, there! Yes, di situ kak, please. Ahh!” Desah Wonwoo keenakan saat Mingyu menumbuk sweet spot-nya dan meremas seprai tempat tidur kamar hotel itu ketika dia merasakan kakinya melemah karena putihnya yang sudah mencapai puncaknya.

Sisanya, biarkan dinding kamar hotel bintang 5, Mingyu dan Wonwoo yang tau sampai mana mereka akan terpuaskan.


Mais tu dois lui dire vite: But you have to tell him quickly.
Bien: Alright!

Nothing has changed


Part of Reunited Universe
tw: fluff, slightly mature

“Wonu, Yulna di rumah Mama ya. Tadi mama culik.” sapa wanita paruh baya di seberang sana tanpa basa basi setelah pria yang dipanggil Wonu mengangkat teleponnya.

“Oh di Pondok Indah? Aku kira di rumah Kak Mingyu, aku udah di depan rumahnya.” Kata pria bertubuh ramping dan tinggi itu.

“Ya udah, tinggal masuk! Kunci rumahnya juga ngga pernah ganti kok. Orangnya kayaknya di dalem.” kata wanita itu.

“Tapi, Ma. Ngga enak aku kalau berdua. Aku pulang aja kali ya?” Tanya Wonwoo.

“Kok pulang? Udah malem. Nginep aja di sana!” pinta wanita yang dipanggil mama itu.

“Masuk aja, minta anterin Mingyu pulang. Gih! Kayak ke siapa aja kamu, Nu?!” kata Mama Kim.

Ya memang Mingyu bukan orang asing untuk Wonwoo, 9 tahun lebih mengenalnya sudah lebih dari cukup. Kalau bukan karena tindakannya 2 tahun lalu, mungkin kini seorang Jeon Wonwoo sudah menekan 6 digit kode pintu, dan segera masuk, mencari kamar utama dan merebahkan tubuhnya di bed king size ruangan yang sudah dibalut dengan seprai dan bedcover dari bahan terbaik. Ditambah lagi hari ini dia sangat lelah mengantar Jun melihat venue dan ikut ambil andil untuk memilih beberapa dekorasi pernikahan temannya.

Kembali ke Wonwoo yang masih menimbang-nimbang untuk masuk dan masih tersambung dengan Mama Kim di sana.

“Mama suruh Mingyu keluar aja ya kalau kamu masih ngga mau masuk gitu?” tanyanya.

“Ngga usah, Ma. Wonu pulang aja ya? Capek juga abis nemenin Jun.” Alasan, itu hanya alasan Wonwoo untuk tidak menimbulkan atmosphere aneh antara dia dan Mingyu saat berdua. Atmosphere canggung — menurut Wonwoo.

“Haduh, masih aja kamu tuh keras kepala ya, Nu? Yaudah, senyamannya kamu aja.”

“Iya, ma. Makasih ya udah jagain Yulna. Besok Nu jemput ke sana.” Kata Wonwoo membalikkan badannya, beranjak pergi dari depan pintu itu dan mematikan ponselnya.

“Mau kemana kamu malem-malem?” Tanya suara pria dari belakangnya. Wonwoo terdiam membeku. Ketahuan.

“Aku nanya sama kamu, Dek.” Kata suara itu lagi. Wonwoo membalikkan badannya, menatap pria yang lebih tinggi darinya, sedikit mendongakkan kepalanya dan menatap wajah itu dalam-dalam.

“Kenapa?” Tanya pria itu lagi, Wonwoo masih membisu.

“Hmm?” Masih dengan suara lembut manis pria dihadapannya.

“Mm..” Wonwoo sedang mencari kalimat yang tepat untuk berpamitan pulang.

“Mau cari alasan untuk apa?” Tanya pria itu dan lagi-lagi Wonwoo ketahuan. Pria ini terlalu kenal dirinya, berbohong pada pria di hadapannya adalah hal yang sulit untuk Wonwoo lakukan — tidak bisa.

“Bukan itu—” suara Wonwoo menggantung, kini tatapannya sudah terfokus pada lantai dan kakinya yang sedang dia gerakkan ke belakang dan ke depan perlahan tanpa suara.

“Terus?” Tanya pria itu, menyilangkan tangannya di depan dada.

“Tadinya mau jemput Yulna, tapi tadi Mama Kim nelfon, kalau Yulna ada di Pondok Indah?” Jelas Wonwoo.

“Oh iya, tadi mama bawa setelah aku mandiin. Aku lupa ngabarin kamu, maaf.” Kata Mingyu.

“Mama pulang, aku mandi. Terus, beneran lupa ngabarin.” Tuturnya lagi dengan ekspresi wajah yang masih sama.

“Ngga pa-pa, kak.” Tanya Wonwoo, mulai berani menatap pria itu dan memiringkan kepalanya.

“Maaf karena lupa.”

“Iya, ngga usah minta maaf lagi. Yulnakan juga pergi ke rumah eyangnya.” Tutur Wonwoo sembari menyunggingkan senyumnya.

“Terus, kamu mau kemana kalau aku ngga buka pintu?” Tanya Mingyu kepada pria di hadapannya, senyuman Wonwoo menghilang. Dia lupa sebentar untuk mencari alasan agar dia bisa pulang.

“Pulang?” Kata Wonwoo tidak yakin.

“Masuk, di luar dingin!” Pinta Mingyu, berjalan ke belakang Wonwoo dan mendorong pria yang lebih sering dia panggil 'Dek' itu.

“Kak, tapi—”

“Nurut aja, ini hukuman ketiga kamu.”

“Hukuman aku kok banyak?” Tanya Wonwoo.

“Masih banyak, satu bulan ninggalin aku terhitung satu hukuman.” Jawab Mingyu, mendudukkan tubuh pria ramping itu di sofa ruang tengah rumahnya.

“Masih ada duapuluh satu hukuman lagi.” lanjut Mingyu, Wonwoo terdiam di tempat duduknya. Mingyu menghilang ke arah dapur.

Rumah ini masih sama, ngga ada perubahan dari terakhir kali Wonwoo ke sini dua tahun yang lalu. Oh ada yang berubah, ada beberapa frame berukuran sekitar 12R yang berisi foto gadis kecil yang sangat Wonwoo hafal pose-posenya — foto Yulna. Foto anak kecil yang selalu Wonwoo kirimkan lewat pesan setelah pria ramping itu memutuskan untuk memberitahukan keberadaan anaknya.

'Kak.. kenapa lucu banget foto Yulna dijejer centil disitu.' gumam Wonwoo dalam hati.

“Kamu udah makan?” tanya pria tinggi itu, memberikan segelas air mineral yang tadi Mingyu ambil di dapur, meletakkannya di hadapan Wonwoo dan duduk di sofa single, di serong sofa tempat Wonwoo duduk. Papa dari Yulna masih terdiam, dia masih terfokus pada jajaran frame di sana.

“Dek?” tanya Mingyu, mata si Kakak mulai mengikuti arah mata Wonwoo sedari tadi.

'Oh, lagi liat foto-foto Yulna? Kok sampe bengong?' gumam Mingyu.

“Itu Yulna.” katanya lagi, Wonwoo tersadar dari lamunannya ketika mendengar kalimat tadi dan jentikkan jari di hadapan wajahnya.

“Eh, maaf, Kak. Tadi kamu ngomong apa?” tanya Wonwoo.

“Kamu udah makan? Dan iya, itu foto Yulna yang kamu kasih ke aku.”

“Udah.. Udah.. tadi aku makan di nikahan orang, diajak sama Mba Andrea. Sekalian food testing katanya.” Jawab Wonwoo. “Dan terima kasih udah majang foto Yulna di situ.” Kata Wonwoo lagi.

“Dia juga anak aku, wajar kalau aku majang fotonya. Yakan?” Tanya Mingyu yang di jawab anggukan oleh Wonwoo.

“Terus, tadi kamu bilang cuma liat venue aja? Kok ada food testing segala?” Tanya Mingyu lagi.

“Diajak sama Mba Andrea, katanya sekalian partner cattering dia lagi ada di salah satu nikahan, jadi kita ke sana.” Kata Wonwoo antusias. Dia bahkan lupa akan kecanggungan antara mereka, kini kakinya sudah bersila di sofa tanda mulai lebih santai.

“Terus?” Migyu terus memancingnya.

“Hmm.. Enak. Hehe. Makanannya enak-enak.” jawab Wonwoo, menyunggingkan senyumnya.

“Suka?” Tanya Mingyu.

Zupa Soup sama syomaynya enak, terus, gemesnya apa coba?” tanya Wonwoo, Mingyu menaikkan alisnya tanda bertanya 'apa?'

“Prasmanannya ada 3 warna nasi, ungu, ijo sama putih. Terus, lauknya juga enak-enak. Tadi aku ngga nyoba yang seafood sih, tapi kata Jun enak.” Kata Wonwoo. “Kayaknya, Jun ngambil package yang itu deh.” Gemas, hanya itu yang sedari tadi Mingyu fikirkan, rasanya hanya ingin memeluk pria ini hingga pagi.

“Terus? Ngapain lagi?” tanya Mingyu kepada pria yang hari ini menggunakan kacamata dengan bingkai hitam.

“Tadikan emang ke venue nikahan Jun, gemes banget ada dua hall, indoor sama outdoor. Guedee banget tempatnya.” kata Wonwoo mulai bercerita dengan bahasa tubuhnya, yang menandakan dia sudah lebih relax dan tidak lagi merasa canggung. Mingyu mendengarkan pria itu sembari menyunggingkan senyum tampannya.

“Terus, aneh banget. Jun aneh banget—” kata Wonwoo mengulang kata aneh banget berkali-kali karena merasa tidak percaya dengan apa yang dia alami hari ini.

“Masa Jun nurut sama semua pilihan aku? Ngga ngelawan atau pake berdebat dulu. Kamu taukan, Jun tuh kaya gimana sifatnya? Apalagi kalau udah sama aku kaya love and hate relationship, kita tuh lebih ke sayang tapi jijik.” Kata Wonwoo yang dijawab anggukan oleh Mingyu.

“Terus?”

“Terus terus, kamu kaya tukang parkir tau ngga?” jawab Wonwoo dengan nada sewotnya sembari menyunggingkan senyumnya.

“Ya aku mau denger kamu cerita.” kata Mingyu, tertawa mendengar jawaban Wonwoo.

“Aku yang lebih pengen denger kamu cerita.” kata Wonwoo, mengingat si Kakak hari ini pergi dengan Yulna, pasti cerita mereka lebih seru dari ceritanya yang hanya berkisar dengan menemani Jun menyiapkan pernikahannya yang masih setengah tahun lagi itu.

“Kamu beresin dulu ceritanya.” Pinta Mingyu. “Buat dekorasi gitu-gitu, gimana?” Tanyanya.

“Hmm.. Decornya udah sepaket sama hall venue-nya. Bagus banget juga. Tapi, ngga Jun banget.” Kata Wonwoo protes.

“Kalau ngga Jun terus siapa?” Tanya Mingyu.

“Semuanya tuh lebih ke selera aku. Apa sekarang tastenya jadi ke aku-akuan? Aneh banget deh.” Tanya Wonwoo, yang berkali-kali mengulang kata aneh banget.

“Mungkin karena dia iya-iya aja kali sama pendapat kamu?” Tanya Mingyu.

“Mungkin ya, Kak. Biarin aja ngga sih? Nanti pas nyadar juga dia rubah sendiri.” tawa Wonwoo, mengingat temannya akan heboh menggunta-ganti ini itu ke Mba Andrea.

“Terus, kamu sama Yulna hari ini gimana jalan-jalannya?” Tanya Wonwoo, menopangkan tangannya di dagu, siap mendengarkan Mingyu bercerita.

“Jalan ke IKEA, terus Yulna seneng banget. Dia pilih kasur, meja belajar, seprai, hordeng, piring, gelas. Semua dia yang pilih.” Kata Mingyu.

“Kok kamu percaya selera anak umur 2 tahun?” Tanya Wonwoo.

“Yaiya, seleranya bagus kok. Lagian, Dek, aku memang beli buat dia. Biar dia betah, jadi semua aku serahin pilihannya ke Yulna.” Jawab Mingyu santai sembari menyandarkan punggungnya pada sofa tempat dia duduk.

“Hah? Nanti diletakkin di mana? Kamukan ngga pernah ngitung luas kamar kosong di apart? Kamar buat dia di apart tuh kecil, Kak.” Tanya Wonwoo, bingung.

“Siapa yang bilang buat di apart?”

“Terus, di mana?” Tanya Mingyu.

“Buat di sini. Kan aku udah bilang ke kamu, kalau mau renov kamar buat Yulna, renovasi kamar kosong di rumahku aja.” Jelas Mingyu, menatap pria ramping yang duduk di sofa panjang, sedang melihat dengan wajah bingung ke arahnya.

Let me ask you some questions. Or maybe just one question.” pinta Wonwoo.

“Silahkan.” Jawab Mingyu dengan tangannya yang mempersilahkan Wonwoo untuk bertanya.

I don't want to be a GR ya, but are you asking me to live with you? Or want to invite Yulna to live together in this house without me?” akhirnya, pertanyaan itu keluar dari mulut Wonwoo dengan suara pelan namun pasti, sama halnya dengan saran yang diberikan oleh Jihoon.

'Demi meminimalisir rasa penasaran gue, ini emang harus gue tanyain. Semoga ga salah' gumam Wonwoo.

“Menurut kamu?” Tanya Mingyu.

“Aku ngga peka if you forget. Kamu ngga bisa nanya gitu ke aku, aku ngga ngerti.” Kata Wonwoo, Mingyu memindahkan posisi duduknya, menjadi di samping Wonwoo. Tubuh Wonwoo kembali menegang, dia tidak tahu harus berbuat apa. Karena sejujurnya yang dia inginkan saat ini hanya merebahkan tubuhnya yang lelah dan meletakkan kepalanya di dada bidang pria yang sudah ada di sampingnya. Dia ngga perduli dengan jawaban Mingyu kali ini.

'Nu.. You have to wash your brain. Ngga ada manja-manjaan sama Kak Mingyu. Kamu ngga punya hak, hei! Dan ini beresin dulu, dia ngajak Yulna tinggal sama dia atau he's asking both of you living together with him?' gumamnya.

“Aku ngajak kamu tinggal bareng setelah Yulna keluar dari Rumah Sakit sebenernya, Dek.” Senyum Mingyu. Wonwoo membelalakkan matanya, 'Hampir satu bulan?'.

“Ngga nyampe ya kode aku? Ngga ngebolehin kamu renov kamar Yulna, ganti sofa, renov apart.” Jelas Mingyu, Wonwoo masih terdiam terpaku.

“Kenapa tegang banget?” Tanya Mingyu, mengelus pipi Wonwoo dengan ibu jarinya. Wonwoo mengambil tangan pria yang lebih tua itu dan menggenggamnya lembut, sesekali mengelusnya dalam diam.

“Ngga tegang, aku kaget.” Kata Wonwoo. “Aku ngga ngerti sama hati kamu yang terbuat dari apa—” kalimatnya terpotong. Mingyu mengerutkan keningnya.

“Bukan, itu bukan sesuatu yang negatif. Aku cuma bingung, karena kamu masih seperti kamu. Ngga berubah sedikitpun, padahal aku udah bertingkah impulsive kaya apa, bertindak dengan pemikiran pendek, overthinking nya aku, dan kamu masih nungguin aku kaya gini.” Kata Wonwoo, menatap wajah Mingyu hangat. Pria tinggi itu masih terdiam.

“Aku ngga pantes dapet kamu rasanya—” Mingyu segera mendekap tubuh Wonwoo, memeluknya erat.

“Kamu ngga bisa menilai pantas atau ngganya kamu buat aku, Dek.” Kata Mingyu, masih di dalam dekapan Wonwoo.

“Aku itu rumah kamu, sejauh dan selama apapun kamu pergi, kamu masih bisa pulang. Aku akan selalu membuka pintu buat kamu. Kamu ngga akan kehujanan, kamu ngga akan kedinginan, ada aku. Aku janji.” Kata Mingyu, melepas pelukannya. Mengecup kening Wonwoo.

“Kamu persinggahan terakhir aku, jauh sebelum aku sadar kalau aku cuma butuh kamu.” Mingyu menggenggam kedua tangan pria berkacamata di hadapannya dan mengecup kedua punggung tangan itu.

“Apalagi sekarang udah ada Yulna, anak kita. Aku mau memberikan semua yang terbaik buat kamu dan Yulna. Aku pengen kamu berbagi beban kamu sama aku. Aku ngga mau liat kamu bingung sendirian waktu Yulna sakit, aku ngga mau liat kamu nanggung semuanya sendirian. Aku mau ganti dua tahun kita yang lewat gitu aja.” Jelas Mingyu, Mingyu membawa tubuh Wonwoo ke dalam haluannya, mengelus surai pria kesayangannya.

“Tolong, biarin aku jadi pria yang bertanggung jawab untuk kamu dan Yulna.” Kata Mingyu. “Jangan lari lagi kalau ada masalah, Nu. Aku pengen sekarang kita bisa menyelesaikan itu bareng-bareng, sama kayak pasangan lain.” Kalimat itu selesai bersamaan dengan Wonwoo yang mengalungkan tangannya di leher pria di hadapannya.

“Maafin aku ya. Ninggalin kamu dan bikin kamu jadi kesepian terus, Kak.” Kata Wonwoo.

“Kalau gitu, temenin aku ya?” Tanya Mingyu. “Temenin aku sampai aku ubanan, sampai aku ngga bisa bilang aku sayang kamu secara langsung. Sampai jarak antara hidup dan mati yang misahin kita.” Kata Mingyu, mengelus bibir berwarna merah muda milik Wonwoo.

“Kak?” Wonwok bingung dengan ucapan pria yang sudah memegang sebelah pinggangnya dengan satu tangannya, dan satu tangan lainnya membawa wajah Wonwoo lebih dekat dengan wajahnya, Mingyu mengecup bibir Wonwoo lembut.

“Nikah sama aku ya, Dek?” Tanya Mingyu, setelah tautan mereka terlepas. Wonwoo membelalakkan matanya.

“Hah?” Wonwoo kaget. Diam sejenak. “Tapi, kak? Mama sama Papi Kim? Koleganya? Temen-temen mereka gimana?” Tanya Wonwoo dengan wajah penuh kekhawatiran yang Mingyu rasa tidak perlu.

“Kamu bisa ngga, mikirin keluarga kecil yang mau kita bangun aja? Ketimbang kamu mikirin orang lain yang kita aja ngga hafal siapa namanya dan mereka itu apa?!” Pinta Mingyu, melihat manik unik pria di hadapannya lekat-lekat. Wonwoo membalas tatapan elang itu.

“Kamu inget kan, kamu akan ambil semuanya, Dek? Apapun yang aku lakuin kamu akan terima?” Tanya Mingyu yang dibalas anggukan. Mingyu langsung mengeluarkan senjatanya.

“Aku akan beri kamu semua, dan tugas kamu akan ambil itu semua. Salah satunya ini. Jawaban kamu cuma ada dua—” kalimatnya terputus. Mingyu mendekatkan wajahnya ke salah satu telinga Wonwoo. “Ya atau mau.” Kata Mingyu membisikkan kalimatnya. Bulu kuduk Wonwoo meremang, suara berat Mingyu yang jarang dia dengar masuk dengan sopan ke panca indera pendengarannya.

“Kenapa harus bisik-bisik sih? Geli.” Wonwoo tertawa setelah kembali lagi ke bumi.

“Haha. Kenapa? Seksi kan?” Tanya Mingyu jahil.

“Seksi banget.” Jawab Wonwoo menangkup kedua pipi sang kakak, dan mengecupi gemas ujung hidung Mingyu.

You don't know how much I miss US like this, Kak. I miss being pampered by you. Kamu tempat ternyaman aku.” Kata Wonwoo lagi.

“I want to kiss you until sunrise, rasanya.” Kata Wonwoo. Mingyu tersenyum, menarik tubuh ramping pria dihadapannya yang membuat Wonwoo terkejut, melingkarkan satu tangannya dipinggang Wonwoo dan memegang rahang sang adik sembari menyatukan dua belah bibir mereka. Kegiatan yang sangat Wonwoo rindukan.

“Boleh, kamu nginep ya? Besok jemput Yulna sama aku.” Kata Mingyu, ketika lumatan itu terlepas. Tangan Wonwoo yang masih mengalungi leher sang kakak sesekali mengusap lembut surai gelap milik Mingyu.

“Can I?” tanya Wonwoo lembut.

“Selalu bisa, kamu selalu diterima di sini.” Kata Mingyu. Kembali menyatukan bibir mereka dengan ciuman dan lumatan untuk menguapkan rasa rindu akan presensi satu sama lain yang terlewat.

“Ngh—” tidak sampai hingga lumatan, tangan Mingyupun sudah bergerak mengabsen satu persatu tubuh Wonwoo dari dalam balutan kemeja oversized biru yang pria itu gunakan. Bukan hanya Wonwoo yang merindukan sentuhan Mingyu, pun Mingyu merindukan their intimate time.

“Kahk.” Lenguh Wonwoo ketika ibu jari sang dominan sudah berada dipuncak salah satu dadanya dan menekan serta memilinnya sesekali serta bibir Mingyu yang sudah turun ke leher Wonwoo dan mengecupinya. Papa Yulna itu mengulum bibirnya.

“Hm?” Tanya Mingyu ketika melihat wajah Wonwoo yang sudah berubah menjadi merah jambu, Mingyu hafal wajah ini, mata sayunya, suara desahan yang tertahan semua itu karena Wonwoo sedang merasakan nikmatnya. Mingyu melanjutkan kegiatannya, membuat tanda sedikit kebiruan di collarbone pria di atasnya.

“Ini hukuman jug.. ahmh! Bukan?” Tanya Wonwoo berusaha menahan desahannya, walaupun sempat terlepas.

“Bukan kok, sayang.” Kata Mingyu menyudahi sentuhannya dengan mata yang tak kalah sayu, mengecup sekilas bibir ranum Wonwoo yang masih mengatur nafasnya, dan Wonwoo segera memeluk tubuh tegap sang kakak.

“Kangen, kak.” Kata Wonwoo dari dekapan sang kakak yang ditanggapi dengan tawa khas milik Mingyu.

“Kok ketawa?” Tanya Wonwoo sinis dan melepaskan dekapannya ketika mendengar gelak tawa Mingyu ketika dia mengutarakan rasa rindu akan sentuhan dari pria itu.

“Ngga pa-pa, kangen aja sama kamu yang clingy kaya gini. Blak-blakan bilang kangen, blak-blakan minta peluk atau malah langsung peluk aku. Kangen sama kamu yang bilang kangen, kangen sama tubuh kamu. Aku juga kangen, Nu.” Kata Mingyu.

“Aku puasa 2 tahun lho ini.” Kata Mingyu lagi.

“Emang kamu aja yang puasa?” Tanya Wonwoo, mengelus dada bidang sang kaka.

“Mau lanjutin lagi ngga?” Tanya Mingyu. Wonwoo mengangguk malu, nafsunya untuk melepaskan rindu sudah ada di ujung tanduk sekarang. Wonwoo memeluk erat tubuh sang kakak karena tahu apa yang akan Mingyu lakukan — menggendongnya. Dan benar saja apa yang Wonwoo perkirakan, Mingyu menggendongnya menuju kamar utama.

Mingyu masih seperti Kim Mingyu yang selama ini dia kenal. Perlakuannya, lembutnya, dan semuanya masih sama. Tak ada yang berubah dari si Kak Mingyu ini.

Love you in Silence


tw: bxb, fluff only.

Wonwoo celingak-celinguk menatap jendela yang menghadap pagar rumah. Dalam keheningan tempat tinggal yang dia huni selama lima tahun itu, dia sedang menunggu dalam diam teman masa kecilnya — Kim Mingyu, yang juga tinggal di rumah itu bersamanya. Sesungguhnya, pria berdada bidang dan berkacamata kotak itu sedang main bersama dengan teman-teman game online-nya, tapi tidak dapat dipungkiri fokusnya tiba-tiba menghilang ketika contact bertuliskan “Si Monyet” dengan emoji puppy dibelakang nama itu mengiriminya pesan, suara mobil lewat, atau suara motor. Seperti anak kecil tidak sabar menanti ayahnya pulang. Namun, bukan ayah yang dia nanti, dia menanti pria yang selama ini dia sayangi membawa martabak yang dijanjikan. Tentu saja, yang Wonwoo tunggu bukan makanannya, melainkan orangnya.

Suara mesin mobil terdengar di luar sana, kini waktu sudah menunjukkan pukul 1 malam, hari Sabtu sudah berganti dengan hari Minggu. Pria tinggi di luar sedang membuka pagar garasi, dan Wonwoo tersenyum sumringah namun enggan keluar, seakan-akan sedang sibuk dengan permainannya.

'Pura-pura ngga denger. Biarin!' kata Wonwoo dalam hati.

“Nonu—” teriak pria jangkung yang memiliki tahi lalat di pipi kirinya ketika memasuki rumah, menggantung.

“Oh, main di sini. Kirain di kamar, baru mau gue panggil.” Kata Mingyu, menghampiri sofa tempat Wonwoo duduk, meletakkan martabak titipan Wonwoo dan mendudukkan dirinya di sofa, persis samping Wonwoo.

Seperti yang sudah-sudah dan selalu berhasil Wonwoo lakukan untuk meredakan detak jantungnya yang ribut ketika sedang sedekat ini dengan sang teman kecil, atau menenangkan kupu-kupu yang berterbangan di perutnya, padahal, Mingyu hanya duduk, tidak melakukan apapun adalah berteriak seakan kegirangan dengan titipannya yang dibawa oleh Mingyu.

“Yeay!!! Gue makan ya! Itadakimaaashhhh!” Kata Wonwoo ribut, berusaha menenangkan diri dan berpura-pura geragas mengambil martabak manis yang seakan-akan sudah dia tunggu dari tadi.

“Udah sehat kayaknya.” Tutur Mingyu, Wonwoo menjawabnya dengan anggukan karena mulutnya sudah penuh dengan martabak cokelat yang beleberan didaerah bibir dan pipinya. Dapat diakui, Mingyu mendapati pemandangan ini sangat menggemaskan. Dan Wonwoo terlihat sangat manis dengan kaos putih kebesaran, celana pendek hitam rumahnya dan kacamata frame kotak hitam yang sedang sering dia gunakan.

'Kenapa gue ngga pernah sadar sih? Kalau Wonwoo lebih dari cukup buat gue? Kenapa harus nyari di luar sana yang akhirnya kandas juga, dan selalu alasannya karena ini orang satu?' gumam Mingyu dalam hati.

“Makannya pelan-pelan, hey! Ngga ada yang ngambil!” Kata Mingyu menegur Wonwoo. Rakusnya Wonwoo malam ini sebenarnya karena melihat Mingyu jauh lebih tampan dari sebelumnya, senyumnya yang terus tersungging di wajah pria tampan itu membuatnya salah tingkah.

'Seperti rakus adalah jalan ninjaku!' kata Wonwoo dalam hatinya.

“Lo masih mabar?” Tanya Mingyu.

“Masih, ini!” Pamernya, yang Wonwoo lakukan bukan hal yang Mingyu suka, namun, Mingyu selalu memakluminya karena Wonwoo bahagia melakukannya.

“Mau martabak lagi ngga? Gue suapin!” Kata Mingyu, mengambil satu martabak cokelat dan menyuapi Wonwoo sebelum pria itu menjawab pertanyaannya. Wonwoo mulai kehilangan fokus permainannya. Dadanya semakin ribut, dan pikirannya bertanya, ada apakah gerangan yang sedang merasuki Mingyu. Ini bukan yang pertama kali Mingyu lakukan memang, tapi kali ini terasa berbeda.

“Bibir lo, coba sini.” Kata Mingyu, mengambil dagu Wonwoo dengan ibu jari dan telunjuknya, memaksa untuk lurus kearahnya, aliran darah di tubuh Wonwoo berdesir. Wonwoo mengelap bibirnya kasar, sebelum ditepis oleh pria di sampingnya.

“Ngga gitu ngelap bibir.” Kata Mingyu. Mingyu dengan tenangnya mengusap bibir Wonwoo dengan ibu jari dari tangan yang tadi mengambil dagunya. Membersihkannya lembut.

'Astaga, bibirnya kenyel banget. Hah! Tahan, Gyu. Tahan!' rutuknya dalam hati.

Ibu jarinya masih di sana, sampai Wonwoo memegang pergelangan tangan Mingyu.

“Udah, Gyu. Udah bersih kok. Makasih.” Kata Wonwoo, lembut. Berusaha selembut mungkin, karena diapun sangat ingin terus merasakan belaian itu.

'Ngga boleh! Mingyu punya pacar! Ga boleh seneng. Huwaaa.. Pengen ciuman sama Mingyu! OH NO NO.. JEON WONWOO, LO CRAZY!' rutuknya.

“Nu—” kalimat Mingyu menggantung, membuyarkan Wonwoo dalam lamunannya, pria itu membelalakkan matanya ketika melihat Mingyu memiringkan tubuhnya yang membeku untuk saling menghadap, mengambil telepon genggam Wonwoo, menyimpannya di atas meja dan kemudian dengan tenangnya mengaitkan jari jemari salah satu tangan mereka.

'Sebentar, ini ada apa?' tanya Wonwoo dalam hatinya.

Pipi Wonwoo memanas, dia memejamkan matanya, seakan merasakan deru nafas pria yang kini sudah dihadapannya. Semakin dekat, dan terasa ada benda kenyal yang kini sudah menyentuh bibirnya. Awalnya hanya berupa kecupan ringan, hingga Mingyu menuntun kedua tangan Wonwoo untuk dilingkarkan di lehernya.

Mingyu yang memiliki tubuh tinggi dan atletis itu dengan mudah mengangkat Wonwoo ke pangkuannya dan mendorong ceruk leher pria yang kini sudah dihaluannya itu agar dapat mempertemukan kembali bibir ranumnya dengan pria itu. Wonwoo yang belum pernah berciuman itu mulai menyeimbangi gerakan bibir Mingyu, Mingyu tersenyum disela-sela ciumannya.

'Ah, persetan pacarnya Mingyu. Sorry, Mingyunya buat gue dulu sekarang. Plis!' kata pria yang kini sedang mengelus lembut surai belakang milik Mingyu.

“Hmhp..” Wonwoo mulai kekurangan oksigen dan mendorong lembut tubuh Mingyu.

“Hah! Bentar, istirahat. Ngga bisa nafas gue.” Kata Wonwoo.

“Okay.” Kata Mingyu, tersenyum menyeringai. “By the way, bibir lo manis.” Kata Mingyu lagi, menggoda sang teman kecil.

Shut up! Gue abis makan martabak manis. Greasy ngga sih?” Tanya Wonwoo.

“Ngga papa, licin. Lagian ngga terlalu berminyak.” Kata Mingyu, menggoda.

“Lo belajar ciuman dari mana? Kok jago?” Tanya Mingyu, menggodanya lagi.

“Apaan sih! Ada lah, kan part of sex education.” Kata Wonwoo, ingin beranjak namun tertahan oleh lengan Mingyu yang jauh lebih besar dan kuat darinya.

“Mau kemana?” Tanya Mingyu.

“Ya, ngga kaya gini dong, Kim Mingyu! Ngga enak ah gue sama cewek lo! Nanti disangkanya macem-macem.” Kata Wonwoo, mendorong dada Mingyu pelan.

“Kan emang udah. Tanggung ngga sih?” Tanya Mingyu jahil.

“Gue ngga mau jadi pelakor ya! Please! Ada banyak kegiatan yang bisa gue lakukan lainnya!” Jawab pria berkacamata itu.

“Contohnya?” Tanya Mingyu, memegang pinggang Wonwoo. “Memandangi Kim Mingyu dari kejauhan, membantu Kim Mingyu pendekatan, mendengar semua cerita Kim Mingyu tentang gebetannya. Menjadi support system Kim Mingyu saat akan menembak gebetannya, berpura-pura ikut bahagia saat Kim Mingyu diterima oleh gebetannya, menunggu Kim Mingyu mengajak jalan karena putus cinta, menunggu Mingyu sedang bersama pacarnya, menemani Kim Mingyu yang sedang memebeli kado ulang tahun untuk pacarnya, memberi ide Kim Mingyu untuk surprise party pacarnya. Sedih melihat Kim Mingyu menangis karena kekasihnya.” Kata Mingyu. Wonwoo terdiam, kembali membeku mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Mingyu dan benar adanya. Semua yang Mingyu sebutkan adalah apa yang dia lakukan selama ini.

“Semuanya tentang Kim Mingyu, kapan untuk Jeon Wonwoo?” Tanya Mingyu, satu tangan Mingyu memegang lengan Wonwo dan satunya lagi masih dipinggang Wonwoo dan mengelusnya dengan ibu jari.

“Mulai sekarang, biarin ada nama Jeon Wonwoo di sana. Kim Mingyu yang selalu memandangi Jeon Wonwoo, Kim Mingyu yang selalu memegangi tangan Jeon Wonwoo, Kim Mingyu menemani Jeon Wonwoo menonton film kesukaannya, Kim Mingyu menemani Jeon Wonwoo bermain wahana favoritnya. Kim Mingyu yang akan mengucapkan selamat ulang tahun pertama kali untuk Jeon Wonwoo. Dan Kim Mingyu yang tergila-gila dengan Jeon Wonwoo.” Kata Mingyu mengelus pipi Wonwoo lembut dengan telunjuknya. Wonwoo membelalakkan matanya, terkejut.

“Hah?” Tanya Wonwoo, sedang memproses apa yang indera pendengaraannya tangkap, tadi.

“Gue udah putus sama Gigi. Karena berantem sama dia hari ini, gue sadar satu hal—” Kata Mingyu, menggantung.

“Lo selalu menjadi prioritas gue, siapapun pasangan gue, apapun yang terjadi sama mereka, gue selalu mendahulukan lo.” Kata Mingu lagi.

“Gue udah tau lo suka sama gue, dari Mas Woon, dia cerita semuanya ke gue pas awal gue jadian sama Gigi. Gue masih denial dan merasa kita hanya sebatas teman kecil, Nu. Tapi, ngga hari ini. Ngga saat semua orang nyalahin lo dan bilang lo caper. Gue marah!” Kata Mingyu.

“Dan Hao menyadarkan gue, kalau gue ngga mau ada pria lain di samping lo selain gue. Nonu, gue ngga tau rasa gue sebesar apa sekarang, tapi yang gue tau—” kalimat Mingyu kembali menggantung.

“Gue sayang sama lo as a lovers not the best friend one.” Kata Mingyu.

“Will you be mine?” tanya Mingyu tanpa ragu, Wonwoo menutup wajahnya dengan kedua tangannya — malu. Ini bukan pertama kalinya dia mendengar Mingyu mengutarakan cintanya, tapi kali ini dia mengutarakannya pada Wonwoo. Seperti apa yang selalu Wonwoo impikan, sama dengan apa yang selalu Wonwoo rapalkan dalam doanya.

“Kok ditutup mukanya?” Tanya Mingyu, mengambil kedua tangan itu dan menggenggamnya. Wonwoo menitikkan air mata dengan memberikan senyuman manisnya di sana.

“Loh kok nangis?” Tanya Mingyu, menarik badan pria itu dan merengkuhnya, memeluknya dan mengelus punggungnya.

“Ngga pa-pa. Kaget!” Kata Wonwoo dari dalam ceruk leher Mingyu.

“Jangan kaget. Ngga usah nangis, gue pulang karena lo adalah rumah gue, Nu. Udah ya.” Kata Mingyu, mengecup pipi pria itu sesekali.

“Mau ngga jadi pacar gue?” Tanya Mingyu yang dijawab anggukan oleh Wonwoo dengan malu-malu.

“Liat sini, jawabnya. Ngga keliatan.” Kata Mingyu, menggodanya lagi.

Wonwoo menegakkan badannya dan berkata, “Iya, mau Mingyu. I would loved to be yours.

Wonwoo memegang lengan kekasihnya itu dan kembali menyatukan bibir mereka dengan lembut. Mingyu memegang memegang leher jenjang Wonwoo, mengelusnya di sana dan membalas dengan lumatan-lumatan lainnya.

“Kita belajar saling memahami sebagai sepasang kekasih ya sekarang, Nu?” Ajak Mingyu yang dibalas anggukan oleh Wonwoo.

I love you, Jeon Wonwoo.”

Love you too, Kim Mingyu.”

Dan merekapun melanjutkan kecupan demi kecupan, lumatan di lumatan. Hari ini, Wonwoo merasakan hal-hal pertamanya dengan pria yang sangat dia sayangi melebihi dari sekedar sahabat sedari kecilnya itu. Dan hari ini pula mimpi seorang Jeon Wonwoo seluruhnya menjadi kenyataan. Dengan Kim Mingyu yang kini sudah berada didekapannya, sesuai dengan harapannya selama ini.

a Letter to Heaven


minor character death, angst, hurt, hallucination

Hi Igyu,

Hari ini hujan turun lagi, suaranya sangat memekakan telingaku.. And today is exactly the third year I haven't seen you. Aku ingin bilang ke kamu kalau aku baik-baik saja di sini, tapi aku bohong. Aku tidak baik-baik saja, Igyu. Aku dan hatiku sedang sakit, I miss you so much and it hurts. Kamu gimana di sana? Apakah kamu bahagia atau kamu juga merasakan hal yang sama?

Igyu,

Sudah 1.095 hari dan 26.298 jam tanpa kamu di sampingku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat merindukanmu. Rasanya aku ingin ikut kamu, tapi selalu gagal.

Igyu,

Aku ngga mau sendirian di sini. I'm tired of being alone here, Babe. Aku boleh ikut kamu ya? Aku rapuh tanpa kamu, Gyu. Aku kehilangan arah.

Igyu,

Minggu lalu aku gagal lagi ketemu kamu. Malah berakhir dengan aku yang terbangun tanpa kamu, dengan jarum infus yang tertancap di punggung tangan yang selalu kamu kecup saat berada di sampingku. I'm angry with this situation. Marah karena aku masih bernafas dengan balutan perban ada di mana-mana. Dan lagi-lagi aku bernafas tanpa kamu, Gyu.

Igyu,

Semalam aku mimpi kamu, tapi kenapa kamu malah maksa aku untuk bangun? Kok kamu jahat? Apa kamu udah ngga mau lebih lama berdua denganku? Apa kamu yang ngga mau ketemu aku lagi? Aku rindu, sayang. For God's sake I'd rather die than feel this heavy longing.

Igyu,

Beberapa hari yang lalu, hujan lagi-lagi turun. Aku duduk di toserba tempat pertama kali kita ketemu. Kamu inget ngga? Toserbanya masih sama, biasanya selalu ada kamu dan aku yang sedang bercanda memakan ramen di cup setiap hujan turun. Tapi kemarin, I was alone and felt lonely.

Igyu,

Saat itu ada yang aneh.. Aku melihat seorang yang mirip kamu di bawah hujan. Dia tersenyum ke arahku yang sedang menatap hujan yang turun semakin deras. Atau aku hanya berhalusinasi karena rindu yang teramat menyiksa ini?

Igyu,

Pria itu ngga mungkin kamu kan? Karena kalau memang dia adalah kamu, dia pasti berlari ke arahku dan memelukku bukan? Dan kamu ngga mungkin membiarkan aku sendirian di sana. Satu lagi, kita hanya senang memandang hujan, tapi tidak bisa kehujanan. Pasti pria itu bukan kamu, aku tahu.

Igyu,

Ingat pertama kali kita kehujanan? Keesokan harinya kita saling berbagi peluk dan mencoba untuk saling mengobati. Lucu sekali rasanya. Tidak mungkin bila dibayangkan, but it turns out we did it together. Aku kamu kita, hebat ya?

Igyu,

Pagi ini aku mendengar suara Bunda menangis memanggil namaku. Anehnya pagi ini duniaku gelap, Gyu. Aku ngga bisa melihat matahari masuk ke dalam retinaku.

Igyu,

Aku memang tidak dapat melihat lagi atau kini aku ada di dunia kamu? Bila memang dunia kamu segelap ini, pulang yuk Gyu.. Di sini terlalu hitam, terlalu dingin. You don't deserve to be here.

Igyu,

Ternyata aku masih di sini, belum ke dunia kamu. Karena kata orang, di luar masih cerah. Kenapa Tuhan tidak mengambil nyawaku dan mempertemukan kita saja ya?

Igyu,

Sore ini, aneh. Seseorang datang menghampiriku. Suaranya manis dan tutur katanya lembut sepertimu. Kata Bunda, dia seperti kamu. Aku yakin, lagi-lagi itu hanya halusinasi yakan? Kali ini, aku tidak akan percaya indra pendengaranku. Bunda pasti sedang bercanda untuk menenangkanku. Kali ini aku tidak akan percaya Bunda. Karena kamu cuma satu, tidak mungkin ada yang sepertimu.

Igyu,

Kata dokter, aku tak bisa melihat lagi. Untungnya, video kita yang terakhir kali aku lihat sebelum semua duniaku menjadi gelap gulita seperti ini. Setidaknya, aku tak akan melupakan suara bariton lembutmu, senyum manismu, hidung mancungmu, tatapan hangatmu dengan manik berbinar ketika memandangku, serta moles on your left cheek and the tip of your nose.

Igyu,

Untuk terakhir kalinya, di dalam gelapnya duniaku kini. Aku harap, kamu akan datang sekedar memberiku sedikit cahaya. Untuk terakhir kalinya, biarkan aku merasakan direngkuh dalam hangat pelukmu. Aku harap, itu dapat menghangatkan jiwaku yang mulai membeku. Untuk terakhir kalinya, di dalam ketulian ini. Aku harap, aku dapat mendengar kata rindu dan ungkapan cintamu.

Igyu,

Aku sayang kamu. Sangat-sangat menyayangimu.

Yours, Wonu-nya Igyu

Take it All


Part of Reunited Universe
tw: hospital, fluff.

Motor BMW R 1200 GS milik Mingyu langsung memasuki pekarangan rumah yang besar, sepertinya bisa dijadikan tempat bermain mini golf di sana. Pria jangkung itu langsung memarkirkan motor besarnya di depan pintu utama dan membawa serta helmnya masuk. Dengan langkahnya yang besar dan mendengar beberapa orang dengan tawa nyaring, membuat dia segera melangkahkan kakinya ke asal suara.

“Well hey! Sudah dateng akhirnya. Lama banget kamu, Kasian nih Andrea nungguin kamu dari tadi” Kata Mrs. Kim — Mama Mingyu — yang sedari tadi bawel memerintahkan Mingyu untuk segera datang.

“Mingyu.” Kata Mingyu, mengulurkan tangannya dan di balas oleh wanita muda sekitar 26 tahunan itu. “Andrea.” Balasnya.

“Sini, kamu harus ceritain dulu tentang Yulna. Kenapa cucu mama bisa masuk rumah sakit?” Tanya Mamanya, rewel.

“Boleh ke Andrea dulu ngga? Aku ngga mau lho lama-lama ninggalin Wonu sama Yulna berdua di rumah sakit.” Pinta Mingyu. Rasanya ingin segera mengakhiri pertemuan itu dan kembali ke rumah sakit.

“Yaelah, kamu tuh anak mama yang nyebelin.” Kata Mrs. Kim, menepuk lengan Mingyu keras tanpa ampun yang dibales ringisan anaknya.

“Baiklah kalau gitu, Andrea kita bisa mulai.” Kata Mingyu, masih mengelus lengannya.

“Jadi, seperti yang sudah diceritakan Mrs. Kim, tentang Mas Mingyu dan Mas Wonwoo, kita coba untuk offering konsep ini. Romantic Night Party.” Kata Andrea to the point.

“Sederhana aja kan?” Tanya Mingyu, menatap Andrea lalu menatap ke arah mamanya bergantian penuh curiga.

“Sederhana kok, yakan Ndre?” Tanya Mama Mingyu, meminta validasi dari wanita muda yang matanya sedikit bingung.

“Kalau 500 termasuk sederhana, kita bisa katakan ini sederhana kok, Mas Mingyu.” Kata Andrea. Mingyu membelalakkan matanya.

“500? Ngga! Siapa yang minta 500, ma?” Tanya Mingyu.

“Ya kamu hitung saja coba, mama punya teman, papa punya teman, kolega kamu, kolega Wonwoo. Malah mama pikir kurang lho!” Jawab Mrs. Kim santai.

“Ya Tuhan, dicincang Wonwoo yang ada akunya, ma.” Kata Mingyu, menepuk jidatnya.

“Kurangin bisa kok, Mas. Inikan baru offering dari tim aja. Karena Mrs. Kim mintanya yang spesial.” Jawab Andrea.

“Bentar, gue harus ngobrol dulu sama Mrs. Kim yang terhormat.” Mingyu menarik tangan mamanya, berdiri dan berbicara empat mata.

“Ma, 500 banyak.” Kata Mingyu.

No, 250 isn't enough, Kim Mingyu. Percaya deh sama mama.” Elak sang mama.

“Wonwoo aja masih khawatir lho kolega papi tau aku gay.” Kata Mingyu.

“Lha? Kolega papi udah tau kamu gay! Bahkan, ada yang mau minta dijodohin anak lanangnya sama kamu. Papi tolak tuh!” Kata Mamanya, santai.

“Iya, Wonwoo ngga tau tentang itu.” Kata Mingyu, memijit batang hidungnya.

“Gini aja, biarin jadi surprise, toh ini juga rahasia kan?” Tanya Mamanya.

“Ya, memang rahasia. Tapi aku harus bilang ke Wonwoo juga, tetep. Walaupun ngga ada kata ngga pada akhirnya.” Kata Mingyu.

“Yaudah, anggep aja 500 undangan udah sepaket, no debat.” Kata mama Mingyu, kekeuh.

“Mingyu, 500 buat mama dan papi itu small quantity. Biasanya aja Kim Cocktail Party tuh minimal 750 orang yang kita undang. Apalagi ini acara kamu yang datengnya sekali seumur hidup.” Kata Mrs. Kim. Mingyu dilema.

“Sebentar, aku mikir dulu.” Kata Mingyu.

“Mikirnya sambil liat konsep Andrea, biar kita ke RSnya ngga kemaleman. Mama mau liat cucu mama tau! Belum pernah ketemu sekalipun dan kamu cuma bikin iri ngirim fotonya doang!” Kata Mrs. Kim, mencubit tipis perut anaknya yang masih memakai jaket kulit itu dan langsung meninggalkannya, kembali ke terfokus pada layar laptop Andrea,

“Lanjut deh, Ndre.” Pinta Mingyu ketika sudah duduk di sebelah mamanya.

“Jadi, karena konsepnya Romantic Night Party kita mainin di lampu, nanti halaman venue juga kita hias secantik mungkin, karena aku liat Mas Wonwoo cantik banget, aku yang cewe ini minder dibikinnya. Jadi, kita akan bikin yang cantik, secantik Mas Wonwoo.” Jelas Andrea.

Valid, bahkan gambar venue yang berlatar kebun yang sudah dipercantik itu masih kurang cantik, bila disandingkan dengan Wonwoo gue. gumam Mingyu dalam hatinya, ketika melihat gambar yang disuguhkan Andrea.

“Oke, Garden Romantic Night Party? Gemes kan?” Tanya mamanya, kepada Mingyu yang masih melihat ke arah layar yang menyala itu.

“Gue suka sih konsepnya, tapi, Wonwoo ngga bisa kena angin malem lama-lama. Ya kali beres acara masuk angin?” Kata Mingyu, yang diikuti oleh tawa Andrea.

That's not a big deal, karena kita juga bikin half-half gitu. Mas Wonwoo bisa di dalem atau bisa di luar. Kita sebar cattering ke seluruh penjuru venue. Panggung cuma untuk foto-foto dan salaman. Sisanya, Mas Mingyu dan Mas Wonwoo boleh jalan-jalan nyamperin tamu undangan. Kemarin, Pak Kim sudah setuju dengan konsep ini ya, Bu?” Tanya Andrea kepada Mrs. Kim.

“Iya, ini papi mu yang milih.” Jawab Mrs. Kim.

“Oke, lanjutin lagi!” Pinta Mingyu.

“Untuk baju, kita konsepnya ada white suits seperti ini, terus, black suits and black and red suit. Kalau dari saya pribadi, lebih suka yang black suits dan black red suit.” kata Andrea, memberi sedikit masukan.

“Yang ini semua punya Designer terkenal Henri Winata lho ya, Gyu.” Kata Mamanya lagi.

“Betul, ini contoh-contohnya aja. Tapi, apapun yang Mas Mingyu dan Mas Wonwoo gunakan pasti bagus ya. Kalian kan duh dahlah, saya pusing.” Kata Andrea.

“Lho kok gitu?” Tanya Mingyu.

“Maksudnya, semua bakalan bagus gitu lho, Mas. Ngga usah khawatir jelek.” Jawab Andrea. Yang di balas anggukan oleh Mingyu, tanda mengerti maksud dari si Owner Wedding Organizer yang dipercaya mamanya itu.

“Kita ke makanan ya?” Tanya Andrea.

Kini waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, lama juga dia pergi meninggalkan Wonwoo dan Yulna di rumah sakit. Sebenarnya, mereka berdua tidak benar-benar sendiri, karena Hao dan Jun menemani mereka. Namun, Mingyu dibuat kaget oleh pesan dari Half Of Me 💜 yang berisi 'Aku mau peluk.. Kak Mingyu..' matanya langsung terbelalak, sedikit panik.

“Sebentar.” Mingyu langsung berdiri dari tempat duduknya dan langsung berjalan cepat mencari dapur untuk mengambil air putih dan langsung bertanya kepada Hao, apa yang terjadi. Karena sejak dia tidak menghiraukan pesan Wonwoo 2 bulan belakangan kemarin, Wonwoo-nya tidak pernah segamblang ini. Dan ini aneh.

Minghao hanya membalas bahwa Wonwoo menangis setelah menerima pesan seseorang. Kalau bisa terbang, mungkin Mingyu kini sudah terbang menghampiri Wonwoo. Tapi, tidak sekarang. Tidak hari ini, dan tidak detik ini pula. Masih ada yang harus ia selesaikan di Kim's Mansion, bersama dengan mama dan wedding organizer-nya yang sedang menunggu dia kembali bergabung membicarakan hari besarnya.

Wonwoo hanya punya dua pilihan IYA dan MAU! tegasnya dalam hati. He will take it all, I will give him all gumamnya, sembari melangkahkan kaki ke ruang tamu.

“Kenapa, Gyu?” Tanya sang mama.

“Pengen balik ke rumah sakit.” Ujar Mingyu, sembari duduk di sebelah mamanya.

“Yulna? Yulna kenapa?” Tanya Mrs. Kim histeris.

“Ngga, bukan Yulna. Yulna lagi nonton Pororo.” Jawab Mingyu.

“Oh, masalah hati. Yaudah, nanti dulu. Beresin ini deh. Biar cepet dikerjain sama Andrea. Kamukan sibuk, Wonwoo juga bahkan ngga tau. Jadi, kita serahin semua ke Andrea, kalian tinggal fitting sama cek venue aja.” Kata Mamanya.

Tak lama ponselnya berdering, 'Half Of Me 💜' di sana. Mingyu langsung mengangkatnya, tanpa menunggu deringan ketiga.

“Dek..” kata Mingyu.

“Kak.. hiks aku mau hiks peluk.” Katanya tersenggal-senggal karena sedang menangis sesenggukan.

“Iya, sabar ya. Aku masih ada urusan.” Kata Mingyu, dengan nada sangat halus, berusaha menghentikan tangisan yang ada di ujung sana.

“Penting banget?” tanyanya. Penting banget! gumam Mingyu.

“Iya.” Jawab Mingyu.

“Please, jangan kemana-mana lagi. Hiks sama aku aja.” kata pria manis di seberang sana, Mingyu tersenyum dibuatnya.

“Hey, itu kalimat buat kamu, bukan buat aku.” Kata Mingyu, Wonwoo terdiam.

“Udah dulu ya, jangan nangis lagi. Aku janji aku ke sana. Kita ngobrol nanti ya, Dek.” Kata Mingyu, nadanya masih dibuat semanis mungkin.

“Aku udahin ya, Dek. Sampai ketemu di rumah sakit.” kata Mingyu lagi, yang dijawab anggukan oleh Wonwoo yang tentu tidak Mingyu lihat. Hanya saja, Mingyu menganggap diam itu adalah persetujuan dan dia langsung memutuskan panggilan tersebut untuk kembali fokus.

“Kayaknya, mama harus jadi Wonwoo dulu ya, biar kamu manisin kaya gitu?” Tanya Mrs. Kim dengan nada mengejek namun iri. Mingyu hanya menggelengkan kepalanya santai, seakan berkata 'Mama nih apaan sih? Ada-ada aja.'

“Manis banget, mama iri sama Wonwoo.” Kata Mrs. Kim lagi, kali ini menggoda anaknya.

“Ma, mau ketemu Yulna ngga? Ayo, beresin!” Kata Mingyu. Mamanya pun tersenyum, Andrea juga dan kemudian mereka kembali fokus.

Jam 8 malam lewat, rumah kediaman Kim itu sudah kembali sepi. Andrea dan tim-nya sudah pulang. Mingyu sudah berganti pakaian dan Mama Kim sudah siap dengan gayanya yang super necis dari atas hingga ujung kakinya yang dibalut dengan barang branded limited edition yang sampai hari ini Mingyu tidak paham apa bedanya dengan barang branded biasa yang dipajang di etalase di mall-mall yang suka dia dan Wonwoo singgahi. Bedanya hanya yang satu banyak dipasaran dan yang satu hanya beberapa orang di dunia yang punya bukan?

“Yuk! Aku naik motor.” Ajak Mingyu.

“No, enak aja! Mama udah cantik gini. Ngga, kita naik mobil yang di garasi.” Kata Mama Mingyu.

“Tapi aku tadi bawa motor.” Kata Mingyu.

“Di pintu depan udah disiapin mobilnya, yuk! Mama sampe, tapi Yulna tidur awas ya kamu!” Ancem mamanya.

“Paling gitu!” Jawab Mingyu santai, meninggalkan mamanya dan berjalan menuju mobil Mercedes-Benz Sport putih yang sudah terparkir rapih di sana — mobil Mingyu yang dititipkan di rumah.


Mingyu dan Kim Yeon Seo — Mrs. Kim — berjalan santai sembari membawa pakaian Mingyu dan beberapa buah yang memang sudah disiapkan oleh sang mama untuk calon menantu dan cucunya.

Yeon Seo mengetuk pintu itu pelan, khawatir cucunya sedang tertidur, dan ketukan ketiga seseorang membukakan pintu untuknya dan orang tersebut terkejut dibuatnya.

“Mama Kim?” Tanya pria yang kini sedang menggunakan piyama biru dongker bermotif beruang yang ternyata berpasangan dengan seorang gadis kecil yang sedang membulak balikkan buku di tempat tidur.

“Sayangnya mama.” Sapa Mrs. Kim dan langsung memeluk Wonwoo, Wonwoo hanya mengedipkan matanya cepat, bingung apa yang sedang terjadi di sini, saat ini.

Dari zaman Wonwoo masih menjadi adik tingkat Mingyu, dan sering bermain ke rumah, Mrs. Kim memang sudah sangat menyayangi pria bertubuh ramping ini. Menjadi sangat bahagia ketika mendengar almarhum Kim Seungcheol berpacaran dengannya. Bahkan, rasa sayang Mrs. Kim tidak pernah berkurang walaupun apa yang sudah Mingyu dan Wonwoo lakukan saat itu — bertahun-tahun yang lalu. Mrs. Kim juga masih menerima Wonwoo ketika pria bermata rubah itu meminta izin untuk menjalin hubungan kembali dengan anak semata wayangnya setelah hilang contact dua tahun. Bahkan, saat terakhir kali Wonwoo menghilang, Nyonya Kim ikut mengerahkan semua anak buahnya untuk mencari Wonwoo, walaupun hasilnya nihil. Kini, pria kesayangannya sudah ada di hadapannya dan membawa seorang malaikat cantik yang sedang menatap ke arah wanita paruh baya itu bingung.

“Wah, cucunya Mama Kim.” Kata Kim Yeon Seo, menghampiri Yulna yang sedang bingung namun tersenyum seakan menyapa. Yulna bukan anak yang mudah menangis ketika bertemu dengan orang baru, jadi dia tidak takut ketika melihat wanita cantik paruh baya menghampirinya.

“Eyang, aku eyang kamu.” Katanya, ketika sudah duduk di ranjang Yulna. Mingyu dan Wonwoo hanya melihat interaksi mereka.

“Hai!” Sapa Wonwoo.

“Ngga gitu, tapi gini.” Kata Mingyu, mencuri kecup dibibir ranum Wonwoo. Pria berkacamata itu membelalakkan matanya tanda terkejut, dan di balas senyum Mingyu.

“Yuk, masuk!” Ajak Mingyu, Wonwoo langsung mengambil buah dari tangan Mingyu dan meletakkannya di meja yang letaknya tidak jauh dari kasur Yulna.

“Mama Kim, mau minum apa?” Tanya Wonwoo.

“Yulna suka Good Juice Mango, jadi paling adanya itu aja.” Kata Wonwoo.

“Itu boleh, air putih juga ngga pa-pa, Nu. Mama tuh cuma mau liat cucu mama, terus, nunggu papi jemput.” Jawab Mrs. Kim santai, masih menunjuk buku yang dipangku Yulna dan berbincang dengan cucu cantiknya.

“Kok bisa bareng?” Tanya Wonwoo.

“Nyonya mau ikut. Katanya pengen ketemu cucu, soalnya iri aku cuma kirim gambar aja.” Jawab Mingyu, meminum jus kemasan botol yang diberikan Wonwoo, mereka berdua sudah duduk di sofa.

“Oh, urusannya tuh di rumah?” Tanya Wonwoo mengambil posisi duduk di samping Mingyu.

“Iya, memang kamu kira? Aku ada urusan di mana?” Tanya Mingyu.

“Ya siapa tau, urusan sama someone special in your heart.” Jawab Wonwoo.

“Ya memang, tuh sama Nyonya spesial banget pake karet dua.” Jawab Mingyu jahil.

“Tadi, Hao bilang kamu nangis, kenapa? Kamu nelfon aku juga sesenggukan, ada apa?” Tanya Mingyu.

“Ngga apa.” Kata Wonwoo.

“Coba cerita sama aku, biar aku ngerti. Kamu dari dua tahun lalu sampe hari ini, kalau ada masalah selalu pakai bahasa kalbu, dek. Aku ngga ngerti.” Kata Mingyu.

“Aku bukan dukun lho, Nu,” Kata Mingyu lagi. Wonwoo menunduk.

“Nanti ya, setelah Mama Kim pulang dan Yulna tidur, kita ngobrol.” Kata Wonwoo.

“Kalau gitu besok aja ya? Setelah Yulna pulang. Biar aku beneran berdua sama kamu ngobrolnya.” Ajak Mingyu yang diiyakan oleh Wonwoo.

“Ada yang mau aku sampein juga.” Jawab Mingyu. Wonwoo terdiam dengan kalimat pria berkulit sawo matang di hadapannya ini.

Hmm.. takut. Kalimat kakak sumpah bikin overthinking banget. katanya dalam hati.

“Udah makan malem?” Tanya Mingyu, memecah fikiran-fikiran Wonwoo yang berlebihan.

“Sudah.” Jawab Wonwoo. “By the way, kak—” kalimat Wonwoo terpotong saat tangan besar Mingyu merengkuh pinggangnya dan menggeser tubuh Wonwoo yang berada di sebelahnya agar lebih dekat dengannya.

“Ya?” Tanya Mingyu sembari mengelus lembut pinggang Wonwoo. Mingyu tidak tahu bahwa kini jantung Wonwoo sudah hampir copot dibuatnya.

“Ehem..” deheman yang datang dari Mrs. Kim di kasur Yulna, mengagetkan kedua pria itu. Wonwoo segera bangun dari duduknya, dan menghampiri mama dari Kak Mingyu-nya.

“Lho, Ma? Yulna tidur?” Tanya Wonwoo.

“Iya, tadi mama dongengin. Eh, baru setengah dia bobo.” Kata Mrs. Kim.

Tak lama pintu kamar diketuk sekali dan langsung dibuka oleh pria paruh baya dengan postur tubuh yang tinggi, dan gagah. Wajahnya mirip sekali dengan Mingyu — Mr. Kim. Wonwoo terkejut dengan pemandangannya, seumur hidup dia kenal dengan Mingyu, dia baru bertemu dengan Mr. Kim ini hanya lima kali atau lebih sedikit.

“Mana cucu papi?” Tanyanya heboh.

“Ssstt.. bayinya baru tidur. Kamu nih berisik!” Jawab Mama Kim, memukul pundak suaminya.

“Oh, maafin. Kemaleman ya aku?” Tanya Papi Kim kepada istrinya yang dijawab anggukan.

“Cium aja boleh ngga, Nu?” Rajuk sang papi, persis seperti Mingyu.

Dari Papi – Anak – Cucu, sama aja kalau sedang merajuk memang. ucap Wonwoo dalam hatinya.

“Iya Pi, boleh kok. Silahkan.” Kata Wonwoo mempersilahkan. Papi Kim dengan semangatnya menghampiri sang cucu dan menciumi Yulna, setelah sedikit berbincang dengan Mingyu serta Wonwoo, Papi dan Mami Kim pamit untuk pulang.


Wonwoo langsung mendekap tubuh tegap sang dominan yang sangat dia rindukan selama ini, segera setelah pria itu menutup pintu kamar Yulna.

“Dek? Hey, kenapa?” Tanya Mingyu bingung ketika Wonwoo berhambur ke dalam pelukannya.

“Diem, aku mau peluk.” Ucap Wonwoo dari dada Mingyu.

I love the sound of your heartbeat, by the way. Aku pernah bilang?” Tanya Wonwoo, yang dijawab anggukan oleh Mingyu.

“Pernah, dek.” Jawab Mingyu. “Dulu.”

Until today, still like it. Tapi hari ini lebih cepet. Are you nervous?” tanya Wonwoo. Mingyu tetawa kecil.

“Gimana ngga deg-deg-an kalau diterjang kaya tadi?” Tanya Mingyu. Jantungnya memang berdegup kencang saat ini, sama halnya degupan jantung Wonwoo — sebenarnya. Wonwoo tersenyum dan Mingyu dapat merasakannya, lalu Mingyu merengkuh badan itu, mengeratkan pelukannya. Sangat erat hingga tak ingin dia lepaskan rasanya.

“Kenapa tiba-tiba manja gini? Kayaknya kemaren ogah-ogahan kalau aku pegang.” Kata Mingyu tersenyum, mengelus surai lebat Wonwoo yang sudah mulai memanjang.

“Bukannya gitu—” kalimat Wonwoo tergantung, seperti enggan mengakui kebodohannya. Ya, kebodohannya.

“Kok berhenti?”

“Ngga mau, nanti kesannya I'm looking for an excuse.” Jawab Wonwoo, melonggarkan pelukannya.

“Mau kemana?” Tanya Mingyu yang menahannya.

“Mau balik ke sebelah Yulna.” Kata Wonwoo, menatap ranjang putrinya.

“Ngga boleh, enak aja. Ini hukuman kedua kamu karena ninggalin aku.” Kata Mingyu.

“Yang pertama?” Tanya Wonwoo.

“Aku cuekin 2 bulan.”

That part is the toughest punishment for me, you know?” kata Wonwoo memukul pelan dada pria tinggi itu.

“Iya, maafin aku ya. Aku juga sedih nyuekin kamu.” Jawab Mingyu, sembari mengecup pucuk kepala Wonwoo. “Tapi kamu tuh nakal, ninggalin aku kaya gitu.” Kata Mingyu, mengambil dagu sang adik untuk menghadapnya dan mencium keningnya. “Sampe aku ga bisa nemuin kamu tuh, kamu ke goa mana?” Tanya Mingyu, memegang kedua lengan pria kesayangannya itu dan tubuh Wonwoo ke hadapannya, menciumi lembut pipi Wonwoo yang mulai bersemu.

“Jangan lari lagi, Nu. Aku ngga tau nanti aku masih bisa ngejer dan nunggu lagi atau ngga.” Kata Mingyu. Perkataan pria tinggi itu langsung menusuk jantung Wonwoo seketika. Wonwoo langsung melebur dipelukan Mingyu lagi dan menggeleng sangat yakin.

“Dan aku masih ada hukuman lagi buat kamu. Jadi, apapun hukuman aku, seperti yang kamu bilang kemarin kalau kamu akan ambil semuanya.” Kata Mingyu yang di balas anggukan oleh Wonwoo.

“Good boy.” Kata Mingyu, mengelus surai Wonwoo dan mengecup puncak kepala itu beberapa kali. Tenang yang Wonwoo rasakan, walaupun dia tidak tahu hukuman apa yang akan dia dapatkan.

I will take it all, Kak Mingyu.